Pertanyaan:
'Afwân Ustâdz ijin mengajukan pertanyaan. Semoga diberi kesehatan dan keselamatan untuk Ustâdz dan keluarga. Apa bantahan untuk orang awam yang mengatakan salafî itu sombong di lingkungan masyarakat, bagaimana kita menjelaskannya yâ Ustâdz.
Jawaban:
Ketika ada dari sebagian masyarakat menganggap bahwa salafî sombong di lingkungan masyarakat maka kita luruskan anggapan mereka, kita katakan bahwa manusia itu berbeda-beda, ada yang baik dan ada yang buruk, ada yang beradab dan ada yang kurang beradab, ada yang berakhlak mulia dan ada pula yang kurang berakhlak mulia.
Kita sebagai umat beragama Islâm tentu tidak akan pernah terima bila kita dikatakan teroris, penjahat dan penjajah. Demikian pula kita sebagai pengikut Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam yakni salafî tidak akan terima bila dianggap sombong, karena sombong adalah sifat tercela yang tidak boleh ada pada setiap salafî, berkata Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ
"Tidak akan masuk Surga orang yang ada di dalam hatinya dari suatu kesombongan walau sekecil pertikel." Riwayat Muslim (no. 275).
Jika masyarakat mendapati ada pada seseorang yang dicurigai sebagai salafî memiliki sifat sombong maka hendaklah menganggap itu sebagai perangai orang tersebut, anggaplah itu sebagai sifat jeleknya, dan jangan menganggap itu sebagai sifat salafî, karena salafî adalah orang yang mengikuti dan menyontoh Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam dalam bersifat dan bersikap. Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam dari kecil hingga dewasa berhias dengan akhlak yang mulia, ketika di Makkah beliau memulai dakwahnya dengan dakwah tauhîd dan dakwah akhlak yang mulia, berkata 'Abdullâh bin 'Abbâs Radhiyallâhu 'Anhumâ:
لَمَّا بَلَغَ أَبَا ذَرٍّ مَبْعَثُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لأَخِيهِ: ارْكَبْ إِلَى هَذَا الْوَادِي، فَاعْلَمْ لِي عِلْمَ هَذَا الرَّجُلِ الَّذِي يَزْعُمُ أَنَّهُ نَبِيٌّ، يَأْتِيهِ الْخَبَرُ مِنَ السَّمَاءِ، وَاسْمَعْ مِنْ قَوْلِهِ، ثُمَّ ائْتِنِي. فَانْطَلَقَ الأَخُ حَتَّى قَدِمَهُ وَسَمِعَ مِنْ قَوْلِهِ، ثُمَّ رَجَعَ إِلَى أَبِي ذَرٍّ، فَقَالَ لَهُ: رَأَيْتُهُ يَأْمُرُ بِمَكَارِمِ الأَخْلاَقِ، وَكَلاَمًا مَا هُوَ بِالشِّعْرِ
"Tatkala berita tentang diutusnya Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam sampai kepada Abû Dzarr maka beliau berkata kepada saudaranya: "Berangkatlah kamu ke lembah ini, beritahu aku tentang ilmu orang yang mengaku bahwa dia adalah nabî, bahwasanya berita dari langit datang kepadanya, dengarkan terhadap ucapannya lalu kembalilah kepadaku." Maka saudaranya pergi hingga menemuinya dan mendengarkan di antara perkataannya kemudian dia kembali kepada Abû Dzarr lalu berkata kepadanya: "Aku melihatnya memerintahkan kepada kemuliaan akhlak dan aku mendengarkan perkataannya bukanlah suatu sya'ir." Riwayat Al-Bukhârî (no. 3861).
Barangkali di antara masyarakat akan merasa tersakiti atau terzhalimi dengan penampakkan sifat dan sikap dari sebagian orang yang dicurigai sebagai salafî, hendaklah mereka menganggap itu sebagai cobaan dalam hidup bermasyarakat. Jangankan seseorang sebagai masyarakat umum, kami pribadipun telah merasakan perlakuan dan sikap tidak sepantasnya dari orang yang terlihat berpenampilan sunnah. Pada tanggal 29 Ramadhân kemarin waktu Dhuhâ kami mampir ke suatu masjid dan kami mengira itu masjid umum masyarakat Muslimîn, kami mampir ternyata di teras masjid ada seorang bapak muda yang berpakaian gamis setengah lutut dan memakai celana sirwal di atas mata kaki dengan tanpa mengenakan peci, kami ucapkan salâm kepadanya nampak tidak menjawab salâm kami, lalu kami bertanya kepadanya: "Apakah masjid ini ada shalat berjamâ'ah?." Dia menjawab dengan wajah yang tidak enak dipandang: "Tidak ada shalat berjamâ'ah di sini." Kemudian dia bergegas masuk masjid lalu shalat. Kemudian datang seorang anak remaja, kamipun bertanya kepadanya: "Di masjid ini ada shalat berjamâ'ah tidak?" Dia menjawab: "Ada shalat berjamâ'ah." Kami tanya lagi: "Kamu orang sini, iya saya orang sini."
Membuat kami terheran-heran, apakah seorang bapak muda tersebut menyikapi kami seperti itu karena melihat penampilan kami bersurban dan mengenakan jubah putih sehingga berburuk sangka kepada kami sebagaimana sebagian saudara-saudaranya semanhaj telah keliru dalam anggapan mereka terhadap kami sebagai Jamâ'ah Tablîgh karena melihat penampilan saja. Jibrîl 'Alaihish Shalâtu was Salâm ketika datang menemui Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam dalam keadaan mengenakan jubah putih bersih yang sifatnya diceritakan oleh Amîrul Mu'minîn 'Umar Ibnul Khaththâb Radhiyallâhu 'Anhu:
ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيدُ سَوَادِ الشَّعَرِ لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ
"Pada suatu hari muncul kepada kami seseorang yang sangat putih pakaiannya, sangat hitam rambutnya, tidak terlihat bekas safar padanya dan tidak ada seorangpun dari kami mengenalnya." Riwayat Muslim (no. 102).
Kebiasaan kami hampir setiap hari keluar rumah baik karena mengantar paketan atau mengantar pesanan jualan atau mencari kebutuhan, ketika hampir adzân atau ketika kami mendengar adzân kami mampir di masjid kaum Muslimîn, seringkali kami dapati ada sebagian orang yang bergamis gelap setengah lutut, bersirwal gelap di atas mata kaki dan tanpa mengenakan peci, kami senang berjumpa dengan mereka karena kami menganggap mereka ikhwah kami Insyâ Allâh, ketika kami mendekati dengan mengucapkan salâm terlihat terasa berat untuk menjawab salâm kami, apalagi kalau kami tanya, Subhânallâh. Seandainya ada dari jin Muslim atau ada Malaikat yang menyamar menjadi manusia dengan mengenakan pakaian putih bersih seperti Jibrîl 'Alaihish Shalâtu was Salâm terus mengenakan surban pula lalu bertemu mereka, tidak tahu apakah sikap mereka kepadanya?
Dan termasuk sikap sombong yang kita dapatkan sekarang ini pada sebagian orang yang memiliki prinsip mending bodoh daripada belajar atau mengambil ilmu dari orang yang dianggap salah atau dianggap tidak bersama mereka, dengan argumen:
إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِينٌ فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِينَكُمْ
"Sesungguhnya ilmu ini adalah agama maka lihatlah oleh kalian kepada siapa kalian mengambil agama kalian." Riwayat Muslim di dalam "Muqaddimah Shahîh"nya (no. 26).
Sehingga mereka tidak kunjung mendapatkan orang yang dapat diambil ilmunya, pindah-pindah ke sana kemari tidak kunjung mendapatkan guru yang sesuai keinginan mereka, selalu mendapatkan guru yang salah menurut mereka. Barangkali ucapan mereka diãmînkan oleh Malaikat sehingga mereka terus menerus di atas kebodohan karena itu pilihan mereka yaitu mending bodoh daripada mengambil ilmu dari kita atau dari orang yang dianggap salah, mungkinkah itu adalah buah dari kesombongan mereka? Berkata Mujâhid Rahmatullâh 'Alainâ wa 'Alaih:
لاَ يَتَعَلَّمُ الْعِلْمَ مُسْتَحْيٍ وَلاَ مُسْتَكْبِرٌ
"Tidak akan mempelajari ilmu ini orang yang pemalu dan tidak pula orang yang sombong." Riwayat Al-Bukhârî secara mu'allaq.
Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada hari Senin tanggal 3 Syawwâl 1441 / 25 Mei 2020 di Maktabah Al-Khidhir Bekasi.
⛵⛵⛵
Tidak ada komentar:
Posting Komentar