Ustâdzunâ, Bârakallâhu fîk, ada titipan pertanyaan: Bagaimanakah sikap yang benar bagi seorang muslim, apakah benar bahwa kita itu harus seimbang dalam urusan dunia dan akhirat kita yang artinya harus fifty fifty (50%-50%)? Atau apakah urusan akhirat kita harus lebih banyak namun urusan dunia kita ambil secukupnya dan jangan dilupakan? Mohon jawaban dan nasihatnya, Jazâkumullâhu khairan.
Jawaban:
Sikap yang benar bagi seorang muslim adalah melihat kepada keadaan dirinya, karena seseorang lebih mengetahui tentang keadaan dirinya sendiri. Keadaan seseorang tidak bisa disamakan dengan keadaan orang lain, semoga rahmat Allâh untuk kita dan untuk Abul 'Abbâs Harmîn, beliau dahulu selalu mengingatkan kami untuk senantiasa menjaga amalan dan selalu beribadah kepada Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ, karena itu adalah tujuan kita hidup di dunia ini, berkata Allâh 'Azza wa Jalla:
وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِیَعۡبُدُونِ
"Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereke beribadah kepada-Ku." [Surat Adz-Dzâriyât 56].
Bersamaan dengan itu Abul Abbâs Harmîn Rahimahullâh banyak waktu beliau untuk mencari penghidupan, dari sejak beliau menuntut ilmu di kota Ambon banyak waktu beliau gunakan untuk mencari penghidupan, bekerja atau berusaha. Beliau pernah bekerja di kebun dengan menanam sayur-sayuran setelah itu beliau menjualnya ke pasar. Beliau juga pernah menjadi tukang becak, mencari dan mengantar penumpang mengelilingi kota Ambon. Beliau juga pernah jualan di pasar Batu Merah Ambon, itu beliau lakukan di sela-sela menuntut ilmu dan beribadah. Jika kita hitung-hitung waktu beliau seimbang antara ibadah dan mencari nafkah atau bahkan lebih banyak terpakai untuk mencari penghidupan dan mencari nafkah. Di akhir-akhir hidup beliau adalah berkebun dan mengembala kambing, berangkat pagi pulang sore atau berangkat pagi pulang siang, tentu waktu beliau banyak terpakai untuk mencari nafkah.
Ini sama dengan kehidupan para salaf dahulu, terkhusus para Khulafâ' Râsyidîn, sebelum di antara mereka menjadi Khalîfah adalah sibuk di pasar untuk mencari nafkah dan penghidupan. Demikian pula orang-orang beriman di zaman Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam, hingga Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ peringatkan mereka sebagaimana di dalam surat Al-Jum'at:
یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوۤا۟ إِذَا نُودِیَ لِلصَّلَوٰةِ مِن یَوۡمِ ٱلۡجُمُعَةِ فَٱسۡعَوۡا۟ إِلَىٰ ذِكۡرِ ٱللَّهِ وَذَرُوا۟ ٱلۡبَیۡعَۚ
"Wahai orang-orang yang beriman, jika telah dikumandangkan adzân pada hari Jum'at maka bersegeralah untuk mengingat Allâh dan tinggalkanlah jual beliau." [Surat Al-Jumu'ah: 9].
Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ mengetahui keinginan mereka setelah Jum'atan, hingga Allâh 'Azza wa Jalla katakan kepada mereka:
فَإِذَا قُضِیَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُوا۟ فِی ٱلۡأَرۡضِ وَٱبۡتَغُوا۟ مِن فَضۡلِ ٱللَّهِ
"Jika kalian telah menunaikan shalat maka bertebaranlah di muka bumi, carilah oleh kalian dari karunia Allâh." [Surat Al-Jumu'ah: 10].
Kalau kita hitung waktu di antara mereka terkhusus pada hari Jum'at, banyak juga waktu mereka untuk berusaha dan mencari penghidupan.
Oleh karena itu ketika ada seorang muslim yang waktunya banyak tergunakan untuk mencari penghidupan dan berusaha mencari nafkah maka jangan langsung dinilai cinta dunia, terfitnah dengan dunia atau terpedaya dengan dunia, karena bisa jadi dia memiliki tanggungjawab untuk membiayai orang-orang di bawah tanggungannya, membiayai mereka menuntut ilmu dan juga bisa jadi ibadah-ibadah sunnah yang dia kerjakan di saat bersendirian itu juga banyak.
Dan sering kita katakan tentang para dâ'î yang telah ditanggung nafkah dan kebutuhan mereka oleh orang-orang baik, hendaklah mereka memanfaatkan kesempatan itu untuk lebih terfokus kepada dakwah, ilmu dan ibadah.
Demikian pula para penuntut ilmu yang telah ditanggung oleh wali mereka dalam menuntut ilmu hendaklah mereka manfaatkan itu, hendaklah mereka serius dalam menuntut ilmu dan giat beribadah kepada Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ sebelum mereka terluputkan oleh banyak kesempatan.
Dengan adanya keterangan tersebut menunjukkan kepada kita bahwa pada asalnya kita hidup di dunia hanya diperintah untuk beribadah, dan ini tujuan utama kita hidup di dunia, namun kita tidak akan bisa beribadah secara sempurna bila kita tidak memiliki bekal hidup, oleh sebab itu Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ ingatkan:
وَٱبۡتَغِ فِیمَاۤ ءَاتَىٰكَ ٱللَّهُ ٱلدَّارَ ٱلۡـَٔاخِرَةَۖ وَلَا تَنسَ نَصِیبَكَ مِنَ ٱلدُّنۡیَاۖ وَأَحۡسِن كَمَاۤ أَحۡسَنَ ٱللَّهُ إِلَیۡكَۖ
"Carilah terhadap apa yang telah Allâh karuniakan kepadamu berupa kebahagiaan negeri Akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagiannmu dari keni'matan dunia dan berbuat baiklah kepada sesama sebagaimana Allâh telah berbuat baik kepadamu." [Surat Al-Qashash: 77].
Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada malam Senin tanggal 4 Ramadhan 1441 / 27 April 2020 di Maktabah Al-Khidhir Bekasi.
http://alkhidhir.com/tanya-jawab/antara-beribadah-dan-mencari-nafkah/
http://alkhidhir.com/tanya-jawab/antara-beribadah-dan-mencari-nafkah/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar