Senin, 17 Agustus 2020

UNTUKMU PARA PEMUDA-PEMUDI MUSLIM


Fitrah seorang pria adalah butuh terhadap wanita, kesempurnaan dan kebahagian hidup yang dia peroleh akan terasa kurang bila tanpa ada wanita yang menjadi pendamping hidupnya. Dahulu ayah kita Ãdam 'Alaihish Shalâtu was Salâm dalam keadaan paling sempurna, beliau hidup di dalam Surga yang penuh keni'matan, namun ternyata beliau membutuhkan pula pendamping hidup yaitu ibu kita Hawâ Radhiyallâhu 'Anhâ, berkata Allâh 'Azza wa Jalla kepada Ãdam 'Alaihish Shalâtu was Salâm:

وَقُلۡنَا یَـٰۤـَٔادَمُ ٱسۡكُنۡ أَنتَ وَزَوۡجُكَ ٱلۡجَنَّةَ وَكُلَا مِنۡهَا رَغَدًا حَیۡثُ شِئۡتُمَا 

"Kami berkata: "Wahai Ãdam, menetaplah kamu dan isterimu di dalam Surga, dan makanlah dari  makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai." [Surat Al-Baqarah: 35].

Dari nasehat Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada hari Selasa pagi 28 Dzulhijjah 1441 / 18 Agustus 2020 di Maktabah Al-Khidhir Bekasi untuk saudara-saudarinya para pemuda-pemudi Muslim.




Kamis, 13 Agustus 2020

TEMPAT DOA ISTIKHÂRAH

Pertanyaan:
Apakah doa shalat istikhârah itu dibaca setelah rukû sebagaimana doa qunut witir? 

Jawaban:
Doa istikhârah dibaca setelah salâm, sebagaimana yang disebutkan di dalam hadîts yang diriwayatkan oleh Al-Bukhârî dari Jâbir bin 'Abdillâh 'Anhumâ:

فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ يَقُولُ

"Hendaklah dia shalat dua raka’at kemudian dia mengucapkan doa..."
Ini menunjukkan bahwa pembacaan doanya setelah pelaksanaan shalat dua raka'at tersebut.

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada hari Jum'at 24 Dzulhijjah 1441 / 14 Agustus 2020 di Maktabah Al-Khidhir Bekasi.

Rabu, 12 Agustus 2020

MENYOAL PERAYAAN MAULID


Pertanyaan:
Ustâdz, apa keutamaan merayakan maulid?

Jawaban:
Tidak ada keutamaan pada perayaan maulid, yang ada keutamaannya adalah puasa pada hari Senin yang merupakan hari kelahiran Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam, beliau berkata tentang puasa hari Senin:

ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ

"Itu adalah hari yang aku dilahirkan padanya." Riwayat Al-Bukhârî dari Abû Qatâdah Al-Anshârî Radhiyallâhu 'Anhu.

Adapun perayaan maulid maka itu tidak ada dalilnya, bahkan itu merupakan pengikutan terhadap ajaran yang dibuat oleh 'Ubaidullâh bin Maimûn Al-Qaddâh, kakeknya adalah Yahûdî, lalu dia menisbatkan dirinya secara dusta bahwa dia termasuk Ahlul Bait, kemudian mengaku sebagai Imam Mahdî, yang hakekatnya dia ini adalah pimpinan sekte Bathiniyyah, telah berkata Ibnu Katsîr Rahimahullâh tentang orang ini:

ﻭَﻛَﺎﻥَ ﻳَﻬُﻮْﺩِﻳًّﺎ، ﻓَﺪَﺧَﻞَ ﺑِﻼَﺩَ ﺍﻟْﻤَﻐْﺮِﺏِ ﻭَﺗُﺴَﻤَّﻰ ﺑِﻌُﺒَﻴْﺪِ ﺍﻟﻠَّﻪِ، ﻭَﺍﺩَّﻋَﻰ ﺃَﻧَّﻪُ ﺷَﺮِﻳْﻒُ ﻋَﻠْﻮِﻱٍّ ﻓَﺎﻃِﻤِﻲٍّ، ﻭَﻗَﺎﻝَ ﻋَﻦْ ﻧَﻔْﺴِﻪِ ﺇِﻧَّﻪُ ﺍﻟْﻤَﻬْﺪِﻱُّ

"Dahulunya dia adalah Yahûdî, lalu dia datang ke negri Maghribi kemudian dia menamai dirinya dengan 'Ubaidullâh, dia mengaku bahwa dirinya adalah Syarîf 'Alwî Fâthimî. Dan dia berkata tentang dirinya bahwasanya dia adalah Al-Mahdî."

Dialah yang mengadakan acara maulid, karena sudah menjadi kebiasaan orang-orang Yahûdî, bila mereka kagum terhadap suatu hari maka mereka adakan sebagai hari raya, orang-orang Yahûdî di zaman Amîrul Mu'minîn 'Umar Ibnul Khaththâb Radhiyallâhu 'Anhu pernah berkata:

يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ لَوْ أَنَّ عَلَيْنَا نَزَلَتْ هَذِهِ الآيَةُ: الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا لاَتَّخَذْنَا ذَلِكَ الْيَوْمَ عِيدًا

"Wahai Amîrul Mu'minîn kalau seandainya ayat ini turun kepada kami: "Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagi kalian agama kalian dan Aku cukupkan bagi kalian nikmat-Ku serta Aku ridhai Islâm sebagai agama kalian." Sungguh kami akan jadikan hari tersebut sebagai hari raya."
Maka Amîrul Mu'minîn 'Umar Ibnul Khaththâb Radhiyallâhu 'Anhu berkata:

إِنِّي لأَعْلَمُ أَيَّ يَوْمٍ نَزَلَتْ هَذِهِ الآيَةُ، نَزَلَتْ يَوْمَ عَرَفَةَ فِي يَوْمِ جُمُعَةٍ

"Sesungguhnya aku benar-benar mengetahui hari turunnya ayat ini, yaitu turun pada hari 'Arafah pada hari Jum'at." Riwayat Al-Bukhârî. 

Allâh Tabâraka wa Ta'âlâ turunkan bertepatan dengan hari raya Islâm, yaitu hari Jamâ'ah haji berkumpul di 'Arafah pada hari Jum'at. 

Ikhwânî Fiddîn Rahimahumullâh, apa yang dibuat dan diada-adakan oleh anak Yahûdî 'Ubaidullâh bin Maimûn Al-Qaddâh benar-benar diikuti oleh sebagian manusia pada umat ini, padahal jelas tujuannya untuk merubah dan menjadikan agama ini semisal dengan agama mereka yang mereka telah memberikan banyak tambahan kepada agama mereka, di kalangan mereka ada acara kelahiran nabi mereka, ada acara kelahiran 'Îsâ Al-Masîh dan acara-acara lainnya. Oleh karena itu kita ingatkan kembali kepada setiap orang muslim bahwa Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ telah katakan:

وَلَنْ تَرْضَىٰ عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ

"Orang-orang Yahudi dan Nashârâ tidak akan suka kepadamu sampai kamu mengikuti agama mereka." [Surat Al-Baqarah: 120].

Dijawab oleh: 
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir pada hari Selasa 19 Rabî'ul Awwal 1440 / 27 November 2018. 

⛵️ http://alkhidhir.com/aqidah/menyoal-perayaan-maulid/
⛵️ https://t.me/majaalisalkhidhir/2318



Jumat, 07 Agustus 2020

HUBUNGAN KEKERABATAN ANTARA USTÂDZ SA'ÎD AL-LIMBÔRÎ DENGAN AL-KHIDHIR


Pertanyaan:
Ada Ustâdz di Riau, nisbahnya juga Al-Limbôrî, Ustâdz Sa'îd namanya, apakah Syaikh Muhammad kenal beliau?

Jawaban:
Beliau masih memiliki hubungan kekerabatan dengan kami. Buyut ayahnya menikah dengan buyut ayah kami. Adapun beliau adalah Sa'îd bin Muhammad Kudto bin Wa 'Atimah bintu Wa Sumaini. Sedangkan kami adalah Muhammad Al-Khidhir bin Salîm bin Siti Hâwiyah bintu La Bisana.
Buyut ayahnya Wa Sumaini adalah seorang janda yang memiliki seorang anak bernama Wa 'Atimah. Kemudian buyut ayah kami La Bisana menikah dengan Wa Sumaini, dari pernikahan keduanya lahirlah Siti Hâwiyah ibu ayah kami.

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada malam Sabtu 18 Dzulhijjah 1441 / 8 Agustus 2020 di Maktabah Al-Khidhir Bekasi.


Alhamdulillâh guru kita Al-Ustâdz Abul 'Abbâs Harmîn Rahmatullâh 'Alainâ wa 'Alaih meninggalkan untuk kita ilmu berupa beberapa karya tulis, di antara buku Hubungan Antara Tauhîd dengan 'Aqîdah. Semoga keberadaan buku ini dapat bermanfaat sebagaimana buku-buku beliau yang lainnya.

Kamis, 06 Agustus 2020

ANAK KETURUNAN DAN KERABAT LA BISANA


Penduduk Limboro dan beberapa kampung tetangga Limboro hampir semua memiliki hubungan kekerabatan dengan La Bisana, beliau di samping menjadi tokoh terhormat, beliau juga menjadi guru ngaji untuk penduduk Limboro dan sekitarnya.

Jalur kekerabatan beliau

Beliau menikah dengan Wa Sumaini, sedangkan Wa Sumaini adalah seorang janda yang memiliki anak bernama Wa 'Atimah. Anak keturunan Wa 'Atimah ini sangat banyak, kebanyakannya di kampung Limboro, ada pula di Ambon, di Masohi, di Sorong, di Malang, di Riau, di Pangkep. Salah seorang anak perempuan Wa 'Atimah bernama Wa 'Ajaulu menikah di kampung Temi dan memiliki keturunan yang banyak, mereka semua mengakui bahwa La Bisana adalah leluhur mereka karena telah memelihara nenek moyang mereka.

Jalur Keturunan Beliau

La Bisana menikah dengan Wa Sumaini dikaruniai dua orang anak, yaitu Ãdam dan Siti Hâwiyah. 

Dari keturunan Ãdam bin La Bisana

Ãdam memiliki 3 orang anak yaitu:
1) Sumailah, beliau berketurunan di kampung Erang.
2) Wa Hadîdah, beliau berketurunan di Limboro.
3) Wa Cari, beliau berketurunan di kampung Losi-Hatawano.

Dari keturunan Siti Hâwiyah

Siti Hâwiyah menikah dengan orang kampung Talaga yang bernama Subhanî, dari pernikahannya lahir 3 orang anak perempuan:
1) Wa Aluwiyyah, beliau berketurunan di Limboro dan di Talaga.
2) Wa Ndete, beliau berketurunan di Limboro, di kampung Erang dan di Asilulu.
3) Wa Alimah, beliau tidak berketurunan.

Siti Hâwiyah dikaruniai hanya 3 orang dalam pernikahannya dengan Subhanî, kemudian beliau dinikahkan dengan seorang pemuda yang merupakan murid La Bisana yang bernama Syahdiah bin La Wionde.
Dari pernikahan ini lahirlah empat orang anak, yaitu:
1) Salîm, beliau berketurunan di Limboro, kampung Nasiri, Ambon, Bekasi dan Jambi.
2) Hasan, beliau berketurunan di Waihoho, Kawa dan Ketapang.
3) Wa Arina, beliau berketurunan di Limboro, Nasiri dan Ambon.
4) Wa Eno, beliau berketurunan di kampung Temi dan Ambon.

Selasa, 04 Agustus 2020

MENYOAL ADZÂN PERTAMA FAJAR


Pertanyaan:
Ustâdz, mau bertanya tentang adzân yang lafazh:

الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنْ النَّوْمِ، الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنْ النَّوْمِ 

Yang artinya: "Shalat lebih baik daripada tidur, shalat lebih baik daripada tidur." 
Apakah itu shahîh? Lalu yang benarnya pada waktu kapan pelafazhannya? 

Jawaban:
Lafazh tersebut shahîh sebagaimana yang diriwayatkan oleh An-Nasâ’î dan Abû Dâwud dari Abû Mahdzûrah Radhiyallâhu 'Anhu, beliau berkata:

كُنْتُ أُؤَذِّنُ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكُنْتُ أَقُولُ فِي أَذَانِ الْفَجْرِ الأَوَّلِ حَىَّ عَلَى الْفَلاَحِ، الصَّلاَةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ، الصَّلاَةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ

"Dahulu aku adzân pada Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam, aku mengucapkan pada adzân Shubuh yang pertama: Hayyâ 'alal falâh: "Ashshalâtu khairum minannaum, ashshalâtu khairum minannaum."

'Abdullâh bin 'Umar Radhiyallâhu 'Anhumâ mempersaksikan pula atas lafazh tersebut, beliau berkata:

كَانَ فِي الْأَذَانِ الْأَوَّلِ بَعْدَ الْفَلَاحِ: الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنْ النَّوْمِ، الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنْ النَّوْمِ 

"Dahulu pada adzân yang pertama setelah pengucapan Hayyâ 'alal falâh: "Ashshalâtu khairum minannaum, ashshalâtu khairum minannaum."
Adapun menyerukannya yaitu di waktu adzân fajar, dan para 'ulamâ berbeda pendapat, sebagian mereka mengatakan sebelum waktu fajar dan sebagian mereka berkata setelah masuk waktu fajar yakni pada adzân Shubuh. 
Yang menjadi perbedaan pendapat di kalangan mereka adalah pada penyebutan adzân awwal, sebagian mereka menganggap adzân awwal itu adalah adzân Subuh bukan adzân sebelum Shubuh, karena disebutkan di dalam hadîts:

بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ

"Di antara dua adzân ada shalat." Yakni di antara adzân dan iqâmah. Sehingga mereka pahami bahwa adzân Shubuh adalah adzân pertama, sedangkan iqâmah untuk shalat Shubuh itu adalah adzân kedua.
Namun yang benarnya pada masalah ini, bahwasanya kalau di suatu masjid ada adzân sebelum fajar maka itu dinamai adzân pertama. Adapun adzân tatkala sudah masuk waktu fajar maka itu adalah adzân kedua, sebagaimana perkara ini telah dimaklumi pada penyebutan adzân Jum'at yang diperintahkan oleh Amîrul Mu'minîn 'Utsmân Radhiyallâhu 'Anhu untuk dilakukan sebelum masuk waktu Jum'at. Itu dinamai adzân pertama, dan 'Abdullâh bin 'Umar Radhiyallâhu 'Anhumâ telah menamai adzân tersebut sebagai adzân pertama, beliau berkata:

الأَذَانُ الْأَوَّلُ يَومَ الْجُمُعَةِ بِدعَةٌ

 "Adzân pertama pada hari Jum'at adalah bid'ah."
Makna ini tidak dapat dibawa kepada makna adzân tatkala khatîb telah duduk di mimbar.
Oleh karena itu, pada masalah adzân awwal yang berkaitan dengan waktu fajar yang dimaksud adalah adzân sebelum masuk waktu Shubuh. Ketika di suatu masjid dihidupkan sunnah adzân sebelum masuk waktu fajar maka hendaklah diikutkan padanya lafazh:

الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنْ النَّوْمِ، الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنْ النَّوْمِ 

Adapun kalau di suatu masjid tidak dihidupkan sunnah adzân sebelum fajar, sebagaimana kita saksikan pada kebanyakan masjid kaum Muslimîn maka hendaklah lafazh tersebut diserukan pada adzân Shubuh sehingga dapat berlaku padanya apa yang disebutkan pada hadîts tadi:

بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ

"Di antara dua adzân." Yaitu dapat dimaksudkan adzân Shubuh dan iqâmah, Wallâhu A'lam.

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada malam Rabu 15 Dzulhijjah 1441 / 5 Agustus 2020 di Maktabah Al-Khidhir Bekasi.



Senin, 03 Agustus 2020

HIKMAH MENYAMPAIKAN KHUTBAH JUM'AT




Kita terkadang tidak menyangka dengan sebab khutbah Jum'at yang kita sampaikan itu menjadi penyebab orang lain tertarik kepada Islâm dan Sunnah lalu beramal dengannya. 

Faedah Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh setelah dari khutbah Jum'at di masjid Nurul I'tisham Kranji pada tanggal 20 Rabî'ul Ãkhir 1440 Hijriyyah / 28 Desember 2018 Masehi.