Kamis, 09 Januari 2020

LEBIH BAIK BERAMAL DI ATAS ILMU DARIPADA TERUS MENERUS DI ATAS KETIDAKTAHUAN


Pertanyaan:
Ustâdz izin bertanya, apakah bisa dibenarkan ucapan Asy-Syaikh Rabî' Al-Madkhalî yang berbunyi:

ﺍﻟْﺠَﻬْﻞُ ﺃَﻓْﻀَﻞُ ﻣِﻦْ ﺃَﺧْﺬِ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢِ ﻋَﻦْ ﺃَﻫْﻞِ ﺍﻟْﺒِﺪَعِ 

"Kebodohan itu lebih utama daripada mengambil ilmu dari ahlul bid'ah." (Al-Fatâwâ: 1/301). 

🔳  Jawaban:
Asy-Syaikh Rabî' bin Hâdî Al-Madkhalî adalah seorang syaikh yang semoga Allâh merahmati kita dan merahmati beliau, sungguh perkataan beliau bisa diterima dan bisa ditolak, dan di dalam suatu atsar yang diriwayatkan oleh 'Abdullâh bin Ahmad dan Ath-Thabrânî dari 'Abdullâh bin 'Abbâs Radhiyallâhu 'Anhumâ bahwa beliau berkata:

 مَا أَحَدٌ مِنَ النَّاسِ إِلَّا يُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ وَيُدَعُ غَيْرَ النَّبِيِّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ 

"Tidak ada seorang pun dari manusia melainkan diambil dan ditinggalkan dari perkataannya kecuali Nabî 'Alaihish Shalâtu was Salâm ."
Dan atsar ini diperkuat dengan atsar dari Imâm Dâril Hijrah Mâlik bin Anas Rahimahullâh, beliau katakan di saat sedang berada di dekat kuburan Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

كُلُّ أَحَدٍ يُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ وَيُرَدُّ إِلَّا صَاحِبَ هَذَا الْقَبْرِ 

"Setiap orang diambil dan ditolak perkataannya kecuali penghuni kubur ini." Yakni Nabî 'Alaihish Shalâtu was Salâm. 

Kalau seseorang sangat kuat berpegang teguh dengan perkataan Asy-Syaikh Rabî' Al-Madkhalî tersebut bisa menempatkan penyebutan "ahlul bid'ah" pada tempatnya maka tidak masalah baginya untuk beramal dengan ucapan tersebut, namun kalau dia menyalahtempatkan penyebutan "ahlul bid'ah" atau meletakkannya bukan pada tempatnya, yakni siapa saja yang tidak bersamanya, tidak gabung dengannya dalam suatu kesatuannya dan atau tidak berpegang dengan perkataan Asy-Syaikh Rabî' Al-Madkhalî lalu dianggap sebagai "ahlul bid'ah" maka ini yang masalah.

Sungguh pernah kami dapati di suatu masjid, imâmnya masyâ Allâh nampak sebagai sunnî salafî namun ketika mengimami shalat sangat kacau bacaannya terutama pada makhraj hurufnya sangat tidak benar, sampai kami bertanya kepada salah seorang jamâ'ah masjid: Apakah di masjid ini tidak ada Ustâdz yang mengisi kajian? Kami dijawab: "Justru yang imâmi itu Ustâdznya, biasa isi kajian, ceramah dan khutbah." 
Kami pun berkata: "Kenapa di masjid yang dia imâmi ini tidak ada kajian tajwid dan perbaikan bacaan Al-Qur'ãn?." 
Ternyata kendalanya di pemukiman masjid tersebut menurut mereka tidak ada Ustâdz yang sejalan dengan mereka yang bisa mengajarkan tajwid atau memperbaiki bacaan Al-Qur’ãn mereka, sehingga mereka tetap berlarut-larut dalam keadaan seperti itu, dan kita khawatirkan pada mereka akan terhujati dengan perkataan 'Iyâdh Rahimahullâh:

أَنَّ أَفْعَالَ الْجَاهِلِ فِي الْعِبَادَةِ عَلَى غَيْرِ عِلْمٍ لَا تُجْزِئُ 

"Bahwasanya perbuatan-perbuatan orang bodoh di dalam beribadah di atas selain ilmu itu tidak akan sah."

Mungkin menurut mereka yang berpegang teguh dengan ucapan Asy-Syaikh Rabî' bin Hâdî Al-Madkhalî seperti itu lebih utama daripada harus belajar dengan Ustâdz penghafal Al-Qur'ãn lagi berpengetahuan tentang ilmu tajwid yang mulâzamah dengan kita. Dan kita sempat merasa sangat malu ketika shalat di belakang seorang yang merasa paling Salafî yang bacaan Al-Qur’ãnnya sangat kacau seperti itu, sampai kami berkata kepada ikhwân yang mulâzamah dengan kami: "Kalau mereka mengharamkan mengambil ilmu dari kita sesuai pegangan mereka, maka tidakkah sebaiknya mereka mendatangkan Ustâdz yang sejalan dengan mereka, yang sama-sama berpegang teguh dengan ucapan Asy-Syaikh Rabî' bin Hâdî Al-Madkhalî sehingga mereka bisa memperbaiki kesalahan dan melengkapi kekurangan mereka?!."

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Ayyadahullâh di Bekasi pada malam Senin 22 Ramadhân 1440 / 27 Mei 2019.

⛵️ http://t.me/majaalisalkhidhir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar