Rabu, 25 Maret 2020

KELUAR RUMAH DI SAAT WABAH MENYEBAR, ANTARA PEMBOLEHAN DAN PELARANGAN


Pertanyaan:
Benarkah fatwa seseorang bahwa kalau orang yang tetap keluar dari rumahnya lalu terkena virus Corona kemudian mati maka dia jelas berdosa karena tidak taat ulil amri? 

Jawaban:
Tidak bisa dimutlakkan seperti itu, karena orang-orang yang keluar itu bermacam-macam, ada orang yang memiliki kebutuhan mendesak atau orang yang ekonomi kelas rendah yang penghidupan kesehariannya bekerja di luar rumah, jika dia tidak keluar lalu dari mana dia akan mendapatkan penghasilan untuk membiayai hidupnya dan keluarganya? Keadaannya tidak bisa disamakan dengan orang terhormat yang mengeluarkan fatwa itu. 
Demikian pula orang yang masih keluar untuk shalat berjamâ'ah di masjid pemukimannya yang belum menyebar wabah padanya, itu tidak bisa disamakan dengan di lingkungan yang sudah menyebar wabah. Suatu kondisi tidak bisa disamakan dengan kondisi yang lainnya, oleh sebab itu dinyatakan pada suatu kaedah:

الْحُكْمُ يَدُورُ مَعَ عِلَّتِهِ وُجُودًا وَعَدَمًا، قُوَّةً وَضَعْفًا

“Hukum itu berputar bersama dengan 'illahnya, dalam hal ada atau tidaknya, dalam hal kuat atau lemahnya."
Dengan alasan ini yang menjadikan seorang mujtahid tidak bergampang-gampangan memutuskan suatu perkara. 

Lagi pula pada perkara sekarang ini masih diperselisihkan oleh waliul amri, sehingga masih ada berbagai kelonggaran, karena masih banyak pertimbangan yang harus mereka pikirkan, terkhusus pemerintah belum bisa memutuskan untuk lockdown, hanya memerintahkan untuk menetap di rumah dan menjaga jarak. Kalau kemudian ada yang keluar dalam keadaan menjaga jarak karena mengikuti arahan pemerintah lalu terkena juga virus Corona kemudian mati, apakah dimutlakkan juga dalam keadaan berdosa? 

Kalau perkara dimutlakkan seperti yang difatwakan oleh yang terhormat, semua harus menetap di dalam rumah dan tidak boleh keluar, maka siapa yang akan keluar menyuplay kebutuhan buat yang terhormat yang biasa mengeluarkan fatwa? Siapa yang akan menjaga penerangan PLN supaya terus menerus hidup sehingga yang terhormat tetap terang di kediamannya dan bisa tetap berfatwa dari dalam rumahnya, siapa yang akan mengangkut sampah-sampah? Coba bayangkan jika sampah-sampah tidak diangkut, apakah jaminan kesehatan di lingkungan masih bisa dirasakan? Dan siapa yang akan mengantarkan pesanan pemerintah dan masyarakat berupa kebutuhan-kebutuhan dalam penanganan virus Corona ini bila tidak ada yang boleh keluar dari rumahnya?
Ini kita berbicara tentang kenyataan. Ahlussunnah wal Jamâ'ah tentu tidak hanya memerlukan penjelasan berupa kenyataan seperti ini namun membutuhkan pula penjelasan secara syar'î.
Bagaimana penilaian orang terhormat yang mengeluarkan fatwa itu tentang Panglima Perang Abû 'Ubaidah Ibnul Jarrâh Radhiyallâhu 'Anhu, bukankah beliau terkena wabah dan termasuk yang wafat karenanya? Sebelum terkena wabah beliau sempat bertemu dengan Amîrul Mu'minîn 'Umar Ibnul Khaththâb Radhiyallâhu 'Anhu dan mengemukakan ijtihâdnya, beliau berlainan ijtihâd dengan Amîrul Mu'minîn, kemudian Amîrul Mu'minîn kembali ke Madînah dan beliau bersama pasukannya tidak ikut bersama Amîrul Mu'minîn ke Madînah, kalau mereka ikut bersama Amîrul Mu'minîn ke Madînah lalu bagaimana kalau pasukan musuh tiba-tiba menyerang negeri-negeri kaum Muslimîn ketika itu? Ini mungkin yang menjadi pertimbangan sehingga mereka tidak ikut kembali ke Madînah.
Ketika Abû 'Ubaidah Ibnul Jarrâh Radhiyallâhu 'Anhu menyampaikan ijtihâdnya maka Amîrul Mu'minîn tidak menghukumi beliau termasuk sebagai Qadariyyah dan tidak pula dikatakan termasuk Jabariyyah. Oleh karena itu pantaskah bagi orang terhormat yang mengeluarkan fatwa itu memutlakkan berdosa bagi siapa saja yang masih keluar dari rumahnya?

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada hari Rabu tanggal 30 Rajab 1441 / 25 Maret 2020 di Mutiara Gading Timur Bekasi.

https://youtu.be/Hgpuprq1cL4

1 komentar: