Jumat, 14 Februari 2020

LA BISANA LAKINA YANG BIJAKSANA


La Bisana yang bergelar Lakina atau Waliul 'Ahdi adalah salah seorang putera mahkota yang menjabat sebagai Lakina di Kesultanan Buton. Semasa menjabat sebagai Lakina ia sangat benci dengan VOC, karena melihat VOC telah memiliki hubungan dengan Kesultanan Buton, membuatnya memilih menyendiri, tidak ingin seperti Lakina sebelumnya yaitu La Tondu atau yang masyhur dikenal dengan Aru Palaka. Iapun memilih pindah dan menetap di suatu gunung yang berdekatan dengan Gunung Wokokili, yang terletak di antara kota Buton dan Kecamatan Pasar Wajo. Selama menetap di gunung ini ia tidak pernah mengisahkan tentang siapa kedua orang tuanya, ia juga tidak pernah menceritakan tentang keluarganya, ia tidak ingin dikenal nasabnya dan ia pun tidak lagi berkeinginan untuk menginjakkan kakinya di keraton Buton, ia ingin seperti Sultan La Karambau memilih untuk mati di gunung daripada harus kembali ke Keraton. Ia menetap di tempat ini hingga berusia tua, dan ia menyibukkan diri menjadi guru ngaji, mengajarkan baca tulis Al-Qur'an, baca tulis aksara Buri Wolio dan juga mengajarkan seni bela diri yang dikenal dengan sila'a. Di tempat ini ia menikah dengan seorang janda yang bernama Wa Sumaini, janda ini memiliki seorang puteri yang bernama Wa 'Atimah. Dari pernikahannya dengan Wa Sumaini ini ia dikaruniai dua orang anak, anak pertama bernama Adam dan anak kedua bernama Siti Hawiyah.

La Bisana Pindah Ke Jazirah Huamual

Setelah mendengar kabar dari salah seorang kerabatnya yang mukim di Kondowa Kecamatan Pasar Wajo yang baru datang dari Kambelo Jazirah Huamual dengan membawa anak angkat perempuan kecil yang bernama Halijah keturunan Huamual asli, ia menceritakan bahwa di Jazirah Huamual merupakan suatu kerajaan yang tidak pernah menerima hubungan dengan VOC, bahkan tidak akan menerima orang VOC untuk menginjakkan kakinya di tanah Huamual. Mendengar berita itu, La Bisana bertekad untuk pindah ke Jazirah Huamual, ia pun mengumpulkan beberapa muridnya yang masih muda-muda untuk berangkat bersamanya dan bersama keluargnya menuju Jazirah Huamual. Ia berangkat dalam keadaan berusia sudah sangat tua, beliau membawa kenang-kenangannya berupa pakaian kerajaan serta sabuknya yang biasa ia pakai di Istana Keraton Buton dan juga membawa beberapa keris pusakanya. Mereka menaiki perahu yang memiliki satu layar, ketika itu perahu dikenal dengan nama Lambo, dan satu layar dikenal dengan nama A Ro'o Pangawa, yaitu satu daun layar. Pada awalnya La Bisana bersama murid-muridnya singgah di suatu tempat sebelah tanjung Sial yang sekarang dikenal dengan nama Wailapia, ia sempat menanam kelapa di tempat ini, karena melihat tempat ini kurang cocok, iapun bermusyawarah dengan murid-muridnya, setelah itu mereka memutuskan untuk ke tempat yang dekat dengan kampung Kambelo, mereka berangkat dengan kapal mereka lalu singgah di tempat yang diapit oleh dua gunung melintang dan terdapat sungai di antara keduanya, terlihat masih hutan yang dipenuhi pohon-pohon besar, di tepi pantai ada sebuah batu besar dan di dekat tepi pantai di sebelahnya terdapat 3 buah batu besar, sekitar 300 meter dari pesisir pantai merupakan tanah milik beberapa orang dari penduduk Kambelo dan Luhu. Tatkala La Bisana dan beberapa muridnya datang ke tempat ini, beberapa orang Kambelo dan Luhu menghibahkan tanah mereka kepada siapa yang ingin tinggal di tempat ini, dan La Bisana mendapatkan bagian tanah yang kemudian tanahnya dimasukkan ke dalam lapangan bola di Limboro.
Awal kedatangan La Bisana dan murid-muridnya adalah bergotong royong membuat rumah panggung untuk masing-masing lalu mereka bersepakat menamai kampung mereka dengan nama Limboro. Nama ini terdiri dari dua kata, yaitu Limbo dan ro. Limbo bermakna negeri, desa atau perkumpulan masyarakat. Sedangkan ro bermakna tunas atau daun. Setelah mereka namai dengan nama Limboro, mereka pun membentuk pemerintahan kampung, yang terdiri dari kepala kampung dan jajarannya. Kebiasaan dahulu untuk mengangkat kepala kampung melalui isyarat dari tokoh tertua, Lâ Bisana selaku tokoh tertua dan guru bagi mereka mengisyaratkan dan menunjuk langsung Haji Falaq untuk menjadi kepala kampung Limboro. Setelah itu mereka bergotong royong membangun masjid yang dinamai masjid Nurul Huda, mereka menebang 5 pohon besar, 4 batang dari pohon itu mereka kerjakan bersama-sama untuk tiang masjid yang mereka namai dengan tiang Ka'bah, kemudian La Bisana mengerjakan yang satu pohonnya lagi, beliau potong pada bagian bawa pohon, setelah itu beliau lubangi hingga menjadi bedug yang sampai sekarang ini masih ada bedugnya di masjid Nurul Huda Limboro. Adapun 4 tiang Ka'bah dan bentuk asli masjid Nurul Huda telah direnovasi hingga tidak ada yang tersisa kecuali hanya bedugnya.

La Bisana menghabiskan sisa hidupnya di Limboro Jazirah Huamual sebagai seorang guru ngaji, beliau memiliki murid-murid yang banyak dari beberapa kampung dan beliau ketika menjalankan agama Islâm sesuai dengan apa yang sampai kepada beliau.

Putera-puteri La Bisana

Beliau menikah dengan seorang janda yang bernama Wa Sumaini, dengan pernikahan ini beliau dikaruniai dua orang anak, anak pertama laki-laki bernama Ãdam dan anak kedua perempuan bernama Siti Hâwiyah. 


Dari dua orang anak beliau tersebut lahirlah keturunan beliau yang banyak. Adapun Pangeran Limboro maka beliau terlahirkan dari jalur keturunan Siti Hâwiyah, Siti Hâwiyah menikah dengan lelaki dari Dusun Talaga dengan dikaruniai 3 orang puteri, lalu suaminya meninggal. Kemudian Siti Hâwiyah menikah dengan Syahdiah dengan dikaruniai 4 orang anak, anak pertama adalah Salîm ayah Pangeran Limboro. Kemudian Salîm menikah dengan Suriyah sehingga dikaruniai 11 anak, Pangeran Limboro anak yang ke-4 dari 11 bersaudara itu.


Nama Panggilan La Bisana

Beliau menikah dengan Wa Sumaini yang berstatus sebagai janda yang memiliki anak bernama Wa 'Atimah, dan Wa 'Atimah ini meskipun keberadaannya sebagai anak tiri bagi La Bisana namun La Bisana memeliharanya seakan-akan memelihara anaknya sendiri, anak tirinya ini kemudian memiliki anak perempuan yang bernama Wa 'Ajaulu, karena Wa 'Ajaulu ini masih di bawah pengasuhan La Bisana sebagaimana mengasuh cucunya sendiri sehingga masyarakat menganggapnya itu sebagai puterinya sendiri, lalu mereka memanggil beliau dengan panggilan Ama Wa 'Ajaulu, yakni ayah Wa 'Ajaulu.
Anak-anak cucu tiri La Bisana dari anak-anak cucu isterinya yang bernama Wa Sumaini menceritakan bahwa La Bisana memiliki beberapa isteri, dan Wa Sumaini dinikahi oleh La Bisana di saat La Bisana sudah berusia tua, mereka menyebutkan bahwa Wa Sumaini adalah isteri terakhir La Bisana. Mereka tidak pernah tahu tentang isteri-isteri dan keluarga La Bisana yang lainnya, karena La Bisana tidak pernah menyebutkan kepada mereka tentang keluarga dan kedua orang tuanya, sepertinya beliau tidak ingin diketahui. Namun mereka menceritakan bahwa La Bisana ketika mengasuh mereka sering menyebut-nyebut "Ompu La Dtioleo", yakni kakek moyang La Haluoleo. Demikian pula murid-murid La Bisana menceritakan bahwa beliau sering mengatakan: "Ompu La Dtioleo cibarakati pai", yakni kakek moyang La Haluoleo sangat diberkahi.
Kakek moyang yang beliau maksud ini adalah Sultan Murhum yang berjulukan Kaimuddin, yakni orang yang menegakkan agama Islâm. La Dtioleo adalah Sultan Buton pertama yang menjabat selama 46 tahun, beliau berkuasa mulai dari tahun 1491 sampai 1537 Masehi.

Tempat Wafat La Bisana
Beliau wafat di Limboro pada usia yang sudah sangat tua, usia beliau 100 tahun lebih. Dan beliau dimakamkan di pemakaman Limboro Kecil.




*****************


Tidak ada komentar:

Posting Komentar