Selasa, 29 Desember 2020

KEBAIKAN DI ATAS KEBAIKAN




Kebaikan di atas kebaikan adalah bersabar menghadapi mushîbah dalam menuntut ilmu, berkata Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

مَنْ يُرِدِ اللّٰهُ بِهِ خَيْرًا يُصِبْ مِنْهُ

"Barangsiapa yang Allâh inginkan kebaikan kepadanya maka Allâh akan menimpakan mushîbah kepadanya." Riwayat Al-Bukhârî.
Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam juga berkata:

مَنْ يُرِدِ اللّٰهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ

"Barangsiapa yang Allâh inginkan kebaikan kepadanya maka Allâh akan memahamkan kepadanya tentang agama." Riwayat Al-Bukhârî secara ta'lîq dan Muslim.

Fâidah dari Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada hari Selasa tanggal 14 Jumâdal Úlâ 1442 / 29 Desember 2020 di Rawalumbu Bekasi.

Sabtu, 26 Desember 2020

BERSABAR TERHADAP YANG TELAH TIADA DAN BERSYUKUR TERHADAP YANG MASIH ADA


Suatu kejadian yang membuatku sedih, tatkala aku mendapatkan berita tentang kematian ayahku Rahmatullâh 'Alaih, dan tentang matinya kambing-kambing dan domba-dombaku kemudian disusul matinya sebagian entok dan ayam-ayam kampung serta sepasang ayam hias milikku. Namun aku tetap bersyukur kepada Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ, karena ayahku memiliki putera-puteri yang beliau mencintai mereka sebagaimana mencintaiku, maka aku mencintai mereka pula sebagaimana ayahku mencintai mereka, Alhamdulillâh aku masih bisa silaturrahim kepada mereka sebagaimana aku silaturrahim kepada ayahku semasa hidupnya. Aku bersyukur pula karena ayahku masih memiliki saudara-saudari dan kawan-kawan yang aku masih bisa untuk memuliakan mereka. Pernah seseorang dari Banî Salamah bertanya kepada Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

 يَا رَسُولَ اللَٰهِ هَلْ بَقِىَ مِنْ بِرِّ أَبَوَىَّ شَىْءٌ أَبَرُّهُمَا بِهِ بَعْدَ مَوْتِهِمَا؟ قَالَ: نَعَمِ الصَّلاَةُ عَلَيْهِمَا وَالاِسْتِغْفَارُ لَهُمَا وَإِنْفَاذُ عَهْدِهِمَا مِنْ بَعْدِهِمَا وَصِلَةُ الرَّحِمِ الَّتِى لاَ تُوصَلُ إِلاَّ بِهِمَا وَإِكْرَامُ صَدِيقِهِمَا

"Wahai Rasûlullâh, apakah masih ada sesuatu dari berbuat baik kepada kedua orang tuaku, yang aku akan berbuat baik dengannya kepada keduanya setelah keduanya wafat? Beliau menjawab: "Iya, mendoakan rahmat untuk keduanya, memohon ampunan untuk keduanya, mewujudkan janji keduanya setelah wafat keduanya, menjalin hubungan kekeluargaan yang itu tidak terhubung kecuali dengan keduanya dan memuliakan kawan-kawan keduanya." Riwayat Abû Dâwud. 

Aku juga tetap bersyukur kepada Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ, karena masih tersisa hewan-hewan ternakku yang aku masih bisa berbuat baik dan memperhatikannya, semoga Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ memberiku balasan pahala, kebaikan dan keberkahan. Sungguh telah bertanya sebagian para Shahabat kepada Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

يَا رَسُولَ اللّٰهِ، وَإِنَّ لَنَا فِي الْبَهَائِمِ أَجْرًا

"Wahai Rasûlullâh, apakah bagi kami pahala dalam berbuat baik kepada binatang ternak?." 
Maka Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam menjawab: 

فِي كُلِّ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ

"Berbuat baik pada setiap yang memiliki hati itu berpahala." Riwayat Al-Bukhârî. 

Fâidah dari Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada hari Sabtu tanggal 11 Jumâdil Awwal 1442 / 26 Desember 2020 di Dârul Qur'ãn wal Hadîts Bekasi.

Jumat, 25 Desember 2020

BERNADZAR UNTUK MENTHALÂQ

Pertanyaan:
Saya mau bertanya Ustâdz, pernah suatu hari ketika saya bertengkar sama isteri terus terucap: "Kalau saya jual rumah ini kita cerai saja dengan nada keras dan berdoa juga menengadahkan ke dua tangan saya." Anak yang besar sampai menangis melihat kami bertengkar. Sekarang rumah kami mau dijual karena mau pindah rumah beda kabupaten, supaya tidak kontrak rumah. Apakah yang kami lakukan ini jatuh juga thalâq? Atau bagaimana yâ Ustâdz? 
Mohon jawabannya, karena ucapan thalâq tersebut yang ke tiga kalau jatuh thalâqnya.

Jawaban:
Itu tidak teranggap sebagai thalâq, karena yang dianggap thalâq yaitu diucapkan di waktu itu, tidak menunggu waktu akan datang. Yang terjadi itu semisal dengan bernadzar, dan itu tidak boleh diwujudkan karena akan merusak hubungan dan kekeluargaan, disebutkan di dalam hadîts yang shahîh lighairih:

لَا نَذْرَ فِي مَعْصِيَةٍ، وَكَفَّارَتُهُ كَفَارَةُ الْيَمِينِ

"Tidak ada nadzar dalam kemaksiatan, dan kaffârahnya adalah kaffârah sumpah."

Semoga Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ memperbaiki keadaan kita dan menjaga keluarga kita semua.

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada hari Sabtu tanggal 11 Jumâdil Awwal 1442 / 26 Desember 2020 di Dârul Qur'ãn wal Hadîts Bekasi.

Selasa, 15 Desember 2020

DOA YANG PALING BANYAK DIUCAPKAN OLEH NABIUTTAUBAH SHALLALLÂHU 'ALAIHI WA SALLAM


يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ
 
“Wahai Yang Maha Membolak-balikkan hati, kokohlah hatiku di atas agama-Mu.” Riwayat Ahmad dan At-Tirmidzî. 

Terkadang seseorang awal menuntut ilmu niatnya bukan karena Allâh 'Azza wa Jalla, namun tatkala dia terus menerus menuntut ilmu dan senantiasa berdoa supaya Allâh Tabâraka wa Ta'âlâ mengokohkan hatinya di atas agama dan ketaatan maka Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ menolongnya dan memberikan taufîq kepadanya dalam keikhlâshan menuntut ilmu.

Fâidah Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada kajian "Tadzkiratussâmi'" hari Senin Dhuhâ tanggal 28 Rabî'uts Tsânî 1442 / 14 Desember 2020 di Dârul Qur'ãn wal Hadîts Bekasi.

PERBANYAKLAH BERDOA SEBAGAIMANA PARA SHAHABAT TELAH MEMPERBANYAK DALAM BERDOA


Jangan pernah menganggap bahwa doamu selama ini tidak dikabulkan, sungguh Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ mengabulkan doamu, hanya saja Allâh Tabâraka wa Ta'âlâ mewujudkannya kepadamu di saat yang tepat bagimu, berkata Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ، وَلاَ قَطِيعَةُ رَحِمٍ، إِلاَّ أَعْطَاهُ اللَّهُ بِهَا إِحْدَى ثَلاَثٍ: إِمَّا أَنْ تُعَجَّلَ لَهُ دَعْوَتُهُ، وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِي الآخِرَةِ، وَإِمَّا أَنْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا 

“Tidaklah ada dari seorang muslim yang berdoa dengan suatu doa yang tidak ada padanya dosa dan tidak pula ada pemutusan tali kekeluargaan, kecuali Allâh akan memberikannya dengan salah satu dari tiga berikut, yaitu: Allâh akan mengabulkannya dengan segera, atau Allâh akan mengakhirkan untuknya di akhirat atau Allâh akan memalingkannya dari keburukan yang semisalnya." Riwayat Ahmad.

Fâidah dari Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada malam Senin tanggal 28 Rabî'uts Tsânî 1442 / 14 Desember 2020 di Dârul Qur'ãn wal Hadîts Bekasi.

Minggu, 13 Desember 2020

AKHIR PENCARIANKU ADALAH HUSNUL KHÂTIMAH


Akhir pencarianku adalah husnul khâtimah, dan orang yang terbaik bagiku adalah orang yang husnul khâtimah, bagaimanapun keadaannya, tatkala dia husnul khâtimah maka aku bergembira dengannya. Pernah Khâlid bin Walîd Radhiyallâhu 'Anhu ikut merajam seorang wanita yang terjatuh ke dalam perbuatan zina, tatkala beliau sedang merajamnya, ternyata darah dari wanita itu mengenai beliau, lalu beliau mencelanya, maka Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam berkata:

مَهْلاً يَا خَالِدُ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ تَابَهَا صَاحِبُ مَكْسٍ لَغُفِرَ لَهُ

"Jangan tergesa-gesa mencela wahai Khâlid, demi Yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh benar-benar ia telah bertaubat, kalaulah seorang pemungut pajak bertaubat dengan taubat seperti wanita itu maka pasti diberi ampunan."
Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ menjadikan wanita tersebut husnul khâtimah karena ia memasrahkan dirinya untuk ditegakkan hukum Allâh kepadanya, ia siap dirajam karena itu penebus dari perbuatannya berzina, iapun mati dalam keadaan husnul khâtimah. 
Yâ Allâh jadikanlah husnul khâtimah kepadaku dan kepada siapa saja yang mencintaiku karena Engkau.

Fâidah Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada hari Ahad tanggal 27 Rabî'uts Tsânî 1442 / 13 Desember 2020 di Dârul Qur'ãn wal Hadîts Bekasi.

Senin, 02 November 2020

MENGQADHÂ SHALAT TAHAJJUD

Pertanyaan:
Ustâdz, 'afwân izin bertanya, apakah qadhâ tahajjud boleh dilakukan oleh orang yang terbiasa melakukannya atau yang sesekali melakukannya? Misal ada orang yang tahajjud sepekan dua sampai tiga kali, lalu ada satu hari terluput dan sudah niat ingin tahajjud tapi sudah masuk waktu Shubuh, atau tertidur atau ada hal lain yang menghalanginya untuk tahajjud di waktu tersebut. Apakah tetap diperbolehkan qadhâ? Syukrân. Jazâkallâhu khairan. 

Jawaban:
Tatkala seseorang sudah niat untuk tahajjud lalu ada suatu halangan baginya atau dia tertidur darinya maka boleh baginya untuk mengqadhânya sebagai perwujudan niatnya, walaupun dia tidak rutin melakukan tahajjud, karena keumuman perkataan Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ:

وَأَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ لِذِكۡرِیۤ

"Maka laksanakanlah shalat untuk mengingat-Ku." [Surat Thâhâ: 14].

Dijawab oleh: 
Al-Ustâdz Abû Ahmad Al-Khidhir Hafizhahullâh pada hari Senin 16 Rabî'ul Awwal 1442 / 2 November 2020 di Dârul Qur'ãn wal Hadîts Bekasi.

Minggu, 01 November 2020

MELAKUKAN PUASA-PUASA SUNNAH SELURUHNYA

Pertanyaan:
Seseorang yang sudah tua ingin menyambung puasa-puasa Sunnah seperti puasa Senin dan Kamis disambung dengan puasa Dâwud dan puasa Ayyâmul Bidh, apakah benar itu tidak boleh?

Jawaban:
Yang tidak boleh bagi seseorang kalau dia berpuasa terus menerus setiap hari, 'Abdullâh bin 'Amr Radhiyallâhu 'Anhumâ pernah berpuasa setiap hari, lalu dianjurkan oleh Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam untuk puasa 3 hari dalam sebulan (Ayyâmul Bidh), beliau katakan mampu lebih dari itu, lalu dianjurkan untuk puasa Senin dan Kamis, beliau katakan mampu lebih dari itu, lalu dianjurkan untuk puasa sehari dan berbuka sehari (puasa Dâwud), Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam katakan:

صُمْ أَفْضَلَ الصِّيَامِ عِنْدَ اللَّهِ صَوْمَ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ

"Puasalah kamu dengan seutama-utama puasa di sisi Allâh yaitu puasa Dâwud 'Alaihis Salâm."

Lalu 'Abdullâh bin 'Amr Radhiyallâhu 'Anhumâ puasa Dâwud di masa mudanya, namun tatkala sudah tua, beliaupun berkata:

يَا لَيْتَنِي أَخَذْتُ بِالرُّخْصَةِ

"Aduhai kiranya aku dahulu mengambil keringanan."
Yakni tidak memperbanyak berpuasa Sunnah supaya di masa tua dapat memperbanyak puasa-puasa Sunnah, karena seakan-akan kekuatannya untuk berpuasa Sunnah telah terhabiskan di masa mudanya. 

Tatkala seseorang sudah tua dan dia ingin memperbanyak berpuasa dengan mengurutkan puasa-puasa Sunnah seperti puasa Dâwud dengan puasa Senin dan Kamis atau dengan puasa Ayyâmul Bidh maka ini boleh baginya, karena yang terlarang adalah bagi orang yang berpuasa setiap hari, Wallâhu A'lam.

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada malam Senin 16 Rabî'ul Awwal 1442 / 2 November 2020 di Dârul Qur'ãn wal Hadîts Bekasi.

Kamis, 15 Oktober 2020

KETENANGAN YANG BERKESINAMBUNGAN


Pertanyaan:
Ustâdz apakah tepat kita memulai hafalan Al-Qur'ãn dari surah Al-Baqarah terlebih dahulu dan sambil diselingkan hafalan Juz 'Amma? Karena saya memulai hafalan dari surah Al-Baqarah dan Juz 'Amma hanya dimurâja'ah saja waulupun tidak hafal sebagian.  Mana yang lebih baik bagi saya Ustâdz dan apa nasehat Ustâdz bagi orang yang enggan atau dia futur dari menghafal Al-Qur'ãn? Mohon faedahnya.

Jawaban:
Hendaklah bagi yang menghafal Al-Qur'ãn memulai hafalannya dengan yang termudah baginya dalam menghafalnya, berkata Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ:

فَٱقۡرَءُوا۟ مَا تَیَسَّرَ مِنَ ٱلۡقُرۡءَانِ

"Bacalah oleh kalian terhadap apa yang mudah dari Al-Qur'ãn." 
Masih dalam kelanjutan ayat ini, Allâh 'Azza wa Jalla katakan pula:

فَٱقۡرَءُوا۟ مَا تَیَسَّرَ مِنۡهُ

"Maka bacalah oleh kalian terhadap apa yang mudah dari Al-Qur'ãn." [Surat Al-Muzzammil: 20].
Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam tatkala memulai menghafal Al-Qur'ãn dari mengikuti bacaan Jibrîl 'Alaihish Shalâtu was Salâm, beliau dibacakan bukan satu surat penuh, namun dibacakan beberapa ayat dari permulaan surat Al-'Alaq, ini bertujuan supaya lebih mudah dibaca dan dihafal:

وَقَالَ ٱلَّذِینَ كَفَرُوا۟ لَوۡلَا نُزِّلَ عَلَیۡهِ ٱلۡقُرۡءَانُ جُمۡلَةࣰ وَ ٰ⁠حِدَةࣰۚ كَذَ ٰ⁠لِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِۦ فُؤَادَكَۖ وَرَتَّلۡنَـٰهُ تَرۡتِیلࣰا

"Berkata orang-orang kâfir: Mengapa Al-Qur’ãn itu tidak diturunkan kepadanya dengan sekali turun saja?" Demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya secara tartîl (teratur)." [Surat Al-Furqân: 32].
Dan yang dapat kita nasehatkan, hendaklah kita menyibukkan diri dengan Al-Qur'ãn pada setiap memasuki hari kita dan melewatinya, dengan sebab itu kita akan selalu mendapatkan petunjuk dan meraih ketenangan yang berkesinambungan:

إِنَّ هَـٰذَا ٱلۡقُرۡءَانَ یَهۡدِی لِلَّتِی هِیَ أَقۡوَمُ وَیُبَشِّرُ ٱلۡمُؤۡمِنِینَ ٱلَّذِینَ یَعۡمَلُونَ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ أَنَّ لَهُمۡ أَجۡرࣰا كَبِیرࣰا

"Sesungguhnya Al-Qur’ãn ini memberikan petunjuk kepada jalan yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang beriman yang mengerjakan amal shâlih bahwa bagi mereka pahala yang besar." [Surat Al-Isrâ': 9].

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir pada hari Rabu 14 Oktober 2020 / 26 Shafar 1442 di Dârul Qur'ãn wal Hadîts Bekasi.

Sabtu, 10 Oktober 2020

SEBAB-SEBAB MERAIH KETENANGAN DAN KETENTERAMAN


1. Bertaqwâ dan beriman. 
Berkata Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ:

فَأَنزَلَ ٱللَّهُ سَكِینَتَهُۥ عَلَىٰ رَسُولِهِۦ وَعَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِینَ وَأَلۡزَمَهُمۡ كَلِمَةَ ٱلتَّقۡوَىٰ وَكَانُوۤا۟ أَحَقَّ بِهَا وَأَهۡلَهَاۚ 

"Lalu Allâh menurunkan ketenangan kepada Rasûl-Nya, dan kepada orang-orang beriman, Allâh mewajibkan kepada mereka kalimat taqwâ, keberadaan mereka berhak dengan kalimat taqwâ itu dan patut memilikinya." [Surat Al-Fath: 26]. 

2. Bertauhîd
Berkata Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ:

ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ وَلَمۡ یَلۡبِسُوۤا۟ إِیمَـٰنَهُم بِظُلۡمٍ أُو۟لَـٰۤىِٕكَ لَهُمُ ٱلۡأَمۡنُ وَهُم مُّهۡتَدُونَ

"Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan suatu kezhaliman, mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk." [Surat Al-An'âm: 82].
Kezhaliman yang dimaksud pada ayat adalah kesyirikan, Al-Bukhârî dan Muslim telah meriwayatkan:

عَنْ وَكِيعٍ عَنِ الأَعْمَشِ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ عَلْقَمَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ لَمَّا نَزَلَتْ: {الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ} شَقَّ ذَلِكَ عَلَى أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالُوا أَيُّنَا لاَ يَظْلِمُ نَفْسَهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَيْسَ هُوَ كَمَا تَظُنُّونَ إِنَّمَا هُوَ كَمَا قَالَ لُقْمَانُ لاِبْنِهِ: يَا بُنَيَّ لاَ تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

"Dari Wakî' dari Al-A'masy dari Ibrâhîm dari 'Alqamah dari 'Abdullâh (yakni Ibnu Mas'ûd), beliau berkata: "Tatkala turun ayat: "Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan suatu kezhaliman." Merasa berat atas itu para Shahabat Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam, mereka berkata: "Siapa di antara kami yang tidak menzhalimi dirinya?." Berkata Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam: "Bukanlah itu seperti yang kalian sangka, akan tetapi itu seperti yang dikatakan oleh Luqmân kepada puteranya: "Wahai puteraku janganlah kamu menyekutukan Allâh, karena menyekutukan Allâh benar-benar kezhaliman yang besar."

3. Taat dan patuh kepada Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam.
Berkata Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ:

لَّقَدۡ رَضِیَ ٱللَّهُ عَنِ ٱلۡمُؤۡمِنِینَ إِذۡ یُبَایِعُونَكَ تَحۡتَ ٱلشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِی قُلُوبِهِمۡ فَأَنزَلَ ٱلسَّكِینَةَ عَلَیۡهِمۡ وَأَثَـٰبَهُمۡ فَتۡحࣰا قَرِیبࣰا

"Sesungguhnya Allâh telah ridhâ terhadap orang-orang beriman ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, Allâh mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat waktunya." [Surat Al-Fath: 18].

4. Menjauhi ketidaktenangan dan tempat-tempatnya.
Berkata Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

سَتَكُونُ فِتَنٌ الْقَاعِدُ فِيهَا خَيْرٌ مِنَ الْقَائِمِ، وَالْقَائِمُ خَيْرٌ مِنَ الْمَاشِي، وَالْمَاشِي فِيهَا خَيْرٌ مِنَ السَّاعِي، مَنْ تَشَرَّفَ لَهَا تَسْتَشْرِفْهُ، فَمَنْ وَجَدَ مَلْجَأً أَوْ مَعَاذًا فَلْيَعُذْ بِهِ

"Akan ada berbagai macam fitnah, orang yang duduk padanya itu lebih baik daripada orang yang berdiri, orang yang berdiri itu lebih baik daripada orang yang berjalan, orang yang berjalan padanya itu lebih baik daripada orang yang berlari. Orang yang mendekat kepadanya maka dia akan terjerumus ke dalamnya, barangsiapa mendapati tempat bernaung atau tempat berlindung maka hendaklah dia berlindung darinya." Riwayat Al-Bukhârî.

5. Mencari ilmu.
Berkata Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ

"Barangsiapa menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu maka Allâh memudahkannya baginya jalan menuju Surga, dan tidaklah berkumpul suatu kaum di suatu rumah dari rumah-rumah Allâh, mereka membaca Kitâbullâh dan saling mengajarkannya kecuali Allâh akan turunkan ketenangan kepada mereka, Dia akan melimpahkan rahmat kepada mereka, para malaikat akan menaungi mereka dan Allâh akan menyebut-nyebut mereka ke siapa saja yang ada di sisi-Nya." Riwayat Muslim. 

6. Bertanya kepada orang berilmu
Cukup kisah pembunuh 100 jiwa sebagai pelajaran, bahwasanya dirinya tidak merasa tenang karena dosa besarnya membunuh 100 jiwa, hingga beliau bertanya kepada orang berilmu. Dengan sebab itu beliau memperoleh ketenangan dan mendapatkan ampunan, kemudian khatîb (yakni Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir) menceritakan kisahnya yang diriwayatkan oleh Al-Bukhârî dan Muslim. 
Berkata Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ:

فَسۡـَٔلُوۤا۟ أَهۡلَ ٱلذِّكۡرِ إِن كُنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ

"Maka bertanyalah kalian kepada orang-orang berilmu jika kalian tidak mengetahui." [Surat An-Nahl: 43]. 
Dan Berkata Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ:

وَإِذَا جَاۤءَهُمۡ أَمۡرࣱ مِّنَ ٱلۡأَمۡنِ أَوِ ٱلۡخَوۡفِ أَذَاعُوا۟ بِهِۦۖ وَلَوۡ رَدُّوهُ إِلَى ٱلرَّسُولِ وَإِلَىٰۤ أُو۟لِی ٱلۡأَمۡرِ مِنۡهُمۡ لَعَلِمَهُ ٱلَّذِینَ یَسۡتَنۢبِطُونَهُۥ مِنۡهُمۡۗ

"Apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, lalu mereka menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasûl dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya dapat mengetahuinya dari Rasûl dan Ulil Amri itu." [Surat An-Nisâ': 83]. 

7. Berdzikir.
Berkata Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ:

ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ وَتَطۡمَىِٕنُّ قُلُوبُهُم بِذِكۡرِ ٱللَّهِۗ أَلَا بِذِكۡرِ ٱللَّهِ تَطۡمَىِٕنُّ ٱلۡقُلُوبُ

"Orang-orang yang beriman dalam keadaan tenang hati mereka karena berdzikir kepada Allâh, ketahuilah hanya dengan berdzikir kepada Allâh hati menjadi tenang." [Surat Ar-Ra'd: 28].

Diringkas dari khutbah Jum'at Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada 23 Shafar 1442 / 9 Oktober 2020 di Masjid Al-Kautsar Kp Tenggilis Mustikajaya Bekasi.

Minggu, 13 September 2020

MENGETAHUI KEBENARAN DAN MENGAMALKANNYA

Tidak mau tahu tentang kebenaran atau berpaling dari kebenaran, berakibat mendapatkan kesempitan dada atau kesempitan hidup, berkata Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ:

وَمَنۡ أَعۡرَضَ عَن ذِكۡرِی فَإِنَّ لَهُۥ مَعِیشَةࣰ ضَنكࣰا وَنَحۡشُرُهُۥ یَوۡمَ ٱلۡقِیَـٰمَةِ أَعۡمَىٰ

"Barangsiapa berpaling dari kitâb-Ku maka sungguh baginya penghidupan yang sempit dan pada hari Kiamat kami akan menghimpunnya pada hari Kiamat dalam keadaan buta." [Surat Tha-Ha 124]. 
Sedangkan berupaya untuk mengetahui kebenaran lalu mengamalkannya, maka akan mendapatkan ujian yang setelahnya akan memperoleh kekokohan dan kebaikan, berkata Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُصِبْ مِنْهُ

"Barangsiapa yang Allâh inginkan kebaikan kepadanya maka Allâh akan memberikan ujian kepadanya." Riwayat Al-Bukhârî.

Fâidah dari Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada malam Senin tanggal 26 Muharram 1442 / 14 September 2020 di Dârul Qur'ãn wal Hadîts Bekasi.

Senin, 17 Agustus 2020

UNTUKMU PARA PEMUDA-PEMUDI MUSLIM


Fitrah seorang pria adalah butuh terhadap wanita, kesempurnaan dan kebahagian hidup yang dia peroleh akan terasa kurang bila tanpa ada wanita yang menjadi pendamping hidupnya. Dahulu ayah kita Ãdam 'Alaihish Shalâtu was Salâm dalam keadaan paling sempurna, beliau hidup di dalam Surga yang penuh keni'matan, namun ternyata beliau membutuhkan pula pendamping hidup yaitu ibu kita Hawâ Radhiyallâhu 'Anhâ, berkata Allâh 'Azza wa Jalla kepada Ãdam 'Alaihish Shalâtu was Salâm:

وَقُلۡنَا یَـٰۤـَٔادَمُ ٱسۡكُنۡ أَنتَ وَزَوۡجُكَ ٱلۡجَنَّةَ وَكُلَا مِنۡهَا رَغَدًا حَیۡثُ شِئۡتُمَا 

"Kami berkata: "Wahai Ãdam, menetaplah kamu dan isterimu di dalam Surga, dan makanlah dari  makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai." [Surat Al-Baqarah: 35].

Dari nasehat Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada hari Selasa pagi 28 Dzulhijjah 1441 / 18 Agustus 2020 di Maktabah Al-Khidhir Bekasi untuk saudara-saudarinya para pemuda-pemudi Muslim.




Kamis, 13 Agustus 2020

TEMPAT DOA ISTIKHÂRAH

Pertanyaan:
Apakah doa shalat istikhârah itu dibaca setelah rukû sebagaimana doa qunut witir? 

Jawaban:
Doa istikhârah dibaca setelah salâm, sebagaimana yang disebutkan di dalam hadîts yang diriwayatkan oleh Al-Bukhârî dari Jâbir bin 'Abdillâh 'Anhumâ:

فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ يَقُولُ

"Hendaklah dia shalat dua raka’at kemudian dia mengucapkan doa..."
Ini menunjukkan bahwa pembacaan doanya setelah pelaksanaan shalat dua raka'at tersebut.

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada hari Jum'at 24 Dzulhijjah 1441 / 14 Agustus 2020 di Maktabah Al-Khidhir Bekasi.

Rabu, 12 Agustus 2020

MENYOAL PERAYAAN MAULID


Pertanyaan:
Ustâdz, apa keutamaan merayakan maulid?

Jawaban:
Tidak ada keutamaan pada perayaan maulid, yang ada keutamaannya adalah puasa pada hari Senin yang merupakan hari kelahiran Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam, beliau berkata tentang puasa hari Senin:

ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ

"Itu adalah hari yang aku dilahirkan padanya." Riwayat Al-Bukhârî dari Abû Qatâdah Al-Anshârî Radhiyallâhu 'Anhu.

Adapun perayaan maulid maka itu tidak ada dalilnya, bahkan itu merupakan pengikutan terhadap ajaran yang dibuat oleh 'Ubaidullâh bin Maimûn Al-Qaddâh, kakeknya adalah Yahûdî, lalu dia menisbatkan dirinya secara dusta bahwa dia termasuk Ahlul Bait, kemudian mengaku sebagai Imam Mahdî, yang hakekatnya dia ini adalah pimpinan sekte Bathiniyyah, telah berkata Ibnu Katsîr Rahimahullâh tentang orang ini:

ﻭَﻛَﺎﻥَ ﻳَﻬُﻮْﺩِﻳًّﺎ، ﻓَﺪَﺧَﻞَ ﺑِﻼَﺩَ ﺍﻟْﻤَﻐْﺮِﺏِ ﻭَﺗُﺴَﻤَّﻰ ﺑِﻌُﺒَﻴْﺪِ ﺍﻟﻠَّﻪِ، ﻭَﺍﺩَّﻋَﻰ ﺃَﻧَّﻪُ ﺷَﺮِﻳْﻒُ ﻋَﻠْﻮِﻱٍّ ﻓَﺎﻃِﻤِﻲٍّ، ﻭَﻗَﺎﻝَ ﻋَﻦْ ﻧَﻔْﺴِﻪِ ﺇِﻧَّﻪُ ﺍﻟْﻤَﻬْﺪِﻱُّ

"Dahulunya dia adalah Yahûdî, lalu dia datang ke negri Maghribi kemudian dia menamai dirinya dengan 'Ubaidullâh, dia mengaku bahwa dirinya adalah Syarîf 'Alwî Fâthimî. Dan dia berkata tentang dirinya bahwasanya dia adalah Al-Mahdî."

Dialah yang mengadakan acara maulid, karena sudah menjadi kebiasaan orang-orang Yahûdî, bila mereka kagum terhadap suatu hari maka mereka adakan sebagai hari raya, orang-orang Yahûdî di zaman Amîrul Mu'minîn 'Umar Ibnul Khaththâb Radhiyallâhu 'Anhu pernah berkata:

يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ لَوْ أَنَّ عَلَيْنَا نَزَلَتْ هَذِهِ الآيَةُ: الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا لاَتَّخَذْنَا ذَلِكَ الْيَوْمَ عِيدًا

"Wahai Amîrul Mu'minîn kalau seandainya ayat ini turun kepada kami: "Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagi kalian agama kalian dan Aku cukupkan bagi kalian nikmat-Ku serta Aku ridhai Islâm sebagai agama kalian." Sungguh kami akan jadikan hari tersebut sebagai hari raya."
Maka Amîrul Mu'minîn 'Umar Ibnul Khaththâb Radhiyallâhu 'Anhu berkata:

إِنِّي لأَعْلَمُ أَيَّ يَوْمٍ نَزَلَتْ هَذِهِ الآيَةُ، نَزَلَتْ يَوْمَ عَرَفَةَ فِي يَوْمِ جُمُعَةٍ

"Sesungguhnya aku benar-benar mengetahui hari turunnya ayat ini, yaitu turun pada hari 'Arafah pada hari Jum'at." Riwayat Al-Bukhârî. 

Allâh Tabâraka wa Ta'âlâ turunkan bertepatan dengan hari raya Islâm, yaitu hari Jamâ'ah haji berkumpul di 'Arafah pada hari Jum'at. 

Ikhwânî Fiddîn Rahimahumullâh, apa yang dibuat dan diada-adakan oleh anak Yahûdî 'Ubaidullâh bin Maimûn Al-Qaddâh benar-benar diikuti oleh sebagian manusia pada umat ini, padahal jelas tujuannya untuk merubah dan menjadikan agama ini semisal dengan agama mereka yang mereka telah memberikan banyak tambahan kepada agama mereka, di kalangan mereka ada acara kelahiran nabi mereka, ada acara kelahiran 'Îsâ Al-Masîh dan acara-acara lainnya. Oleh karena itu kita ingatkan kembali kepada setiap orang muslim bahwa Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ telah katakan:

وَلَنْ تَرْضَىٰ عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ

"Orang-orang Yahudi dan Nashârâ tidak akan suka kepadamu sampai kamu mengikuti agama mereka." [Surat Al-Baqarah: 120].

Dijawab oleh: 
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir pada hari Selasa 19 Rabî'ul Awwal 1440 / 27 November 2018. 

⛵️ http://alkhidhir.com/aqidah/menyoal-perayaan-maulid/
⛵️ https://t.me/majaalisalkhidhir/2318



Jumat, 07 Agustus 2020

HUBUNGAN KEKERABATAN ANTARA USTÂDZ SA'ÎD AL-LIMBÔRÎ DENGAN AL-KHIDHIR


Pertanyaan:
Ada Ustâdz di Riau, nisbahnya juga Al-Limbôrî, Ustâdz Sa'îd namanya, apakah Syaikh Muhammad kenal beliau?

Jawaban:
Beliau masih memiliki hubungan kekerabatan dengan kami. Buyut ayahnya menikah dengan buyut ayah kami. Adapun beliau adalah Sa'îd bin Muhammad Kudto bin Wa 'Atimah bintu Wa Sumaini. Sedangkan kami adalah Muhammad Al-Khidhir bin Salîm bin Siti Hâwiyah bintu La Bisana.
Buyut ayahnya Wa Sumaini adalah seorang janda yang memiliki seorang anak bernama Wa 'Atimah. Kemudian buyut ayah kami La Bisana menikah dengan Wa Sumaini, dari pernikahan keduanya lahirlah Siti Hâwiyah ibu ayah kami.

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada malam Sabtu 18 Dzulhijjah 1441 / 8 Agustus 2020 di Maktabah Al-Khidhir Bekasi.


Alhamdulillâh guru kita Al-Ustâdz Abul 'Abbâs Harmîn Rahmatullâh 'Alainâ wa 'Alaih meninggalkan untuk kita ilmu berupa beberapa karya tulis, di antara buku Hubungan Antara Tauhîd dengan 'Aqîdah. Semoga keberadaan buku ini dapat bermanfaat sebagaimana buku-buku beliau yang lainnya.

Kamis, 06 Agustus 2020

ANAK KETURUNAN DAN KERABAT LA BISANA


Penduduk Limboro dan beberapa kampung tetangga Limboro hampir semua memiliki hubungan kekerabatan dengan La Bisana, beliau di samping menjadi tokoh terhormat, beliau juga menjadi guru ngaji untuk penduduk Limboro dan sekitarnya.

Jalur kekerabatan beliau

Beliau menikah dengan Wa Sumaini, sedangkan Wa Sumaini adalah seorang janda yang memiliki anak bernama Wa 'Atimah. Anak keturunan Wa 'Atimah ini sangat banyak, kebanyakannya di kampung Limboro, ada pula di Ambon, di Masohi, di Sorong, di Malang, di Riau, di Pangkep. Salah seorang anak perempuan Wa 'Atimah bernama Wa 'Ajaulu menikah di kampung Temi dan memiliki keturunan yang banyak, mereka semua mengakui bahwa La Bisana adalah leluhur mereka karena telah memelihara nenek moyang mereka.

Jalur Keturunan Beliau

La Bisana menikah dengan Wa Sumaini dikaruniai dua orang anak, yaitu Ãdam dan Siti Hâwiyah. 

Dari keturunan Ãdam bin La Bisana

Ãdam memiliki 3 orang anak yaitu:
1) Sumailah, beliau berketurunan di kampung Erang.
2) Wa Hadîdah, beliau berketurunan di Limboro.
3) Wa Cari, beliau berketurunan di kampung Losi-Hatawano.

Dari keturunan Siti Hâwiyah

Siti Hâwiyah menikah dengan orang kampung Talaga yang bernama Subhanî, dari pernikahannya lahir 3 orang anak perempuan:
1) Wa Aluwiyyah, beliau berketurunan di Limboro dan di Talaga.
2) Wa Ndete, beliau berketurunan di Limboro, di kampung Erang dan di Asilulu.
3) Wa Alimah, beliau tidak berketurunan.

Siti Hâwiyah dikaruniai hanya 3 orang dalam pernikahannya dengan Subhanî, kemudian beliau dinikahkan dengan seorang pemuda yang merupakan murid La Bisana yang bernama Syahdiah bin La Wionde.
Dari pernikahan ini lahirlah empat orang anak, yaitu:
1) Salîm, beliau berketurunan di Limboro, kampung Nasiri, Ambon, Bekasi dan Jambi.
2) Hasan, beliau berketurunan di Waihoho, Kawa dan Ketapang.
3) Wa Arina, beliau berketurunan di Limboro, Nasiri dan Ambon.
4) Wa Eno, beliau berketurunan di kampung Temi dan Ambon.

Selasa, 04 Agustus 2020

MENYOAL ADZÂN PERTAMA FAJAR


Pertanyaan:
Ustâdz, mau bertanya tentang adzân yang lafazh:

الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنْ النَّوْمِ، الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنْ النَّوْمِ 

Yang artinya: "Shalat lebih baik daripada tidur, shalat lebih baik daripada tidur." 
Apakah itu shahîh? Lalu yang benarnya pada waktu kapan pelafazhannya? 

Jawaban:
Lafazh tersebut shahîh sebagaimana yang diriwayatkan oleh An-Nasâ’î dan Abû Dâwud dari Abû Mahdzûrah Radhiyallâhu 'Anhu, beliau berkata:

كُنْتُ أُؤَذِّنُ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكُنْتُ أَقُولُ فِي أَذَانِ الْفَجْرِ الأَوَّلِ حَىَّ عَلَى الْفَلاَحِ، الصَّلاَةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ، الصَّلاَةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ

"Dahulu aku adzân pada Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam, aku mengucapkan pada adzân Shubuh yang pertama: Hayyâ 'alal falâh: "Ashshalâtu khairum minannaum, ashshalâtu khairum minannaum."

'Abdullâh bin 'Umar Radhiyallâhu 'Anhumâ mempersaksikan pula atas lafazh tersebut, beliau berkata:

كَانَ فِي الْأَذَانِ الْأَوَّلِ بَعْدَ الْفَلَاحِ: الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنْ النَّوْمِ، الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنْ النَّوْمِ 

"Dahulu pada adzân yang pertama setelah pengucapan Hayyâ 'alal falâh: "Ashshalâtu khairum minannaum, ashshalâtu khairum minannaum."
Adapun menyerukannya yaitu di waktu adzân fajar, dan para 'ulamâ berbeda pendapat, sebagian mereka mengatakan sebelum waktu fajar dan sebagian mereka berkata setelah masuk waktu fajar yakni pada adzân Shubuh. 
Yang menjadi perbedaan pendapat di kalangan mereka adalah pada penyebutan adzân awwal, sebagian mereka menganggap adzân awwal itu adalah adzân Subuh bukan adzân sebelum Shubuh, karena disebutkan di dalam hadîts:

بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ

"Di antara dua adzân ada shalat." Yakni di antara adzân dan iqâmah. Sehingga mereka pahami bahwa adzân Shubuh adalah adzân pertama, sedangkan iqâmah untuk shalat Shubuh itu adalah adzân kedua.
Namun yang benarnya pada masalah ini, bahwasanya kalau di suatu masjid ada adzân sebelum fajar maka itu dinamai adzân pertama. Adapun adzân tatkala sudah masuk waktu fajar maka itu adalah adzân kedua, sebagaimana perkara ini telah dimaklumi pada penyebutan adzân Jum'at yang diperintahkan oleh Amîrul Mu'minîn 'Utsmân Radhiyallâhu 'Anhu untuk dilakukan sebelum masuk waktu Jum'at. Itu dinamai adzân pertama, dan 'Abdullâh bin 'Umar Radhiyallâhu 'Anhumâ telah menamai adzân tersebut sebagai adzân pertama, beliau berkata:

الأَذَانُ الْأَوَّلُ يَومَ الْجُمُعَةِ بِدعَةٌ

 "Adzân pertama pada hari Jum'at adalah bid'ah."
Makna ini tidak dapat dibawa kepada makna adzân tatkala khatîb telah duduk di mimbar.
Oleh karena itu, pada masalah adzân awwal yang berkaitan dengan waktu fajar yang dimaksud adalah adzân sebelum masuk waktu Shubuh. Ketika di suatu masjid dihidupkan sunnah adzân sebelum masuk waktu fajar maka hendaklah diikutkan padanya lafazh:

الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنْ النَّوْمِ، الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنْ النَّوْمِ 

Adapun kalau di suatu masjid tidak dihidupkan sunnah adzân sebelum fajar, sebagaimana kita saksikan pada kebanyakan masjid kaum Muslimîn maka hendaklah lafazh tersebut diserukan pada adzân Shubuh sehingga dapat berlaku padanya apa yang disebutkan pada hadîts tadi:

بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ

"Di antara dua adzân." Yaitu dapat dimaksudkan adzân Shubuh dan iqâmah, Wallâhu A'lam.

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada malam Rabu 15 Dzulhijjah 1441 / 5 Agustus 2020 di Maktabah Al-Khidhir Bekasi.



Senin, 03 Agustus 2020

HIKMAH MENYAMPAIKAN KHUTBAH JUM'AT




Kita terkadang tidak menyangka dengan sebab khutbah Jum'at yang kita sampaikan itu menjadi penyebab orang lain tertarik kepada Islâm dan Sunnah lalu beramal dengannya. 

Faedah Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh setelah dari khutbah Jum'at di masjid Nurul I'tisham Kranji pada tanggal 20 Rabî'ul Ãkhir 1440 Hijriyyah / 28 Desember 2018 Masehi.

Jumat, 31 Juli 2020

MAKNA AL-KAUTSAR


Al-Kautsar adalah kebaikan yang banyak, di dunia berupa ilmu dan Sunnah sedangkan di akhirat berupa keselamatan dan keberhasilan dalam mencapai telaga Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam.

Berkata Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ kepada Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

إِنَّاۤ أَعۡطَیۡنَـٰكَ ٱلۡكَوۡثَرَ

"Sesungguhnya Kami telah memberikan Al-Kautsar kepadamu." [Surat Al-Kautsar: 1].

Berkata 'Abdullâh 'Abbâs Radhiyallâhu 'Anhumâ:

الْكَوثَرُ هُوَ الْخَيرُ الْكَثِيرُ

"Al-Kautsar adalah kebaikan yang banyak."

Berkata Mujâhid Rahmatullâh 'Alainâ wa 'Alaih: 

الْكَوْثَرُ هُوَ الْخَيرُ الْكَثِيرُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ

"Al-Kautsar adalah kebaikan yang banyak di dunia dan di akhirat."

Berkata Rasûlullâh 'Alaihish Shalâtu was Salâm:

أَتَدْرُونَ مَا الْكَوْثَرُ؟

"Apakah kalian mengetahui tentang Al-Kautsar?."
Para Shahabat menjawab:

اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ

"Allâh dan Rasûl-Nya yang lebih mengetahui." Beliau berkata:

فَإِنَّهُ نَهْرٌ وَعَدَنِيهِ رَبِّى عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهِ خَيْرٌ كَثِيرٌ هُوَ حَوْضٌ تَرِدُ عَلَيْهِ أُمَّتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ آنِيَتُهُ عَدَدُ النُّجُومِ فَيُخْتَلَجُ الْعَبْدُ مِنْهُمْ فَأَقُولُ رَبِّ إِنَّهُ مِنْ أُمَّتِى. فَيَقُولُ مَا تَدْرِى مَا أَحْدَثَتْ بَعْدَكَ 

“Sesungguhnya Al-Kautsar adalah sungai yang Allâh 'Azza wa Jalla telah janjikan kepadaku, padanya terdapat banyak kebaikan, Al-Kautsar adalah suatu telaga yang umatku akan datang kepadanya pada hari kiamat, bejananya sejumlah bintang-bintang di langit. Lalu ada malaikat yang mengusir sebagian mereka, akupun berkata: "Wahai Rabku sesungguhnya mereka itu termasuk dari kalangan umatku? Dia berkata: "Engkau tidak mengetahui apa yang mereka ada-adakan sesudah engkau.” Riwayat Muslim (no. 921).

Fâidah dari Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada hari 'Îdul Adhhâ tanggal 10 Dzulhijjah 1440 / 31 Juli 2020 di Masjid Al-Kautsar Kp Tenggilis Bekasi.

Kamis, 30 Juli 2020

JULUKAN SYAIKH JANGAN DIEJEK


Pertanyaan:
Bagaimana sikap yang benar dalam menyikapi ucapan Ustâdz-ustâdz yang tidak menerima adanya julukan atas seorang Ustâdz yang disebut dengan Syaikh? Bahwa yang beri julukan itu syaikh-syaikh baru atau para syaikh jadi-jadian sehingga tidak mu'tabar, padahal yang lebih pantas memberi julukan syaikh adalah 'ulamâ kibâr?

Jawaban:
Kalau mereka mempermasalahkan julukan syaikh kepada seorang dâ'î, kenapa mereka tidak permasalahkan julukan Ustâdz atas diri mereka? Siapa yang pertama-tama menjuluki mereka dengan julukan Ustâdz? Apakah Ibnu Bâzz, Al-Albânî, Al-Wâdi'î atau Ibnul 'Utsaimîn Rahmatullâh 'Alainâ wa 'Alaihim? Ataukah yang pertama-tama menjuluki mereka dengan julukan Ustâdz adalah orang awam lalu masyhûr bagi mereka dengan julukan itu?
Kalau julukan Ustâdz itu ada pada mereka, bermula dari panggilan penghormatan dari awam manusia maka kita sebutkan pula julukan seperti itu, kita juga akan memanggil mereka dan menyebut mereka sebagai Ustâdz, karena itu panggilan penghormatan yang sopan dan panggilan yang dikenal dengannya. 
Demikian pula ketika seseorang sudah diseru atau disebut sebagai Syaikh maka kita tetapkan seperti itu pula, sebagaimana pada umat di kalangan Banî Isrâîl, mereka telah menetapkan julukan bagi orang-orang berilmu mereka dengan suatu julukan, dan Allâh Tabâraka wa Ta'âlâ telah menyebutkan di dalam Al-Qur'ãn:

أَوَلَمۡ یَكُن لَّهُمۡ ءَایَةً أَن یَعۡلَمَهُۥ عُلَمَـٰۤؤُا۟ بَنِیۤ إِسۡرَ ٰ⁠ۤءِیلَ

"Apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa para 'ulamâ Banî Isrâîl mengetahuinya?." [Surat Asy-Syu'arâ: 197].
Ketika disebutkan bahwa di kalangan mereka ada 'ulamâ maka kita sebutkan seperti itu pula, seperti yang pernah kita dapatkan pula di Dârul Hadîts, tatkala ada teman-teman majlis dan teman-teman bahas kita yang sudah terbiasa ceramah di daerah mereka hingga disapa dengan Syaikh, tatkala mereka menuntut ilmu di Dârul Hadîts, mereka itu disapa pula dengan sapaan tersebut.
Adanya penetapan julukan pada seseorang itu tidak mesti yang menetapkannya harus orang yang kedudukannya di atas dirinya, namun orang yang kedudukannya di bawah dirinya juga teranggap dalam penetapannya tatkala julukan itu memang layak untuknya dan dikenal baginya, berkata Abû Sa'îd Al-Khudrî Al-Khudrî tentang Abû Bakr Ash-Shiddîq Radhiyallâhu 'Anhumâ:

فَقُلْتُ فِي نَفْسِي مَا يُبْكِي هَذَا الشَّيْخَ إِنْ يَكُنِ اللَّهُ خَيَّرَ عَبْدًا بَيْنَ الدُّنْيَا وَبَيْنَ مَا عِنْدَهُ فَاخْتَارَ مَا عِنْدَ اللَّهِ

"Aku berkata di dalam hatiku: Apa yang membuat seorang syaikh ini menangis, tatkala Allâh memberikan kepada seorang hamba dengan pilihan antara dunia dan antara apa yang ada di sisi-Nya lalu dia memilih apa yang ada di sisi Allâh." Riwayat Al-Bukhârî.

Tanpa kita ragukan lagi bahwa Abû Bakr Ash-Shiddîq lebih tinggi kedudukannya dan lebih utama daripada Abû Sa'îd Al-Khudrî Radhiyallâhu 'Anhumâ, namun penyebutan syaikh darinya terhadap Abû Bakr Ash-Shiddîq merupakan perkara yang tidak dapat dipungkiri, dan kita menetapkan beliau sebagai seorang syaikh dari kalangan Shahabat Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam.

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada hari Jum'at bertepatan dengan 'Îdul Adhhâ tanggal 10 Dzulhijjah 1440 / 31 Juli 2020 di Maktabah Al-Khidhir Bekasi.

⛵️ https://t.me/majaalisalkhidhir/4882
⛵️ http://alkhidhir.com/adab/julukan-syaikh-jangan-diejek/


Pertanyaan:
Apakah tidak memotong rambut dan kuku pada tanggal 1 Dzulhijjah hingga hari penyembelihan qurbân itu merupakan salah satu syarat sah qurbân bagi orang yang berqurbân?

Jawaban:
Bukanlah syarat bagi orang yang berqurbân untuk tidak memotong rambut dan tidak memotong kukunya, karena memotong rambut dan kuku hanyalah larangan, berkata Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِى الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ

“Jika kalian telah melihat hilâl Dzulhijjah dan salah seorang di antara kalian ingin berqurbân maka hendaklah dia menahan rambut dan kukunya.”
Yakni orang yang akan berqurbân ketika sudah memasuki tanggal satu Dzulhijjah maka tidak boleh baginya untuk memangkas rambutnya dan memotong kukunya.

Ketika orang yang berqurbân melanggar larangan ini maka dia terjatuh ke dalam pelanggaran, akan tetapi qurbânnya tetap sah.

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada malam Jum'at bertepatan dengan malam 'Îdul Adhhâ tanggal 10 Dzulhijjah 1440 / 31 Juli 2020 di Maktabah Al-Khidhir Bekasi.


NIAT PUASA SUNNAH DI WAKTU DHUHÂ BAGI YANG BELUM MAKAN DAN MINUM


Pertanyaan:
Ustâdz, 'afwân .. saya mau bertanya, berkaitan dengan puasa 'arafah, teman saya kondisi sedang sakit, tadi pagi jam 9 bangun belum sadar total, tapi disuruh keluarganya untuk minum obat. lalu dia meminumnya, akan tetapi saat jam 10 dia sadar kalau lagi ada Puasa 'Arafah, kalau begitu tetap menjalankan puasa 'Arafah atau tidak perlu sama sekali yâ Ustâdz? Bârakallâhu fîkum. 

Jawaban:
Tidak boleh baginya untuk meniatkan puasa 'Arafah karena dua alasan:

Pertama: Dia dalam keadaan sakit yang bukan ringan, oleh karena itu hendaklah dia tidak puasa sehingga tidak memudharatkan dirinya, berkata Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ:

وَلَا تُلۡقُوا۟ بِأَیۡدِیكُمۡ إِلَى ٱلتَّهۡلُكَةِ وَأَحۡسِنُوۤا۟ۚ إِنَّ ٱللَّهَ یُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِینَ

"Janganlah kalian melemparkan diri kalian ke dalam kebiasaan, dan berbuat baiklah kalian sesungguhnya Allâh mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan." [Surat Al-Baqarah: 195].

Kedua: Dia telah meminum, sementara orang yang masih dibolehkan untuk puasa sunnah adalah orang yang berada di waktu sebelum zhuhur dalam keadaan belum memakan dan belum meminum sama sekali dari sejak waktu fajar, disebutkan suatu bâb di dalam "Shahîh Muslim":

بَابُ جَوَازِ صَوْمِ النَّافِلَةِ بِنِيَّةٍ مِنَ النَّهَارِ قَبْلَ الزَّوَالِ

"Bâb kebolehan untuk puasa sunnah dengan suatu niat dari sebagian siang sebelum tergelincir matahari."

Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam tatkala kembali ke rumahnya dalam keadaan belum makan dan belum minum lalu di rumah tidak ada makanan maka beliau langsung niat untuk puasa sunnah, berkata 'Âisyah Radhiyallâhu 'Anhâ:

قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ: يَا عَائِشَةُ هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ. فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا عِنْدَنَا شَيْءٌ. قَالَ: فَإِنِّي صَائِمٌ

"Berkata kepadaku Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam pada suatu hari: "Wahai 'Âisyah, apakah kalian memiliki sesuatu dari makanan? Aku berkata: "Wahai Rasûlullâh kami tidak memiliki sesuatu apapun dari makanan." Beliaupun berkata: "Kalau begitu aku puasa." Riwayat Muslim.

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada hari Kamis bertepatan dengan hari 'Arafah tanggal 9 Dzulhijjah 1440 / 30 Juli 2020 di Maktabah Al-Khidhir Bekasi.


Rabu, 29 Juli 2020

HUKUM ORANG JUNUB TERTIDUR DARI MANDI DAN SAHUR


Pertanyaan:
Ustâdz ijin bertanya, apa hukum seorang yang malamnya melakukan hubungan badan dengan isterinya atau melalukan onani lalu dia tertidur dalam keadaan junub, ketika bangun dia dapati matahari sudah terbit padahal dia berniat untuk puasa di hari itu misal seperti sekarang puasa 'arafah. Apakah dia tetap berpuasa ataukah tidak Ustâdz? Mohon jawabannya. 
Jazakumullâhu khairan. 

Jawaban: 
Karena kejadian junubnya sebelum waktu sahur yakni sebelum terbit fajar shâdiq maka dia teruskan niat puasanya, selama dia belum makan dan belum minum maka puasanya teranggap sah, berkata 'Âisyah Radhiyallâhu 'Anhâ:

قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ: يَا عَائِشَةُ هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ. فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا عِنْدَنَا شَيْءٌ. قَالَ: فَإِنِّي صَائِمٌ

"Berkata kepadaku Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam pada suatu hari: "Wahai 'Âisyah, apakah kalian memiliki sesuatu dari makanan? Aku berkata: "Wahai Rasûlullâh kami tidak memiliki sesuatu apapun dari makanan." Beliaupun berkata: "Kalau begitu aku puasa." Riwayat Muslim.


Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada hari Kamis bertepatan dengan hari 'Arafah tanggal 9 Dzulhijjah 1440 / 30 Juli 2020 di Maktabah Al-Khidhir Bekasi.

BIOGRAFI ASY-SYAIKH ABÛ ABDILLÂH MA'MÛN ADH-DHÂLI'I RAHIMAHULLÂH

 

Nama dan Nasab Beliau Rahimahullâh

Beliau Rahimahullâh adalah Asy-Syaikh Abû Abdillâh Ma'mûn bin Abdillâh bin Shâlih Adh-Dhâli'î Rahimahullâh. Beliau Rahimahullâh berasal dari propinsi Dhâli', bertetangga dengan propinsi Ibb di Yaman.

Kesungguhan Beliau Rahimahullâh Dalam Menuntut Ilmu

Beliau Rahimahullâh termasuk salah seorang penuntut ilmu yang memiliki semangat tinggi dalam menuntut ilmu, seorang syaikh berkata tentang beliau Rahimahullâh:

الشَّيْخُ مَأْمُوْنٌ الضَّالِعِيُّ يَحْفظُ الْقُرْآنَ وَرِيَاضَ الصَّالِحِيْنَ

"Asy-Syaikh Ma'mûn Adh-Dhâli'î, beliau hafal Al-Qur'ân dan Riyâdhush Shâlihîn".
Dan beliau Rahimahullâh pernah menyebutkan kepada kami bahwa beliau Rahimahullâh ingin memulai menghafal hadîts-hadîts dengan tanpa menghafal sanadnya. Beberapa hari sebelum terjadi pengepungan Dammâj, beliau Rahimahullâh meminta kepada kami untuk memberikan beberapa mutûn ahâdîts untuk beliau Rahimahullâh hafal sebagai tambahan hafalan beliau terhadap "Mukhtshar Shahîh Muslim" yang telah beliau Rahimahullâh hafal, karena setelah 'Idul Adhâ beliau Rahimahullâh rencana akan keluar dakwah, namun belum sempat beliau Rahimahullâh keluar dakwah, sudah terjadi pengepungan terhadap Dammâj oleh kaum Hutsî dan terjadi perang dahsyat.

Beliau Rahimahullâh termasuk dari para pengajar di Dârul Hadîts Dammâj

Beliau Rahimahullâh termasuk dari para pengajar di Dârul Hadîts Dammâj dan beliau Rahimahullâh sering keluar dakwah ke beberapa daerah di Yaman.
Beliau Rahimahullâh ketika di Dammâj menekuni ilmu "Musthalahul Hadîts", beliau Rahimahullâh mengajarkan ilmu syar'î pada bidang tersebut secara berurutan, mulai dari "Baiqûniyyah" hingga "Dhawâbith Al-Jarhi wat Ta'dîl".

Kitab Dan Karya Tulis Beliau Rahimahullâh

Beliau Rahimahullâh di samping menuntut ilmu, mengajar dan keluar berdakwah, beliau Rahimahullâh menyempatkan pula membahas dan menulis, beliau Rahimahullâh bekerja sama dengan kami dalam memegang kunci ruang komputer Dârul Hadîts Dammâj, beberapa hari sebelum adanya pengepungan terhadap Dammâj, beliau Rahimahullâh meminta tolong kepada kami untuk mengirimkan dua tulisan beliau Rahimahullâh ke salah satu penerbit kitâb di Mesir, beliau Rahimahullâh menemani kami ke internet, lalu kami kirimkan dua tulisan beliau Rahimahullâh tersebut, semoga Allâh memberkahi tulisan-tulisan kami dan tulisan-tulisan beliau Rahimahullâh dan menjadikannya bermanfaat.
Diantara tulisan-tulisan beliau Rahimahullâh yang adalah:
1. Asy-Syarhu Al-Mukhtashar 'Alâ An-Nuzhatin Nazhar.
2. Nashihatun Liahlissunnati khushûshan Walil Muslimîna 'Umûman.

Dan salah seorang syaikh berkata tentang beliau Rahimahullâh:

وَلَهُ مُؤَلَّفَاتٌ وَتَحْقِيْقَاتٌ وَرُدُوْدٌ عِلْمِيَّةٌ

"Dan beliau memiliki tulisan-tulisan, penjelasan-penjelasan berupa catatan kaki dan bantahan-bantahan ilmiyyah".

Luasnya Wawasan Beliau Rahimahullâh

Walau pun beliau Rahimahullâh menekuti bidang "Ilmu Musthalah" namun bukan berarti beliau lemah dalam masalah ilmu yang lainnya, justru beliau menonjol pula pada bidang yang lainnya, pernah kami mendengarkan penjelasan beliau yang lebih terperinci tentang masalah aqîdah, ketika ada salah seorang pengajar aqîdah memiliki satu permasalahan, maka beliau Rahimahullâh menjelaskannya dengan lebih terperinci dan lebih mendeteil.
Ini menunjukan bahwa setiap ada yang berilmu mesti ada yang lebih berilmu darinya:

وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيمٌ

"Dan di atas setiap orang yang berilmu itu ada lagi yang lebih berilmu". [Yusûf: 76].

Menyambut Seruan Jihad

Kebiasaan beliau Rahimahullâh dalam setiap harinya adalah menuntut ilmu, mengajar, membahas dan menulis, bersamaan dengan itu beliau Rahimahullâh menjadi komandan dan penanggung jawab jaga di Jabal Thullâb untuk orang-orang Dhâli', ketika beliau Rahimahullâh mencari kami untuk meminjam kunci ruang komputer dan mengetahui kami sedang jaga, maka beliau Rahimahullâh menuturkan bahwa beliau Rahimahullâh selaku penanggung jawab jaga untuk qabilahnya tidak dikenai jaga, karena terus mengontrol pasukannya, beliau Rahimahullâh menginkan agar kami sebagai penanggung jawab jaga untuk orang-orang Indoensia dan Malaysia tidak pula ikut jaga namun cukup mengontrol pasukan jaga saja, namun kami ingin merangkul, bisa jaga, bisa mengontrol yang jaga serta bisa melaksanakan aktivitas lainnya, Walhamdulillâh.
Keberadaan beliau Rahimahullâh tidak jaga namun mâsyâ Allâh, ketika sudah bunyi tembakan-tembakan maka beliau Rahimahullâh langsung meninggalkan aktivitas beliau Rahimahullâh dan lalu pergi menuju tempat terjadinya pertempuran.
Kebiasaan beliau Rahimahullâh sering ke Jabal Thullâb, namun ketika beliau Rahimahullâh mendengar bahwa guru kami Asy-Syaikh Abû Abdillâh Kamâl bin Tsâbit Al-Adnî Rahimahullâh telah terbunuh di Masâdir maka beliau Rahimahullâh langsung turun dari Jabal Thullâb menuju ruang komputer dengan berpakaian lengkap untuk siap tempur, ketika beliau Rahimahullâh berjumpa dengan kami di jalan dari arah kampung Wathân, maka kami bersama beliau Rahimahullâh ke ruang komputer, beliau Rahimahullâh ingin mengambil sesuatu di ruang komputer kemudian beliau Rahimahullâh langsung ke Masâdir untuk menjemput mati syahîd -semoga Allâh menjadikan kita dan beliau termasuk dari para syuhadâ'-.
Beliau Rahimahullâh bersama satu pasukan sekitar 20 orang bergegas menuju pemukiman Ãlu Mannâ' untuk maju ke Masâdir, ketika kami dari kampung Wathan melihat serangan kaum kâfir râfidhah semakin dahsyat terhadap Masâdir, maka kami bersama pasukan Asy-Syaikh 'Abdullâh Muzâhim Rahimahullâh yang masih ada di maktabah langsung bergegas menuju ke pemukiman Ãlu Mannâ', sesampainya kami di Ãlu Mannâ', kami mendapati beberapa kawan menemani Asy-Syaikh Al-'Amûdî 'Afallâhu 'Anhu yang sedang terluka, kami menanyakan bagaimana dengan keadaan guru kami Asy-Syaikh Ma'mûn Rahimahullâh, mereka menjawab bahwasanya beliau Rahimahullâh dan beberapa kawan sudah tidak bisa mundur karena sudah terjepit, kami mencoba memperhatikan dari salah satu rumah tinggi di ujung pemukiman Ãlu Mannâ' namun tidak terlihat lagi, pada besok harinya kami bersama 5 kawan mencoba untuk maju, namun sudah tidak bisa lagi, karena râfidhah bertambah maju ke kebun di dekat pemukiman Ãlu Mannâ', kami berlima hanya bertahan di perbatasan, di tengah kebun anggur antara Ãlu Mannâ' dengan Masâdir, dari pagi hingga jam 1 malam baru kami bisa keluar dari perbatasan tersebut.
Ketika kami keluar, kami berjumpa dengan Al-Ustâdz Muhammad Ar-Râfi'î Al-Jâwî Rahimahullâh, beliau Rahimahullâh berkata: "Dari mana antum tadi?", kami menjawab: "Dari kebun di depan sana", beliau Rahimahullâh langsung berucap: "Astaghfirullâh, kami mengira yang di sana itu hutsî (yakni râfidhah), ngawur sekali orang-orang Shaumalia yang jaga di bawah pohon itu, mereka bilang yang di depan mereka adalah para hutsî, ana pun menembakan mortir ke tempat antum tadi, juga ana ditelpon teman-teman di Wathan, mereka bertanya ke arah mana mereka akan tembakan mortir, ana bilang ke kebun itu, ternyata di situ antum, ‘afwân Akhânâ, Astaghfirullâh, terus tembakan mortir kami tadi jatuh di mana?". Kami jawab: "Kami tidak tahu lagi, yang jelas mortirnya jatuh ke kiri ke kanan, di depan di belakang, dan berkali-kali tank hutsî menembak ke kami, sampai senjata kami tertimbun tanah, belum lagi mereka bertambah dekat, hingga menghujani kami dengan lemparan-lemparan geranat.....". Beliau berkata: "Alhamdulillâh antum tidak apa-apa". Kami jawab: "Alhamdulillâh, namun kawan-kawan kita yang kemarin sekitar 30 orang sudah tidak bisa lagi mundur", mungkin sudah pada meninggal wafat".
Besok paginya, seorang orator râfidhah berteriak lewat pengeras suara dengan menyatakan bahwa kawan-kawan kami telah mati di kebun-kebun anggur, mereka menantang sambil bertanya: "Mana karâmahnya mereka?! kenapa jenâzah-jenâzah mereka telah hancur dan busuk?". Padahal ketika itu mereka baru selesai menghancurkan dan merusak tubuh-tubuh para jenâzah kawan-kawan kami, sebagaimana dahulu mereka merusak jenâzah kawan-kawan kami pada pengepungan yang pertama, dan tampak kejelekan dan kedustaan mereka, ketika salah seorang kawan terbunuh di kebun anggur, setengah badannya tertimbun tanah dan setengah badannya lagi terlihat, para râfidhah merusak badan yang yang terlihat tadi hingga yang tersisa hanya tengkorak namun sebagian yang tertimbun masih utuh, tidak dimakan oleh tanah, Walhamdulillâh.
Ketika Asy-Syaikh Abû Abdirrahmân Yahyâ Al-Hajûrî 'Afallâhu 'Anhu memutuskan untuk hijrah dari Dammâj, dengan memberikan beberapa persyaratan, di antaranya hendaknya diserahkan tengkorak-tengkorak dari jenâzah kawan-kawan kami, maka pada hari kedua sebelum hijrah meninggalkan Dammâj, dikumpulkanlah jenâzah-jenâzah tersebut, semuanya 30 jenâzah lebih, dan semuanya dikebumikan di pemakan syuhadâ' baru di Dammâj, -semoga Allâh menjadikan kita dan mereka termasuk dari para syuhadâ.

Dinukil dari buku “Mengenang Para Pengemudi Perahuku Yang Berlayar Mengarungi Samudera Ilmu” karya Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir penerbit Maktabah Al-Khidhir Bekasi.




MENGUTAMAKAN PUASA 'ARAFAH



Pertanyaan:
'Afwân yâ Ustâdz ada yang ingin bertanya, apakah boleh orang yang berpuasa Dâwud pada awal-awal Dzulhijjah ini lalu dia berpuasa 'Arafah lagi yâ Ustâdz?

Jawaban:
Bagi yang berpuasa Dâwud atau yang mengqadhâ puasa Ramadhân pada hari-hari permulaan Dzulhijjah ini hendaklah dia mencukupkan pada tanggal 8 Dzulhijjah lalu pada tanggal 9 Dzulhijjah dia berpuasa 'Arafah, sehingga tidak ketinggalan keutamaan puasa 'Arafah yang disebutkan oleh Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ

"Menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang." Riwayat Muslim (no. 2804).
Kita anjurkan demikian karena puasa Dâwud dan mengqadhâ puasa Ramadhân waktunya luas, dapat dilakukan setelah ayyâmut tasyrîq pada bulan Dzulhijjah atau pada bulan-bulan lainnya.

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada hari Rabu tanggal 8 Dzulhijjah 1440 / 29 Juli 2020 di Maktabah Al-Khidhir Bekasi.



Selasa, 28 Juli 2020

AMBILLAH ILMU KEBENARAN YANG KAMU BUTUHKAN


Pertanyaan:
Bolehkah bagi seseorang yang mengaku salafî menganjurkan menggunakan buku Iqrâ' yang ditulis oleh seorang kyai Nahdhiyyîn karena buku itu lebih baik dan dia tidak menganjurkan menggunakan buku Iqrâ' Qîra'atî yang ditulis dua orang Ustâdz Tsâbitîn karena katanya keduanya telah menyimpang dan belum taubat dari hizbiyyah memecah bela dakwah Salafiyyah di Indonesia?

Jawaban:
Seseorang yang mengaku sebagai salafî hendaklah dia inshâf dan 'adl, kalau tidak menyukai seseorang karena adanya khilâf dan perbedaan maka jangan pula membenci kebaikan dan kebenaran yang ada padanya. 
Apakah orang yang mentahdzîr manusia dari kitâb Iqrâ' Qîra'atî telah mendapati pada kitâb tersebut ada penyimpangan dan kesesatan? Atau seperti orang yang mentahdzir manusia dari kitâb At-Tuhfah Al-Washâbiyyah lalu dia menganjurkan kitâb Al-Muyassar, apakah memang kitâb itu ada penyimpangan dan kesesatan padanya?. 
Jika mau beralasan karena penulisnya bermasalah, kenapa tidak sekalian permasalahkan Mushhaf Al-Qur'ãn yang ayat-ayatnya telah diharakati dan dibuatkan ajzâ' dan ahzâb? Bukankah Al-Hajjâj bin Yûsuf Ats-Tsaqafî yang telah memerintahkan Nashr bin 'Âshim dan Yahyâ bin Ya'mar untuk meletakkan ajzâ' dan ahzâb di dalam mushhaf Al-Qur'ãn? Kenapa tidak sekalian tinggalkan karena itu atas jasa Al-Hajjâj penguasa zhâlim yang telah melakukan pembunuhan di antara Shahabat Nabî, membunuh sebagian Tâbi'în dan sebagian Ahlul Bait.
Sebagian orang di zaman ini kalau sudah benci orang lain maka kebaikan dan kebenaran darinya dipungkiri dengan berbagai alasan, alasan menyimpang sudah pasti dan alasan belum taubat tentu diikutkan pula, yakni taubat sesuai kriteria mereka, taubat sesuai versi mereka, yaitu harus datang kepada mereka menyatakan bersama mereka, harus kumpul bersama mereka dan bersedia dikomando oleh pembesar mereka atau harus bersedia untuk berbicara terhadap pihak yang berseberangan dengan mereka, atau kalau tidak akan dibongkar dan dibeberkan aib-aibnya atas nama penjagaan kesucian dakwah atau masih dipertanyakan kebaikannya. Seakan-akan mereka tidak menyimpang dan seolah-olah taubat mereka telah pasti diterima, seakan-akan An-Nawawî, Al-'Asqalanî, Al-Haitamî dan Az-Zamakhsyarî telah taubat dan bersih sehingga dikhususkan mereka. Ilmu, kebenaran dan kebaikan dari mereka harus diambil, kalau ilmu, kebenaran dan kebaikan yang ada di kitâb seperti Iqrâ Qîra'atî tidak boleh diambil bahkan diperintahkan untuk dijauhi dan diwaspadai. 

Sudah banyak yang bertanya kepada kita tentang kitâb Iqrâ Qîra'atî dan juga kitâb Iqrâ, kita nasehatkan ambil darinya dan ajarkan sesuai kebutuhan, jika kitâb Iqrâ Qîra'atî ada maka utamakan daripada kitâb Iqrâ, kalau tidak ada atau tidak dapatkan kecuali kitâb Iqrâ maka gunakan sesuai kebutuhan. 
Sebagian orang menghalang-halangi kitâb seperti ini, pada akhirnya umat terjauhkan dari kebaikan dan ilmu, bahkan sampai kita dapati suatu kaum yang benci dengan kitâb seperti itu, di masjid mereka tidak ada pembelajaran cara membaca Al-Qur'ãn dengan baik dan benar, kitâb seperti itu tidak ada, apalagi mengajarkannya. Tatkala kita shalat di belakang Ustâdz mereka yang menjadi imâm, sungguh bacaannya tidak benar, pengucapan huruf tidak bisa bedakan, apalagi panjang pendek benar-benar tidak bisa bedakan. 
Keadaan seperti itu benar-benar suatu kesalahan fatal, namun karena mereka memilih fatwâ orang yang mereka kibârkan:

ﺍﻟْﺠَﻬْﻞُ ﺃَﻓْﻀَﻞُ ﻣِﻦْ ﺃَﺧْﺬِ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢِ ﻋَﻦْ ﺃَﻫْﻞِ ﺍﻟْﺒِﺪَعِ 

"Kebodohan itu lebih utama daripada mengambil ilmu dari Ahlul Bid'ah."
Maka merekapun tidak mau menyadari keadaan mereka, sehingga keberadaan mereka seakan-akan seperti yang Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ katakan:

ٱلَّذِینَ ضَلَّ سَعۡیُهُمۡ فِی ٱلۡحَیَوٰةِ ٱلدُّنۡیَا وَهُمۡ یَحۡسَبُونَ أَنَّهُمۡ یُحۡسِنُونَ صُنۡعًا

"Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatan mereka di kehidupan dunia ini, dalam keadaan mereka menyangka bahwa mereka berbuat yang terbaik." [Surat Al-Kahfi: 104].

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada hari Selasa tanggal 7 Dzulhijjah 1440 / 28 Juli 2020 di Maktabah Al-Khidhir Bekasi.

Sabtu, 25 Juli 2020

SEMOGA ALLÂH MERAHMATI ASY-SYAIKH 'ABDURRAHMÂN AL-'ADNÎ


📱 Pertanyaan:
Benarkah Asy-Syaikh 'Abdurrahmân bin Mar'î Al-'Adnî gurunya Ustâdz?

📲 Jawaban:
Alhamdulillâh kami telah berjumpa dengan Asy-Syaikh 'Abdurrahmân bin Mar'î Al-'Adnî Rahmatullâh 'Alainâ wa 'Alaih dan kami ikut pula menghadiri daurahnya di Yogyakarta, di saat itu kami sedang menunggu pemberangkatan ke Dârul Hadîts Dammâj. Dengan demikian pantas bagi kami untuk menganggapnya sebagai guru kami, berkata Al-Imâm Ibnu Bâzz Rahmatullâh 'Alainâ wa 'Alaih:

فَإِنَّ صَاحِبَ الحَلْقَةِ العِلمِيَّةِ أَو خُطبَةِ الجُمعَةِ شَيخٌ لِلسَّامِعِينَ، فَهٰذَا لَا يُقَالُ: إِنَّهُ لَيسَ بِشَيخٍ لَهُمْ

"Sesungguhnya orang yang menyampaikan ilmu di majelis ilmu atau menyampaikan khutbah pada hari Jum'at itu adalah guru bagi orang-orang yang mendengarkannya, orang ini tidak dikatakan bukan guru mereka."

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada malam Selasa tanggal 3 Jumâdil Akhir 1441 / 27 Januari 2020 di Mutiara Gading Timur 2 Bekasi.


SUPAYA TIDAK MEREMEHKAN NI'MAT ALLÂH SUBHÂNAHU WA


Pertanyaan:
Ustâdz, bagaimana caranya supaya kami tidak meremehkan karunia Allâh atas kami? Mohon nasehat dan bimbinglah kami agar kami bisa ridhâ. Terima kasih.

Jawaban:
Kami nasehatkan dengan perkataan Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لاَ تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ

"Lihatlah oleh kalian kepada orang yang lebih rendah dunianya di antara kalian dan janganlah kalian melihat kepada orang yang dunianya di atas kalian, karena itu akan membuat kalian untuk tidak meremehkan ni'mat Allâh atas kalian.” Riwayat Muslim.

Orang-orang seperti kita jangan sekali-kali melihat kepada orang yang di atas kita pada perkara kelebihan dan keni'matan dunia, terkadang orang yang berkelebihan dunianya untuk mendapatkan uang ratusan ribu rupiah itu hanya hitungan jam, sedangkan orang-orang yang dunianya di bawah kita untuk mendapatkan ratusan ribu rupiah itu terkadang memerlukan waktu sebulan atau terkadang lebih. Oleh karena itu supaya tidak berputus asa dan tidak meremehkan keni'matan dan karunia Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ maka hendaklah kita melihat kepada saudara-saudari kita yang lebih rendah dunianya daripada kita.
Sungguh kita sangat kagum terhadap seorang ibu, suaminya berusaha untuk bisa menjamin kehidupan rumah tangga namun isterinya masih ingin berusaha sehingga dari usahanya dapat ia gunakan untuk bersedekah dan membantu yang lemah. Tatkala suaminya mengetahui pendapatan isterinya pada bulan yang pertama hanya Rp 300.000, suaminya terharu. Di saat mendengarkan ucapan isterinya: "Alhamdulillâh bisa mendapatkan uang seperti ini dengan tanpa menerlantarkan anak-anak, dan masih bisa membantu dakwah sebisa mungkin." membuat suaminya meneteskan air mata, Mâsyâ Allâh. 

Sungguh mengingatkan kita dengan Salmân Al-Fârisî Radhiyallâhu 'Anhu wa 'Annâ, beliau tatkala masih berstatus sebagai budak, beliau mengumpulkan kurma untuk beliau sedekahkan dan atau hadiahkan kepada Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam dan para Shahabatnya dalam keadaan beliau sebagai budak ketika itu, tentu lebih sulit untuk bisa mendapatkan kurma, namun masyâ Allâh niat baik dan keinginan yang tinggi dapat beliau lakukan. Lâ haula walâ quwwata illâ Billâh.

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada malam Ahad tanggal 5 Dzulhijjah 1440 / 26 Juli 2020 di Maktabah Al-Khidhir Bekasi.

NASEHAT UNTUK SEMUA ORANG TERHORMAT


Pertanyaan:
Ustâdz pada jawaban Ustâdz tentang kewajiban shalat berjamâ'ah di masjid dengan nukilan Ustâdz terhadap pendapat Syaikhunâ Yahyâ Al-Hajûrî, sementara di antara isi pertanyaan menyebutkan tentang tahdziran Al-Ustâdz Muhammad As-Sewed terhadap Syaikhunâ Yahyâ Al-Hajûrî, apakah Ustâdz bersengaja mendiamkannya? Dan tidak mau menanggapinya? Ataukah sudah ada dari Ustâdz-ustâdz yang telah membantahnya?
'Afwân Ustâdz, di sini ana kutipkan lagi lebih jelasnya tentang tahdziran Al-Ustâdz Muhammad As-Sewed seperti ini:
Penanya: Saya baru saja mengikuti manhaj salaf. Saya mau bertanya, siapakah syaikh (Yahyâ Al-Hajûrî) dan bagaimana manhajnya?
Al-Ustâdz Muhammad As-Sewed menjawab: Syaikh Yahyâ, Syaikh Yahyâ Al-Hajûrî? Ikhwânî fiddîn A'azakumullâh, Syaikh Yahyâ sudah ditahdzir oleh para 'ulamâ. Disebut bahwa dia dhal mudhil, yang sesat dan menyesatkan. Sehingga hendaklah dijauhi Syaikh Yahyâ dan pengikut-pengikutnya. Jauhi mereka! Jangan duduk bersama mereka! Jangan ngaji di tempat mereka! Jangan dekat-dekat dengan mereka! Kalau datang, nanti diusir! Jangan boleh masuk ke masjid kita, ke pondok-pondok kita. Bârakallâhufîkum. Dan itu ucapan Asy-Syaikh Muhammad bin Hâdî menyatakan: "Kalau datang ke sini, sebelum ngomong kamu usir! Supaya jangan ada kalimat yang masuk ke telinga kamu!."

Jawaban:
Tahdzîran Al-Ustâdz Muhammad As-Sewwed terhadap Asy-Syaikh Yahyâ Al-Hajûrî 'Afallâhu 'Annâ wa 'Anhum tidaklah ilmiyyah dan tidak berbobot, bukanlah mengarahkan orang-orang yang baru mengenal manhaj salaf untuk mengenal lebih dekat tentang manhaj salaf, justru mengarahkan mereka untuk taqlîd dan ikut-ikutan. 
Siapa dari 'ulamâ di zaman ini yang tidak ditahdzîr? Bahkan para 'ulamâ yang beliau isyaratkan dan para 'ulamâ yang menjadi rujukannya juga telah ditahdzîr, kalau orang hanya sekedar mengambil ucapan "sudah ditahdzir" lalu dia meninggalkan semua 'ulamâ tanpa terkecuali karena seluruhnya telah ditahdzir atau kalau seseorang hanya sekedar mengambil ucapan "sudah ditahdzir" lalu dia tidak mau mengikuti dalîl-dalîl dan tidak mau pula melihat kebenaran maka sungguh dia telah berada di dalam ujian dahsyat:

مَنْ لَمْ يَتَّبِعِ الْأَدِلَّةَ ابْتَلَاهُ اللّٰهُ بِاتِّبَاعِ الدَّجَاجِلَةِ

"Barangsiapa yang tidak mengikuti dalîl-dalîl maka Allâh memberikan ujian kepadanya dengan mengikuti Dajjâl-Dajjâl (para pendusta)."

Tahdzîran Al-Ustâdz Muhammad As-Sewwed itu tidaklah memberi manfaat untuk dirinya sendiri, namun kita khawatirkan akan menambah berat timbangan kesalahannya dan akan mempertebal catatan amal kejeleknya:

وَوُضِعَ الْكِتَابُ فَتَرَى الْمُجْرِمِينَ مُشْفِقِينَ مِمَّا فِيهِ وَيَقُولُونَ يَا وَيْلَتَنَا مَالِ هَٰذَا الْكِتَابِ لَا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً إِلَّا أَحْصَاهَا ۚ وَوَجَدُوا مَا عَمِلُوا حَاضِرًا ۗ وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا

"Diletakkanlah catatan amalan, lalu kamu akan melihat orang-orang bersalah ketakutan terhadap apa yang tertulis di dalamnya, dan mereka berkata: "Aduhai celaka kami, tulisan apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak pula yang besar, melainkan mencatat semuanya. Mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan telah tertulis, dan Rabbmu tidaklah menganiaya seorang pun". [Surat Al-Kahfi: 49].

Tidakkah Al-Ustâdz Muhammad As-Sewwed mau menyadari dirinya 'Afallâhu 'Annâ wa 'Anhu? Tidakkah kita semua mau mengambil pelajaran dari masa-masa yang pernah kita semua lalui? 

لاَ يُلْدَغُ الْمُؤْمِنُ مِنْ جُحْرٍ وَاحِدٍ مَرَّتَيْنِ

"Tidaklah seorang beriman akan terjatuh ke lubang yang satu sebanyak dua kali." Riwayat Al-Bukhârî dan Muslim.

Tidakkah kita semua mau membuka mata hati kita untuk melihat kebenaran sebelum masa melampui kita?:

أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ ۖ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ

"Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allâh dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang terdahulu yang telah diturunkan Al-Kitâb kepada mereka, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fâsiq." [Surat Al-Hadîd: 16].

Tidakkah kita menyadari bahwa masing-masing kita akan menghadap kepada Allâh Ta'âlâ? Berkata guru kami Asy-Syaikh Abû Hâtim Sa'îd Al-Yâfi'î Rahmatullâh 'Alainâ wa 'Alaih:

وَكُلُّ إِنْسَانٍ حَجِيجُ نَفْسِهِ بَينَ يَدَي اللّٰهِ يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ * إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ

"Setiap manusia adalah terhujati dengan dirinya sendiri di hadapan Allâh, pada hari yang tidak bermanfaat lagi harta dan anak keturunan kecuali orang yang datang kepada Allâh dengan hati yang selamat."

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada 23 Jumâdil Ãkhirah 1438 di Binagriya Pekalongan.