Sabtu, 30 Mei 2020

TINJAUAN SYARI'AT DAN HIDUP SEHAT TENTANG PENGHARUSAN MEMAKAI MASKER


Pertanyaan:
Ustâdz izin bertanya lagi, sekarang banyak orang menyebut sesuatu: "Ini wâjib, itu wâjib", seperti pakai masker di saat virus corona ini adalah wâjib. Apakah boleh seseorang mewajibkan sesuatu yang tidak ada syar'îatnya?

Jawaban:
Itu termasuk kesalahan dalam ungkapan yang telah menyebar luas di kalangan masyarakat kaum Muslimîn di Indonesia, karena penentuan wâjib terhadap segala sesuatu adalah suatu keputusan dari Allâh sebagai Pembuat Syari'at yang tentu konsekuensinya adalah berdosa bagi orang yang tidak melakukannya. Kalau seseorang mengatakan bahwa memakai masker adalah wâjib di zaman fitnah virus corona ini maka tentu akan diberlakukan hukum tersebut, pada akhirnya tidak sedikit kita dapati orang-orang bergampangan menganggap orang lain berdosa karena tidak memakai masker, alasan mereka karena tidak mentaati peraturan yang dibuat oleh pemerintah.
Alasan inipun tidak dapat dibenarkan secara mutlak, karena beberapa alasan:

1) Memakai masker bukanlah jaminan bahwa virus tidak akan masuk lagi melalui mulut dan hidung, karena virus itu sangat kecil sekali. Kalaupun tetap dipaksakan bahwa dengan memakai masker tidak lagi masuk virus maka ini menjadi permasalahan yang diperselisihkan di kalangan ahli kesehatan. Adapun orang-orang yang tunduk dan patuh terhadap organisasi kesehatan dunia maka mereka akan menganggapnya itulah kebenaran yang tidak terbantahkan oleh fatwâ Ahlul 'Ilmi yang mengerti tentang kesehatan. 

2) Masker merupakan penghambat terhadap asupan oksigen. Ketika seseorang memiliki riwayat penyakit pada pernapasannya atau pernah sakit paru-paru lalu diharuskan memakai masker maka ini akan mempengaruhi kesehatan pernapasannya, kalau kemudian penyakitnya kambuh maka kita khawatirkan itu akan dicurigai lagi terkena virus corona, lalu kalau dia mati karena sebab itu maka 
tentu ini adalah suatu kezhaliman karena menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya, berkata Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ، فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ

"Jagalah dirimu dari doa orang yang dizhalimi, karena sesungguhnya tidak ada penghalang di antaranya dan di antara Allâh." Riwayat Al-Bukhârî (no. 1496).
Apalagi sekarang kita lihat terlalu berlebih-lebihan dalam menerapkan keharusan memakai masker, sampai pernah terjadi yang tidak memakai masker dipukul pantatnya dengan rotan, juga siapa yang mendampingi pasien dalam keadaan tidak memakai masker maka klinik tidak menerima kecuali harus memakai masker. Demikian pula yang akan shalat berjamâ'ah harus memakai masker, sehingga anjuran untuk tidak memakai penutup pada wajah di saat shalat mereka abaikan, karena menurut mereka masker adalah wâjib:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ غَلَبَةِ الرِّجَالِ

"Yâ Allâh sesunguhnya aku berlindung kepada-Mu dari tekanan orang-orang berpengaruh."

Kita sangat kasihan melihat sebagian orang berolahraga supaya dapat hidup sehat, mereka berolahraga dengan berlari pagi dan sebagian yang lain bersepedaan dalam keadaan mereka memakai masker, ketika mereka berhenti terlihat seakan-akan sesak napas mereka, kalau dengan sebab masker itu membuat mereka terhambat dari asupan oksigen lalu terjadi apa-apa yang tidak diinginkan pada pernapasan mereka maka ini yang kita khawatirkan.

3) Dalam mentaati pemerintah ada dua ketentuan:
Pertama: Bukan dalam penyelisihan terhadap Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ dan Rasûl-Nya Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam. 
Syari'at menganjurkan atau memerintahkan kita untuk lari dari fitnah dan wabah maka kita akan lari darinya dengan tanpa melakukan penyelisihan terhadap syar'îat. Adapun kalau seseorang lari dari fitnah dan wabah dengan melakukan penyelisihan terhadap syar'îat maka mungkin saja dia lolos di saat larinya namun setelah itu dia akan mendapatkan akibat dari penyelisihannya terhadap syar'îat:

فَلۡیَحۡذَرِ ٱلَّذِینَ یُخَالِفُونَ عَنۡ أَمۡرِهِۦۤ أَن تُصِیبَهُمۡ فِتۡنَةٌ أَوۡ یُصِیبَهُمۡ عَذَابٌ أَلِیمٌ

"Hendaklah takut orang-orang yang menyelisihi perintahnya akan ditimpakan kepada mereka suatu fitnah atau ditimpakan kepada mereka siksaan yang pedih." [Surat An-Nûr: 63]. 

Kedua: Pada perkara yang dimampui, Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam saja seorang pemimpin Daulah Islâmiyyah yang wâjib diikuti dan ditaati oleh setiap orang namun dalam janji ketaatan beliau sebutkan pada perkara yang dimampui, berkata Jarîr Radhiyallâhu 'Anhu:

بَايَعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فَلَقَّنَنِي: فِيمَا اسْتَطَعْتَ

"Aku membai'at Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam untuk mendengar dan taat, beliau membimbingku: "Pada perkara yang kamu mampui." Riwayat Al-Bukhârî (no. 210).
Seseorang merasa tidak mampu mengenakan masker karena mengganggu proses pernapasannya lalu diharuskan kepadanya mengenakan masker di saat keluar mencari nafkah, jika dia tidak lagi keluar mencari nafkah apakah ada jaminan pemberian nafkah yang mencukupinya dari yang mengharuskan memakai masker?

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh pada hari Ahad tanggal 9 Syawwâl 1441 / 31 Mei 2020 di Maktabah Al-Khidhir Bekasi. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar