Selasa, 14 April 2020

DI SAAT WABAH MENYEBAR DI MAKKAH MASIH TETAP ADA YANG SHALAT BERJAMÂ'AH DI MASJID WALAU HANYA DUA ORANG


Pertanyaan:
Disekitar perumahan kami Alhamdulillâh sudah berjalan kembali shalat jamâ'ah walaupun tidak lebih dari 5 orang, namun akhir-akhir ini ada salah satu jamâ'ah Rodja yang menyarankan kami untuk tidak shalat berjamâ'ah dengan alasan mentaati pemerintah dan mencegah penularan, bahkan dia sampai menegur beberapa jamâ'ah yang biasa shalat. 
Pertanyaannya bagaimana salaf kita dulu baik para sahabat maupun setelahnya yang terkena wabah apakah mereka menutup masjid-masjid mereka dan amalan-amalan apa yang mereka lakukan supaya wabah cepat berlalu? Mohon pencerahannya Ustâdz Jazâkumullâhu khairan.

Jawaban:
Ibnu Hajar Rahimahullâh telah mengisahkan kejadian wabah yang menimpa Makkah pada tahun 827 Hijriyyah dalam sehari mati 40 orang dan terhitung yang mati pada bulan Rabî'ul Awwal 1.700 orang, kemudian beliau katakan:

وَيُقَالُ إِنَّ إِمَامَ الْمَقَامِ لَمْ يُصَلِّ مَعَهُ فِي تِلْكَ الْأٌيَّامِ إِلَّا اثْنَانِ

"Dikatakan bahwa seorang imâm di Maqâm Ibrâhîm tidaklah shalat bersamanya pada hari-hari itu kecuali dua orang."
Kisah ini menunjukkan tetap ada jamâ'ah, walaupun yang hadir hanya dua orang di tengah terjadinya wabah ketika itu.
Keadaan shalat berjamâ'ah seperti itu sekarang kita dapati, kita mengimami shalat berjamâ'ah di suatu masjid di tempat yang nampak tidak tersebar virus corona, yang hadir dua atau tiga orang dan terkadang lebih, kita pun menganggap mereka yang tidak hadir berjamâ'ah sudah memiliki udzur sebagaimana udzur mereka untuk tidak kemana-mana.

Di saat wabah sudah benar-benar menyebar sehingga tidak ada yang datang ke masjid dan tidak pula ada yang pergi ke tempat-tempat lain maka itu sudah menjadi udzur bagi yang tidak ke masjid, sebagaimana pada kejadian wabah menimpa Makkah sampai dikisahkan oleh Ibnu Hajar Rahimahullâh:

وَبَقِيَّةُ الْأَئِمَّةِ بَطَلَوا لِعَدَمِ مَنْ يُصَلِّي مَعَهُمْ

"Sebagian para imâm shalat mengabaikan shalat berjamâ'ah karena tidak ada yang shalat bersama mereka."

Adapun kasus sekarang, tempat masih terlihat aman sehingga masih ada yang mau datang shalat berjamâ'ah di masjid namun masalahnya ditakut-takuti, diisukan bahwa masjid tempat penyebaran virus corona, yang terkena virus corona itu setelah dari masjid, sehingga orang yang tetap datang ke masjid jadi dicurigai. Yang shalat berjamâ'ah dengan jamâ'ah yang sangat minimpun diupayakan untuk bubar dengan berbagai alasan, yang tetap datang ke masjid dicap termasuk dari khawârij atau nanti mati membawa dosa karena tidak menuruti anjuran pemerintah, sehingga memutlakkan setiap anjuran pemerintah harus dituruti. Yang tidak mau divaksin dianggap Surûrî karena tidak menaati pemerintah yang menganjurkan vaksin. Ketika pemerintah menganjurkan untuk menyekutukan Allâh dalam penetapan hukum alias berpartisipasi dalam demokrasi langsung dituruti, bahkan yang tidak ikut dicap berdosa dengan alasan karena membuka peluang untuk orang-orang kâfir. Ketika kaum Muslimîn Ambon dibantai oleh RMS lalu sebagian Ahlussunnah tetap ke Ambon untuk membela kaum Muslimîn Ambon maka dicap termasuk khawârij dengan alasan karena tidak menuruti keinginan pemerintah supaya tidak ke Ambon. Yang ikut membela Ahlussunnah Dammâj dengan berangkat menuju ke Kitâf supaya bisa menembus Dammâj dicap ikut jihâd yang tidak syar'î dengan alasan karena tidak bersama pemerintah. 
Apakah keadaan sekarang juga akan menjadikan pemerintah sebagai alasan pembolehan dan pengharaman hingga sebagian orang memperkarakan jamâ'ah masjid ke pihak berwenang?
Kita katakan: Kalau memang yang ke masjid itu diperkarakan atau sampai dipolisikan dengan alasan di masjid sebagai penyebaran atau sumber virus corona maka itu sudah menjadi udzur secara khusus untuk tidak ke masjid, berkata Asy-Syâfi'î Rahimahullâh:

إِنْ كَانَ خَائِفًا إِذَا خَرَجَ إِلَى الْجُمُعَةِ أَنْ يَحْبِسَهُ السُّلْطَانُ بِغَيرِ حَقٍّ كَانَ لَهُ التَّخَلُّفُ عَنِ الْجُمُعَةِ

"Apabila seseorang takut jika keluar untuk Jum'atan maka penguasa akan memenjarakannya dengan tanpa kebenaran maka boleh baginya untuk tidak ikut Jum'atan."
Sekilas dari yang dikisahkan oleh Ibnu Hajar Rahimahullâh menunjukkan bahwa masjid tidak ditutup, kalaupun seandainya ada yang ditutup maka tentu tidak semuanya. Maka suatu keganjalan bila kemudian didakwahkan untuk menutup masjid dengan berbagai alasan sementara perintah Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam untuk lockdown yakni tidak keluar masuk di suatu negeri yang terkena wabah diabaikan dengan berbagai alasan, namun yang mengherankan pada pertama-tama diperintahkan untuk ditutup adalah masjid-masjid.
Sudah kita katakan: "Kalau virus corona itu memang sudah benar-benar menyebar maka pasti dengan sendirinya setiap orang akan takut ke masjid, jadi tidak perlu menakut-nakuti, para imâm di masjid Harâm yang telah dikisahkan oleh Ibnu Hajar Rahimahullâh tetap shalat di masjid hanya saja sudah tidak ada jamâ'ah yang datang karena masing-masing takut dengan wabah. 
Orang kalau sudah menyaksikan sendiri dengan mata kepalanya bahwa sudah ada yang berjatuhan lalu mati karena sebab virus corona maka tentu dia akan menjadi takut untuk keluar, jangankan ke masjid ke tempat kerjanya pun tidak akan berani pergi karena takut. Cukup keadaan salaf yang dikisahkan oleh Ibnu Hajar Rahimahullâh itu sebagai pelajaran, setiap orang dengan sendirinya takut ke masjid karena benar-benar menyaksikan wabah atau karena sudah terkena wabah.

Adapun amalan salaf di zaman para Shahabat dalam menghadapi wabah Thâ'ûn maka mereka menuruti perintah Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam untuk tidak keluar masuk ke negeri yang ada wabahnya, berkata Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

فَإِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلاَ تَقْدَمُوا عَلَيْهِ، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ

"Jika kalian mendengarkan wabah itu terjadi di suatu negeri maka jangan kalian masuk ke negeri itu, jika terjadi di suatu negeri dalam keadaan kalian berada di dalamnya maka janganlah kalian keluar untuk lari darinya."
Kalau memang hadîts ini tidak mau diterapkan ke suatu negeri yang terkena wabah corona dan ingin dipaksakan penerapannya khusus di masjid maka apakah memang telah didapati di dalam masjid benar-benar virus corona menyebar? Apakah memang setiap orang sehat jadi terkena virus corona karena sebabnya ikut shalat berjamâ'ah di masjid bukan karena pergi ke tempat-tempat beraktivitasnya?

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada malam Rabu tanggal 21 Sya'bân 1441 / 15 April 2020 di Maktabah Al-Khidhir Bekasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar