Minggu, 19 Januari 2020

HUKUM GAJI DARI MENGAJARKAN ILMU AGAMA


📝 Pertanyaan:
Ustâdz bisakah jelaskan hukum gaji guru yang selain PNS? Dengan mengajarkan ilmu agama di sekolah dan digaji dari SPP, bukankah ini mengambil upah dari mengajarkan ilmu agama? Sebab ada ikhwân yang pekerjaannya begitu.

📜 Jawaban:
Kalau melihat pada hukum gajinya maka ini adalah halâl, karena para pelajar yang mau belajar di sekolah tersebut telah siap dan rela membayar SPP, bagi yang tidak rela untuk membayar SPP tentu mereka tidak akan mau sekolah di sekolah itu, dengan demikian gaji yang diambil dari SPP teranggap halâl baginya, ini berdasarkan hadîts yang diriwayatkan oleh Al-Bukhârî dari Abû Sa'îd Al-Khudrî bahwasanya ada seorang shahabat ketika diminta untuk meruqyah seorang kepala kampung yang disengat oleh binatang berbisa maka beliau mempersyaratkan:

ﻓَﻤَﺎ ﺃَﻧَﺎ ﺑِﺮَﺍﻕٍ ﻟَﻜُﻢْ ﺣَﺘَّﻰ ﺗَﺠْﻌَﻠُﻮﺍ ﻟَﻨَﺎ ﺟُﻌْﻠًﺎ

"Tidaklah aku menjadi orang yang meruqyah kecuali kalian memberi upah kepada kami".
Penduduk kampung menyanggupi:

فَأَوْفَوْهُمْ جُعْلَهُمُ الَّذِي صَالَحُوهُمْ عَلَيْهِ

"Lalu penduduk kampung memberikan upah yang mereka telah memenuhinya."
Kemudian disebutkan pada kelanjutan riwayat:

فَقَالَ بَعْضُهُمُ: اقْسِمُوا. فَقَالَ الَّذِي رَقَى: لاَ تَفْعَلُوا، حَتَّى نَأْتِيَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَذْكُرَ لَهُ الَّذِي كَانَ، فَنَنْظُرَ مَا يَأْمُرُنَا

"Berkata sebagian Shahabat: Bagikanlah oleh kalian upah tersebut!" Berkata seorang Shahabat yang meruqyah: "Jangan kalian lakukan hingga kita menemui Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam lalu kita sebutkan apa yang terjadi, kemudian kita menunggu apa yang akan beliau perintahkan?."
Setelah mereka menemui Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam dan menyebutkan kepadanya tentang apa yang mereka dapatkan, maka Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam tertawa lalu berkata:

اقْسِمُوا وَاضْرِبُوا لِي مَعَكُمْ سَهْمًا

"Bagikanlah oleh kalian, dan buatkanlah bagian untukku bersama kalian." Riwayat Al-Bukhârî (no. 2276).
Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam memerintahkan mereka untuk memberikan kepadanya suatu bagian dari upah yang mereka terima, itu sebagai penjelas dari beliau tentang kebolehan mengambil upah dari membacakan Al-Qur'ãn dan mengajarkannya. 
Al-Imâm Al-Bukhârî sebelum menyebutkan hadîts tersebut beliau menyebutkan atsar dari Al-Hakam Rahimahullâh:

ﻟَﻢْ ﺃَﺳْﻤَﻊْ ﺃَﺣَﺪًﺍ ﻛَﺮِﻩَ ﺃَﺟْﺮَ ﺍﻟْﻤُﻌَﻠِّﻢِ

“Saya tidak mendengar seorang pun menganggap makrûh gaji seorang pengajar”.
Kalau kita melihat kepada perkataannya "makrûh" maka ini ada dua makna, 'ulamâ terdahulu menganggap bahwasanya makrûh adalah harâm dan 'ulamâ belakangan menganggap bahwa makrûh adalah sesuatu yang jika dikerjakan maka tidak apa-apa dan jika ditinggalkan maka mendapatkan pahala.
Dengan demikian tidak ada hukum lain dari gaji seorang pengajar yang mengajarkan ilmu agama kecuali halâl atau mubâh.

Ahlul 'Ilmi yang membolehkan mengambil upah dari mengajarkan ilmu agama, mereka memiliki banyak dalîl di antaranya hadîts tersebut, dan di antara Ahlul 'Ilmi yang tidak membolehkan mengambil upah dari mengajarkan ilmu agama adalah berdalîl dengan perkataan Allâh Ta'âlâ:

وَمَآ أَسْـَٔلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍۖ إِنْ أَجْرِىَ إِلَّا عَلَىٰ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ

"Aku tidak meminta imbalan kepada kalian atas dakwahku, tidak ada imbalan bagiku kecuali dari Rabb alam semesta". [Asy-Syu'arâ': 109].
Yang benarnya, bahwa dalîl ini dan yang semisalnya tidaklah sampai menjadikan harâmnya mengambil upah dari mengajarkan ilmu agama, namun ini menunjukan tentang lebih utamanya tidak mengambil upah dan ini bagi mereka yang berkecukupan dalam hidupnya, berkata Asy-Syaikh Muhammad Al-Amîn bin Muhammad As-Sinqîthî Rahimahullâh:

ﺍﻟَّﺬِﻱ ﻳَﻈْﻬَﺮُ ﻟِﻲ ﻭَﺍﻟﻠّٰﻪُ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﺃَﻋْﻠَﻢُ ﺃَﻥَّ ﺍﻹِﻧْﺴَﺎﻥَ ﺇِﺫَﺍ ﻟَﻢْ تَدَعْهُ ﺍﻟْﺤَﺎﺟَﺔُ ﺍﻟﻀَّﺮُﻭْﺭِﻳَّﺔُ ﻓَﺎﻷَﻭْﻟَﻰ ﻟَﻪُ ﺃَﻻَّ ﻳَﺄْﺧُﺬُ ﻋِﻮَﺿًﺎ ﻋَﻠَﻰ ﺗَﻌْﻠِﻴْﻢِ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥِ ﻭَﺍﻟْﻌَﻘَﺎﺋِﺪِ ﻭَﺍﻟْﺤَﻼَﻝِ ﻭَﺍﻟْﺤَﺮَﺍﻡِ

"Yang nampak bagiku Wallâhu Ta'âlâ A'lam bahwasanya orang jika tidak mendorongnya kebutuhan darurat maka lebih utama baginya untuk tidak mengambil upah dari mengajarkan Al-Qur'ãn dan berbagai ilmu aqîdah serta ilmu tentang yang halâl dan yang harâm."
Terkadang seseorang menganggap bahwa mengambil upah dari mengajarkan ilmu agama adalah boleh hanya saja dia lebih memilih yang paling utama yaitu tidak mengambil upah, sehingga dia pun sibuk dengan bekerja dan berusaha mencari penghidupan, yang pada akhirnya dia pun tidak lagi mengajarkan ilmu agama kepada manusia kecuali hanya waktu yang sangat sedikit atau sudah sangat jarang mengajarkan ilmu agama, sementara kebutuhan umat terhadap ilmu agama yang dia dakwahkan sangatlah mendesak, maka manakah yang paling utama? Sedangkan Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam telah berkata:

ﺧَﻴْﺮُ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﺃَﻧْﻔَﻌُﻬُﻢْ ﻟِﻠﻨَّﺎﺱِ

"Seutama-utama manusia adalah yang paling bermanfaatnya mereka bagi manusia".
Wabillâhit Taufîq.

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada tanggal 15 Syawwâl  1438.

🌎 http://t.me/majaalisalkhidhir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar