Rabu, 29 April 2020

PERKARA PENTING YANG HARUS DIKETAHUI OLEH ORANG YANG BERPUASA


بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ وَحْدَهُ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مَنْ لَا نَبِيَ بَعْدَهُ، أَمَّا بَعْدُ

Orang yang berpuasa supaya puasanya diterima oleh Allâh ‘Azza wa Jalla maka hendaknya dia melakukan perkara-perkara berikut ini:

🔸 Mengikhlaskan niat.

Berkata Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

"Tidaklah mereka diperintah kecuali supaya mereka menyembah Allâh dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama yang lurus, dan supaya mereka menegakkan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus". (Al-Bayyinah: 5).
Berkata Al-'Allâmah Asy-Syirâzî Asy-Syâfi'î Rahimahullâh:

فَلَمْ تَصِحْ مِنْ غَيْرِ نِيَّةٍ كَالصَّوْمِ وَمَحَلُّ النِّيَةِ الْقَلْبِ فَإِنْ نَوَى بِقَلْبِهِ دُوْنَ لِسَانِهِ أَجْزَأْهُ

"Tidak akan sah amalan-amalan yang mendekatkan diri kepada Allâh dengan tanpa adanya niat seperti puasa, dan tempat niat adalah di dalam hati. Jika seseorang niatkan di dalam hatinya dengan tanpa mengucapkan dengan lisannya maka telah sah amalannya". [Al-Muhadzdzab fî Fiqhi Al-Imâm Asy-Syâfi'î (juz 1/hal 134)].

🔸 Mentauhîdkan Allâh 'Azza wa Jalla dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.

Berkata Al-Ustâdz Abul 'Abbâs Harmîn bin Salîm Al-Limbôrî Rahimahullâh: “Orang yang beramal akan tetapi keîmânannya tidak benar, dia mencampur keîmânannya itu dengan noda-noda kesyirikan maka dia merugi dan celaka, sebagaîmana yang telah Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ katakan:

وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

"Kalaulah mereka berbuat kesyirikan maka sungguh lenyaplah dari mereka apa-apa yang mereka amalkan". (Al-An'âm: 88). [Hubungan Antara Tauhîd dengan Syari’at (hal. 14)].

🔸 Memeluk agama Islâm dengan mengikuti ajaran-ajarannya.

Barangsiapa melakukan suatu amalan yang amalan itu bukan termasuk dari ajaran-ajaran Islâm seperti ajaran nenek moyang atau ajaran sesuai tradisi dan adat istiadat yang bertentangan dengan ajaran-ajaran Islâm maka amalan tersebut tidak diterima oleh Allâh Ta'âlâ dan bahkan orang yang  melakukannya tergolong ke dalam orang-orang yang merugi, berkata Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ:

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

"Barangsiapa mencari agama selain agama Islâm, maka sekali-kali dia tidak akan diterima agama itu darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi." (Ãli 'Imrân: 85).

🔸 Mengikuti Petunjuk Nabî Muhammad Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam.

Berkata Al-Ustâdz Abul ‘Abbâs Harmîn bin Salîm Al-Limbôrî Rahimahullâh: “Seseorang yang beramal akan tetapi tidak sesuai dengan petunjuk Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ dan Rasûl-Nya Muhammad Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam maka dia adalah termasuk dari orang-orang yang merugi, atau orang yang memiliki keîmânan akan tetapi beramal dengan amalan yang tidak ada petunjuknya di dalam agama maka dia termasuk dari orang-orang yang merugi, Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam menjelaskan di dalam hadîtsnya yang diriwayatkan oleh Al-Imâm Ahmad dari 'Âisyah Radhiyallâhu 'Anhâ, bahwa Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam berkata:

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ، فَهُوَ رَدٌّ

"Barangsiapa yang mengadakan perkara baru di dalam urusan agama kami ini, yang itu bukan termasuk darinya maka tertolak". Di dalam riwayat Al-Imâm Muslim disebutkan bahwa Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam berkata:

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

"Barangsiapa melakukan suatu amalan yang amalan tersebut bukan dari perkara agama kami maka amalan itu tertolak." [Hubungan Antara Tauhîd dengan Syari’at (hal. 14)].

🔸 Menegakan Shalat.

Walaupun seseorang melakukan berbagai amal kebaikan seperti puasa, zakat dan haji serta amalan kebaikan yang lainnya ketika keberadaan dia tidak menegakan shalat maka amalan-amalan kebaikannya tersebut tidaklah berguna baginya, berkata Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam: 

إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ النَّاسُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ أَعْمَالِهِمُ الصَّلاَةُ قَالَ يَقُولُ رَبُّنَا عَزَّ وَجَلَّ لِمَلاَئِكَتِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ: انْظُرُوا فِى صَلاَةِ عَبْدِى أَتَمَّهَا أَمْ نَقَصَهَا فَإِنْ كَانَتْ تَامَّةً كُتِبَتْ لَهُ تَامَّةً وَإِنْ كَانَ انْتَقَصَ مِنْهَا شَيْئًا قَالَ: انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِى مِنْ تَطَوُّعٍفَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَوُّعٌ قَالَ: أَتِمُّوا لِعَبْدِى فَرِيضَتَهُ مِنْ تَطَوُّعِهِ. ثُمَّ تُؤْخَذُ الأَعْمَالُ عَلَى ذَلِكُمْ 

“Sesungguhnya amalan yang pertama kali diperhitungkan pada manusia di hari kiamat nanti adalah shalat. Allâh ‘Azza wa Jalla berkata kepada malaikat-Nya dan Dia lebih mengetahui: “Lihatlah pada shalat hamba-Ku. Apakah shalatnya sempurna ataukah tidak? Jika shalatnya sempurna, maka akan dicatat baginya pahala yang sempurna. Namun jika shalatnya ada sedikit kekurangan, maka Allâh berkata: Lihatlah, apakah hamba-Ku memiliki amalan sunnah. Jika hamba-Ku memiliki amalan sunnah, Allâh berkata: Sempurnakanlah kekurangan yang ada pada amalan wâjib dengan amalan sunnahnya.” Kemudian amalan lainnya akan diperlakukan seperti ini.” Diriwayatkan oleh At-Tirmidzî, Ibnu Mâjah dan Abû Dâwud dari hadîts Abû Hurairah Radhiyallâhu 'Anhu. 
Berkata Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

الْعَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلَاةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ

"Perjanjian antara kita orang-orang yang Islâm dengan mereka orang-orang kâfir adalah shalat, barangsiapa meninggalkannya maka sungguh dia telah kâfir." Diriwayatkan oleh Ibnu Mâjah, An-Nasâ’î dan At-Tirmidzî.
Ketika seseorang keberadaannya seperti itu maka tidaklah berguna amalannya, Allâh Ta’âlâ berkata:

وَقَدِمۡنَآ إِلَىٰ مَا عَمِلُواْ مِنۡ عَمَلٖ فَجَعَلۡنَٰهُ هَبَآءٗ مَّنثُورًا 

“Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu bagaikan debu yang berterbangan.” [Al-Furqân: 23].  

Di tulis oleh:
Muhammad Al-Khidhir pada tanggal 15 Sya’bân 1438 di Bekasi.

BELAJAR DARI PENGALAMAN MÛSÂ MENUNTUT ILMU KEPADA AL-KHIDHIR 'ALAIHIMASH SHALÂTU WAS SALÂM


Pertanyaan:
Kenapa Allâh menyuruh Nabî Mûsâ menuntut ilmu kepada Nabî Al-Khidhir? Bukankah semua Nabî dapat ilmu melalui wahyu? 

Jawaban:
Adapun perintah Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ kepada Mûsâ untuk keluar mencari Al-Khidhir 'Alaihimash Shalâtu was Salâm dan menuntut ilmu kepadanya maka itu memiliki banyak hikmah, di antaranya:

1) Supaya tidak ada dari seorang hamba merasa bahwa dirinya paling berilmu daripada selainnya, karena Mûsâ 'Alaihish Shalâtu was Salâm ketika ditanya:

أَيُّ النَّاسِ أَعْلَمُ؟ فَقَالَ: أَنَا أَعْلَمُ، فَعَتَبَ اللَّهُ عَلَيْهِ، إِذْ لَمْ يَرُدَّ الْعِلْمَ إِلَيْهِ

"Siapa orang yang paling berilmu? Beliau menjawab: "Aku paling berilmu." Lalu Allâh memberikan teguran kepadanya, karena tidak mengembalikan ilmu kepada Allâh." Riwayat Al-Bukhârî dan Muslim
Berkata Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ:

نَرۡفَعُ دَرَجَـٰتࣲ مَّن نَّشَاۤءُۗ وَفَوۡقَ كُلِّ ذِی عِلۡمٍ عَلِیمࣱ

"Kami akan meninggikan derajat-derajat orang yang Kami kehendaki, dan di atas setiap orang berilmu itu adalah yang lebih berilmu." [Surat Yûsuf: 76]. 

2) Supaya diketahui bahwa ilmu tidak didapatkan dengan cara bersantai-santai, berkata Muslim di dalam "Shahîh"nya:

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى التَّمِيمِيُّ قَالَ: أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ قَالَ: سَمِعْتُ أَبِي يَقُولُ: لاَ يُسْتَطَاعُ الْعِلْمُ بِرَاحَةِ الْجِسْمِ

"Telah menceritakan kepada kami Yahyâ bin Yahyâ At-Tamîmî, beliau berkata: Telah mengabarkan kepada kami 'Abdullâh bin Yahyâ bin Abî Katsîr, beliau berkata: Aku mendengar ayahku berkata: "Tidaklah ilmu diperoleh dengan bersantai-santainya badan."

3) Supaya manusia mengetahui bahwa ilmu perlu untuk dituntut dan perlu pula mempersiapkan perbekalan dalam mencarinya, berkata Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ kepada Mûsâ 'Alaihish Shalâtu was Salâm:

احْمِلْ حُوتًا فِي مِكْتَلٍ

"Bawalah ikan di dalam suatu tempat penampung." Riwayat Al-Bukhârî dan Muslim
Di dalam Al-Qur'ãn:

قَالَ لِفَتَىٰهُ ءَاتِنَا غَدَاۤءَنَا

"Berkata Mûsâ kepada Yûsya': Berikanlah perbekalan untuk makan siang kita. [Surat Al-Kahfi: 62]. 

4) Supaya ada bukti dan penjelasan bahwa ilmu Allâh 'Azza wa Jalla sangatlah luas, ketika burung datang lalu menciduk air laut dengan mulutnya maka Al-Khidhir berkata kepada Mûsâ 'Alaihimash Shalâtu was Salâm:

مَا نَقَصَ عِلْمِي وَعِلْمُكَ مِنْ عِلْمِ اللَّهِ إِلاَّ مِثْلَ مَا نَقَصَ هَذَا الْعُصْفُورُ بِمِنْقَارِهِ مِنَ الْبَحْرِ

"Tidaklah ilmuku dan ilmumu mengurangi dari ilmu Allâh kecuali semisal berkurang pada cidukannya burung kecil ini dari air laut."

5) Keutamaan dan ketinggian derajat akan diraih oleh seseorang setelah dia menuntut ilmu, sebelum Mûsâ menuntut ilmu kepada Al-Khidhir 'Alaihimash Shalâtu was Salâm telah Allâh 'Azza wa Jalla nyatakan:

إِنَّ لِي عَبْدًا بِمَجْمَعِ الْبَحْرَيْنِ، هُوَ أَعْلَمُ مِنْكَ

"Sesungguhnya aku memiliki seorang hamba di pertemuan dua lautan, dia lebih berilmu darimu." Riwayat Al-Bukhârî dan Muslim
Namun setelah Mûsâ bertemu dengan Al-Khidhir 'Alaihimash Shalâtu was Salâm dan mendengarkan ilmu serta nasehatnya maka Allâh tinggikan derajatnya dan Allâh memberikan keutamaan kepadanya melebihi Al-Khidhir 'Alaihimash Shalâtu was Salâm:

قَالَ یَـٰمُوسَىٰۤ إِنِّی ٱصۡطَفَیۡتُكَ عَلَى ٱلنَّاسِ بِرِسَـٰلَـٰتِی وَبِكَلَـٰمِی فَخُذۡ مَاۤ ءَاتَیۡتُكَ وَكُن مِّنَ ٱلشَّـٰكِرِینَ

"Wahai Mûsâ, sesungguhnya aku telah memilihmu atas manusia selainmu untuk membawa risalah-Ku dan untuk berbicara langsung dengan-Ku, sebab itu berpegang teguhlah kepada apa yang Aku berikan kepadamu dan jadilah kamu termasuk dari orang-orang yang bersyukur". [Surat Al-A'râf: 144]. 

Ini di antara hikmah yang bisa kita sebutkan pada kesempatan ini, Wallâhu A'lam. 

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada hari Rabu tanggal 6 Ramadhân 1441 / 29 April 2020 di Maktabah Al-Khidhir Bekasi.

Selasa, 28 April 2020

BIOGRAFI SINGKAT NABIULLÂH AL-KHIDHIR 'ALAIHISH SHALÂTU WAS SALÂM


Pertanyaan:
Ustâdz, bacaan nama Nabî Khidhir itu bagaimana yang benarnya karena ada yang baca Khadhir? Benarkah itu bukan nama aslinya? Apakah beliau benar masih hidup sampai sekarang? 

Jawaban:
Penamaan Al-Khidhir ada padanya 6 bacaan:
1) Boleh dibaca الْخِضِرُ dengan mengkasrah huruf khâ' dan huruf dhâd.
2) Boleh dibaca الْخِضَرُ dengan mengkasrah huruf khâ' dan memfathah huruf dhâd.
3) Boleh dibaca الْخَضِرُ dengan memfathah huruf khâ' dan mengkasrah huruf dhâd.
4) Boleh dibaca الْخِضْرُ dengan mengkasrah huruf khâ' dan mensukun huruf dhâd.
5) Boleh dibaca الْخَضْرُ dengan memfathah huruf khâ' dan mensukun huruf dhâd.
6) Boleh dibaca الْخَضَرُ dengan memfathah huruf khâ' dan huruf dhâd.
Semua bacaan tersebut ada keluasan padanya. 

Adapun tentang nama beliau maka sebagian 'ulamâ menyebutkan bahwa nama beliau adalah Balyâ bin Malkân sampai disebutkan silsilahnya hingga ke Sâm bin Nûh, akan tetapi tidak ada riwayat yang shahîh dari As-Sunnah menyebutkannya, sedangkan kunyah beliau disebutkan adalah Abul 'Abbâs. Beliau disebutkan pula termasuk keturunan raja. 
Semua yang berkaitan dengan nama beliau, tidaklah shahîh periwayatannya dari Nabî akhir zaman Muhammad Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam kecuali nama julukan yaitu Al-Khidhir, ini yang shahîh dari As-Sunnah. 
Beliau disebut dengan nama Al-Khidhir karena beliau pernah duduk di suatu tempat putih yang tidak ada tumbuh-tumbuhan padanya lalu tiba-tiba tumbuh dari bawah dan belakangnya berbagai tumbuh-tumbuhan hijau, berkata Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

إِنَّمَا سُمِّيَ ‏ الْخَضِرَ ‏ ‏أَنَّهُ جَلَسَ عَلَى فَرْوَةٍ بَيْضَاءَ فَإِذَا هِيَ تَهْتَزُّ مِنْ خَلْفِهِ خَضْرَاءَ

"Bahwasanya beliau dinamai Al-Khidhir karena beliau duduk di suatu tempat yang putih, tiba-tiba tumbuh dari belakangnya berbagai tanaman hijau." Riwayat Ahmad dan Al-Bukhârî, pada riwayat Ahmad dengan lafazh:

 فَإِذَا هِيَ تَحْتَهُ تَهْتَزُّ خَضْرَاءَ

"Tiba-tiba dari bawahnya tumbuh berbagai tumbuhan hijau."
Ini sebagai dalîl tentang kenabian beliau, dan juga menunjukkan tentang kenabian beliau adalah Mûsâ diperintah untuk menuntut ilmu kepadanya, padahal Mûsâ adalah orang terbaik dan orang pilihan yang Allâh telah memilihnya dari kalangan Banî Isrâîl namun beliau diperintah untuk menuntut ilmu kepada Al-Khidhir 'Alaihimash Shalâtu was Salâm. Dalîl yang paling jelas dari itu adalah perkataan Al-Khidhir kepada Mûsâ 'Alaihimash Shalâtu was Salâm:

إِنِّي عَلَى عِلْمٍ مِنْ عِلْمِ اللَّهِ عَلَّمَنِيهِ لاَ تَعْلَمُهُ أَنْتَ وَأَنْتَ عَلَى عِلْمٍ عَلَّمَكَهُ لاَ أَعْلَمُهُ

"Sesungguhnya aku di atas suatu ilmu dari ilmu Allâh, Dia telah mengajarkannya kepadaku yang kamu tidak mengetahuinya. Dan kamu berada di atas suatu ilmu, Dia telah mengajarkannya kepadamu yang aku tidak mengetahuinya." 
Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ mengajarkan ilmu kepada Al-Khidhir dengan cara mewahyukan kepadanya sebagaimana mengajarkan ilmu kepada Mûsâ dengan cara mewahyukan pula kepadanya, ini diperjelas pada perkataan Al-Khidhir kepada Mûsâ 'Alaihimash Shalâtu was Salâm ketika dipertanyakan tentang perbuatan-perbuatannya: 

وَمَا فَعَلۡتُهُۥ عَنۡ أَمۡرِیۚ

"Tidaklah aku melakukan perbuatan-perbuatanku itu dari keinginanku." [Surat Al-Kahfi: 82]. 

Adapun tentang keberadaannya masih hidup atau sudah wafat, maka ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan 'ulamâ, pendapat yang benar adalah beliau telah wafat, karena kalau beliau masih hidup tentu beliau akan menampakkan diri di zaman Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam dan bersedia menjadi pengikut Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam, karena Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam berkata:

 لَوْ كَانَ مُوسَى حَيًّا مَا وَسِعَهُ إِلَّا اتِّبَاعِي

"Seandainya Mûsâ masih hidup maka tidaklah dia leluasa kecuali mengikutiku."
Kalaupun seandainya Al-Khidhir tidak bisa bertemu dengan Nabî akhir zaman Muhammad 'Alaihimash Shalâtu was Salâm di zamannya karena suatu keadaan maka bagi beliau tetap diharuskan mengikuti syari'at yang dibawanya sebagaimana Îsâ 'Alaihish Shalâtu was Salâm ketika nanti turun ke muka bumi beliau menjadi pengikut dan pembela syari'at Islâm.
Kalau Al-Khidhir 'Alaihish Shalâtu was Salâm masih hidup hingga hari ini maka beliau diharuskan keluar membantu kita berdakwah karena kita membutuhkan orang seperti beliau, namun kenyataannya tidak muncul maka dapat kita pastikan bahwa beliau telah wafat.

Yang berkaitan dengan keberadaan Nabiullâh Al-Khidhir 'Alaihish Shalâtu was Salâm kita tidak memiliki pengetahuan yang mendalam lagi mendeteil melainkan sebatas apa yang dikabarkan oleh Nabî akhir zaman Muhammad Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam, dan beliau telah katakan:

يَرْحَمُ اللَّهُ مُوسَى، لَوَدِدْنَا لَوْ صَبَرَ حَتَّى يُقَصَّ عَلَيْنَا مِنْ أَمْرِهِمَا

"Semoga Allâh merahmati Mûsâ, kita benar-benar senang kalau Mûsâ bersabar sampai dikisahkan kepada kita tentang perjalanan hidup keduanya." Riwayat Al-Bukhârî.

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada hari Rabu tanggal 6 Ramadhân 1441 / 29 April 2020 di Maktabah Al-Khidhir Bekasi.


PENGALAMAN DAKWAH ABUL 'ABBÂS HARMÎN RAHIMAHULLÂH


Pertama kali kami mendengarkan dakwah Abul 'Abbâs Harmîn Rahimahullâh di Limboro, beliau datang dari Ambon pada hari liburan lalu beliau diundang oleh pemerintah kampung pada acara pertemuan bersama tokoh-tokoh masyarakat, para pemuda dan para mahasiswa. Beliau dipersilahkan untuk menyampaikan ceramah, dan kami belum mendengarkan sebelumnya ceramah seperti ceramah beliau, beliau berkata di dalam ceramahnya:
"Kita diperintah oleh Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ untuk saling bekerja sama di dalam kebaikan dan kita dilarang dari bekerja sama di dalam perbuatan dosa dan permusuhan, Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ berfirman:

وَتَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلۡبِرِّ وَٱلتَّقۡوَىٰۖ وَلَا تَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡعُدۡوَ ٰ⁠نِۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِیدُ ٱلۡعِقَابِ

"Tolong menolonglah kalian di atas kebaikan dan takwa, janganlah kalian tolong menolong di atas perbuatan dosa dan permusuhan. Bertakwalah kalian kepada Allâh, sesungguhnya Allâh sangat keras hukuman-Nya." [Surat Al-Mâ'idah: 2].

Kita mengajak pemerintah kampung dan tokoh-tokoh masyarakat serta para pemuda, para pelajar dan para mahasiswa untuk bekerja sama dalam kebaikan dan melarang dari bekerja sama dalam perbuatan dosa dan pelanggaran, barangsiapa melakukan pelanggaran baik mencuri, meminum khamer atau melakukan perbuatan-perbuatan keji maka dia akan mendapatkan hukuman sesuai dengan yang telah disepakati oleh pemerintah kampung dan tokoh masyarakat, dalam pemberian hukuman ini tidak akan membeda-bedakan siapapun juga, ketika seseorang melakukan pelanggaran maka dia layak untuk mendapatkan hukuman, Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ، وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ، وَايْمُ اللَّهِ، لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ ابْنَةَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا

"Sesungguhnya telah hancur orang-orang sebelum kalian, bahwasanya mereka dahulu apabila orang berkedudukan di antara mereka mencuri maka mereka membiarkannya, namun apabila orang-orang miskîn di antara mereka mencuri maka mereka menegakkan hukuman kepadanya. Demi Allâh, kalaulah Fâthimah puteri Muhammad Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam mencuri maka sungguh aku akan memutus tangannya."

Disampaikan oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada hari Selasa tanggal 5 Ramadhân 1441 / 28 April 2020 di Maktabah Al-Khidhir Bekasi.


HUKUM KERJASAMA DALAM PEMODALAN LALU BAGI KEUNTUNGAN

Pertanyaan:
Soal yâ Ustâdz, contoh kasus: Saya adalah supplier minyak jelantah untuk pabrik Biosolar, kemudian ada pemilik jelantah dalam jumlah besar yang menawarkan untuk saya beli, karena saya tidak punya cukup modal, lalu saya misalkan mengajak seseorang untuk kerjasama modal yakni dia menyerahkan sejumlah uang kepada saya untuk membeli semua jelantah yang ditawarkan tadi. Kemudian setelah jelantah tersebut saya beli, saya segera menjualnya kepada pabrik. Setelah menerima uang pembayaran dari pabrik, keuntungan dari hasil penjualan tersebut saya bagi dua dengannya. Seluruh uangnya yang digunakan untuk beli jelantah jumlah besar tadi langsung dikembalikan lagi kepadanya. Apakah model kerjasama seperti ini tergolong ribâ atau tidak?

Jawaban:
Model kerjasama yang disebutkan adalah musyârakah, itu diperbolehkan dengan ketentuan modal dari kedua orang yang bekerjasama tersebut jelas nilainya, berkata Ibnu Qudâmah Rahimahullâh:

وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ رَأْسُ مَالِ الشَّرِكَةِ مَجْهُولًا وَلَا جُزَافًا لِأَنَّهُ لَا بُدَّ مِنَ الرُّجُوعِ بِهِ عِنْدَ الْمُفَاصَلَةِ

"Tidak boleh keberadaan modal dari harta kerjasama itu belum jelas dan tidak pula sembrono, karena mengharuskan untuk kembali kepada perincian."

Memperjelas nilai modal dalam bekerjasama memiliki maksud supaya tidak ada unsur kezhaliman, berkata Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ:

وَإِنَّ كَثِیرࣰا مِّنَ ٱلۡخُلَطَاۤءِ لَیَبۡغِی بَعۡضُهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٍ إِلَّا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ وَقَلِیلࣱ مَّا هُمۡۗ

"Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zhâlim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shâlih dan sangat sedikit mereka ini." [Surat Shãd: 24]. 

Adapun pembagian keuntungan secara merata yaitu dibagi dua maka itu dikembalikan kepada keridhaan mereka berdua yang bekerjasama, karena dalam perkara ini berlaku ketentuan:

الْعِبْرَةُ بِالتَّرَاضِيِّ

"Pelajaran itu pada saling meridhai."
Setelah dilakukan pembagian dari keuntungan maka modalpun dikembalikan secara utuh, karena maksud dari pengadaan modal tersebut hanya untuk kerjasama itu saja, berbeda kalau Kerjasama mereka berdua berkelanjutan, kalaupun kerjasama mereka berdua berkelanjutan maka mengharuskan adanya kesepakatan bahwa modal tersebut akan digunakan kembali setelah pembagian hasil keuntungan, Wallâhu A'lam. 

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada hari Selasa tanggal 5 Ramadhân 1441 / 28 April 2020 di Maktabah Al-Khidhir Bekasi.


Senin, 27 April 2020

TIDAK ADA HUTANG BAGI ORANG TUA KEPADA ANAKNYA


Pertanyaan:
'Afwân Ustâdz ada yang titip pertanyaan, ada seseorang yang memberikan pinjaman ke ibunya, tetapi di saat anak tersebut ingin meminta uang yang dipinjam ibunya, ibunya belum memiliki uang untuk membayarnya tetapi saat ini ibunya memerlukan uang untuk keperluan tertentu, anaknya khawatir pinjaman sebelumnya tidak dibayar ibunya karena beliau juga ingin memakai uang tersebut untuk sedekah di bulan Ramadhân. Pertanyaannya: Apakah yang yang seharusnya dilakukan anak tersebut, dia memberikan uang kepada ibunya atau dia tetap menyimpan uangnya untuk bersedekah di bulan Ramadhân?

Jawaban:
Hendaklah seorang anak bertakwa kepada Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ dan terus berupaya mencari keridhaan Allâh dan keridhaan orang tuanya, seorang anak hendaklah mengerti hak orang tuanya, seorang anak hendaklah mengetahui bahwa tidak ada yang namanya hutang atau pinjam bagi orang tuanya kepadanya, karena keberadaannya dan harta yang dimilikinya masih teranggap sebagai milik orang tuanya pula, Ahmad telah meriwayatkan dari 'Abdullâh bin 'Amr Radhiyallâhu 'Anhumâ dan Ibnu Mâjah serta Ibnu Hibbân telah meriwayatkan pula dari Jâbir bin 'Abdillâh Radhiyallâhu 'Anhumâ:

أَنَّ رَجُلًا قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ لِي مَالًا وَوَلَدًا وَإِنَّ أَبِي يُرِيدُ أَنْ يَجْتَاحَ مَالِي 

"Bahwasanya ada seseorang berkata: Wahai Rasûlullâh, sesungguhnya aku memiliki harta dan anak-anak, dan sungguh ayahku berkinginan untuk mengambil habis hartaku?."
Orang tuanya ingin menyikat habis harta anaknya, ketika anaknya memperkarakannya kepada Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam maka beliau berkata kepadanya:

أَنْتَ وَمَالُكَ لأَبِيكَ

"Kamu dan hartamu adalah milik orang tuamu."
Lalu bagaimana dengan orang tua yang pemalu, dia memaksakan diri datang kemudian menyebutkan kebutuhannya dengan mengatasnamakan pinjam? Sungguh betapa durhaka dan sangat kikir bila anaknya tidak mau memberinya karena berkeinginan untuk bersedekah kepada orang lain di bulan Ramadhân. 
Sungguh bukan termasuk adab yang baik dan bukan pula akhlak yang bagus bagi seorang anak yang ibunya memerlukan uangnya lalu ibunya datang dengan perasaan malu hingga mengatakan keinginannya untuk meminjam uang kepada anaknya kemudian anaknya mengungkit pemberiannya dengan maksud ingin bersedekah ke orang lain pada bulan Ramadhân. 
Sangat mengherankan terhadap seorang anak yang ingin memberikan sedekah kepada orang lain namun dia memperhitungkan pemberian kepada ibunya. 
Kita memohon perlindungan kepada Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ dari sifat buruk yang rendahan ini, sungguh orang tua adalah orang yang berada di bawah tanggungjawab anaknya, seorang anak berkewajiban untuk berbakti kepada orang tuanya, ketika dia menyia-nyiakan orang tuanya maka dia benar-benar berdosa, berkata Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يَحْبِسَ عَمَّنْ يَمْلِكُ قُوتَهُ

“Cukuplah dalam keadaan berdosa bagi seseorang ketika dia menahan kebutuhan orang yang berada di bawah tanggungjawabnya." Riwayat Muslim.

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada hari Selasa tanggal 5 Ramadhân 1441 / 28 April 2020 di Maktabah Al-Khidhir Bekasi.



BIOGRAFI SINGKAT ABÛ HURAIRAH RADHIYALLÂHU 'ANHU


Beliau adalah 'Abdurrahmân bin Shakhr Ad-Dûsî dan kunyah beliau adalah Abû Hurairah, beliau senang dengan kunyah Abû Hirr namun orang-orang tetap memanggilnya dengan kunyah Abû Hurairah, beliau pernah berkata:

لَا تُكَنُّونِي أَبَا هُرَيرَةَ، فَإِنَّ رَسُولَ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَنَّانِي أَبَا هِرٍّ

"Jangan kalian memberikan kunyah kepadaku dengan kunyah Abû Hurairah, karena sesungguhnya Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam telah memberikan kunyah kepadaku dengan kunyah Abû Hirr." Disebutkan periwayatannya oleh Ibnu Hajar di dalam "Al-Ishâbah". 
Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam pernah memanggil beliau dengan kunyah yang diberikan kepadanya:

أَيْنَ كُنْتَ يَا أَبَا هِرٍّ

"Dimana kamu berada wahai Abû Hirr."
Karena beliau sudah masyhur dipanggil dengan kunyah Abû Hurairah maka Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam memanggil beliau pula dengan Abû Hurairah sebagaimana pada perkataannya:

يَا أَبَا هُرَيْرَةَ، هَذَا غُلاَمُكَ قَدْ أَتَاكَ

"Wahai Abû Hurairah, ini adalah budakmu, sungguh dia telah datang menemuimu." Riwayat Al-Bukhârî. 

Abû Hurairah Radhiyallâhu 'Anhu lahir di Daus Yaman, beliau seorang anak yatim dan beliau tinggal bersama ibunya, tatkala sampai dakwah Islâm kepada beliau melalui Ath-Thufail bin 'Amr Ad-Dûsî maka beliau menyambut dan memeluk Islâm. Pada usia 18 tahun beliau hijrah ke Madînah bersama sekelompok kaumnya dari qabîlah Daus, beliau membawa ibunya yang belum beriman ikut serta bersamanya ke Madînah. Mereka sampai di Madînah bertepatan dengan perang Khaibar, berkata Ibnu 'Abdil Bâr Rahimahullâh:

أَسْلَمَ أَبُو هُرَيرَةَ عَامَ خَيبَرَ، وَشَهِدَهَا مَعَ رَسُولِ اللّٰهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

"Abû Hurairah berbaiat di atas Islâm pada perang Khaibar dan beliau ikut pada perang Khaibar bersama Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam."

Beliau senantiasa mulâzamah dengan Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam, hingga beliau selalu di masjid bersama Ahlush Shuffah dan terkadang ke rumahnya karena beliau memiliki ibu yang belum beriman, beliau berkata:

كُنْتُ أَدْعُو أُمِّي إِلَى الإِسْلاَمِ وَهِيَ مُشْرِكَةٌ فَدَعَوْتُهَا يَوْمًا فَأَسْمَعَتْنِي فِي رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا أَكْرَهُ فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا أَبْكِي قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي كُنْتُ أَدْعُو أُمِّي إِلَى الإِسْلاَمِ فَتَأْبَى عَلَيَّ فَدَعَوْتُهَا الْيَوْمَ فَأَسْمَعَتْنِي فِيكَ مَا أَكْرَهُ فَادْعُ اللَّهَ أَنْ يَهْدِيَ أُمَّ أَبِي هُرَيْرَةَ

"Aku menyeru ibuku untuk memeluk Islâm dalam keadaan dia wanita musyrikah, suatu hari aku menyerunya untuk masuk Islâm ternyata dia memperdengarkan kepadaku tentang ucapannya kepada Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam, sedangkan aku membenci uncapannya terhadap Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam, lalu aku datang menemui Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam dalam keadaan aku menangis, aku berkata: Wahai Rasûlullâh, sesungguhnya aku menyeru ibuku untuk masuk Islâm namun dia enggan terhadap seruanku, pada hari ini aku menyerunya lagi ternyata dia memperdengarkan ucapannya kepada engkau yang aku benci ucapannya, berdoalah engkau kepada Allâh supaya memberikan hidayah kepada ibu Abû Hurairah."
Kemudian Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam mendoakannya:

اللَّهُمَّ اهْدِ أُمَّ أَبِي هُرَيْرَةَ

"Yâ Allâh berilah petunjuk kepada ibu Abû Hurairah." Riwayat Muslim. 
Dengan sebab doa tersebut ibu beliau masuk Islâm. 
Sungguh Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ telah memberikan keberkahan kepada beliau, kepada ibu beliau dan kepada ilmu beliau dengan sebab doa Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam. 

Beliau adalah orang yang paling bersemangat dalam menuntut ilmu hadîts sebagaimana yang dikatakan oleh Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

لَقَدْ ظَنَنْتُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ أَنْ لاَ يَسْأَلَنِي عَنْ هَذَا الْحَدِيثِ أَحَدٌ أَوَّلُ مِنْكَ، لِمَا رَأَيْتُ مِنْ حِرْصِكَ عَلَى الْحَدِيثِ

"Sungguh benar-benar aku telah yakin wahai Abû Hurairah bahwa tidak ada seorangpun yang pertama-tama bertanya kepadaku tentang hadîts ini daripada kamu, seperti yang aku lihat dari semangatmu terhadap hadîts." Riwayat Al-Bukhârî. 
Beliau di zamannya telah diakui oleh kaum Muslimîn bahwa beliau termasuk orang yang paling banyak hadîtsnya, beliau berkata:

إِنَّ النَّاسَ يَقُولُونَ أَكْثَرَ أَبُو هُرَيْرَةَ

"Sesungguhnya orang-orang mengatakan Abû Hurairah paling banyak hadîtsnya." Riwayat Al-Bukhârî. 
Beliau mendapatkan keberkahan terhadap ilmunya karena sebab doa Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam, berkata Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

مَنْ يَبْسُطْ رِدَاءَهُ حَتَّى أَقْضِيَ مَقَالَتِي ثُمَّ يَقْبِضْهُ، فَلَنْ يَنْسَى شَيْئًا سَمِعَهُ مِنِّي

"Barangsiapa membentangkan kain selendangnya hingga aku menyelesaikan ucapanku kemudian dia menggenggamnya maka dia tidak akan pernah lupa terhadap sesuatu yang dia telah mendengarkannya dariku?." 
Berkata Abû Hurairah Radhiyallâhu 'Anhu:

فَبَسَطْتُ بُرْدَةً كَانَتْ عَلَيَّ، فَوَالَّذِي بَعَثَهُ بِالْحَقِّ مَا نَسِيتُ شَيْئًا سَمِعْتُهُ مِنْهُ

"Lalu aku membentangkan kain selendang yang ada padaku, demi Allâh Yang telah mengutusnya dengan kebenaran, tidaklah aku melupakan suatupun yang aku telah mendengarkannya darinya." Riwayat Al-Bukhârî.

Adz-Dzahabî telah menyebutkan biografi Abû Hurairah Radhiyallâhu 'Anhu bahwa hadîts-hadîts beliau di dalam Musnad Baqî bin Makhlad sebanyak 5374 hadîts, Al-Bukhârî dan Muslim bersepakat dalam meriwayatkan hadîts dari Abû Hurairah sebanyak 326 hadîts, Al-Bukhârî meriwayatkan bersendirian sebanyak 93 hadîts dan Muslim sebanyak 98 hadîts.
Al-Wâqidî menyebutkan bahwa Abû Hurairah Radhiyallâhu 'Anhu wafat dengan umur 78 tahun, beliau menyalatkan jenazah Ummul Mu'minîn 'Âisyah pada bulan Ramadhân tahun 58 Hijriyyah dan menyalatkan jenazah Ummu Salamah pada bulan Syawwâl tahun 59 Hijriyyah, dan pada tahun 59 Hijriyyah ini beliau wafat. 

Dinukil dari kajian Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada pembacaan kitâb Al-Maqâlah hadîts (no. 4), malam Selasa tanggal 5 Ramadhân 1441 / 28 April 2020 di Maktabah Al-Khidhir Bekasi.



HUKUM MEMAKAI MASKER DI DALAM SHALAT


Pertanyaan:
Ustâdz izin bertanya, dalam kondisi seperti sekarang ini bolehkah shalat menggunakan masker?

Jawaban:
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan para 'ulamâ tentang seseorang yang shalat dalam keadaan menutup mulutnya, di antara mereka berpendapat tidak boleh, mereka berdalîl dengan hadîts yang diriwayatkan oleh Abû Dâwud, Ibnu Mâjah dan At-Tirmidzî dari Abû Hurairah Radhiyallâhu 'Anhu:

أَنَّ رَسُولَ اللّٰهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ يُغطِّيَ الرَّجُلُ فَاهُ فِي الصَّلَاةِ

"Bahwasanya Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam melarang seseorang untuk menutup wajahnya di dalam shalat."
Akan tetapi pada hadîts ini terdapat kedha'îfan, mereka meriwayatkan dari jalur 'Athâ, sementara Abû Dâwud menyebutkan pada riwayatnya dari Ibnu Juraij bahwa beliau berkata:

أَكْثَرُ مَا رَأَيتُ عَطَاءً يُصَلِّي سَادِلًا

"Paling sering aku melihat 
'Athâ' shalat dalam keadaan menggunakan penutup pada mulutnya."
Oleh karena itu Abû Dâwud mengatakan:

وَهٰذَا يُضَعِّفُ ذٰلِكَ الْحَدِيثَ

"Perbuatan ini mendha'îfkan hadîts itu."
Demikian pula telah dha'îf pada riwayat Al-Hâkim, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibbân. Juga Al-Baihaqî telah meriwayatkan hadîts tersebut, hanya saja meriwayatkannya dari 'Athâ secara mursal dan Al-Baihaqî meriwayatkan pula hadîts dari 'Abdullâh bin Mas'ûd Radhiyallâhu 'Anhu bahwa Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam membenci perbuatan tersebut, hanya saja Al-Baihaqî katakan:

تَفَرَّدَ بِهِ بِشْرُ بْنُ رَافِعٍ وَلَيسَ بِالْقَوِيِّ

"Telah bersendirian pada periwayatannya Bisyr bin Râfi', dan dia tidaklah kuat periwayatannya." 
Sungguh benar apa yang dikatakan oleh Asy-Syaikh Ibnu Bâz Rahimahullâh dalam mengomentari hadîts-hadîts tentang larangan menutup wajah di dalam shalat:

هٰذِهِ الْأَحَادِيثُ فِيهِ ضَعْفٌ مِنْ جَمِيعِ طُرُقِهَا

"Hadîts-hadîts ini ada kedha'îfan padanya dari berbagai jalur-jalurnya."
Oleh karena itu ketika ada yang shalat dengan memakai masker atau kain penuntut wajah karena suatu sebab menuntutnya untuk memakainya maka tidaklah mengapa, sebagaimana para akhawât yang memakai cadar, jika mereka shalat berjamâ'ah dan mengkhawatirkan dilihat oleh orang yang bukan mahramnya maka tidak mengapa untuk tetap memakai cadarnya, berkata Ibnu 'Abdil Bâr Rahimahullâh:

وَكَذٰلِكَ الرَّجُلُ تَزُولُ الْكَرَاهَةِ فِي حَقِّهِ إِذَا احْتَاجَ إِلَى ذٰلِكَ

"Demikian pula seorang laki-laki akan lenyap hukum makruh pada keadaannya jika dia membutuhkan kepada penutup wajah tersebut."

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada hari Senin tanggal 4 Ramadhan 1441 / 27 April 2020 di Maktabah Al-Khidhir Bekasi.





Minggu, 26 April 2020

KEUTAMAAN BERTAWAKKAL KEPADA ALLÂH


كِتَابُ التَّوَكُّلِ وَفَضْلِهِ


KITÂB TENTANG TAWAKKAL DAN KEUTAMAANNYA

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
الْحَمْدُ لِلّٰهِ وَحْدَهُ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللّٰهِ، أَمَّا بَعْدُ

Berkata Allâh Ta'âlâ di dalam kitâb-Nya:

وَعَلَى ٱللَّهِ فَلۡیَتَوَكَّلِ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ

"Hanya kepada Allâhlah orang-orang beriman bertawakkal." [Surat At-Taubah 51].
Ayat ini menunjukkan atas bahwasanya tawakkal adalah sifat yang agung bagi setiap orang beriman, bahwasanya tawakkal adalah kapal bagi orang-orang beriman. Barangsiapa menginginkan keberhasilan dan keselamatan maka hendaklah dia naik ke kapal ini, dan tidak akan berlayar kapal ini kecuali dengan petunjuk, berkata Allâh Ta'âlâ:

وَمَا لَنَاۤ أَلَّا نَتَوَكَّلَ عَلَى ٱللَّهِ وَقَدۡ هَدَىٰنَا سُبُلَنَاۚ

"Mengapa kami tidak bertawakkal kepada Allâh padahal Dia telah memberi petunjuk kepada kami terhadap jalan-jalan kami." [Surat Ibrâhîm: 12].
Jika seorang hamba mengenal perkara tawakkal ini maka sungguh dia di atas keterangan ilmu, dan wâjib baginya untuk bersabar di atas apa yang dia telah berada padanya, berkata Allâh Ta'âlâ:

وَلَنَصۡبِرَنَّ عَلَىٰ مَاۤ ءَاذَیۡتُمُونَاۚ وَعَلَى ٱللَّهِ فَلۡیَتَوَكَّلِ ٱلۡمُتَوَكِّلُونَ

"Sungguh kami benar-benar akan bersabar terhadap gangguan-gangguan yang kalian lakukan kepada kami. Hanya kepada Allâhlah orang-orang yang bertawakkal itu bertawakkal". [Surat Ibrâhîm: 12].
Allâh Ta'âlâ telah menyebutkan tentang tawakkal setelah penyebutan-Nya tentang hak-Nya atas para hamba yaitu mentauhidkankan-Nya, berkata Allâh Ta'âlâ:

ٱللَّهُ لَاۤ إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَۚ 

"Tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allâh." [Surat At-Taghâbun: 13]. 
Kemudian Allâh katakan:

وَعَلَى ٱللَّهِ فَلۡیَتَوَكَّلِ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ

"Hanya kepada Allâhlah orang-orang beriman bertawakkal." [Surat At-Taghâbun: 13].
Ini menunjukkan bahwa perkara tawakkal ini adalah agung, bahwasanya tawakkal adalah kunci terhadap segala kebaikan dan jalan keluar dari setiap musibah, berkata Allâh Ta'âlâ:

وَمَن یَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسۡبُهُۥۤۚ إِنَّ ٱللَّهَ بَـٰلِغُ أَمۡرِهِۦۚ قَدۡ جَعَلَ ٱللَّهُ لِكُلِّ شَیۡءࣲ قَدۡرࣰا

"Barangsiapa bertawakkal kepada Allâh maka Allâh akan memberikan kecukupan kepadanya. Sesungguhnya Allâh melaksanakan terhadap urusan-Nya. Sesungguhnya Allâh terhadap segala sesuatu telah menetapkannya." [Surat Ath-Thalâq: 3].
Jika Allâh memberikan taufik kepada seorang hamba dengan perkara tawakkal ini dalam keadaan dia meyakini bahwa itu adalah taufik dari Allâh maka hendaklah dia bersyukur kepada Allâh dan bersabar terhadap apa yang dia berada di atasnya, karena sesungguhnya kesyukuran dan kesabaran keduanya adalah cahaya terhadap segala sesuatu.

Ditulis oleh:
Abû Ahmad Muhammad bin Salîm Al-Limbôrî Al-Andônîsî di dalam Penjara di Shan'â' pada tanggal 8 Jumâdal Âkhirah 1436.

ANTARA BERIBADAH DAN MENCARI NAFKAH

Ustâdzunâ, Bârakallâhu fîk, ada titipan pertanyaan: Bagaimanakah sikap yang benar bagi seorang muslim, apakah benar bahwa kita itu harus seimbang dalam urusan dunia dan akhirat kita yang artinya harus fifty fifty (50%-50%)? Atau apakah urusan akhirat kita harus lebih banyak namun urusan dunia kita ambil secukupnya dan jangan dilupakan? Mohon jawaban dan nasihatnya, Jazâkumullâhu khairan.

Jawaban:
Sikap yang benar bagi seorang muslim adalah melihat kepada keadaan dirinya, karena seseorang lebih mengetahui tentang keadaan dirinya sendiri. Keadaan seseorang tidak bisa disamakan dengan keadaan orang lain, semoga rahmat Allâh untuk kita dan untuk Abul 'Abbâs Harmîn, beliau dahulu selalu mengingatkan kami untuk senantiasa menjaga amalan dan selalu beribadah kepada Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ, karena itu adalah tujuan kita hidup di dunia ini, berkata Allâh 'Azza wa Jalla:

وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِیَعۡبُدُونِ

"Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereke beribadah kepada-Ku." [Surat Adz-Dzâriyât 56].

Bersamaan dengan itu Abul Abbâs Harmîn Rahimahullâh banyak waktu beliau untuk mencari penghidupan, dari sejak beliau menuntut ilmu di kota Ambon banyak waktu beliau gunakan untuk mencari penghidupan, bekerja atau berusaha. Beliau pernah bekerja di kebun dengan menanam sayur-sayuran setelah itu beliau menjualnya ke pasar. Beliau juga pernah menjadi tukang becak, mencari dan mengantar penumpang mengelilingi kota Ambon. Beliau juga pernah jualan di pasar Batu Merah Ambon, itu beliau lakukan di sela-sela menuntut ilmu dan beribadah. Jika kita hitung-hitung waktu beliau seimbang antara ibadah dan mencari nafkah atau bahkan lebih banyak terpakai untuk mencari penghidupan dan mencari nafkah. Di akhir-akhir hidup beliau adalah berkebun dan mengembala kambing, berangkat pagi pulang sore atau berangkat pagi pulang siang, tentu waktu beliau banyak terpakai untuk mencari nafkah. 
Ini sama dengan kehidupan para salaf dahulu, terkhusus para Khulafâ' Râsyidîn, sebelum di antara mereka menjadi Khalîfah adalah sibuk di pasar untuk mencari nafkah dan penghidupan. Demikian pula orang-orang beriman di zaman Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam, hingga Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ peringatkan mereka sebagaimana di dalam surat Al-Jum'at:

یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوۤا۟ إِذَا نُودِیَ لِلصَّلَوٰةِ مِن یَوۡمِ ٱلۡجُمُعَةِ فَٱسۡعَوۡا۟ إِلَىٰ ذِكۡرِ ٱللَّهِ وَذَرُوا۟ ٱلۡبَیۡعَۚ

"Wahai orang-orang yang beriman, jika telah dikumandangkan adzân pada hari Jum'at maka bersegeralah untuk mengingat Allâh dan tinggalkanlah jual beliau." [Surat Al-Jumu'ah: 9].
Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ mengetahui keinginan mereka setelah Jum'atan, hingga Allâh 'Azza wa Jalla katakan kepada mereka:

فَإِذَا قُضِیَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُوا۟ فِی ٱلۡأَرۡضِ وَٱبۡتَغُوا۟ مِن فَضۡلِ ٱللَّهِ 

"Jika kalian telah menunaikan shalat maka bertebaranlah di muka bumi, carilah oleh kalian dari karunia Allâh." [Surat Al-Jumu'ah: 10].

Kalau kita hitung waktu di antara mereka terkhusus pada hari Jum'at, banyak juga waktu mereka untuk berusaha dan mencari penghidupan. 
Oleh karena itu ketika ada seorang muslim yang waktunya banyak tergunakan untuk mencari penghidupan dan berusaha mencari nafkah maka jangan langsung dinilai cinta dunia, terfitnah dengan dunia atau terpedaya dengan dunia, karena bisa jadi dia memiliki tanggungjawab untuk membiayai orang-orang di bawah tanggungannya, membiayai mereka menuntut ilmu dan juga bisa jadi ibadah-ibadah sunnah yang dia kerjakan di saat bersendirian itu  juga banyak.
Dan sering kita katakan tentang para dâ'î yang telah ditanggung nafkah dan kebutuhan mereka oleh orang-orang baik, hendaklah mereka memanfaatkan kesempatan itu untuk lebih terfokus kepada dakwah, ilmu dan ibadah.
Demikian pula para penuntut ilmu yang telah ditanggung oleh wali mereka dalam menuntut ilmu hendaklah mereka manfaatkan itu, hendaklah mereka serius dalam menuntut ilmu dan giat beribadah kepada Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ sebelum mereka terluputkan oleh banyak kesempatan.
Dengan adanya keterangan tersebut menunjukkan kepada kita bahwa pada asalnya kita hidup di dunia hanya diperintah untuk beribadah, dan ini tujuan utama kita hidup di dunia, namun kita tidak akan bisa beribadah secara sempurna bila kita tidak memiliki bekal hidup, oleh sebab itu Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ ingatkan:

وَٱبۡتَغِ فِیمَاۤ ءَاتَىٰكَ ٱللَّهُ ٱلدَّارَ ٱلۡـَٔاخِرَةَۖ وَلَا تَنسَ نَصِیبَكَ مِنَ ٱلدُّنۡیَاۖ وَأَحۡسِن كَمَاۤ أَحۡسَنَ ٱللَّهُ إِلَیۡكَۖ 

"Carilah terhadap apa yang telah Allâh karuniakan kepadamu berupa kebahagiaan negeri Akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagiannmu dari keni'matan dunia dan berbuat baiklah kepada sesama sebagaimana Allâh telah berbuat baik kepadamu." [Surat Al-Qashash: 77].

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada malam Senin tanggal 4 Ramadhan 1441 / 27 April 2020 di Maktabah Al-Khidhir Bekasi.

http://alkhidhir.com/tanya-jawab/antara-beribadah-dan-mencari-nafkah/

Sabtu, 25 April 2020

KENANGAN YANG TAK TERLUPAKAN


Pertanyaan:
Ustâdz, bagaimana hingga Ustâdz sampai bisa berangkat ke Dârul Hadîts Dammâj di Yaman? 

Jawaban:
Alhamdulillâh kami bisa ke Dammâj karena semata-mata pertolongan Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ:

وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ

"Apa saja pada kalian dari suatu keni'matan maka itu dari Allâh."  [An-Nahl : 53]

Kemudian dengan sebab kakak sekaligus sebagai Ustâdz kami Abul 'Abbâs Harmîn bin Salîm Al-Limbôrî Rahimahullâh, beliau yang mengupayakan supaya kami bisa menuntut ilmu di Dârul Hadîts Dammâj.

Kemudian dengan sebab dukungan orang-orang baik dan dengan sebab doa dan harapan orang-orang baik pula kami bisa menuntut ilmu di Dârul Hadîts Dammâj semoga Allâh merahmati kami dan merahmati mereka semuanya.

Ketika kami kuliah di Surabaya sambil mengikuti pengajian di berbagai masjid maka membuat beliau semakin berusaha dan bekerja keras supaya nantinya bisa memberangkatkan kami ke Dammâj.
Kami tidak mengira, setelah selesai kuliah beliau langsung memberikan jaminan untuk ke Dammâj, kami berkata kepada beliau: "Tidakkah sebaiknya engkau yang ke Dammâj dengan usaha dan jerih payah engkau sendiri". Beliau menjawab: "Aku khawatir kalau aku yang berangkat ke Dammâj, adik-adik kita akan tersesat atau disesatkan oleh orang-orang rusak, aku ingin membawa mereka supaya menjadi anak-anak shâlih yang bermanfaat bagi ibu kita yang telah wafat, sebagai anak-anak shâlih yang mendoakannya dan juga supaya berguna bagi ayah kita, dengan harapan keberadaan mereka bisa membawa ayah kita menjadi orang yang mentauhîdkan Allâh".
Beliau selalu mengingatkan kami dengan perkataan Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

"Jika seseorang mati maka terputuslah darinya amalannya kecuali dari tiga; kecuali dari sedekah yang mengalir pahalanya atau ilmu yang bermanfaat padanya atau anak shâlih yang mendoakannya." Diriwayatkan oleh Muslim dari Abû Hurairah Radhiyallâhu 'Anhu.

Pada bulan Semptember 2008 kamipun diberangkatkan ke Dammâj, selama kami di Dammâj, bila beliau bisa menghubungi kami maka beliau langsung menghubungi kami, yang pembicaraannya dalam menghubungi kami selalu memberi nasehat dan memberi pemotivasian kepada kami, diantara nasehat beliau ketika itu: "Janganlah engkau terburu-buru pulang ke Indonesia kecuali engkau sudah mumpuni dalam keilmuan atau kalau sudah 10 tahun di Dammâj atau kalau sudah berusia 40 tahun, karena usia 40 tahun adalah puncak kedewasaan dan puncak kematangan berpikir, pada usia tersebut Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam di angkat sebagai Nabî dan diutus sebagai Rasûl."

Semoga Allâh mengampuni dan merahmati beliau serta menjaga kedua anak beliau sebagaimana Dia telah menjaga dua anak yang hidup di zaman Nabî-Nya Al-Khidhir 'Alaihish Shalâtu was Salâm:

وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ

"Adapun tembok itu maka keberadaannya adalah milik dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawah tembok itu ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, dan keberadaan ayah keduanya adalah orang shâlih, maka Rabbmu menghendaki agar supaya mereka berdua sampai kepada kedewasaan lalu mengeluarkan simpanannya itu, sebagai kasih sayang dari Rabbmu". [Al-Kahf: 82].

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada 25 Jumâdil Âkhirah 1438 di Binagriya Pekalongan.

http://alkhidhir.com/sirah/kenangan-yang-tak-terlupakan/

ANJURAN UNTUK MENERIMA DAN BERAMAL DENGAN FATWA DAN PENDAPAT YANG BENAR


Pertanyaan:
Ustâdz izin bertanya: Apakah betul bahwa fatwâ 'ulamâ tidak boleh diambil sebagiannya saja, tapi harus ambil seluruhnya, yang disenangi ataupun tidak, karena kalau mengambil sebagian saja itu ciri munafik, betulkah begitu Ustâdz? 

Jawaban:
Tidak semua fatwâ itu mesti benar, namun ada yang benar dan ada yang salah. Oleh karena itu kita dianjurkan untuk mengambil dan mengamalkan yang benarnya, 'Abdullâh bin Ahmad dan Ath-Thabrânî meriwayatkan dari 'Abdullâh bin 'Abbâs Radhiyallâhu 'Anhumâ bahwa beliau berkata:

 مَا أَحَدٌ مِنَ النَّاسِ إِلَّا يُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ وَيُدَعُ غَيْرَ النَّبِيِّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ

"Tidak ada seorang pun dari manusia melainkan diambil dan ditinggalkan dari perkataannya kecuali Nabî 'Alaihish Shalâtu Wassalâm."
Riwayat ini diperkuat dengan perkataan Imâm Dâril Hijrah Mâlik bin Anas Rahimahullâh ketika beliau berada di dekat kuburan Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

كُلُّ أَحَدٍ يُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ وَيَرُدُّ إِلَّا صَاحِبَ هَذَا الْقَبْرِ

"Setiap orang diambil dan ditolak perkataannya kecuali penghuni kubur ini." Yakni Nabî 'Alaihish Shalâtu Wassalam. 

Oleh karena itu, ketika ada yang mengambil seluruh fatwâ dan pendapat 'ulamâ maka sungguh dia akan kewalahan dan akan terkumpul kepadanya berbagai kesalahan, diriwayatkan di dalam "Musnad Ibnil Ja'd bahwa Sulaimân At-Taimî Rahimahullâh berkata:

لَوْ أَخَذْتَ بِرُخْصَةِ كُلِّ عَالِمٍ أَوْ زَلَّةِ كُلِّ عَالِمٍ اجْتَمَعَ فِيكَ الشَّرُّ كُلُّهُ

"Kalau kamu mengambil pembolehan dari setiap 'âlim atau kesalahan dari setiap 'alim maka terkumpul kepadamu kejelekan seluruhnya."

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada malam Rabu 11 Ramadhân 1440 / 15 Mei 2019 di Maktabah Al-Khidhir Bekasi.

Jumat, 24 April 2020

MANFAAT BERBUKA PUASA DENGAN BUAH-BUAHAN


Pertanyaan:
Makanan dan minuman yang sehat untuk berbuka puasa apa sama untuk sahur juga? 

Jawaban:
Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam berbuka puasa dengan mengutamakan memakan ruthab (kurma segar), berkata Anas bin Mâlik Radhiyallâhu 'Anhu:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّىَ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَعَلَى تَمَرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ

“Dahulu Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam berbuka puasa dengan ruthab (kurma segar) sebelum beliau shalat. Jika tidak ada ruthab, maka beliau berbuka dengan kurma. Jika tidak ada yang ruthab dan kurma maka beliau berbuka dengan seteguk air.” Riwayat Ahmad dan Abû Dâwud. 
Hikmah dari mendahulukan ruthab karena mengandung banyak manfaat, di antaranya: Kaya akan antioksidan, kaya akan zat besi, membantu proses metabolisme tubuh yang optimal dan dapat memberi energi instan. Mungkin saja kebanyakan kaum Muslimîn di negeri ini sulit untuk mendapatkan ruthab, akan tetapi Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ telah merezkikan berbagai buah-buahan di negeri ini supaya kita mengonsumsinya, banyak dari buah-buahan yang memiliki manfaat seperti ruthab, di antaranya alpukat dan pisang. 

Termasuk dari bimbingan Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam dalam mengonsumsi makanan adalah mencari makanan yang terbaik, jika tidak ada maka mencari yang termudah diperoleh, tidak ada ruthab maka beliau berbuka dengan kurma, tidak ada kurma maka beliau berbuka dengan seteguk air.
Ini merupakan bimbingan yang jarang orang teladani, beliau tidak makan kurma sambil minum air dan tidak pula setelah makan kurma langsung minum air, namun beliau buatkan jeda di antara keduanya. Bimbingan ini manfaatnya sangat banyak, di antaranya:
1) Tidak kehausan terus menerus, adapun orang yang makan kurma atau buah-buahan lalu mengikutkan dengan minum air maka membuatnya akan terasa haus setelah beberapa menit, dan dirinya akan terasa lemas serta terasa malas untuk banyak bergerak. 
2) Memakan kurma atau buah-buahan dengan tidak langsung minum akan benar-benar terasa manfaatnya pada tubuh, adapun memakannya sambil minum atau setelah memakannya langsung minum maka manfaatnya tidak akan dirasakan, karena air itu akan menghanyutkannya sehingga kandungan dan manfaat apa yang dimakan hilang terbuang. 
Di antara kita mungkin kurang sabar bila sudah terhidangkan buah-buahan dan berbagai minuman, sehingga ikut dimakan dan diminum, untuk melatih kesabaran hendaklah mengonsumsi buah-buahan yang mengandung air, seperti pepaya, buah naga, mangga atau yang lebih bermanfaat lagi adalah buah kelapa muda, Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ telah menyatukan antara daging dan airnya sehingga bisa langsung dikonsumsi. 
Setelah itu ke masjid melaksakan shalat Maghrib, kemudian makan malam. 
Pada hadîts yang kita sebutkan bahwa Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam berbuka dengan seteguk air jika tidak mendapatkan buah ruthab atau kurma, air yang beliau minum adalah air mineral yang diambil dari sumur dengan tanpa proses dan tanpa memasaknya, karena air yang dimasak akan menjadikan asam terhadap pH-nya, tentu ini tidak menyehatkan bagi tubuh, Wallâhu A'lam. 

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada hari Jum'at tanggal 1 Ramadhân 1441 / 24 April 2020 di Maktabah Al-Khidhir Bekasi.

Kamis, 23 April 2020

MAKANAN TERBAIK UNTUK SAHUR


Pertanyaan:
Sahur yang sesuai sunnah itu apa saja makanannya? 

Jawaban:
Makanan yang paling utama untuk sahur adalah kurma, berkata Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

نِعْمَ سَحُورُ الْمُؤْمِنِ التَّمْرُ

"Sebaik-baik sahur bagi orang beriman adalah kurma.’ Riwayat Abû Dâwud dan Ibnu Hibbân dari Abû Hurairah Radhiyallâhu 'Anhu. 
Kebanyakan kaum Muslimîn terkhusus di negeri ini mungkin terasa sulit untuk mendapatkan kurma, namun ternyata banyak makanan sebagai pengganti dari kurma yaitu buah-buahan, keberadaan buah-buahan cocok untuk sahur. 
Kita dengar sebagian ikhwah kadang mengatakan kalau kita sahur atau sarapan dengan buah-buahan itu bikin lemas dan tidak kuat. Itu mungkin karena pengaturan dalam mengonsumsinya. Sebaiknya pada saat bangun di waktu tengah malam atau sepertiga malam dengan maksud shalat tarâwih atau membaca Al-Qur'ãn, jika kebiasaannya mengawali dengan minum maka hendaklah meminum perasan jeruk nipis, ditambah madu bila ada. Setelah itu shalat, berdzikir atau membaca Al-Qur'ãn, lalu setelah 15 menit atau lebih mulai makan buah-buahan, tentu dengan memperhatikan waktu yang tersisa supaya di akhir waktu sahur bisa makan makanan pokok. 
Makan buah-buahan termasuk makanan yang teranggap ringan sebagaimana memakan kurma, bisa dimakan di sela-sela shalat tarâwih, ini maksudnya untuk membersihkan lambung dan usus sebelum masuk makanan pokok padanya. 
Sebenarnya kalau seseorang sudah terbiasa mengonsumsi buah-buahan pada saat sarapan maka dia akan merasa cukup dengannya, karena untuk mengatasi rasa lemas cukup dengan menggabungkan buah-buahan dalam mengonsumsinya, misalnya ketika memakan pisang hendaklah memakan bersamanya daging kelapa atau yang semisalnya, daging kelapa adalah makanan yang menyehatkan, dapat memperkuat daya tahan tubuh, keberadaannya cocok sebagai pengganti ruthab (kurma segar), memakannya bersama buah-buahan yang lain itu cocok, sebagaimana Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam memakan ruthab dengan buah semangka, berkata 'Âisyah Radhiyallâhu 'Anhâ:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْكُلُ البِطِّيخَ بِالرُّطَبِ

"Dahulu Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam memakan buah semangka berkulit hijau dengan buah kurma segar." Riwayat Abû Dâwud dan An-Nasâ’î. 
Orang dapat memahami bahwa mengonsumsi semangka saja itu cepat lapar namun ketika menggabungkannya dengan kurma atau daging kelapa dalam mengonsumsi maka tentu akan menguatkan. 

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada hari Jum'at tanggal 1 Ramadhân 1441 / 24 April 2020 di Maktabah Al-Khidhir Bekasi.


FÂIDAH 'ILMU HADÎTS

 

بِسمِ اللّٰهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

Para pembesar pada thabaqât ketiga menurut Ahlul Hadîts:

1) Imâm penduduk Hijâz adalah Abû 'Abdillâh Mâlik bin Anas Rahimahullâh.

2) Imâm penduduk Hurâsân adalah Abû 'Abdirrahmân 'Abdullâh bin Al-Mubârak Rahimahullâh.

3) Imâm penduduk Kûfah adalah Abû 'Abdillâh Sufyân bin Sa'îd Ats-Tsaurî Rahimahullâh.

4) Imâm penduduk Mesir adalah Abul Hârits Al-Laits bin Sa'd Al-Fahmî Rahimahullâh.

5) Imâm penduduk Bashrah adalah Abû Ismâ'îl Hammâd bin Zaid Rahimahullâh.

6) Imâm penduduk Syâm adalah Abû 'Amr 'Abdurrahmân bin 'Amr Al-Auzâ'î Rahimahullâh.

Paling shahîhnya sanad-sanad menurut Ahlul Hadîts:

1) Paling shahîhnya sanad-sanad pada penduduk Syâm adalah Abû 'Amr Al-Auzâ'î dari Al-Hasân bin 'Athiyyah dari para Shahabat Radhiyallâhu 'Anhum.

2) Paling shahîhnya sanad-sanad pada penduduk Makkah adalah Sufyân dari 'Amr dari Jâbir Radhiyallâhu 'Anhu.

3) Paling shahîhnya sanad-sanad pada penduduk Madînah adalah Mâlik dari Nâfi' dari Ibnu 'Umar Radhiyallâhu 'Anhu.

4) Paling shahîhnya sanad-sanad pada penduduk Yaman adalah Ma'mar dari Hammâm dari Abû Hurairah Radhiyallâhu 'Anhu.

5) Paling shahîhnya sanad-sanad pada penduduk Mesir adalah Al-Laits bin Sa'd Al-Fahmî dari Yazîd bin Abî Habîb dari Abul Khair dari 'Uqbah bin 'Âmir Al-Juhanî Radhiyallâhu 'Anhu.

6) Paling shahîhnya sanad-sanad pada penduduk Hurâsân adalah Al-Husain bin Wâqid dari 'Abdillâh bin Buraidah dari ayahnya yaitu Buraidah bin Al-Hushaib Al-Aslamî Radhiyallâhu 'Anhu.

7) Paling shahîhnya sanad-sanad pada penduduk Kûfah adalah Sufyân bin Sa'îd Ats-Tsaurî dari Manshûr dari Ibrâhîm dari 'Alqamah dari Ibnu Mas'ûd Radhiyallâhu 'Anhu.

Ditulis oleh:
Abû 'Abdirrahmân Hâdî Al-Limbôrî Hafizhahullâh wa Ra'âh.

http://alkhidhir.com/hadist/faidah-ilmu-hadits/

DERAJAT DOA MENYAMBUT RAMADHÂN


Pertanyaan:
Apakah shahîh bahwa para Shahabat berdoa ketika datang Ramadhân dengan doa ini:

اَللَّهُمَّ سَلِّمْنـِي إِلَى رَمَضَانَ وَسَلِّمْ لِـي رَمَضَانَ وَتَسَلَّمْهُ مِنِي مُتَقَبَّلاً

“Yâ Allâh, antarkanlah aku sampai Ramadhân, antarkanlah Ramadhân kepadaku, dan terimalah amal-amalku di bulan Ramadhân.” (Lathâif Al-Ma'ârif, hal. 264)

Jawaban:
Ibnu Rajab menyebutkan perkataan dari Yahyâ bin Abî Katsîr Rahmatullâh 'Alainâ wa 'Alaih: 

كَانَ مِنْ دُعَائِهِمْ: اَللَّهُمَّ سَلِّمْنـِي إِلَى رَمَضَانَ وَسَلِّمْ لِـي رَمَضَانَ وَتَسَلَّمْهُ مِنِي مُتَقَبَّلاً

"Keberadaan dari doa para Shahabat: “Yâ Allâh, antarkanlah aku sampai Ramadhan, antarkanlah Ramadhân kepadaku, dan terimalah amal-amalku di bulan Ramadhân.”
Kita tidak mengetahui bahwa doa itu shahîh dari para Shahabat, kita tidak mendapatkan hadîts mauqûf yang shahîh menyebutkan doa tersebut, Ath-Thabrânî di dalam "Ad-Du'â'" meriwayatkan dari 'Ubâdah Ibnush Shâmit Radhiyallâhu 'Anhu pada sanadnya munqathi' sehingga riwayatnya teranggap dha'îf. 
Dan yang shahîh adalah hadîts maqthû' yang diriwayatkan oleh Abû Nu'aim di dalam "Al-Hilyah" dari perkataan Yahyâ bin Abî Katsîr bukan dari perkataan para Shahabat, berkata Abû 'Amr Al-Auzâ'î Rahimahullâh:

كَانَ يَحْيَى بْنُ أَبِي كَثِيرٍ يَدْعُو حَضْرَةَ شَهْرِ رَمَضَانَ: اللَّهُمَّ سَلِّمْنِي لِرَمَضَانَ، وَسَلِّمْ لِي رَمَضَانَ، وَتَسَلَّمْهُ مِنِّي مُتَقَبَّلًا

"Dahulu Yahyâ bin Abî Katsîr berdoa pada saat masuk bulan Ramadhân:  “Yâ Allâh, antarkanlah aku sampai Ramadhân, antarkanlah Ramadhân kepadaku, dan terimalah amal-amalku di bulan Ramadhân.”
Ath-Thabrânî juga meriwayatkan hadîts maqthû' seperti itu di dalam "Ad-Du'â'" dari perkataan Mahkûl Rahimahullâh dengan sanad yang hasan. 

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada malam Jum'at tanggal 1 Ramadhân 1441 / 24 April 2020 di Maktabah Al-Khidhir Bekasi.

BATAS AKHIR SHALAT TARÂWIH


Pertanyaan:
'Afwân Ustâdz, kapan batas akhir waktu yang diperbolehkan untuk melaksanakan shalat tarâwih? Jazâkallâhu khairan katsîran.

Jawaban:
Batas akhir shalat tarâwih adalah masuknya waktu shubuh yang ditandai dengan terbitnya fajar shâdiq, berkata Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

فَإِذَا خَشِيَ الصُّبْحَ صَلَّى وَاحِدَةً

"Jika seseorang khawatir akan masuk waktu shubuh maka hendaklah dia shalat seraka'at." Yakni shalat witir.
Ini merupakan dalîl yang sangat jelas bahwa batas akhir shalat malam adalah masuknya waktu shubuh.

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada Kamis tanggal 29 Sya'bân 1441 / 23 April 2020 di Maktabah Al-Khidhir Bekasi.

Rabu, 22 April 2020

BIOGRAFI SINGKAT AHMAD ASY-SYAIBÂNÎ RAHIMAHULLÂH


Beliau adalah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilâl Adz-Dzuhalî Asy-Syaibânî Al-Warwadzî.
Kunyah beliau Abû 'Abdillâh dan julukan beliau adalah Imâm Ahlil Hadîts dan imâm di dunia ilmu, berkata Yahyâ bin Ãdam:

أٌحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ إِمَامُنَا

"Ahmad bin Hanbal adalah imâm kami."
Berkata Qutaibah:

أَحْمَدُ إِمَامُ الدُّنْيَا

"Ahmad imâm dunia."
Beliau lahir di Baghdâd, berkata Abû Dâwud:

سَمِعْتُ يَعْقُوبَ الدَّوْرَقِيَّ، سَمِعْتُ أَحْمَدَ يَقُولُ: وُلِدْتُ فِي شَهْرِ رَبِيعٍ الْأَوَّلِ سَنَةَ أَرْبَعٍ وَسِتِّينَ وَمِائَةٍ

"Aku mendengar Ya'qûb Ad-Dayraqî, beliau berkata: Aku mendengar Ahmad berkata: "Aku dilahirkan pada bulan Rabî'ul Awwal tahun 164 Hijriyyah."
Bulan dan tahun kelahirannya ini sama seperti yang disebutkan oleh Shâlih bahwa ayah beliau Ahmad bin Muhammad bin Hanbal mengatakannya kepada beliau.

Beliau memulai menuntut ilmu pada usia 15 tahun, beliau berkeliling ke berbagai negeri untuk menuntut ilmu hingga beliau menghafal sejuta hadîts, berkata Abû Zur'ah kepada 'Abdullâh bin Ahmad Rahmatullâh 'Alainâ wa 'Alaihim:

أَبُوكَ يَحْفَظُ أَلْفَ أَلْفِ حَدِيثٍ

"Ayahmu menghafal 1.000.000 hadîts."
Setelah Abû Zur'ah mengatakan demikian, ada yang bertanya tentang pengetahuannya menghafal sejuta hadîts, maka beliau menjawab:

ذَاكَرْتُهُ، فَأَخَذْتُ عَلَيهِ الْأَبْوَابَ

"Aku mendiskusikannya, lalu aku mengambil padanya berbagai bâb hadîts."
Beliau tidaklah mengetahui suatu hadîtspun kecuali beliau mengamalkannya dan tidaklah beliau menulis suatu hadîts kecuali beliau mengamalkannya, berkata Al-Warwadzî Rahimahullâh:

قَالَ لِي أَحْمَدُ: مَا كَتَبْتُ حَدِيثًا إِلَّا وَقَدْ عَمِلْتُ بِهِ

"Berkata kepadaku Ahmad: Tidaklah aku menulis suatu hadîts kecuali aku benar-benar telah beramal dengannya."
Beliau dikenal paling banyak mengamalkan berbagai amalan syar'î, demikian pula dalam berjihâd, berkata 'Abdullâh bin Ahmad bin Hanbal Rahmatullâh 'Alainâ wa 'Alaihim:

خَرَجَ أَبِي إِلَى طَرْسُوسَ، وَرَابَطَ بِهَا وَغَزَا

"Ayahku telah keluar ke Tharsûs, beliau jaga di perbatasannya dan beliau ikut berperang."
Beliau memiliki beberapa kitâb, di antaranya: Al-Musnad, Al-'Ilal, An-Nâsikh wal Mansûkh, Az-Zuhd, Al-Masâil, Al-Fadhâil, Al-Îmân, Ar-Radd 'Alal Jahmiyyah dan Al-Farâidh.
Para 'Úlamâ di zamannya mengakui tentang keluasan dan kedalaman ilmu beliau, cukup kita sebutkan perkataan guru sekaligus murid beliau yaitu Asy-Syâfi'î Rahimahullâh:

خَرَجْتُ مِنْ بَغْدَادَ فَمَا خَلَّفْتُ بِهَا رَجُلًا أَفْضَلُ، وَلَا أَعْلَمُ وَلَا أَفْقَهُ وَلَا أَتْقَى مِنْ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ

"Aku keluar dari Baghdâd, maka tidaklah aku meninggalkan di Baghdâd seseorang yang lebih utama, tidak pula lebih berilmu, tidak pula lebih faqih, tidak pula lebih bertaqwâ daripada Ahmad bin Hanbal."
Asy-Syâfi'î juga pernah berkata kepada beliau:

يَا أَبَا عَبْدِ اللّٰهِ، إِذَا صَحَّ عِنْدَكُمُ الْحَدِيثُ، فَأَخْبِرُونَا حَتَّى نَرْجِعَ إِلَيهِ، أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِالْأَخْبَارِ الصِّحَاحِ مِنَّا

"Wahai Abû 'Abdillâh, jika telah shahîh suatu hadîts menurut kalian maka ajarkanlah kepada kami hingga kami merujuk kepadanya, kalian lebih mengetahui tentang hadîts-hadîts shahîh daripada kami."

Beliau menikah setelah berusia 40 tahun, beliau memiliki beberapa orang isteri, yaitu:
1). 'Abâsah bintu Al-Fadhl, beliau hidup berumah tangga dengannya selama 20 tahun lalu isterinya ini wafat, dari isteri beliau ini lahir seorang putera yaitu Shâlih bin Ahmad.
2). Raihânah, beliau hidup berumah tangga dengannya selama 4 tahun, lalu isterinya ini wafat, dari isteri beliau ini lahir seorang putera yaitu 'Abdullâh bin Ahmad.
Setelah Ummu Ahmad Raihânah wafat, beliau membeli seorang hamba sahaya yaitu Husn, dari hamba sahaya ini lahir Ummu 'Alî Zainab bintu Ahmad, Al-Hasan bin Ahmad dan Al-Husain bin Ahmad, Muhammad bin Ahmad, Al-Hasan bin Ahmad dan Sa'îd bin Ahmad Rahmatullâh 'Alainâ wa 'Alaihim.
Menjelang wafat, beliau sakit demam selama 9 hari, mulai sakit demam pada malam Rabu di awal Rabî'ul Awwal 241 dan beliau wafat pada hari Jum'at tanggal 12 Rabî'ul Awwal 241 Hijriyyah dengan usia 77 tahun.
Dinukil dari kajian Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada pembacaan kitâb Al-Maqâlah (hadîts no. 3) pada Kamis tanggal 29 Sya'bân 1441 / 23 April 2020 di Maktabah Al-Khidhir Bekasi.

http://t.me/majaalisalkhidhir