Minggu, 31 Mei 2020

PERUMPAMAAN DUNIA


Pada suatu hari diperlihatkan kepadaku kenang-kenangan dari kawan-kawanku yang dianggap oleh orang-orang awam bahwa mereka telah sukses dalam kehidupan dunia mereka, karena ada yang menjadi pejabat dan lain sebagainya. Setelah itu aku tertidur lalu aku melihat di dalam mimpiku ada seekor bangkai kambing kecil diperebutkan oleh binatang-binatang buas. Aku-pun terbangun tiba-tiba, aku langsung teringat dengan perkataan orang yang paling aku cintai Nabiurrahmah 'Alaihish Shalâtu was Salâm yang diceritakan oleh Shahabat beliau Jâbir bin 'Abdillâh Radhiyallâhu 'Anhumâ:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ بِالسُّوقِ دَاخِلاً مِنْ بَعْضِ الْعَالِيَةِ وَالنَّاسُ كَنَفَتَهُ فَمَرَّ بِجَدْيٍ أَسَكَّ مَيِّتٍ فَتَنَاوَلَهُ فَأَخَذَ بِأُذُنِهِ ثُمَّ قَالَ: أَيُّكُمْ يُحِبُّ أَنَّ هَذَا لَهُ بِدِرْهَمٍ. فَقَالُوا مَا نُحِبُّ أَنَّهُ لَنَا بِشَيْءٍ وَمَا نَصْنَعُ بِهِ قَالَ: أَتُحِبُّونَ أَنَّهُ لَكُمْ. قَالُوا وَاللَّهِ لَوْ كَانَ حَيًّا كَانَ عَيْبًا فِيهِ لأَنَّهُ أَسَكُّ فَكَيْفَ وَهُوَ مَيِّتٌ فَقَالَ: فَوَاللَّهِ لَلدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللَّهِ مِنْ هَذَا عَلَيْكُمْ

"Bahwasanya Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam jalan melewati pasar, beliau masuk pada bagian pasar sementara orang-orang berada di sekitarnya. Beliau berjalan melewati seekor anak kambing yang cacat telah mati, lalu beliau mengangkatnya dengan memegang telinganya, kemudian beliau berkata: “Siapa di antara kalian yang ingin membeli ini dengan harga satu dirham?” Berkata orang-orang: “Kami benar-benar tidak menginginkannya sedikitpun, karena apa yang bisa kami perbuat dengannya?” Beliau berkata: “Apakah kalian ingin bangkai anak kambing ini untuk kalian?” Berkata orang-orang: “Demi Allâh, kalau anak kambing ini masih hidup, maka ada cacat padanya, karena pada bagian kepalanya ada cacat, apalagi telah menjadi bangkai?” Lalu beliau berkata: "Demi Allâh, sungguh dunia itu lebih hina bagi Allâh daripada bangkai anak kambing ini bagi kalian." Riwayat Muslim (no. 7607). 

Faedah dari Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh pada hari Senin tanggal 10 Syawwâl 1441 / 1 Juni 2020 di Maktabah Al-Khidhir Bekasi. 


Sabtu, 30 Mei 2020

TINJAUAN SYARI'AT DAN HIDUP SEHAT TENTANG PENGHARUSAN MEMAKAI MASKER


Pertanyaan:
Ustâdz izin bertanya lagi, sekarang banyak orang menyebut sesuatu: "Ini wâjib, itu wâjib", seperti pakai masker di saat virus corona ini adalah wâjib. Apakah boleh seseorang mewajibkan sesuatu yang tidak ada syar'îatnya?

Jawaban:
Itu termasuk kesalahan dalam ungkapan yang telah menyebar luas di kalangan masyarakat kaum Muslimîn di Indonesia, karena penentuan wâjib terhadap segala sesuatu adalah suatu keputusan dari Allâh sebagai Pembuat Syari'at yang tentu konsekuensinya adalah berdosa bagi orang yang tidak melakukannya. Kalau seseorang mengatakan bahwa memakai masker adalah wâjib di zaman fitnah virus corona ini maka tentu akan diberlakukan hukum tersebut, pada akhirnya tidak sedikit kita dapati orang-orang bergampangan menganggap orang lain berdosa karena tidak memakai masker, alasan mereka karena tidak mentaati peraturan yang dibuat oleh pemerintah.
Alasan inipun tidak dapat dibenarkan secara mutlak, karena beberapa alasan:

1) Memakai masker bukanlah jaminan bahwa virus tidak akan masuk lagi melalui mulut dan hidung, karena virus itu sangat kecil sekali. Kalaupun tetap dipaksakan bahwa dengan memakai masker tidak lagi masuk virus maka ini menjadi permasalahan yang diperselisihkan di kalangan ahli kesehatan. Adapun orang-orang yang tunduk dan patuh terhadap organisasi kesehatan dunia maka mereka akan menganggapnya itulah kebenaran yang tidak terbantahkan oleh fatwâ Ahlul 'Ilmi yang mengerti tentang kesehatan. 

2) Masker merupakan penghambat terhadap asupan oksigen. Ketika seseorang memiliki riwayat penyakit pada pernapasannya atau pernah sakit paru-paru lalu diharuskan memakai masker maka ini akan mempengaruhi kesehatan pernapasannya, kalau kemudian penyakitnya kambuh maka kita khawatirkan itu akan dicurigai lagi terkena virus corona, lalu kalau dia mati karena sebab itu maka 
tentu ini adalah suatu kezhaliman karena menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya, berkata Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ، فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ

"Jagalah dirimu dari doa orang yang dizhalimi, karena sesungguhnya tidak ada penghalang di antaranya dan di antara Allâh." Riwayat Al-Bukhârî (no. 1496).
Apalagi sekarang kita lihat terlalu berlebih-lebihan dalam menerapkan keharusan memakai masker, sampai pernah terjadi yang tidak memakai masker dipukul pantatnya dengan rotan, juga siapa yang mendampingi pasien dalam keadaan tidak memakai masker maka klinik tidak menerima kecuali harus memakai masker. Demikian pula yang akan shalat berjamâ'ah harus memakai masker, sehingga anjuran untuk tidak memakai penutup pada wajah di saat shalat mereka abaikan, karena menurut mereka masker adalah wâjib:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ غَلَبَةِ الرِّجَالِ

"Yâ Allâh sesunguhnya aku berlindung kepada-Mu dari tekanan orang-orang berpengaruh."

Kita sangat kasihan melihat sebagian orang berolahraga supaya dapat hidup sehat, mereka berolahraga dengan berlari pagi dan sebagian yang lain bersepedaan dalam keadaan mereka memakai masker, ketika mereka berhenti terlihat seakan-akan sesak napas mereka, kalau dengan sebab masker itu membuat mereka terhambat dari asupan oksigen lalu terjadi apa-apa yang tidak diinginkan pada pernapasan mereka maka ini yang kita khawatirkan.

3) Dalam mentaati pemerintah ada dua ketentuan:
Pertama: Bukan dalam penyelisihan terhadap Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ dan Rasûl-Nya Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam. 
Syari'at menganjurkan atau memerintahkan kita untuk lari dari fitnah dan wabah maka kita akan lari darinya dengan tanpa melakukan penyelisihan terhadap syar'îat. Adapun kalau seseorang lari dari fitnah dan wabah dengan melakukan penyelisihan terhadap syar'îat maka mungkin saja dia lolos di saat larinya namun setelah itu dia akan mendapatkan akibat dari penyelisihannya terhadap syar'îat:

فَلۡیَحۡذَرِ ٱلَّذِینَ یُخَالِفُونَ عَنۡ أَمۡرِهِۦۤ أَن تُصِیبَهُمۡ فِتۡنَةٌ أَوۡ یُصِیبَهُمۡ عَذَابٌ أَلِیمٌ

"Hendaklah takut orang-orang yang menyelisihi perintahnya akan ditimpakan kepada mereka suatu fitnah atau ditimpakan kepada mereka siksaan yang pedih." [Surat An-Nûr: 63]. 

Kedua: Pada perkara yang dimampui, Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam saja seorang pemimpin Daulah Islâmiyyah yang wâjib diikuti dan ditaati oleh setiap orang namun dalam janji ketaatan beliau sebutkan pada perkara yang dimampui, berkata Jarîr Radhiyallâhu 'Anhu:

بَايَعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فَلَقَّنَنِي: فِيمَا اسْتَطَعْتَ

"Aku membai'at Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam untuk mendengar dan taat, beliau membimbingku: "Pada perkara yang kamu mampui." Riwayat Al-Bukhârî (no. 210).
Seseorang merasa tidak mampu mengenakan masker karena mengganggu proses pernapasannya lalu diharuskan kepadanya mengenakan masker di saat keluar mencari nafkah, jika dia tidak lagi keluar mencari nafkah apakah ada jaminan pemberian nafkah yang mencukupinya dari yang mengharuskan memakai masker?

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh pada hari Ahad tanggal 9 Syawwâl 1441 / 31 Mei 2020 di Maktabah Al-Khidhir Bekasi. 



AKIBAT MENINGGALKAN ILMU AGAMA DAN TIDAK MENOLONGNYA


Pertanyaan:
Semua keluarga Muslim jangan lagi meremehkan belajar ilmu pengobatan atau terapi, dimana hari ini Rumah Sakit hanya jadi rumah yang menakutkan. Mengenai pentingnya ilmu pengobatan, setelah ilmu-ilmu fiqih, halâl dan harâm membuat Al-Imâm Asy-Syâfi'î Rahimahullâh berkata:

لاَ أَعْلَمُ عِلْماً بَعْدَ الحَلاَلِ وَالحَرَامِ أَنْبَلَ مِنَ الطِّبِّ، إلَّا أَنَّ أَهْلَ الكِتَابِ قَدْ غَلَبُوْنَا عَلَيْهِ

“Aku tidak mengetahui suatu ilmu setelah ilmu halâl dan harâm yang lebih penting daripada ilmu pengobatan, melainkan Ahlul Kitâb telah mengungguli kita.”
Apakah ini benar perkataan Al-Imâm Asy-Syâfi'î?

Jawaban:
Yang termasuk perkataan Asy-Syâfi'î Rahimahullâh adalah:

لاَ أَعْلَمُ عِلْماً بَعْدَ الحَلاَلِ وَالحَرَامِ أَنْبَلَ مِنَ الطِّبِّ، إلَّا أَنَّ أَهْلَ الكِتَابِ قَدْ غَلَبُوْنَا عَلَيْهِ

“Aku tidak mengetahui suatu ilmu setelah ilmu halâl dan harâm yang lebih mulia daripada ilmu pengobatan, melainkan Ahlul Kitâb telah mengungguli kita.” 
Ini seperti yang diriwayatkan oleh murid beliau Ar-Rabî' Rahimahullâh, beliau katakan: 

سَمِعْتُ الشَّافِعِيَّ

"Aku mendengar Asy-Syâfi'î." Kemudian beliau menyebutkan perkataan Asy-Syâfi'î tersebut. Sebagaimana telah teriwayatkan di dalam "Siyar A'lâmin Nubalâ'. 
Dan Harmalah Rahimahullâh menyebutkan pula:

كَانَ الشَّافِعِيُّ يَتَلَهَّفُ عَلَى مَا ضَيَّعَ المُسْلِمُوْنَ مِنَ الطِّبِّ، وَيَقُوْلُ: ضَيَّعُوا ثُلُثَ العِلْمِ، وَوَكَلُوهُ إِلَى اليَهُوْدِ وَالنَّصَارَى

"Dahulu Asy-Syâfi'î menyesalkan terhadap apa yang orang-orang Muslim menerlantarkan ilmu pengobatan, beliau katakan: "Mereka telah menerlantarkan sepertiga ilmu. Mereka menyerahkannya kepada Yahûdî dan Nasharâ."

Mempelajari ilmu pengobatan atau ilmu kesehatan merupakan suatu anjuran dan hukumnya tidak lebih dari fardhu kifâyah, oleh karena itu jangan sampai seseorang mengutamakannya atas ilmu syar'î, jangan sampai melalaikannya dari ilmu syar'î. Seseorang harus memperkuat dan membentengi dirinya dengan ilmu syar'î, karena kalau tanpa ini seseorang akan mudah dipermainkan oleh orang yang bukan ahli dalam ilmu pengobatan dan akan mudah ditundukkan jika seseorang tidak membentengi dirinya dengan ilmu syar'î. Sekarang yang menjadi pemerintah dan pengendali terhadap organisasi kesehatan dunia bukanlah dari orang yang ahli kesehatan namun programer yang dapat menundukkan dan menekan para ahli kesehatan di seluruh dunia, yang kemudian bermunculan fatwâ-fatwâ mendukung programnya, sehingga perkara kesehatan dunia berada di tangannya, sungguh benar perkataan Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

إِذَا وُسِّدَ الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ

"Jika suatu perkara diserahkan kepada selain ahlinya maka nantikanlah kedatangan hari Kiamat." Riwayat Al-Bukhârî. 

Terjadinya perkara seperti sekarang ini, juga adanya wabah serta fitnah menimpa umat ini disebabkan karena dosa serta berpalingnya mereka dari mempelajari ilmu syar'î dan menolongnya, berkata Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمْ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا، لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ 

“Apabila kalian telah melakukan jual beli dengan sistem terlarang, kalian tersibukkan dengan mengurusi sapi, terlalu senang dengan bercocok tanam sehingga kalian meninggalkan jihâd, maka Allâh jadikan berkuasa kepada kalian suatu kehinaan, Allâh tidak akan mencabut kehinaan itu dari kalian sampai kalian kembali kepada agama kalian”. Riwayat Abû Dâwud dan yang lainnya. 

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada hari Kamis tanggal 7 Syawwâl 1441 / 29 Mei 2020 di Maktabah Al-Khidhir Bekasi. 

⛵⛵⛵


Jumat, 29 Mei 2020

PERANG DUNIA 3 SEMAKIN DEKAT


Pertanyaan:
Ustâdz, kalau nanti pasukan orang-orang mu'min Indonesia pada bergabung dengan pasukan Imâm Mahdî, lalu bagaimana isteri-isteri dan anak-anak mereka? dititipkan dimana? Ataukah ikut dibawa? 

Jawaban:
Mereka menitipkan keluarga mereka di tempat aman yang telah ditaklukkan oleh mereka sebagaimana kebiasaan dalam peperangan yang telah berlalu, hingga kemudian mereka menitipkan keluarga mereka di Madînah yang tentunya setelah pengosongan Madînah dari orang-orang munâfiq. 
Mereka menitipkan keluarga mereka di Madînah karena mereka akan terus maju berjihâd untuk menaklukkan Konstantinopel, ini seperti yang diceritakan oleh Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَنْزِلَ الرُّومُ بِالأَعْمَاقِ أَوْ بِدَابِقَ فَيَخْرُجُ إِلَيْهِمْ جَيْشٌ مِنَ الْمَدِينَةِ مِنْ خِيَارِ أَهْلِ الأَرْضِ يَوْمَئِذٍ، فَإِذَا تَصَافُّوا قَالَتِ الرُّومُ: خَلُّوا بَيْنَنَا وَبَيْنَ الَّذِينَ سَبَوْا مِنَّا نُقَاتِلْهُمْ. فَيَقُولُ الْمُسْلِمُونَ: لاَ وَاللَّهِ لاَ نُخَلِّي بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ إِخْوَانِنَا. فَيُقَاتِلُونَهُمْ فَيَنْهَزِمُ ثُلُثٌ لاَ يَتُوبُ اللَّهُ عَلَيْهِمْ أَبَدًا، وَيُقْتَلُ ثُلُثُهُمْ أَفْضَلُ الشُّهَدَاءِ عِنْدَ اللَّهِ، وَيَفْتَتِحُ الثُّلُثُ لاَ يُفْتَنُونَ أَبَدًا، فَيَفْتَتِحُونَ قُسْطُنْطِينِيَّةَ فَبَيْنَمَا هُمْ يَقْتَسِمُونَ الْغَنَائِمَ قَدْ عَلَّقُوا سُيُوفَهُمْ بِالزَّيْتُونِ إِذْ صَاحَ فِيهِمُ الشَّيْطَانُ: إِنَّ الْمَسِيحَ قَدْ خَلَفَكُمْ فِي أَهْلِيكُمْ. فَيَخْرُجُونَ وَذَلِكَ بَاطِلٌ، فَإِذَا جَاءُوا الشَّأْمَ خَرَجَ فَبَيْنَمَا هُمْ يُعِدُّونَ لِلْقِتَالِ يُسَوُّونَ الصُّفُوفَ إِذْ أُقِيمَتِ الصَّلاَةُ فَيَنْزِلُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ فَأَمَّهُمْ، فَإِذَا رَآهُ عَدُوُّ اللَّهِ ذَابَ كَمَا يَذُوبُ الْمِلْحُ فِي الْمَاءِ فَلَوْ تَرَكَهُ لاَنْذَابَ حَتَّى يَهْلِكَ وَلَكِنْ يَقْتُلُهُ اللَّهُ بِيَدِهِ فَيُرِيهِمْ دَمَهُ فِي حَرْبَتِهِ

"Tidak akan terjadi hari Kiamat hingga bangsa Romawi datang ke A'mâq dan Dâbiq, lalu pasukan dari Madînah datang menghadang mereka. Mereka termasuk penduduk bumi yang terbaik pada zamannya. Ketika mereka telah berbaris, bangsa Romawi berkata: “Biarkanlah antara kami dan orang yang tertawan dari kalangan kami sehingga kami dapat membunuh mereka.” Kemudian kaum Muslimîn berkata: “Demi Allâh, kami tidak akan membiarkan antara kalian dengan saudara-saudara kami (tawanan dari bangsa Romawi yang telah memeluk Islâm),” lalu kaum Muslimîn memerangi mereka. Yang sepertiga dari mereka menyerah dan tunduk kepada musuh, Allâh tidak menerima taubat mereka selamanya. Yang sepertiga dari mereka dibunuh, mereka adalah sebaik-baik syuhadâ di sisi Allâh. Dan yang sepertiga melakukan penaklukan, mereka tidak akan terkena fitnah untuk selamanya. Lalu mereka menaklukkan Konstantinopel. Tatkala mereka sedang membagikan harta rampasan perang, dan mereka telah menggantungkan pedang-pedang mereka di pohon zaitûn, tiba-tiba setan berteriak:
"Sesungguhnnya Al-Masîh Ad-Dajjâl telah mendatangi keluarga kalian." Kemudian mereka keluar, ternyata itu adalah dusta. Setelah itu mereka menuju ke Syâm, ternyata Al-Masîh Dajjâl keluar.
Tatkala mereka sedang mempersiapkan diri untuk perang, mereka meluruskan barisan, ternyata dikumandangkan adzân untuk shalat, tiba-tiba ‘Îsâ bin Maryam turun maka mereka memintanya untuk mengimami mereka. Apabila musuh Allâh (yakni Al-Masîh Ad-Dajjâl) melihat beliau maka dia akan meleleh sebagaimana garam larut di dalam air, kalaupun beliau membiarkannya tetap dia akan meleleh lalu binasa, akan tetapi Allâh menginginkan beliau membunuhnya dengann tangannya lalu memperlihatkan kepada mereka darahnya yang ada di belatinya." Riwayat Muslim (no. 7460). 

Pada hadîts ini dapat kita petik faedah, di antaranya:

1) Termasuk tanda semakin dekatnya hari Kiamat adalah adanya peperangan, berkata Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

وَيَكْثُرَ الْهَرْجُ وَهْوَ الْقَتْلُ الْقَتْلُ

"Akan banyak kerusuhan, yaitu peperangan benar-benar terjadi." Riwayat Al-Bukhârî (no. 85).

2) Akan terjadi pengosongan Madînah, yakni semua orang-orang munâfiq akan keluar darinya, ini terjadi pada perang dunia besar-besaran, berkata Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

عُمْرَانُ بَيْتِ الْمَقْدِسِ خَرَابُ يَثْرِبَ، وَخَرَابُ يَثْرِبَ خُرُوجُ الْمَلْحَمَةِ وَخُرُوجُ الْمَلْحَمَةِ فَتْحُ الْقُسْطَنْطِينِيَّة، وَفَتْحُ الْقُسْطَنْطِينِيَّة خُرُوجُ الدَّجَّالِ

"Kemakmuran Baitul Maqdis itu pada saat pengosongan Yatsrib, pengosongan Yatsrib itu pada saat terjadinya perang dunia besar-besaran, terjadinya perang dunia besar-besaran itu pada saat penaklukan Konstantinopel dan penaklukan Konstantinopel itu pada saat keluarnya Dajjâl." Riwayat Abû Dâwud (no. 4294).

3) Setelah Madînah dibersihkan dari orang-orang munâfiq, dan seluruh penduduknya telah murni kaum Muslimîn dengan tanpa ada seorang munâfiqpun lalu berangkatlah kaum Muslimîn yang dipimpin oleh Muhammad Al-Mahdî Radhiyallâhu 'Anhum untuk menghadang pasukan Romawi, kejadiannya seakan-akan pasukan Badr yang keluar dari Madînah untuk menghadang pasukan kaum Musyrikîn dari Makkah. Pasukan terbaik dan sebaik-baik pasukan di dalam Islâm adalah pasukan Badr dan pasukan kaum Muslimîn dengan pimpinan Muhammad Al-Mahdî Radhiyallâhu 'Anhum dalam menghadang pasukan Romawi lalu menaklukkan Konstantinopel. Ini seperti yang disebutkan di dalam hadîts dha'îf:

لَتُفْتَحَنَّ الْقُسْطَنْطِينِيَّةُ فَلَنِعْمَ الْأَمِيرُ أَمِيرُهَا وَلَنِعْمَ الْجَيْشُ ذَلِكَ الْجَيْشُ

"Akan benar-benar ditaklukkan Konstantinopel, sebaik-baik pemimpin adalah pemimpin yang menaklukannya dan sebaik-baik pasukan adalah pasukan yang menaklukannya."

Dan masih sangat banyak faedah dari hadîts tersebut yang tidak mungkin kita sebutkan di kesempatan ini, Wabillâhit Taufîq.

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh pada hari Sabtu tanggal 8 Syawwâl 1441 / 30 Mei 2020 di Maktabah Al-Khidhir Bekasi Indonesia. 

⛵️ http://t.me/majaalisalkhidhir

ORANG YANG TERLILIT HUTANG BERHAK MENERIMA ZAKAT

Pertanyaan:
Kalau ada orang terlilit hutang, sudah menjual tanahnya untuk membayar tapi belum terbayar juga, bolehkah dia dimasukkan sebagai mustahiq. Jazâkallâhu khairan Ustâdz.

Jawaban:
Orang yang terlilit hutang dan dia sudah berusaha untuk membayarnya namun tidak kunjung terbayar maka dia termasuk orang yang berhak mendapatkan zakat sebagaimana yang disebutkan di dalam ayat:

إِنَّمَا ٱلصَّدَقَـٰتُ لِلۡفُقَرَاۤءِ وَٱلۡمَسَـٰكِینِ وَٱلۡعَـٰمِلِینَ عَلَیۡهَا وَٱلۡمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمۡ وَفِی ٱلرِّقَابِ وَٱلۡغَـٰرِمِینَ وَفِی سَبِیلِ ٱللَّهِ وَٱبۡنِ ٱلسَّبِیلِ

"Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang faqîr, orang-orang miskîn, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allâh dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan." [Surat At-Taubah: 60].
Berkata Al-Hasan:

فِي أَيِّهَا أَعْطَيْتَ أَجْزَأَتْ

"Kepada siapa saja yang kamu berikan dari mereka yang disebutkan pada ayat maka zakatmu telah sah." Riwayat Al-Bukhârî tanpa sanad.

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada hari Jum'at tanggal 7 Syawwâl 1441 / 29 Mei 2020 di Maktabah Al-Khidhir Bekasi. 

⛵⛵⛵
http://t.me/majaalisalkhidhir

SHALAT LAIL 1 RAKA'AT

Pertanyaan:
Mau nanya, saat shalat tarâwih di bulan Ramadhân, bolehkah shalat witir dilakukan dengan 1 raka'at? 

Jawaban:
Boleh bagi seseorang shalat witir 1 raka'at saja, baik dia witir sebelum tidur atau setelah tidur, yang terpenting sebelum masuk shubuh, berkata Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمُ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً

"Jika salah seorang di antara kalian khawatir masuk shubuh maka hendaklah dia shalat 1 raka'at." Riwayat Al-Bukhârî (no. 990).
Amîrul Mu'minîn 'Utsmân bin 'Affân Radhiyallâhu 'Anhu pernah shalat malam 1 raka'at, yakni shalat witir.

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada hari Jum'at tanggal 7 Syawwâl 1441 / 29 Mei 2020 di Maktabah Al-Khidhir Bekasi. 

⛵⛵⛵
http://t.me/majaalisalkhidhir

Kamis, 28 Mei 2020

MENTALQÎN ORANG YANG AKAN MATI

Pertanyaan:
Akhî saya minta tolong disampaikan pertanyaan kepada Ustâdz Muhammad Al-Khidhir. Benarkah apabila ada seseorang yang mau menghadapi sakaratul maut supaya dibimbing untuk melakukan shalat?

Jawaban:
Orang yang berhadapan dengan sakaratul maut disunnahkan dan dianjurkan untuk membimbingnya dengan kalimat tauhîd, sama saja keberadaannya sebagai muslim atau non muslim, Al-Bukhârî Rahimahullâh meriwayatkan di dalam "Shahîh"nya dari jalur Sa'îd Ibnul Musayyab dari ayahnya:

أَنَّ أَبَا طَالِبٍ لَمَّا حَضَرَتْهُ الْوَفَاةُ دَخَلَ عَلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعِنْدَهُ أَبُو جَهْلٍ فَقَالَ: أَيْ عَمِّ، قُلْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ. كَلِمَةً أُحَاجُّ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ

"Sesungguhnya Abû Thâlib tatkala kematian akan menjemputnya maka Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam menemuinya, sedangkan di sampingnya ada Abû Jahl, lalu beliau berkata: "Wahai paman: Katakanlah: Tidak ada sesembahan dengan benar kecuali Allâh, suatu kalimat yang aku akan memberi syafa'at dengan sebabnya untukmu di sisi Allâh."

Di dalam "Shahîh Muslim" terdapat suatu bâb yang memperjelas anjuran untuk membimbing orang yang akan mati:

بَابُ تَلْقِينِ الْمَوْتَى لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ

"Bâb mentalqîn orang yang akan mati dengan Lâ Ilaha Ilallâhu."
Setelah bâb ini, disebutkan pula suatu riwayat dari Abû Sa'îd Al-Khudrî Radhiyallâhu 'Anhu dari Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam, beliau berkata:

لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ

"Talqînlah oleh kalian terhadap orang yang akan mati di antara kalian dengan Lâ Ilaha Ilallâhu."

Adapun membimbing orang yang akan mati supaya melakukan shalat maka ini bagi orang yang belum shalat di waktu shalat yang dia berada padanya, misalnya seseorang sakaratul maut di akhir waktu 'ashar dalam keadaan dia belum shalat maka dibimbing untuk shalat 'ashar karena wâjib baginya, tentu disesuaikan dengan keadaannya, jika dia hanya mampu memberi isyarat maka dia shalat dengan memberi isyarat, berkata Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ:

فَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ مَا ٱسۡتَطَعۡتُمۡ 

"Bertakwalah kalian kepada Allâh sesuai dengan kemampuan kalian." [Surat At-Taghâbun: 16].

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada hari Jum'at tanggal 8 Syawwâl 1441 / 29 Mei 2020 di Maktabah Al-Khidhir Bekasi. 

⛵⛵⛵

HUKUM MENGOLOK-OLOK ORANG BERIMAN

Pertanyaan:
Ustâdz ana mau bertanya: Saya sering mendengar kalimat-kalimat olokan dari beberapa penuntut ilmu dan bahkan beberapa dâ'î, yang isi kalimatnya adalah mengolok perbuatan atau amal seseorang atau suatu kelompok yang keliru atau menyimpang, dengan kata lain menjadikan kekeliruan dan penyimpangan orang atau suatu kelompok sebagai bahan candaan dalam obrolan bahkan dalam majelis. Apakah ini dibenarkan? Apakah ada olok-olok yang diperbolehkan?

Jawaban:
Olok-olokan adalah suatu penamaan terhadap setiap perkataan yang mengandung ejekan dan penghinaan, dan ini termasuk perbuatan tercela yang tidak dilakukan oleh para Nabî, kalau pun ada dari dalîl yang nampak seakan-akan para Nabî mengolok-olok terhadap orang-orang kâfir maka olok-olokan itu tidak langsung dilakukan sebagai balasan setelah adanya olok-olokan dari orang-orang kâfir, namun itu dilakukan setelah orang-orang kâfir mendapatkan azab, ini seperti pada perkataan Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ tentang Rasûl-Nya Nûh 'Alaihish Shalâtu was Salâm:

وَيَصْنَعُ الْفُلْكَ وَكُلَّمَا مَرَّ عَلَيْهِ مَلَأٌ مِنْ قَوْمِهِ سَخِرُوا مِنْهُ ۚ قَالَ إِنْ تَسْخَرُوا مِنَّا فَإِنَّا نَسْخَرُ مِنْكُمْ كَمَا تَسْخَرُونَ

"Nûh-pun membuat kapal, setiap kali para tokoh dari kaumnya melewatinya maka mereka mengolok-oloknya, Nûh-pun berkata: Jika kalian memperolok-olok kami maka sungguh kami akan memperolok-olok kalian sebagaimana kalian memperolok-olok." [Surat Hûd: 38].
Ayat ini pun tidak menjelaskan bahwa beliau langsung membalas olok-olokan mereka, namun disebutkan oleh Ahli Tafsîr:

إِذَا عَايَنْتُمْ عَذَابَ اللَّهِ

"Ketika kalian telah melihat azab Allâh." Yakni:

إِذَا نَزَلَ الْعَذَابُ بِكُمْ

"Jika telah turun azab kepada kalian."

Oleh karena itu tidaklah pantas bagi seorang muslim mengolok-olok muslim yang lain, apalagi di saat muslim yang lain itu masih hidup, karena bisa jadi setelah adanya olok-olokan kepadanya maka dia akan diperbaiki oleh Allâh 'Azza wa Jalla sehingga menjadi lebih baik daripada orang yang mengolok-oloknya, berkata Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ

"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, bisa jadi mereka yang diolok-olok itu lebih baik dari mereka yang mengolok-olok, dan jangan pula perempuan-perempuan mengolok-olok perempuan lain, bisa jadi perempuan yang diolok-olok itu lebih baik dari perempuan yang mengolok-olok." [Surat Al-Hujurât: 11].

Kita terkadang tidak menyadari bahwa pertolongan Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ datang kepada kita itu setelah adanya olok-olokan dari orang lain terhadap kita.

Semoga Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ menjauhkan kita dari perbuatan mengolok-olok orang beriman, karena mengolok-olok orang beriman adalah harâm berdasarkan ijmâ' 'Ulamâ. Dan semoga Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ menghiasi diri kita dengan akhlak yang mulia, karena akhlak yang mulia merupakan salah satu tanda kesempurnaan îmân bagi orang yang beriman:

أَكْمَلُ المُؤمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُم خُلُقًا

"Paling sempurnanya iman bagi orang-orang yang beriman adalah yang paling bagusnya akhlak mereka." Riwayat At-Tirmidzî.

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada hari Senin 9 Ramadhân 1440 / 13 Mei 2019 di Maktabah Al-Khidhir Bekasi. 


Rabu, 27 Mei 2020

MEMBAYAR FIDYAH HANYA DENGAN MAKANAN SIAP SANTAP

Pertanyaan:
'Afwân Ustâdz izin bertanya, bagaimana cara membayar fidyah? Apakah cukup nasi kotak (nasi bungkus) atau bisakah dengan bahan mentah semisal beras? Jazâkallâhu khairan.

Jawaban:
Membayar fidyah hanyalah dengan makanan yang siap santap, seperti nasi bungkus atau makanan lainnya yang mengenyangkan bagi faqîr miskîn, sebagaimana yang dilakukan oleh Anas bin Mâlik Radhiyallâhu 'Anhu, berkata Al-Bukhârî di dalam "Shahîh"nya secara mu'allaq:

فَقَدْ أَطْعَمَ أَنَسٌ بَعْدَ مَا كَبِرَ عَامًا أَوْ عَامَيْنِ كُلَّ يَوْمٍ مِسْكِينًا خُبْزًا وَلَحْمًا وَأَفْطَرَ

"Sungguh Anas ketika telah lanjut usia dalam setahun atau dua tahun, beliau memberi makan pada setiap hari kepada seorang miskîn dengan roti dan daging, dalam keadaan beliau tidak berpuasa."

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada hari Kamis tanggal 7 Syawwâl 1441 / 29 Mei 2020 di Maktabah Al-Khidhir Bekasi. 

⛵⛵⛵

KEHARUSAN UNTUK KEMBALI MEMPELAJARI ILMU SYAR'Î

Pertanyaan:
Semua keluarga Muslim jangan lagi meremehkan belajar ilmu pengobatan atau terapi, dimana hari ini Rumah Sakit hanya jadi rumah yang menakutkan. Mengenai pentingnya ilmu pengobatan, setelah ilmu-ilmu fiqih, halâl dan harâm membuat Al-Imâm Asy-Syâfi'î Rahimahullâh berkata:

لاَ أَعْلَمُ عِلْماً بَعْدَ الحَلاَلِ وَالحَرَامِ أَنْبَلَ مِنَ الطِّبِّ، إلَّا أَنَّ أَهْلَ الكِتَابِ قَدْ غَلَبُوْنَا عَلَيْهِ

“Aku tidak mengetahui suatu ilmu setelah ilmu halâl dan harâm yang lebih penting daripada ilmu pengobatan, melainkan Ahlul Kitâb telah mengungguli kita.”
Apakah ini benar perkataan Al-Imâm Asy-Syâfi'î?

Jawaban:
Yang termasuk perkataan Asy-Syâfi'î Rahimahullâh adalah:

لاَ أَعْلَمُ عِلْماً بَعْدَ الحَلاَلِ وَالحَرَامِ أَنْبَلَ مِنَ الطِّبِّ، إلَّا أَنَّ أَهْلَ الكِتَابِ قَدْ غَلَبُوْنَا عَلَيْهِ

“Aku tidak mengetahui suatu ilmu setelah ilmu halâl dan harâm yang lebih mulia daripada ilmu pengobatan, melainkan Ahlul Kitâb telah mengungguli kita.” 
Ini seperti yang diriwayatkan oleh murid beliau Ar-Rabî' Rahimahullâh, beliau katakan: 

سَمِعْتُ الشَّافِعِيَّ

"Aku mendengar Asy-Syâfi'î." Kemudian beliau menyebutkan perkataan Asy-Syâfi'î tersebut. Sebagaimana telah teriwayatkan di dalam "Siyar A'lâmin Nubalâ'. 
Dan Harmalah Rahimahullâh menyebutkan pula:

كَانَ الشَّافِعِيُّ يَتَلَهَّفُ عَلَى مَا ضَيَّعَ المُسْلِمُوْنَ مِنَ الطِّبِّ، وَيَقُوْلُ: ضَيَّعُوا ثُلُثَ العِلْمِ، وَوَكَلُوهُ إِلَى اليَهُوْدِ وَالنَّصَارَى

"Dahulu Asy-Syâfi'î menyesalkan terhadap apa yang orang-orang Muslim menerlantarkan ilmu pengobatan, beliau katakan: "Mereka telah menerlantarkan sepertiga ilmu. Mereka menyerahkannya kepada Yahûdî dan Nasharâ."

Mempelajari ilmu pengobatan atau ilmu kesehatan merupakan suatu anjuran dan hukumnya tidak lebih dari fardhu kifâyah, oleh karena itu jangan sampai seseorang mengutamakannya atas ilmu syar'î, jangan sampai melalaikannya dari ilmu syar'î. Seseorang harus memperkuat dan membentengi dirinya dengan ilmu syar'î, karena kalau tanpa ini seseorang akan mudah dipermainkan oleh orang yang bukan ahli dalam ilmu pengobatan dan akan mudah ditundukkan jika seseorang tidak membentengi dirinya dengan ilmu syar'î. Sekarang yang menjadi pemerintah dan pengendali terhadap organisasi kesehatan dunia bukanlah dari orang yang ahli kesehatan namun programer yang dapat menundukkan dan menekan para ahli kesehatan di seluruh dunia, yang kemudian bermunculan fatwâ-fatwâ mendukung programnya, sehingga perkara kesehatan dunia berada di tangannya, sungguh benar perkataan Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

إِذَا وُسِّدَ الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ

"Jika suatu perkara diserahkan kepada selain ahlinya maka nantikanlah kedatangan hari Kiamat." Riwayat Al-Bukhârî. 

Terjadinya perkara seperti sekarang ini, juga adanya wabah serta fitnah menimpa umat ini disebabkan karena dosa serta berpalingnya mereka dari mempelajari ilmu syar'î dan menolongnya, berkata Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمْ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا، لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ 

“Apabila kalian telah melakukan jual beli dengan sistem terlarang, kalian tersibukkan dengan mengurusi sapi, terlalu senang dengan bercocok tanam sehingga kalian meninggalkan jihâd, maka Allâh jadikan berkuasa kepada kalian suatu kehinaan, Allâh tidak akan mencabut kehinaan itu dari kalian sampai kalian kembali kepada agama kalian”. Riwayat Abû Dâwud dan yang lainnya. 

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada hari Kamis tanggal 7 Syawwâl 1441 / 29 Mei 2020 di Maktabah Al-Khidhir Bekasi. 

⛵⛵⛵

THÂLIBUL 'ILMI JULUKAN YANG DIHORMATI OLEH PENDUDUK LANGIT DAN BUMI


Sebagian orang yang merasa memiliki beberapa julukan terkadang meremehkan orang yang berjulukan Thâlibul 'Ilmi, apalagi kalau orang tersebut berlainan pendapat dengan mereka, maka dengan bangga mereka katakan: "Siapa dia? Tidaklah dia itu kecuali hanya seorang Thâlibul 'Ilmi."

Mereka sadari ataupun tidak, bahwasanya penduduk langit dan bumi telah mempersaksikan tentang kemuliaan julukan Thâlibul 'Ilmi, Ahmad bin Hanbal pernah berkata di hadapan murid-murid beliau dari kalangan Ahlul Hadîts tentang Baqî bin Makhlad Rahmatullâh 'Alainâ wa 'Alaihim:

هٰذَا يَقَعُ عَلَيهِ اسْمُ طَالِبِ العِلْمِ

"Beliau ini pantas baginya sebutan Thâlibul 'Ilmi."

Beliau dijuluki oleh seorang imâm besar di hadapan para muridnya dari kalangan Ahlul Hadîts dengan julukan Thâlibul 'Ilmi", sebab kesungguhan beliau untuk memperoleh ilmu, beliau mencari ilmu dengan menempuh perjalanan jauh dari Andalusia ke Baghdâd dengan berjalan kaki sampai melewati 5.000 KM, tujuannya supaya mengambil ilmu secara langsung dari Ahmad bin Hanbal Rahmatullâh 'Alainâ wa 'Alaihim. Ketika beliau hampir mendekati Baghdâd maka sampailah berita kepada beliau bahwa Ahmad bin Hanbal dilarang oleh pemerintah untuk berkumpul dengan masyarakat dan dilarang pula untuk membuka kajian, beliau menuturkan:

فَاغْتَمَمتُ لِذٰلِكَ كَثِيرًا

"Maka aku sangat sedih dengan berita tersebut."
Bersamaan dengan itu, tidaklah melemah semangat beliau untuk tetap melanjutkan perjalanan hingga sampai ke Baghdâd. Setelah beliau sampai di Baghdâd maka beliau bergegas menemui Ahmad bin Hanbal, akan tetapi Ahmad bin Hanbal berkata kepada beliau:

أَنَا مُمتَحَنٌ وَمَمنُوعٌ مِنَ التَّدرِيسِ وَالتَّعلِيمِ

"Aku adalah orang yang diuji dan dilarang dari membuka pengajian dan taklîm."

Ternyata adanya ujian dan larangan ini tidak membuat beliau untuk pergi meninggalkan Ahmad bin Hanbal Rahmatullâh 'Alainâ wa 'Alaihim, beliau tetap berusaha untuk mendapatkan ilmu dari Ahmad bin Hanbal, beliau berkata kepadanya:

أَنَا رَجُلٌ غَرِيبٌ؛ فَإِن أَذَنتَ لِي آتِيكَ كُلَّ يَومٍ فِي لِبَاسِ الفُقَرَاءِ وَالشَّحَاذِينَ، وَأَقِفُ عِندَ دَارِكَ، وَأَسْأَلُ الصَّدَقَةَ وَالمُسَاعَدَةَ؛ فَتَخرُجُ إِلَيَّ وَتُحَدِّثُنِي؛ وَلَو بِحَدِيثٍ وَاحِدٍ

"Aku adalah orang yang asing, jika kamu memberi izin kepadaku untuk datang menemuimu dalam setiap hari dengan memakai pakaian orang-orang miskin dan pakaian para pengemis, kemudian aku berdiri di depan rumahmu dan meminta sedekah serta bantuan, lalu kamu keluar menemuiku sambil membacakan hadîts kepadaku meskipun hanya satu hadîts."
Setiap hari beliau berbuat seperti itu, sehingga beliau memiliki banyak hadîts dari Ahmad bin Hanbal, beliau sebutkan hadîts yang beliau riwayatkan dari Ahmad bin Hanbal dengan cara tersebut:

حَتَّى اجْتَمَعَ لِي قُرَابَةَ ثَلَاثِ مِئَةِ حَدِيثٍ

"Sampai terkumpul kepadaku sekitar 300 hadîts."

Tidak berhenti di situ perjuangan beliau untuk memperoleh ilmu dari Ahmad bin Hanbal, namun setelah Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ menolong Ahmad bin Hanbal dari kezhaliman pemerintah dan mengokohkannya di dalam berdakwah maka beliau terus menerus menghadiri majelis Ahmad bin Hanbal, di majelis yang dihadiri oleh banyaknya manusia dari kalangan Ahlul Hadîts dan selain mereka inilah Ahmad bin Hanbal berkata tentang Baqî bin Makhlad:

هٰذَا يَقَعُ عَلَيهِ اسْمُ طَالِبِ العِلْمِ

"Beliau ini pantas baginya sebutan Thâlibul 'Ilmi."

Maka masihkah ada dari sebagian orang yang berani menganggap rendah julukan Thâlibul 'Ilmi ini? Atau sampai meremehkan orang dengan ucapan: "Siapa dia? Dia hanyalah seorang Thâlibul 'Ilmi."

Padahal julukan yang paling dihormati dan dimuliakan oleh para malaikat adalah julukan Thâlibul 'Ilmi ini, berkata Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

وَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ

“Sesungguhnya para malaikat meletakkan sayap mereka karena ridhâ kepada Thâlibul 'Ilmi.” Riwayat Abû Dâwud dan Ibnu Mâjah.
Dengan demikian, sungguh mengherankan jika ada orang merasa tidak puas dengan pengakuannya sebagai Thâlibul 'Ilmi lalu mencari tazkiyah ke sebagian orang supaya disifati atau dijuluki di hadapannya dengan selain julukan itu, belumkah cukup nasehat dari Yazîd bin Maisarah Rahmatullâh 'Alainâ wa 'Alaihim: 

إِذَا زَكَّاكَ رَجُلٌ فِي وَجْهِكَ فَأَنْكِرْ عَلَيْهِ وَاغْضَبْ، وَلَا تُقِرَّ بِذَلِكَ، وَقُلْ: اللَّهُمَّ لَا تُؤَاخِذْنِي بِمَا يَقُولُونَ، وَاغْفِرْ لِي مَا لَا يَعْلَمُونَ

"Jika seseorang mentazkiyah dirimu di depanmu maka jangan terima, jangan senang serta jangan mengakuinya, dan berdoalah: "Yâ Allâh janganlah Engkau menghukumku karena apa yang mereka katakan dan berilah ampunan kepadaku terhadap apa yang mereka tidak mengetahui." Riwayat Abû Nu'aim di dalam "Hilyatul Auliyâ".

Dari fâidah kajian Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada malam Kamis 30 Dzulqa'dah 1440 / 1 Agustus 2019 di Maktabah Al-Khidhir Bekasi. 


Selasa, 26 Mei 2020

MERAIH BERKAH DENGAN BERSEDEKAH


📝 Pertanyaan:
Pak Ustâdz, Alhamdulillâh dengan kemurahan dan belas kasihan Allâh kepada saya dan keluarga, saya memperoleh kecukupan rezeki dan kadang Allâh beri tambahan rezeki kepada saya dan keluarga, saya sekeluarga senang dengan adanya tambahan ini, sebagai rasa terima kasih saya sekeluarga kepada Allâh maka saya senang menyedekahkan tambahan ini. Prinsip saya sekeluarga hendaklah sedekah yang saya serahkan bisa berpahala sangat besar, bagaimana caranya saya sekeluarga dengan menyedekahkan tambahan ini bisa mencapai tingkatan yang paling utama dan berpahala sangat besar? Terima kasih pak Ustâdz. 

📋Jawaban:
Setiap orang baik tentu memiliki harapan seperti yang kamu harapkan, supaya kamu memperoleh pahala yang sangat besar dan kamu bisa meraih berkah dengan bersedekah maka perlu bagimu untuk mengetahui adab-adab bersedekah, di antara adab-adabnya adalah:

Ikhlas karena Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ. 

Bila seseorang ikhlas dalam bersedekah, walaupun sedekah yang dia berikan itu sangat kecil namun karena keikhlasannya maka Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ akan berikan kepadanya pahala yang besar. Oleh karena itu para salaf menyebutkan: "Betapa banyak amalan kecil menjadi besar dikarenakan niat." 
Berkata Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam: 

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

"Sesungguhnya berbagai amalan tergantung pada niatnya, dan bahwasanya bagi setiap orang tergantung pada apa yang dia niatkan." Riwayat Al-Bukhârî dan Muslim dari 'Umar Ibnul Khaththâb Radhiyallâhu 'Anhu.

Tidak mengharap balasan dari orang yang disedekahi namun mengharap balasan hanya dari Allâh 'Azza wa Jalla.

Berkata Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ:

وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ

"Apa saja dari sesuatu yang kalian nafkahkan maka Allâh yang akan menggantinya dan Dia adalah sebaik-baik Pemberi rezki." (Surat Sabâ': 39).

Berupaya memberikan sedekah dalam keadaan diam-diam dan sembunyi-sembunyi. 

Berkata Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ

"Tujuh orang yang Allâh menaungi mereka di dalam naungan-Nya, pada suatu hari yang tidak ada naungan kecuali hanya naungan-Nya..." 
Disebutkan di antaranya:

وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ أَخْفَى حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللّٰهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ

"Seseorang yang dia bersedekah dalam keadaan sembunyi-sembunyi sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang dinafkahkan oleh tangan kanannya. Dan seseorang yang dia berdzikir kepada Allâh dalam keadaan bersepi-sepian lalu meneteslah air matanya." Riwayat Al-Bukhârî dan Muslim dari Abû Hurairah Radhiyallâhu 'Anhu. 
Orang yang bersedekah dalam keadaan sembunyi-sembunyi ini lebih menjaga hati dari bahaya pujian dan sanjungan orang lain, karena seseorang terkadang diawal akan bersedekah dalam keadaan ikhlas namun ketika ada yang melihatnya diapun berubah niatnya hingga muncul riyâ' (ingin dilihat) atau setelah bersedekah muncul padanya sum'a (ingin didengar kalau dia sudah bersedekah), tentu ini sangat membahayakan, oleh karena itu Ibnu 'Abdil Barr Rahimahullâh berkata:  

قَالَ بَعْضُ الْحُكَمَاءِ: إِخْفَاءُ الْعَمَلِ نَجَاةٌ وَإِخْفَاءُ الْعِلْمِ هَلَكَةٌ

"Berkata sebagian orang-orang bijak: Menyembunyikan amalan adalah keselamatan dan menyembunyikan ilmu adalah kebinasaan."
Diperkecualikan bersedekah secara terang-terangan dalam rangka memberi contoh atau memotivasi orang lain supaya bersedekah sebagaimana dia telah bersedekah, Al-Imâm Ahmad dan Muslim meriwayatkan dari Jarîr bin 'Abdillâh bahwa sekelompok orang dari kalangan Arab pedalaman datang dalam keadaan mereka memerlukan makanan maka Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam memotivasi para shahabatnya untuk bersedekah lalu bersegeralah seorang laki-laki dari kalangan Anshâr memberi sedekah, yang lainnya ikut memberi sedekah, dengan sebab itu Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam bekata:

مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ

"Barangsiapa membuat teladan di dalam Islâm dengan teladan yang baik maka untuknya pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya setelahnya dengan tanpa dikurangi sedikit pun dari pahala-pahala mereka yang mengamalkannya."

Memberikan sedekah dengan sesuatu yang baik lagi bisa digunakan.

Berkata Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ:

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ

"Sekali-kali kalian tidak sampai kepada kebaikan yang sempurna hingga kalian menafkahkan dari apa-apa yang kalian cintai. Apa saja yang kalian nafkahkan maka sesungguhnya Allâh adalah 'Alîm (Maha Mengetahui) tentangnya." (Ãli 'Imrân: 92).

Bersedekah dengan sesuatu yang halâl. 

Berkata Rasûlullâh Muhammad Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا

"Wahai manusia, sesungguhnya Allâh adalah Thayyib (Maha Baik), Dia tidak menerima kecuali yang baik-baik." Riwayat Ahmad dan Muslim dari Abû Hurairah Radhiyallâhu 'Anhu.

Mengutamakan dalam menyerahkan sedekah kepada orang yang paling memerlukan.

Para shahabat yang bersedekah di awal-awal Islâm itu lebih utama dan lebih besar pahalanya, karena pada awal-awal Islâm itu sangat dibutuhkan bantuan dan dukungan, Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam ketika sampai di negeri tempat beliau berhijrah maka beliau langsung meminta kepada Banî An-Najjâr untuk membeli sebidang tanah mereka karena beliau sangat memerlukan tanah tersebut untuk membangun masjid yang akan digunakan untuk beribadah kepada Allâh dan untuk diajarkan ayat-ayat Allâh di dalamnya, Banî An-Najjâr sangat mengerti bahwa betapa penting dan perlunya Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam terhadap suatu masjid maka mereka berkata kepada Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam: 

وَاللّٰهِ لاَ نَطْلُبُ ثَمَنَهُ إِلاَّ إِلَى اللّٰهِ عَزَّ وَجَلَّ

"Demi Allâh, tidaklah kami meminta harganya melainkan hanya untuk Allâh 'Azza wa Jalla." Riwayat Al-Bukhârî dan Muslim dari Anas bin Mâlik Radhiyallâhu 'Anhu.
Mereka memberikan cuma-cuma tanah dan kebun mereka, tanpa mereka meminta bayaran dan harga darinya, dengan demikian dibangunlah masjid di atas tanah mereka, merekapun memperoleh manfaat dan kebaikan yang banyak, di samping mereka memperoleh ilmu karena dapat mengikuti pengajaran terhadap ayat-ayat Allâh di dalam masjid tersebut, mereka juga telah menanam kebaikan yang pahalanya terus menerus mengalir, berkata Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةِ أَشْيَاءَ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

"Jika telah mati seseorang maka terputuslah darinya amalannya kecuali dari tiga perkara: Dari sedekah yang terus mengalir pahalanya, dari ilmu yang diambil manfaat padanya dan dari anak shalîh yang mendoakannya." Riwayat Muslim dari Abû Hurairah Radhiyallâhu 'Anhu.
Sampai hari kita ini tanah yang mereka sumbangkan tersebut terus dimakmurkan, manusia dari berbagai penjuru datang beribadah di atas tanah mereka yang sudah dibangunkan masjid padanya, mereka memperoleh keutamaan dan pahala yang sangat besar dikarenakan ketika mereka bersedekah bertepatan dengan waktu yang sangat tepat yaitu di saat sangat diperlukannya sedekah ketika itu, maka tidak heran kalau Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam memuji mereka sambil berkata: 

لاَ تَسُبُّوا أَصْحَابِى فَوَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَوْ أَنْفَقَ أَحَدُكُمْ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيفَهُ

"Janganlah kalian mencela para shahabatku, demi Yang jiwaku berada di tangan-Nya kalaulah salah seorang di antara kalian menginfakkan emas semisal dengan gunung Uhud maka tidaklah mencapai segenggam pahala salah seorang di antara mereka dan tidak pula setengahnya." Riwayat Al-Bukhârî dan Muslim dari Abû Sa'îd Al-Khudrî Radhiyallâhu 'Anhu.

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada tanggal 21 Muharram 1438 di Limboro Huamual Maluku. 

⛵⛵⛵
http://t.me/majaalisalkhidhir

http://alkhidhir.com/fiqih/meraih-berkah-dengan-bersedekah/


ORANG JÂHIL DAN ORANG BERDOSA MENGHADAPI VIRUS CORONA


Pertanyaan:
Ustâdz, adanya fatwâ yang menyebutkan bahwa orang yang tetap shalat berjamâ'ah adalah jâhil, apakah bisa dibenarkan fatwâ tersebut karena kaitannya dengan covid-19? 

Jawaban:
Subhânallâh keadaan hampir saja berbalik:

اللَٰهُمَّ اسْتُرْ عَوْرَاتِى وَآمِنْ رَوْعَاتِى

“Yâ Allâh tutupilah aib-aibku dan tenteramkanlah dari apa-apa yang mengkhawatirkanku."

Mereka yang mentahdzîr kaum Muslimîn dari shalat berjamâ'ah dan memerintahkan untuk menutup masjid berargumen karena mentaati ûlil amri. Kita katakan kepada mereka: "Bukankah Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ tidak memutlakkan kalian untuk harus mentaati ûlil amri, karena Allâh 'Azza wa Jalla telah perintahkan:

یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوۤا۟ أَطِیعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِیعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِی ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡ

"Wahai orang-orang beriman taatlah kalian kepada Allâh dan taatlah kalian kepada Rasûl dan ûlil amri di antara kalian." [Surat An-Nisâ': 59].
Kalau ketaatan kepada ûlil amri itu mutlak maka tentu akan ada pengulangan perintah: 

وَأَطِیعُوا۟ أُو۟لِی ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡ

"Dan taatlah kalian kepada ulil amri di antara kalian." Akan tetapi tidak ada pengulangan waathî'û hanya mencukupkan dengan wâwu 'athaf, itu menunjukan ketidakmutlakkan mentaati ûlil amri, yakni kita hanya mentaati pada perkara kebaikan bukan penyelisihan kepada ketaatan kepada Allâh dan Rasûl-Nya. Oleh karena itu di dalam "Shahîh Muslim" dibuatkan bâb dengan judul:

بَابُ وُجُوبِ طَاعَةِ الأُمَرَاءِ فِي غَيْرِ مَعْصِيَةٍ وَتَحْرِيمِهَا فِي الْمَعْصِيَةِ

"Bâb kewâjiban mentaati para pemerintah pada yang bukan kemaksiatan dan harâm mentaati mereka dalam kemaksiatan."
Di dalam riwayat Ahmad (no. 1098), berkata Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam: 

 لَا طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

"Tidak ada ketaatan kepada makhluk di dalam kemaksiatan kepada Allâh 'Azza wa Jalla." 

Setelah kita bawakan hujjah seperti itu, jawaban mereka: "Sudah banyak jamâ'ah masjid yang kena virus corona, sebagian jamâ'ah masjid terpapar virus corona, sebagian mereka telah dikirim ke Wisma Atlit." 
Ternyata mereka menerima serius berita itu, hingga disebarkan lalu membuat mereka giat dalam mentahdzîr kaum Muslimîn dari melaksanakan shalat berjamâ'ah di masjid, sebagian lagi dengan gampang menjâhilkan dan atau mengolok-olok serta menganggap berdosa orang yang shalat berjamâ'ah di masjid. 
Berita yang sampai kepada mereka langsung mereka terima dan langsung mereka sebarkan, kalau ini bukan kejâhilan lalu dikatakan apa? Berkata Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ:

 یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوۤا۟ إِن جَاۤءَكُمۡ فَاسِقُۢ بِنَبَإࣲ فَتَبَیَّنُوۤا۟ أَن تُصِیبُوا۟ قَوۡمَۢا بِجَهَـٰلَةࣲ فَتُصۡبِحُوا۟ عَلَىٰ مَا فَعَلۡتُمۡ نَـٰدِمِینَ

"Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kalian orang fâsiq membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti supaya kalian tidak menimpakan suatu musîbah kepada suatu kaum dengan kejâhilan (ketidaktahuan) tentang keadaan mereka yang menyebabkan kalian menyesal atas perbuatan kalian itu." [Surat Al-Hujurât: 6]. 
Ikut menyebarkan berita dari orang fâsiq dan atau ikut mentahdzîr kaum Muslimîn dari melaksanakan kewajiban shalat berjamâ'ah di masjid kalau bukan dikatakan perbuatan orang jâhil lalu mau dikatakan itu perbuatan orang 'âlim? Atau itu mau dikatakan amalan mujtahid yang bersih dari dosa sehingga terus bersemangat dalam mentahdzîr dengan menyebarkan berita dari orang fâsiq dan atau berita dusta?
Lalu mau dilempar kemana lagi perkataan Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

"Cukuplah bagi seseorang sebagai pendusta ketika dia menceritakan terhadap setiap apa yang telah dia dengar." Riwayat Muslim (no. 7).
Sangat kita herankan ada berbagai desa di luar kota di Jawa Tengah dan mungkin saja di Jawa lain juga ada, desa mereka aman, tenteram dan tidak ada virus corona, keadaan desa mereka sebagaimana biasanya, aktivitas berjalan sebagaimana biasanya namun kemudian didatangkan fitnah atas nama virus corona, bahwa pemerintah memerintahkan untuk shalat di rumah masing-masing, fatwâ-fatwâ para pentahdzîr dari berjamâ'ah di masjid diikutkan sebagai pendukung perintah tersebut. 
Dan di suatu pemukiman di Bekasi ini, sehari sebelum 'Îdul Fithri kepala pemukiman menyebarkan selebaran larangan 'Îdul Fithri dengan alasan karena di pemukiman dalam keadaan zona merah, ketika dikritik tentang ketidakbenaran adanya zona merah, diralatlah pernyataannya hingga membolehkan shalat 'Îdul Fithri dengan syarat berjarak dan tidak menerima jamâ'ah dari luar. Ini yang ketahuan, lalu bagaimana dengan di tempat yang lain yang masyarakat tidak mau tahu keadaan? Terlebih masyarakat desa dan dusun yang tidak tersebar virus corona di desa dan dusun mereka, lalu diperintahkan untuk tutup masjid dan tidak boleh berjamâ'ah di masjid. 

اللَّهُمَّ سَلِّمْ سَلِّمْ

"Yâ Allâh berilah keselamatan, berilah keselamatan."
Yâ Allâh jadikanlah hujjahku, penjelasanku dan argumenku hanya mencari keridhaan-Mu bukan mencari keridhaan selain-Mu:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ

"Yâ Allâh sesunguhnya aku berlindung kepada-Mu dari fitnah Al-Masîh Ad-Dajjâl, aku berlindung kepada-Mu dari fitnah kehidupan dan kematian."

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada hari Selasa tanggal 4 Syawwâl 1441 / 26 Mei 2020 di Maktabah Al-Khidhir Bekasi. 

⛵⛵⛵
http://t.me/majaalisalkhidhir


Senin, 25 Mei 2020

MENGENAL IMÂM AL-MAHDÎ

Pertanyaan:
Ustâdz mau nanya: Imâm Al-Mahdî itu muncul dimana atau keluarnya dari mana?

Jawaban:
Di dalam suatu hadîts disebutkan bahwa beliau akan keluar dari arah Timur, dari Tsaubân Radhiyallâhu 'Anhu, beliau berkata: “Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam berkata:

ﻳَﻘْﺘَﺘِﻞُ ﻋِﻨْﺪَ ﻛَﻨْﺰِﻛُﻢْ ﺛَﻼَﺛَﺔٌ؛ ﻛُﻠُّﻬُﻢْ ﺍِﺑْﻦُ ﺧَﻠِﻴْﻔَﺔٍ، ﺛُﻢَّ ﻻَ ﻳَﺼِﻴْﺮُ ﺇِﻟَـﻰ ﻭَﺍﺣِﺪٍ ﻣِﻨْﻬُﻢْ، ﺛُﻢَّ ﺗَﻄْﻠُﻊُ ﺍﻟﺮَّﺍﻳَﺎﺕُ ﺍﻟﺴُّﻮْﺩُ ﻣِﻦْ ﻗِﺒَﻞِ ﺍﻟْﻤَﺸْﺮِﻕِ، ﻓَﻴَﻘْﺘُﻠُﻮْﻧَﻜُﻢْ ﻗِﺘْﻼً ﻟَﻢْ ﻳَﻘْﺘُﻠْﻪُ ﻗَﻮْﻡٌ

“Akan bertikai tiga orang di sisi Ka'bah kalian; mereka semua adalah putera khalîfah, lalu tidak akan menjadi pada salah seorang dari mereka. Kemudian muncullah bendera-bendera hitam dari arah timur, lalu mereka akan memerangi kalian dengan peperangan yang tidak pernah dilakukan oleh satu kaumpun."
Disebutkan dalam kelanjutan hadîts:

 ‏ﻓَﺈِﺫَﺍ ﺭَﺃَﻳْﺘُﻤُﻮْﻩُ؛ ﻓَﺒَﺎﻳِﻌُﻮْﻩُ، ﻭَﻟَﻮْ ﺣَﺒْﻮًﺍ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﺜَّﻠْﺞ

"Jika kalian melihat beliau, maka bai’atlah beliau! Walaupun dengan merangkak di atas salju.”
Hadîts ini diriwayatkan oleh Ibnu Mâjah, Al-Hâkim dan beliau menshahihkannya, demikian pula Ibnu Katsîr telah menshahîhkannya.

Al-Hâfizh Ibnu Katsîr Rahimahullâh menjelaskan berdasarkan dalîl-dalîl bahwa Imâm Al-Mahdî muncul dari arah Timur, dan beliau dibai'at di sisi Ka'bah.

Dari apa yang dijelaskan tersebut sebagai bukti terkuat kalau keberadaan beliau sekarang belum berada di sisi Ka'bah, orang-orang belakangan di zaman ini sudah menyebarkan berita-berita bahwa beliau sudah muncul dan sekarang di sisi Ka'bah, berita-berita itu tidaklah benar, karena keberadaan beliau muncul dari arah Timur dan beliau pada asalnya adalah dari ahlul bait yang masih awam, kemudian Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ memberi petunjuk kepada beliau, telah meriwayatkan Al-Imâm Ahmad dan Ibnu Mâjah bahwa Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam berkata:

ﺍﻟْﻤَﻬْﺪِﻯُّ ﻣِﻨَّﺎ ﺃَﻫْﻞِ ﺍﻟْﺒَﻴْﺖِ ﻳُﺼْﻠِﺤُﻪُ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻓِﻰ ﻟَﻴْﻠَﺔٍ

"Al-Mahdî termasuk dari kalangan kami ahli bait, Allâh memperbaiki beliau dalam semalam."

Berkata Al-Hâfizh Ibnu Katsîr Rahmatullâh 'Alainâ wa 'Alaih:

ﺃَﻱ ﻳَﺘُﻮﺏُ ﺍﻟﻠّٰﻪُ ﻋَﻠَﻴﻪِ، ﻭَﻳُﻮَﻓِّﻘُﻪُ ﻭَﻳُﻠْﻬِﻤُﻪُ، ﻭَﻳُﺮْﺷِﺪُﻩُ ﺑَﻌْﺪَ ﺃَﻥْ ﻟَﻢْ ﻳَﻜُﻦْ ﻛَﺬٰﻟِﻚَ

"Yaitu Allâh menerima taubat beliau, memberikan taufik dan ilhâm serta petunjuk kepada beliau, setelah sebelumnya beliau tidak seperti itu."

Adapula berita-berita yang sudah tersebar bahwa sudah ada yang mengaku sebagai Imâm Al-Mahdî karena sudah memiliki pengikut dan sudah mulai dibai'at, berita ini tidaklah benar, karena keberadaan beliau sebelum muncul, beliau belum mengetahui kalau diri beliau adalah Imâm Al-Mahdî, keberadaan beliau sama dengan kakek moyang beliau yaitu Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam, Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam dahulu belum mengetahui kalau diri beliau akan menjadi nabi dan Rasûl, hingga Waraqah bin Naufal Radhiyallâhu 'Anhu memberitahukan kepada beliau tentang kenabian beliau dan Waraqah bin Naufal Radhiyallâhu 'Anhu mengabarkan pula bahwa beliau akan dikeluarkan oleh orang-orang musyrik Quraisys dari kota Makkah, maka beliau pun kaget sambil berkata:

أَوَمُخْرِجِيَّ هُمْ

"Apakah aku akan dikeluarkan oleh mereka."

Demikianlah pula keberadaan Imâm Al-Mahdî, beliau tidak mengetahui keberadaan diri beliau sendiri akan menjadi seorang imâm, karena latarbelakang beliau hanyalah sebagai orang awam, namun kemudian Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ memberi hidayah kepada beliau hingga mempelajari warisan kakek moyang beliau berupa ilmu agama dan beliau senantiasa bertaubat, Allâh menerima taubat beliau dan memberikan kekokohan kepada beliau hingga beliau menjadi imâm terbesar yang dikenal dengan Imâm Al-Mahdî Radhiyallâhu 'Anhu.
Wallâhu A'lam.

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada tanggal 25 Jumâdil Awwal 1438 di Binagriya Pekalongan. 

⛵⛵⛵

MENANTI KEDATANGAN IMÂM AL-MAHDÎ RADHIYALLÂHU 'ANHU


📝 Pertanyaan:
Ma'af Ustâdz pernah saya dengar tentang isu kedatangan Imâm Al-Mahdî, banyak orang yang mengaku memperjuangkan daulah Islâmiyyah sedang menunggu-nunggu kedatangannya karena beliau akan bersama mereka memerangi musuh-musuh, mereka akan membai'atnya karena dialah khalîfah mereka dalam menaklukan negara-negara, apakah dalam kitâb suci Al-Qur'ãn penjelasannya begitu? Kalau dalam hadîts bagaimana?

📜 Jawaban:
Semoga Allâh memberi hidayah kepada kita, ketahuilah bahwa pengakuan mereka tidaklah tepat, karena keberadaan mereka sekarang ini sudah menetapkan khalîfah dan mereka sudah adakan pembai'atan kepada khalîfah mereka, dan kita khawatirkan ketika Al-Imâm Muhammad bin 'Abdillâh Radhiyallâhu 'Anhu atau yang lebih dikenal dengan Imâm Al-Mahdî muncul, mereka tidak akan membai'atnya karena mereka sudah membai'at imâm atau khalîfah mereka atau mereka akan mengingkarinya, karena keberadaan Imâm Al-Mahdî sendiri pada awalnya adalah seorang awam dari kalangan Ahlul Bait, kemudian Allâh memberi hidayah kepadanya dengan mengikuti dakwah Ahlissunnah wal Jamâ'ah setelah itu Allâh memperbaiki keadaan beliau dalam semalam sebagaimana disebutkan dalam suatu riwayat yang shahîh.

Kita sangat khawatirkan kalau Imâm Al-Mahdî tiba-tiba muncul bukan dari barisan mereka atau bukan dari jamâ'ah mereka maka mereka akan mengingkarinya sebagaimana orang-orang Yahûdî dahulu telah mengingkari Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam karena mereka mengira beliau akan keluar dari kalangan mereka yaitu dari Banî Isrâîl namun ternyata beliau keluar dari kalangan Arab yang merupakan musuh orang-orang Yahûdî. Dahulu mereka memerangi orang-orang musyrik Arab, dan seringkali mereka memberi ancaman dengan memberitakan bahwa akan keluar seorang Rasûl yang bernama Ahmad yakni Muhammad Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam, beliau inilah yang akan bersama mereka memerangi orang-orang musyrik Arab, namun ketika Rasûl tersebut muncul bukan dari kalangan mereka maka merekapun ingkari, berkata Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ:

وَكَانُوا۟ مِن قَبْلُ يَسْتَفْتِحُونَ عَلَى ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ فَلَمَّا جَآءَهُم مَّا عَرَفُوا۟ كَفَرُوا۟ بِهِ

"Sebelum itu mereka memohon kemenangan atas orang-orang kâfir, ternyata setelah sampai kepada mereka apa yang telah mereka ketahui itu, merekapun mengingkarinya". [Al-Baqarah: 89].
Bahkan yang pertama-tama mengikuti Rasûl tersebut adalah orang-orang yang mereka musuhi dari kalangan bangsa Arab.

Dengan demikian kita sangat khawatirkan kalau nanti Imâm Al-Mahdî muncul dari selain kelompok mereka atau dari selain jamâ'ah mereka maka mereka akan mengingkarinya, sebagaimana Yahûdî telah mengingkari kemunculan Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam, dan Imâm Al-Mahdî sendiri tidak mengetahui kalau dirinya adalah Imâm Al-Mahdî kecuali setelah Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ memperbaiki keadaannya dalam semalam, sebagaimana dahulu Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam tidak mengetahui dirinya sebagai nabi kecuali setelah disampaikan wahyu kepadanya di gua Hirâ dan setelah Waraqah bin Naufal menjelaskan bahwa yang menyampaikan wahyu kepadanya adalah Jibrîl 'Alaihish Shalâtu was Salâm.

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada 17 Ramadhân 1438 di Bekasi. 

⛵⛵⛵

AKHLAK SALAFÎ HAKIKI


Pertanyaan:
'Afwân Ustâdz ijin mengajukan pertanyaan. Semoga diberi kesehatan dan keselamatan untuk Ustâdz dan keluarga. Apa bantahan untuk orang awam yang mengatakan salafî itu sombong di lingkungan masyarakat, bagaimana kita menjelaskannya yâ Ustâdz

Jawaban:
Ketika ada dari sebagian masyarakat menganggap bahwa salafî sombong di lingkungan masyarakat maka kita luruskan anggapan mereka, kita katakan bahwa manusia itu berbeda-beda, ada yang baik dan ada yang buruk, ada yang beradab dan ada yang kurang beradab, ada yang berakhlak mulia dan ada pula yang kurang berakhlak mulia. 

Kita sebagai umat beragama Islâm tentu tidak akan pernah terima bila kita dikatakan teroris, penjahat dan penjajah. Demikian pula kita sebagai pengikut Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam yakni salafî tidak akan terima bila dianggap sombong, karena sombong adalah sifat tercela yang tidak boleh ada pada setiap salafî, berkata Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ

"Tidak akan masuk Surga orang yang ada di dalam hatinya dari suatu kesombongan walau sekecil pertikel." Riwayat Muslim (no. 275). 

Jika masyarakat mendapati ada pada seseorang yang dicurigai sebagai salafî memiliki sifat sombong maka hendaklah menganggap itu sebagai perangai orang tersebut, anggaplah itu sebagai sifat jeleknya, dan jangan menganggap itu sebagai sifat salafî, karena salafî adalah orang yang mengikuti dan menyontoh Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam dalam bersifat dan bersikap. Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam dari kecil hingga dewasa berhias dengan akhlak yang mulia, ketika di Makkah beliau memulai dakwahnya dengan dakwah tauhîd dan dakwah akhlak yang mulia, berkata 'Abdullâh bin 'Abbâs Radhiyallâhu 'Anhumâ:

لَمَّا بَلَغَ أَبَا ذَرٍّ مَبْعَثُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لأَخِيهِ: ارْكَبْ إِلَى هَذَا الْوَادِي، فَاعْلَمْ لِي عِلْمَ هَذَا الرَّجُلِ الَّذِي يَزْعُمُ أَنَّهُ نَبِيٌّ، يَأْتِيهِ الْخَبَرُ مِنَ السَّمَاءِ، وَاسْمَعْ مِنْ قَوْلِهِ، ثُمَّ ائْتِنِي. فَانْطَلَقَ الأَخُ حَتَّى قَدِمَهُ وَسَمِعَ مِنْ قَوْلِهِ، ثُمَّ رَجَعَ إِلَى أَبِي ذَرٍّ، فَقَالَ لَهُ: رَأَيْتُهُ يَأْمُرُ بِمَكَارِمِ الأَخْلاَقِ، وَكَلاَمًا مَا هُوَ بِالشِّعْرِ

"Tatkala berita tentang diutusnya Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam sampai kepada Abû Dzarr maka beliau berkata kepada saudaranya: "Berangkatlah kamu ke lembah ini, beritahu aku tentang ilmu orang yang mengaku bahwa dia adalah nabî, bahwasanya berita dari langit datang kepadanya, dengarkan terhadap ucapannya lalu kembalilah kepadaku." Maka saudaranya pergi hingga menemuinya dan mendengarkan di antara perkataannya kemudian dia kembali kepada Abû Dzarr lalu berkata kepadanya: "Aku melihatnya memerintahkan kepada kemuliaan akhlak dan aku mendengarkan perkataannya bukanlah suatu sya'ir." Riwayat Al-Bukhârî (no. 3861). 

Barangkali di antara masyarakat akan merasa tersakiti atau terzhalimi dengan penampakkan sifat dan sikap dari sebagian orang yang dicurigai sebagai salafî, hendaklah mereka menganggap itu sebagai cobaan dalam hidup bermasyarakat. Jangankan seseorang sebagai masyarakat umum, kami pribadipun telah merasakan perlakuan dan sikap tidak sepantasnya dari orang yang terlihat berpenampilan sunnah. Pada tanggal 29 Ramadhân kemarin waktu Dhuhâ kami mampir ke suatu masjid dan kami mengira itu masjid umum masyarakat Muslimîn, kami mampir ternyata di teras masjid ada seorang bapak muda yang berpakaian gamis setengah lutut dan memakai celana sirwal di atas mata kaki dengan tanpa mengenakan peci, kami ucapkan salâm kepadanya nampak tidak menjawab salâm kami, lalu kami bertanya kepadanya: "Apakah masjid ini ada shalat berjamâ'ah?." Dia menjawab dengan wajah yang tidak enak dipandang: "Tidak ada shalat berjamâ'ah di sini." Kemudian dia bergegas masuk masjid lalu shalat. Kemudian datang seorang anak remaja, kamipun bertanya kepadanya: "Di masjid ini ada shalat berjamâ'ah tidak?" Dia menjawab: "Ada shalat berjamâ'ah." Kami tanya lagi: "Kamu orang sini, iya saya orang sini."
Membuat kami terheran-heran, apakah seorang bapak muda tersebut menyikapi kami seperti itu karena melihat penampilan kami bersurban dan mengenakan jubah putih sehingga berburuk sangka kepada kami sebagaimana sebagian saudara-saudaranya semanhaj telah keliru dalam anggapan mereka terhadap kami sebagai Jamâ'ah Tablîgh karena melihat penampilan saja. Jibrîl 'Alaihish Shalâtu was Salâm ketika datang menemui Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam dalam keadaan mengenakan jubah putih bersih yang sifatnya diceritakan oleh Amîrul Mu'minîn 'Umar Ibnul Khaththâb Radhiyallâhu 'Anhu:

ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيدُ سَوَادِ الشَّعَرِ لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ

"Pada suatu hari muncul kepada kami seseorang yang sangat putih pakaiannya, sangat hitam rambutnya, tidak terlihat bekas safar padanya dan tidak ada seorangpun dari kami mengenalnya." Riwayat Muslim (no. 102). 

Kebiasaan kami hampir setiap hari keluar rumah baik karena mengantar paketan atau mengantar pesanan jualan atau mencari kebutuhan, ketika hampir adzân atau ketika kami mendengar adzân kami mampir di masjid kaum Muslimîn, seringkali kami dapati ada sebagian orang yang bergamis gelap setengah lutut, bersirwal gelap di atas mata kaki dan tanpa mengenakan peci, kami senang berjumpa dengan mereka karena kami menganggap mereka ikhwah kami Insyâ Allâh, ketika kami mendekati dengan mengucapkan salâm terlihat terasa berat untuk menjawab salâm kami, apalagi kalau kami tanya, Subhânallâh. Seandainya ada dari jin Muslim atau ada Malaikat yang menyamar menjadi manusia dengan mengenakan pakaian putih bersih seperti Jibrîl 'Alaihish Shalâtu was Salâm terus mengenakan surban pula lalu bertemu mereka, tidak tahu apakah sikap mereka kepadanya? 

Dan termasuk sikap sombong yang kita dapatkan sekarang ini pada sebagian orang yang memiliki prinsip mending bodoh daripada belajar atau mengambil ilmu dari orang yang dianggap salah atau dianggap tidak bersama mereka, dengan argumen:

إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِينٌ فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِينَكُمْ

"Sesungguhnya ilmu ini adalah agama maka lihatlah oleh kalian kepada siapa kalian mengambil agama kalian." Riwayat Muslim di dalam "Muqaddimah Shahîh"nya (no. 26). 
Sehingga mereka tidak kunjung mendapatkan orang yang dapat diambil ilmunya, pindah-pindah ke sana kemari tidak kunjung mendapatkan guru yang sesuai keinginan mereka, selalu mendapatkan guru yang salah menurut mereka. Barangkali ucapan mereka diãmînkan oleh Malaikat sehingga mereka terus menerus di atas kebodohan karena itu pilihan mereka yaitu mending bodoh daripada mengambil ilmu dari kita atau dari orang yang dianggap salah, mungkinkah itu adalah buah dari kesombongan mereka? Berkata Mujâhid Rahmatullâh 'Alainâ wa 'Alaih:

لاَ يَتَعَلَّمُ الْعِلْمَ مُسْتَحْيٍ وَلاَ مُسْتَكْبِرٌ

"Tidak akan mempelajari ilmu ini orang yang pemalu dan tidak pula orang yang sombong." Riwayat Al-Bukhârî secara mu'allaq. 

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada hari Senin tanggal 3 Syawwâl 1441 / 25 Mei 2020 di Maktabah Al-Khidhir Bekasi. 

⛵⛵⛵

Minggu, 24 Mei 2020

MENGENAKAN PENUTUP KEPALA KETIKA SHALAT

Pertanyaan:
'Afwân Ustâdz, mau bertanya:
Apakah termasuk syariat dalam shalat khususnya, dan di luar shalat umumnya kita memakai penutup kepala semisal peci di negeri kita, bagaimana kalau tidak pakai peci? Jazâkallâhu khairan. 

Jawaban:
Orang yang tidak memakai peci atau tidak menggunakan penutup kepala ketika shalat maka dia tidak mengamalkan anjuran Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ:

یَـٰبَنِیۤ ءَادَمَ خُذُوا۟ زِینَتَكُمۡ عِندَ كُلِّ مَسۡجِدࣲ

"Wahai manusia kenakanlah penghias kalian ketika akan shalat." [Surat Al-A'râf: 31]. 
Penghias di sini adalah pakaian tambahan seperti surban atau penutup kepala lainnya berupa peci dan yang semisalnya. 

Laki-laki yang tidak memakai peci atau tidak memakai penutup kepala di saat shalat maka tidaklah mengapa, itu tidak memengaruhi shalatnya karena kepalanya bukan termasuk aurat. 
Kita menganjurkan untuk mengenakan penutup kepada karena itu sebagai syi'âr orang-orang Muslim yang dapat terbedakan dengan non Muslim, dan juga ketika mengenakannya terlihat indah dan bagus, berkata Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

إِنَّ اللّٰهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ

"Sesungguhnya Allâh adalah Jamîl (Maha Indah), Dia mencintai keindahan." Riwayat Muslim (no. 275). 

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh sebelum kajian Al-Qawâ'idul Hisân pada tanggal 3 Syawwâl 1441 / 25 Mei 2020 di Maktabah Al-Khidhir Bekasi. 

⛵⛵⛵