Minggu, 26 Januari 2020

MENEMPATKAN GELAR PADA TEMPATNYA


Pertanyaan:
Pak Ustâdz saya baru-baru kenal salafi, tapi saya heran kenapa orang-orang salafî hanya nyatakan orang 'ulamâ itu dari Ustâdz/Kyai/Syakh salafî saja, yang 'ulamâ lain dibilang bukan 'ulamâ lagi, malah disebut dengan tak pakai sebutan Syaikh/Ustâdz/Kyai, kayak pas waktu baku tahdzîr itu sudah tak sopan sekali. Kyai/Syaikh/Ustâdz sudah tak ada artinya. 
Pertanyaan saya: Apakah ajaran salafî begitu? Kenapa sopan santun jarang saya dapati di orang-orang salafî? 
Mohon Ustâdz Khidhir kasih penjelasan buat saya sekaligus buat jamâ'ah yang baru ini. Syukur terima kasih.

Jawaban:
Ketahuilah bahwa Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam sebagai salaf kita telah menyontohkan segala bentuk dalam berinteraksi dengan sesama, beliau menempatkan segala sesuatu pada tempatnya, sebagaimana di dalam surat beliau kepada Hiraklius, beliau sebutkan sesuai julukannya:

إِلَى هِرَقْلَ عَظِيمِ الرُّومِ

"Kepada Hiraklius 'azhîm Romawi". 
Yakni raja Romawi yang dia ini seorang kâfir. 

Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam ketika mentalqin Abû Thâlib supaya mengucapkan kalimat Tauhîd, beliau katakan:

يَا عَمِّ قُلْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ

"Wahai pamanku, ucapkanlah Lâ Ilaha Ilallâhu." 
Ini panggilan yang sangat sopan.

Mereka disebut seperti itu untuk menerangkan tentang kedudukan mereka, jika mereka dari kalangan raja maka disebut sebagai raja pada wilayah kekuasaan mereka, sebagaimana jika mereka dari kalangan 'ulamâ maka disebut pula sebagai 'ulamâ pada kelompoknya, sebagaimana diterangkan di dalam banyak dalîl, baik dari Al-Qur'ãn maupun dari As-Sunnah, di antaranya perkataan Allâh Ta'âlâ:

أَوَلَمْ يَكُن لَّهُمْ ءَايَةً أَن يَعْلَمَهُۥ عُلَمَٰٓؤُا۟ بَنِىٓ إِسْرَٰٓءِيلَ 

"Apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa para 'ulamâ Banî Isrâîl mengetahuinya?". (Ash-Syu'arâ': 197). 

Oleh karena itu Ahlul 'Ilmi membagi 'ulamâ menjadi 3 bagian: 'Ulamâ' ummah, 'ulamâ' daulah dan 'ulamâ' millah. 

Dengan demikian kita menetapkan mereka sesuai dengan kedudukan mereka yang telah dikenal dengannya, jika di antara mereka mendakwahkan kejelekkan maka dikatakan termasuk dari 'ulamâ sû', demikian pula jika keberadaannya dari pemuka masyarakat yang lebih condong kepada ajaran nenek moyangnya maka disebut pula kedudukannya sekaligus diperjelas keadaannya jika diperlukan, sebagaimana yang pernah dikatakan oleh 'Alî bin Abî Thâlib kepada Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

إِنَّ عَمَّكَ شَيخٌ ضَالٌّ قَدْ مَاتَ 

"Sungguh pamanmu syaikh yang sesat benar-benar telah mati." 

Dalam menyebut seseorang tidaklah ada keharusan untuk menyebut julukan atau gelarnya, demikian pula tidak harus menyebut namanya saja, namun perkara ini ada keluasan, boleh menyebutkan dengan menggunakan gelar atau julukan yang dikenal dengannya dan boleh pula hanya menyebut nama, dan yang baiknya dikembalikan kepada kebiasaan pada setiap tempat selama tidak bertentangan dengan syarî'at, jika di suatu tempat penyebutan dengan julukan itu dianggap sopan maka disebut dengan julukannya, jika di suatu tempat penyebutan hanya nama itu dianggap tidak apa-apa maka tidak mengapa hanya menyebutkan namanya. Wallâhu A'lam.

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada tanggal 15 Shafar 1439 di Kemang Pratama 3 Bekasi. 

⛵ http://t.me/majaalisalkhidhir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar