Rabu, 15 Juli 2020

MERASA CUKUP DENGAN PENAMAAN DARI SALAF SHÂLIH


📝 Pertanyaan:
Ustâdz bisakah dijelaskan tentang munculnya istilah Ikhwah Tsâbitîn? Mengingat banyak ikhwah yang belum memahami istilah ini dan bertanya-tanya siapakah imâm salaf yang memunculkannya, sehingga ketika ada ikhwah bertanya dan menyebutkan Ikhwah Tsâbitîn, ini menjadi tanda tanya terus.
Jazâkallâhu khairan Ustâdz.

📜 Jawaban:
Sebagian ikhwah telah menjadikan istilah "ikhwah Tsâbitîn" atau "Ahlissunnah Tsâbitîn" sebagai suatu pembeda di antara mereka dan di antara selain mereka, dengan alasan karena pernah ada fitnah besar, dengan demikian, itu sebagai istilah pembeda saja. Dan istilah ini semakin dipopulerkan. 
Perlu kita ketahui bahwa di zaman Al-Imâm Ahmad bin Hanbal Rahmatullâh 'Alainâ wa 'Alaihim sudah ada fitnah sangat dahsyat, tidak ada yang semisal dengan beliau pada waktu itu yang kuat dan tsabat di atas perkataan yang haq, beliau disiksa, dipenjara dan diseret ke sana ke mari karena beliau tsabat di atas suatu kalimat, namun tidaklah kita dapati di zaman mereka ada penyebutan bahwa Al-Imâm Ahmad dan orang-orang yang semazhab dengannya adalah Ahlussunnah Tsâbitûn, sedangkan orang-orang yang tidak semazhab dengan mereka bukanlah termasuk dari Ahlissunnah Tsâbitîn. Tidak pula kita dapati ada dari 'ulamâ salaf yang sezaman dengan Al-Imâm Ahmad mengatakan bahwa Al-Imâm Ahmad dan orang-orang yang semazhab dengannya sebagai Ikhwah Tsâbitîn.

Dengan dimunculkannya istilah "Ikhwah Tsâbitîn" atau "Ahlissunnah Tsâbitîn" ini seakan-akan Ahlussunnah itu diklasifikasi menjadi dua bagian: Ahlissunnah Tsâbitîn dan Ahlissunnah selainnya, dan kita khawatirkan ini akan menyeret kepada suatu perkara yang kita tidak inginkan, Wallâhul Musta'ân. Ketika Asy-Syaikh Rabî' bin Hâdî Al-Madkhalî 'Afallâhu 'Annâ wa 'Anhu menyebutkan tentang keberadaan dirinya sendiri dan mensifati dirinya dengan sifat tsabat di atas al-haq maka banyak kritikan padanya, lalu bagaimana dengan mengklaim secara khusus pada orang-orang tertentu sebagai "Ikhwah Tsâbitîn" sementara keadaan mereka nampak berbeda-beda dan nampak perselisihan di antara mereka?!. Asy-Syaikh Rabî' bin Hâdî Al-Madkhalî 'Afallâhu 'Annâ wa 'Anhu menyebutkan tentang dirinya sebagaimana di dalam "Majmû'ul Kutub war Rasâ'il" miliknya:

ﻭَﻧَﺤْﻦُ ﻭَﻟِﻠّٰﻪِ ﺍﻟْﺤَﻤْﺪُ ﻳَﺸْﻬَﺪُ ﻟَﻨَﺎ ﺍﻟْﻌُﻠَﻤَﺎﺀُ ﺍﻟﺴَّﻠَﻔِﻴُّﻮْﻥَ ﻓِﻲ ﻛُﻞِّ ﻣَﻜَﺎﻥٍ، ﻳَﺸْﻬَﺪُﻭْﻥَ ﻟَﻨَﺎ ﺑِﺎﻟﺜَّﺒَﺎﺕِ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﺤَﻖِّ

"Kami -hanya kepada Allâh kami memuji- telah mempersaksikan terhadap kami para 'Ulamâ Salafiyyûn di setiap tempat. Mereka mempersaksikan tentang kami dengan kekokohan di atas al-haq".
Dia perjelas lagi pada perkataannya di dalam "Majmû'ul Kutub war Rasâ'il" miliknya:

ﻧَﺤْﻦُ ﻣَﻌْﺮُﻭْﻓُﻮْﻥَ ﻭَﺍﻟْﺤَﻤْﺪُ ﻟِﻠّٰﻪِ ﺃَﻧَّﻨَﺎ ﺃَﻗْﻮَﻯ ﻣَﻦْ ﻭَﻗَﻒَ ﻓِﻲ ﻭَﺟْﻪِ ﺍﻟْﻔِﺘَﻦِ ﻭَﺍلشَّعْبِ وَدُﻋَﺎﺓِ ﺍﻟْﻬَﺪَﻡِ ﻟِﻬَﺬِﻩِ ﺍﻟْﺒِﻼَﺩِ

"Kami dikenal -segala puji bagi Allâh- bahwasanya kami paling kuatnya orang yang berdiri di hadapan fitnah, di hadapan publik dan di hadapan dâ'î-dâ'î perusak terhadap negeri ini."

Pengklaiman seperti ini terkadang sangat bertolak belakang dengan hakekat yang ada, bagaimana kalau kemudian mengklaim orang-orang tertentu dengan klaim Tsâbitîn yang keadaan mereka berbeda-beda dan keadaan mereka selalu berselisih:

فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَىٰ

"Janganlah kalian mentazkiyyah diri-diri kalian, Allâh adalah A'lam (Maha Mengetahui) terhadap siapa yang lebih bertaqwâ."  [Surat An-Najm: 32].

Hendaklah bagi orang-orang selalu berusaha supaya kokoh di atas al-haq dan mencukupkan dengan penamaan sebagai Ahlussunnah wal Jamâ'ah, Salafiyyah atau Salafiyyûn dan Thâ'ifah Manshûrah atau penamaan yang telah dinamai dengannya para salaf shâlih, karena dengan penamaan itu akan mengharuskan untuk berpijak di atas apa yang dinamai dengannya, berkata Asy-Syaikh Abû 'Abdirrahmân Yahyâ bin 'Alî Al-Hajûrî' Afallâhu 'Annâ wa Anhu:

فَإِذَا قِيْلَ لَكَ: مَا عَقِيْدَتُكَ؟ فَقُلْ: أَنَا سُنِّيٌّ سَلَفِيٌّ

"Jika dikatakan kepadamu: Apa 'aqîdahmu? Maka katakanlah: Aku adalah sunnî salafî. Yakni aku adalah orang yang mengikuti sunnah dan mengikuti jejak salaf shâlih.
Kemudian beliau menyebutkan dalîl tentang kewajiban ber'aqîdah dengan 'aqîdah tersebut, beliau membawakan hadîts dari Al-Irbâdh bin Sâriyyah Radhiyallâhu 'Annâ wa 'Anhu. 

Penamaan-penamaan yang telah ditetapkan oleh para salaf shâlih itulah sebagai pembeda yang membedakan mereka dengan selain mereka, Walhamdulillâh, jadi tidak perlu lagi adanya istilah baru sebagai istilah pembeda. 

Masing-masing kita ketika sudah berada di alam kubur akan ditanya tentang 'aqîdah kita, di tempat inilah akan terlihat siapa yang benar-benar tsabat di atas 'aqîdah yang telah diwajibkan baginya untuk dia berada di atasnya:

يُثَبِّتُ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ بِٱلْقَوْلِ ٱلثَّابِتِ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا وَفِى ٱلْءَاخِرَةِۖ وَيُضِلُّ ٱللَّهُ ٱلظَّٰلِمِينَۚ وَيَفْعَلُ ٱللَّهُ مَا يَشَآءُ

"Allâh akan mengokohkan orang-orang yang beriman dengan ucapan yang kokoh di dunia dan di akhirat, Allâh akan menyesatkan orang-orang yang zhâlim dan Allâh berbuat apa yang Dia kehendaki". [Surat Ibrâhîm: 27].

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada tanggal 16 Ramadhân 1438 di Bekasi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar