Halaman

Sabtu, 29 Februari 2020

KEUTAMAAN BERDOA DI AKHIR SHALAT DAN DI SEPERTIGA MALAM TERAKHIR


📱 Pertanyaan:
'Afwân Ustâdz mohon penjelasannya terhadap hadîts ini:

عَنْ أَبِي أُمَامَةَ رضي الله عنه قَالَ: قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الدُّعَاءِ أَسْمَعُ؟ قَالَ: جَوْفَ اللَّيْلِ الْآخِرِ، وَدُبُرَ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوبَاتِ

"Dari Abû Umâmah Radhiyallâhu 'Anhu, beliau berkata: Ada yang bertanya: Wahai Rasûlullâh doa manakah yang lebih didengar? Beliau menjawab: Berdoa pada pertengahan malam terakhir dan penghujung shalat-shalat yang wâjib." Riwayat At-Tirmidzî (no. 3499).

📲 Jawaban:
Perkataannya: "Dari Abû Umâmah" yakni hadîts tersebut diriwayatkan oleh Abû Umâmah dari Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam. 
Nama lengkap Abû Umâmah adalah Shudaî bin 'Ajlân bin Wahb Al-Bâhilî Radhiyallâhu 'Anhu. Beliau salah seorang Shahabat yang ikut dalam bai'at di bawah pohon dan beliau pula salah seorang dâ'î yang diutus oleh Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam kepada kaumnya hingga mengislamkan mereka. 

Perkataannya: "Qîla" yaitu fi'lun mâdhîn mughayyirush shîghah atau bishîghatil mabnî lilmajhûl, yakni tidak disebutkan nama orang yang mengatakannya. 

Perkataannya: "Yâ Rasûlallâh", yaitu seruan yang sopan dan beradab dari seseorang kepada orang lain dengan menyebut julukan atau gelar yang dikenal dengannya. Rasûlullâh yang dimaksud adalah Muhammad Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam, penetapannya sebagai Rasûlullâh telah disebutkan di dalam Al-Qur'ãn:

مُّحَمَّدࣱ رَّسُولُ ٱللَّهِۚ 

"Muhammad adalah Rasûlullâh." [Surat Al-Fath: 29].

Perkataannya: "Ad-Du'â" adalah suatu pemohonan dari makhluk kepada Al-Khâliq (Allâh Yang Maha Pencipta), barangsiapa memohon kepada-Nya maka sungguh dia telah beribadah kepada-Nya dan barangsiapa yang enggan untuk memohon kepada-Nya maka sungguh dia telah menyombongkan diri:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ٱدۡعُونِیۤ أَسۡتَجِبۡ لَكُمۡۚ إِنَّ ٱلَّذِینَ یَسۡتَكۡبِرُونَ عَنۡ عِبَادَتِی سَیَدۡخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِینَ

"Berkata Rabb kalian: Memohonlah kalian kepada-Ku maka Aku akan kabulkan permohonan kalian, sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku maka mereka akan masuk Neraka dalam keadaan hina dina." [Surat Ghâfir: 60].

Perkataannya: "Asma'u", isim tafdhil, menunjukkan atas suatu kelebihan dan keunggulan, yang merupakan ungkapan lain dari makna mustajâbah sebagaimana diperjelas di dalam suatu hadîts:

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ: مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ

"Rabb kita Tabâraka wa Ta'âlâ turun pada setiap malam ke langit dunia, pada saat sepertiga malam terakhir Dia berkata: Barangsiapa berdoa kepada-Ku maka Aku kabulkan doanya." Riwayat Al-Bukhârî (no. 1145) dari Abû Hurairah Radhiyallâhu 'Anhu. 

Perkataannya: "Jaufal lailil ãkhir" yaitu sepertiga malam terakhir sebagaimana diperjelas pada hadîts dari Abû Hurairah Radhiyallâhu 'Anhu tersebut.

Perkataannya: "Duburash shalawât" yaitu penghujung shalat-shalat. Dan lafazh ini ada dua penafsiran:
Pertama: Sebelum salâm. 
Kedua: Setelah salâm.
Di antara 'ulamâ ada yang menafsirkan duburash shalawât yaitu setelah salâm, mereka berdalîl dengan perkataan Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam kepada orang-orang yang tidak memiliki harta supaya bisa menyamai amalan orang-orang berharta yang bersedekah dengan harta mereka:

تُسَبِّحُونَ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ عَشْرًا، وَتَحْمَدُونَ عَشْرًا، وَتُكَبِّرُونَ عَشْرًا

"Hendaklah kalian bertasbih 10 kali pada penghujung setiap shalat, hendaklah kalian bertahmîd 10 kali pula, dan hendaklah kalian bertakbîr 10 kali pula." Riwayat Al-Bukhârî (no. 6329). 
Yang dimaksud penghujung setiap shalat pada hadîts ini adalah akhir shalat setelah salâm, karena dzikir-dzikir tersebut pembacaannya setelah salâm. 

Dan yang benar pada penafsiran makna" duburash shalawât" di dalam hadîts tersebut adalah akhir shalat sebelum salâm, ini diperjelas dengan hadîts:

إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَتَعَوَّذُ مِنْهُنَّ دُبُرَ الصَّلاَةِ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْجُبْنِ، وَأَعُوذُ بِكَ أَنْ أُرَدَّ إِلَى أَرْذَلِ الْعُمُرِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الدُّنْيَا، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ

"Bahwasanya Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam berlindung dari beberapa perkara pada penghujung shalatnya: Yâ Allâh aku berlindung kepada-Mu dari sifat pengecut, aku berlindung kepada-Mu dari kepikunan, aku berlindung kepada-Mu dari fitnah dunia dan aku berlindung kepada-Mu dari siksaan kubur." Riwayat Al-Bukhârî (no. 2822).

Makna ini yang sesuai pemahaman para Shahabat, di antara mereka berkata kepada Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

عَلِّمْنِي دُعَاءً أَدْعُو بِهِ فِي صَلاَتِي

"Ajarkanlah kepadaku suatu doa yang aku berdoa dengannya di dalam shalatku." Riwayat Al-Bukhârî (no. 834).
Mereka tidak katakan supaya kami berdoa setelah selesai shalat, karena mereka memahami dan mengetahui secara pasti bahwa doa yang paling utama dan paling didengar adalah di dalam shalat, terkhusus di dalam sujûd dan di akhir shalat sebelum salâm. Oleh karena itu Al-Imâm Al-Bukhârî Rahimahullâh membawakan bâb secara khusus kemudian beliau ikutkan hadîts-hadîts tentang perkara ini, beliau katakan:

بَابُ التَّسْبِيحِ وَالدُّعَاءِ فِي السُّجُودِ

"Bâb bertasbîh dan berdoa di dalam sujûd."
Beliau juga katakan:

بَابُ الدُّعَاءِ قَبْلَ السَّلاَمِ

"Bâb berdoa sebelum salam."

Perkataannya: "Al-Maktûbât" yaitu shalat-shalat wâjib yang 5 waktu, pelaksanaannya bagi laki-laki diwajibkan secara berjamâ'ah di masjid dan itu lebih utama bagi mereka, berkata Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

فَإِنَّ أَفْضَلَ صَلاَةِ الْمَرْءِ فِي بَيْتِهِ، إِلاَّ الصَّلاَةَ الْمَكْتُوبَةَ 

"Sesungguhnya seutama-utama shalat bagi seseorang adalah di rumahnya kecuali shalat al-maktûbah." Riwayat Al-Bukhârî (no. 731). 

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada malam Ahad tanggal 6 Rajab 1441 / 1 Maret 2020 di Mutiara Gading Timur Bekasi.

http://t.me/majaalisalkhidhir

Kamis, 27 Februari 2020

UCAPAN ORANG MUKIM KEPARA MUSÂFIR YANG MENDOAKANNYA


Pertanyaan:
Ustâdz, apa jawaban kita bila ada yang mendoakan kita di saat kita hendak safar?

Jawaban: 
Sebagian 'Ulamâ berpendapat termasuk doa musâfir untuk orang mukim adalah:

أَسْتَوْدِعُكَ اللَٰهَ الَّذِى لاَ تَضِيعُ وَدَائِعُهُ

"Aku menitipkan kalian kepada Allâh yang tidak akan menyia-nyiakan titipan-Nya."
Akan tetapi doa dengan lafazh ini juga termasuk doa orang mukim untuk musâfir sebagaimana yang disebutkan oleh Abû Hurairah Radhiyallâhu 'Anhu bahwasanya ketika beliau hendak safar maka Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam mengucapkan untuknya doa tersebut.

Dalam suatu hadîts dari Abû Hurairah Radhiyallâhu 'Anhu terdapat kejelasan bahwa doa tersebut merupakan jawaban dari musâfir kepada orang mukim, Abû Hurairah Radhiyallâhu 'Anhu berkata kepada salah seorang muridnya:

  أَلَا أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ عَلَّمَنِيهِنَّ رَسُولُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ إِذَا أَرَدْتَ سَفَرًا أَو تَخْرُجُ مَكَانًا تَقُولُ لِأَهْلِكَ: أَسْتَوْدِعُكَ اللَٰهَ الَّذِى لاَ تَضِيعُ وَدَائِعُهُ

"Maukah aku ajarkan kepadamu doa yang Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam telah mengajarkannya kepadaku, jika kamu ingin safar atau akan keluar ke suatu tempat hendaklah kamu ucapkan kepada orang yang kamu tinggalkan: "Aku menitipkanmu kepada Allâh yang tidak akan menyia-nyiakan titipan-Nya."
Namun hadîts ini dha'îf, karena di dalam sanadnya ada Ibnu Lahî'ah, yang dia termasuk perawi dha'îf.

Dengan demikian hendaklah kita menjawab doa tersebut dengan ucapan Ãmîn sebagaimana para malaikat mengãmînkan doa orang yang berdoa, para malaikat katakan kepada orang yang berdoa:

وَلَكَ بِمِثْلٍ

"Dan untukmu dengan yang semisal." Riwayat Muslim (no. 7104).
Atau hendaklah menjawabnya dengan ucapan:

جَزَاكَ اللّٰهُ خَيْرًا 

"Semoga Allâh membalasmu dengan kebaikan."

Orang yang mendoakan kita dengan doa kebaikan maka hendaklah kita membalasnya dengan ucapan ini, berkata Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

 مَنْ صُنِعَ إِلَيْهِ مَعْرُوفٌ فَقَالَ لِفَاعِلِهِ: جَزَاكَ اللَّهُ خَيْرًا، فَقَدْ أَبْلَغَ فِي الثَّنَاءِ

"Barangsiapa dibuatkan kepadanya suatu kebaikan maka hendaklah dia katakan kepada pelakunya: "Semoga Allâh membalasmu dengan kebaikan." Maka sungguh itu adalah puncaknya ucapan terima kasih." Riwayat At-Tirmidzî (no. 1958).

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada hari Jum'at tanggal 4 Rajab 1441 / 28 Februari 2020 di Mutiara Gading Timur Bekasi.

http://t.me/majaalisalkhidhir

TIDAK ADA PENGKHUSUSAN BERBAGAI AMALAN PADA BULAN RAJAB


Pertanyaan:
Apakah benar pemberian dorongan di bawah ini sesuai hadîts Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam: “Mulai malam ini (masuk maghrib) sudah masuk 1 Rajab, Rasûlullâh bersabda: “Barangsiapa yang memberitahukan berita 1 Rajab kepada yang lain, maka harâm api neraka baginya”. Dan berdzikirlah mengingat Allâh: “Subhânallâh, Walhamdulillâh Walâ Ilaha Illallâh, Allâhu Akbar Walâ Haula Walâ Quwwata illâ Billâhil 'aliyil' Azhîm.”
Sebarkan! Anda akan membuat beribu-ribu manusia berdzikir kepada Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ. Ãmîn, Ãmîn, Ãmîn Yâ Rabbal 'Âlamîn.

Jawaban:
Itu adalah hadîts palsu, tidak ada asalnya. 
Orang yang membuat keterangan itu terkadang hanya merubah-rubah nama bulannya, terkadang disebut tanggal 1 Rajab dan terkadang 1 Dzulhijjah. 
Dengan tidak adanya kepastian dalam menentukan yang tepatnya maka itu sudah cukup untuk dipertanyakan tentang derajat hadîtsnya. 
Adapun kalau dipastikan bahwa bulannya adalah Rajab seperti pada pertanyaan tersebut maka tidaklah ada dalîl yang jelas menerangkan tentangnya. Oleh karena itu ketika ada yang mengkhususkan pada bulan Rajab tersebut dengan melakukan berbagai amalan seperti memperbanyak dzikir, shalat, puasa dan lain sebagainya maka tidaklah dia memiliki dalîl yang jelas atas pengkhususannya tersebut, berkata Al-Imâm Ibnul Qayyim Rahimahullâh:

 ﻛُﻞُّ ﺣَﺪِﻳْﺚٍ ﻓِﻲ ﺫِﻛْﺮِ ﺻَﻮْﻡِ ﺭَﺟَﺐٍ ﻭَﺻَﻼَﺓِ ﺑَﻌْﺾِ ﺍﻟﻠَّﻴَﺎﻟِﻲ ﻓِﻴْﻪِ ﻓَﻬُﻮَ ﻛَﺬِﺏٌ ﻣُﻔْﺘَﺮَﻯ

"Semua hadîts tentang puasa Rajab dan shalat di sebagian malamnya itu adalah dusta yang diada-adakan."

Termasuk dari kebiasaan orang yang ingin mengada-adakan ajaran baru di dalam Islâm adalah membuat hadîts palsu, mereka ingin memotivasi manusia supaya giat beribadah sehingga nantinya dijauhkan dari Neraka, namun tanpa mereka pikirkan bahwa perbuatan mereka itu justru menjerumuskan ke dalam Neraka karena mereka telah membuat-buat hadîts palsu, Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam berkata:

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

"Barangsiapa berdusta atas namaku dalam keadaan bersengaja maka hendaklah dia menyiapkan tempat duduknya di dalam neraka."

Perlu untuk kita ketahui bahwa tidaklah ada penyebutan di dalam hadîts-hadîts yang shahîh tentang keutamaan pengkhususan amalan-amalan pada bulan Rajab, sama saja itu pada tanggal satunya atau pertengahannya atau pun akhirnya, berkata Al-Hâfizh Ibnu Hajar Rahimahullâh:

ﻟَﻢْ ﻳَﺮِﺩْ ﻓِﻲ ﻓَﻀْﻞِ ﺷَﻬْﺮِ ﺭَﺟَﺐٍ، ﻭَﻻَ ﻓﻲ ﺻِﻴَﺎﻣِﻪِ، ﻭَﻻَ ﻓِﻲ ﺻِﻴَﺎﻡِ ﺷَﻴْﺊٍ ﻣِﻨْﻪُ، ﻭَﻻَ ﻓِﻲ ﻗِﻴَﺎﻡِ ﻟَﻴْﻠَﺔٍ ﻣَﺨْﺼُﻮْﺻَﺔٍ ﻓِﻴْﻪِ

"Tidak ada hadîts shahîh tentang keutamaan bulan Rajab, tidak pada berpuasa padanya, tidak pula berpuasa sedikit pun padanya dan tidak pula pada shalat lail secara khusus padanya."
Wallâhu A'lam. 

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada 11 Jumâdal Ãkhirah 1439 di Kemang Pratama 3 Bekasi. 

⛵ https://telegram.me/majaalisalkhidhir

Rabu, 26 Februari 2020

SHALAT KUSÛF 4 RUKÛ DAN 4 SUJÛD


✉️ Pertanyaan:
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam pernah mengerjakan shalat gerhana dengan 6 kali rukû' dan 4 kali sujûd sementara hadîts ini shahîh riwayat Muslim. Apakah hadîts ini bisa kita amalkan?

📩 Jawaban:
Hadîts-hadîts yang diriwayatkan oleh Muslim tentang tata cara shalat kusûf dengan menyebutkan jumlah rukû' dalam dua raka'at itu lebih dari 4 rukû' merupakan riwayat yang dikritik sampai Ibnu Hajar Rahmatullâh 'Alainâ wa 'Alaih katakan:

نَقَلَ صَاحِبُ الْهَدْيِ عَنِ الشَّافِعِيِّ وَأَحْمَدَ وَالْبُخَارِيِّ أٌنَّهُمْ كَانُوا يَعُدُّونَ الزِّيَادَةَ عَلَى الرُّكُوعَينِ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ غَلَطًا مِنْ بَعْضِ الرُّوَاةِ

"Pemilik kitab "Al-Hadyu" menukilkan dari Asy-Syâfi'î, Ahmad dan Al-Bukhârî bahwasanya mereka menganggap tambahan dua dua rukû pada setiap raka'at pada shalat kusûf adalah suatu kesalahan dari sebagian para perawi." (Fathul Bârî: 2/362).

Oleh karena itu memerlukan adanya tarjîh, dan yang râjih pada shalat kusûf dalam dua raka'at hanya ada 4 rukû dan 4 sujûd, sebagaimana yang disebutkan pada riwayat 'Âisyah Radhiyallâhu 'Anhâ:

وَصَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فِي رَكْعَتَيْنِ وَأَرْبَعَ سَجَدَاتٍ 

"Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam shalat dalam dua raka'at ada 4 rukû dan 4 sujûd." Riwayat Al-Bukhârî (no. 1066) dan Muslim (no. 2130). 

Riwayat ini yang disepakati oleh Al-Bukhârî dan Muslim, dan kita merâjihkan riwayat yang muttafaqun 'alaih ini daripada riwayat yang infarada bihi Muslim, karena kejadian gerhana di zaman Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam hanya sekali kejadian saja, yaitu bertepatan dengan wafatnya Ibrâhîm Ibnun Nabî 'Alaihimash Shalâtu was Salâm, yang tentu Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam melakukan shalat kusûf hanya sekali saja dan dengan satu tata cara saja sebagaimana pada riwayat tersebut. Pada riwayat Muttafaqun 'Alaih disebutkan kejadian gerhana bertepatan dengan wafatnya Ibrâhîm Ibnun Nabî 'Alaihimash Shalâtu was Salâm, demikian pula pada riwayat yang infarada bihi Muslim disebutkan sama yaitu bertepatan dengan wafatnya Ibrâhîm Ibnun Nabî 'Alaihimash Shalâtu was Salâm, namun pada riwayat yang infarada bihi Muslim disebutkan:

فَصَلَّى بِالنَّاسِ سِتَّ رَكَعَاتٍ بِأَرْبَعِ سَجَدَاتٍ

"Lalu Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam shalat mengimami manusia dengan 6 rukû' dan 4 sujûd."

Oleh karena itu Ibnul Qayyim Rahmatullâh 'Alainâ wa 'Alaih katakan:

فَإِنَّ أَكْثَرَ طُرُقِ الْحَدِيثِ يُمْكِنُ رَدُّ بَعْضِهَا إِلَى بَعْضٍ، وَيَجْمَعُهَا أَنَّ ذٰلِكَ كَانَ يَومَ مَاتَ إِبْرَاهِيمُ عَلَيهِ السَّلَامُ، وَإِذَا اتَّحَدَتِ الْقِصَّةُ تُعِينُ الْأَخْذَ بِالرَّاجِحِ

"Sesungguhnya kebanyakan dari jalur periwayatan hadîts menungkinkan untuk membawa sebagiannya kepada sebagian yang lain, karena semua periwayatan terkumpul kejadiannya pada hari wafatnya Ibrâhîm 'Alais Salam. Jika kisah kejadiannya hanya sekali maka itu memungkinkan untuk mengambil yang râjihnya." (Fathul Bârî: 2/362).

Dengan demikian hendaklah kita mengamalkan yang râjihnya, yaitu riwayat yang Muttafaqun 'Alaih:

وَصَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فِي رَكْعَتَيْنِ وَأَرْبَعَ سَجَدَاتٍ 

"Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam shalat dalam dua raka'at ada 4  rukû dan 4 sujûd." Riwayat Al-Bukhârî (no. 1066) dan Muslim (no. 2130).

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh di Mutiara Gading Timur Bekasi pada hari Jum'at 30 Rabî'ul Akhir 1441 / 27 Desember 2019.

⛵️ http://t.me/majaalisalkhidhir

Selasa, 25 Februari 2020

ANJURAN UNTUK MEMILIH MAKANAN DAN MINUMAN YANG ASLI


📱 Pertanyaan:
Ustâdz, di zaman sekarang ini kan sudah sangat banyak makanan-makanan dan minuman-minuman palsu, seperti kurma, madu, air zam-zam dan lain-lain. Bolehkah seseorang kalau asal beli, tidak mau tahu keasliannya? Tahukah Ustâdz tempat penjualan makanan di atas yang dipercaya sesuai keasliannya? 

📲 Jawaban:
Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ telah perintahkan:

فَلۡیَنظُرِ ٱلۡإِنسَـٰنُ إِلَىٰ طَعَامِهِۦۤ

"Hendaklah seseorang memperhatikan terhadap makanannya." [Surat 'Abasa: 24]. 
Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam pernah ke pasar dan beliau memastikan berbagai makanan yang dijual, berkata Abû Hurairah Radhiyallâhu 'Anhu:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَى صُبْرَةِ طَعَامٍ فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيهَا فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلاً فَقَالَ: مَا هَذَا يَا صَاحِبَ الطَّعَامِ؟ قَالَ: أَصَابَتْهُ السَّمَاءُ يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ: أَفَلاَ جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ كَيْ يَرَاهُ النَّاسُ مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّي

"Bahwasanya Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam pernah melewati tumpukan makanan, lalu beliau memasukan tangannya ke dalam tumpukan makanan itu, ternyata tangan beliau mendapati makanan yang lembab maka beliau bertanya: "Apa ini wahai penjual makanan?!." Dia menjawab: "Tertimpa air hujan wahai Rasûlullâh." Beliau berkata: "Kenapa kamu tidak meletakannya di atas makanan supaya manusia melihatnya, barangsiapa menipu maka dia tidak termasuk dari golonganku."

Kalau seseorang asal beli makanan dan minuman dengan tanpa mau tahu tentang keasliannya maka dia belum mengikuti bimbingan pada ayat dan hadîts tersebut. Alhamdulillâh sekarang sudah bertambah para penjual makanan dan minuman yang benar-benar membuktikan makanan dan minuman yang asli, di antaranya di Kios Makanan Sehat ( https://t.me/healthyfoodandbookstore ). Keberadaannya sebagai suatu pilihan bagi orang yang menginginkan, memilih kepadanya atau kepada yang belum jelas? Kita hanya mengatakan seperti itu sebagaimana Ashhâbul Kahfi yang berkata kepada seorang kawannya yang Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ terangkan:

 فَٱبۡعَثُوۤا۟ أَحَدَكُم بِوَرِقِكُمۡ هَـٰذِهِۦۤ إِلَى ٱلۡمَدِینَةِ فَلۡیَنظُرۡ أَیُّهَاۤ أَزۡكَىٰ طَعَامًا

"Utuslah oleh kalian salah seorang di antara kalian dengan membawa uang kalian ini ke kota, lalu dia melihat kepada makanan apa yang lebih baik." [Surat Al-Kahfi: 19]. 

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada hari Rabu tanggal 2 Rajab 1441 / 26 Februari 2020 di Mutiara Gading Timur Bekasi. 

http://t.me/majaalisalkhidhir


AKIBAT MENGINGKARI KEBAIKAN KEDUA ORANG TUA DAN SUAMI


📱 Pertanyaan:
Kenapa seorang wanita terkadang sampai galau dan merasa sulit menjalani hidup? Apakah ada penyebab-penyebabnya menurut Sunnah?

📲 Jawaban:
Kalau seorang wanita itu sudah menikah, bisa jadi karena dia tidak mensyukuri kebaikan suaminya, dia menganggap pemberian suaminya tidak ada nilainya atau sampai meremehkan dan merendahkan jerih payah suaminya, dalam keadaan dia telah merasakan dan memanfaatkannya. Ketidaksyukuran inilah yang menjadi penyebab kegundahan dan kegelisahannya di kehidupan dunia ini, tidak hanya sampai di sini namun di akhirat kelak akan berlanjut jika masih tidak mensyukuri kebaikan suaminya, berkata Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

أُرِيتُ النَّارَ فَإِذَا أَكْثَرُ أَهْلِهَا النِّسَاءُ يَكْفُرْنَ. قِيلَ: أَيَكْفُرْنَ بِاللَّهِ؟ قَالَ: يَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ، وَيَكْفُرْنَ الإِحْسَانَ، لَوْ أَحْسَنْتَ إِلَى إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ

"Diperlihatkan kepadaku Neraka, ternyata mayoritas penghuninya adalah para wanita yang biasa mengingkari." Beliau ditanya: "Apakah mereka mengingkari Allâh?." Beliau menjawab: "Mereka mengingkari suami, mereka mengingkari kebaikan. Jika kamu berbuat baik kepada wanita itu sepanjang masa, lalu dia melihat sesuatu kepadamu yang dia benci, maka dia akan berkata: "Aku tidak melihat padamu suatu kebaikan sama sekali." 

Kalau seorang wanita itu masih gadis, mungkin saja penyebabnya karena dia tidak mensyukuri kedua orang tuanya, meskipun dia terlihat berbakti kepada kedua orang tuanya namun dia tidak mensyukuri kedua orang tuanya, dia menganggap pemberian orang tuanya kepadanya tidak ada apa-apanya daripada usahanya sendiri atau dia menganggap orang tuanya tidak berbuat kebaikan kepadanya sebagimana orang tua selainnya. Sikap seperti ini tidak akan mendatangkan limpahan kebaikan kepadanya, bahkan akan selalu mendapatkan kegundahan, kegalauan dan kekecewaan, penyebabnya karena dia tidak mensyukuri kedua orang tuanya, padahal kalau dia sadari bahwa keberadaannya di dunia ini karena sebab kedua orang tuanya, tanpa sebab kedua orang tuanya maka dia tidak akan di dunia ini. Jasa besar dan kebaikan itu jika dia ingkari maka tentu peringatan akan menghujatinya:

وَإِذۡ تَأَذَّنَ رَبُّكُمۡ لَىِٕن شَكَرۡتُمۡ لَأَزِیدَنَّكُمۡۖ وَلَىِٕن كَفَرۡتُمۡ إِنَّ عَذَابِی لَشَدِیدࣱ

"Rabb kalian telah mengumumkan: Jika kalian bersyukur maka tentu Aku akan tambahkan kebaikan kepada kalian, jika kalian mengingkari maka ketahuilah siksaan-Ku itu dahsyat." [Surat Ibrâhîm: 7].

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada hari Selasa tanggal 21 Jumâdal Ãkhirah 1441 / 25 Februari 2020 di Mutiara Gading Timur Bekasi. 

http://t.me/majaalisalkhidhir

NASEHAT UNTUK BERSUNGGUH-SUNGGUH BELAJAR BAHASA ARAB


📱 Pertanyaan:
Apa nasehat Ustâdz buat kami di grup:
📚 مجموعة لمراجعة دروس اللغة العربية 📚

📲  Jawaban:
Nasehat kami hendaklah antum semua senantiasa bertakwa kepada Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ dan berupaya semaksimal mungkin untuk menjadikan grup tersebut sebagai sarana dalam memahami pelajaran Durûsullughah yang telah antum pelajari. Sebagaimana tekad yang kita tanamkan kepada antum hendaklah dalam mempelajari Durûsullughah jangan terlewatkan satu katapun kecuali antum bisa memahaminya dan mampu menjelaskannya sebagaimana para Shahabat dalam mempelajari Al-Qur'ãn:

كَانَ الصَّحَابَةُ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُمْ لَا يَتَجَاوَزُونَ عَشَرَ آيَاتٍ حَتَّى يَتَعَلَّمُوهَا وَمَا فِيهَا مِنَ الْعِلْمِ وَالْعَمَلِ، فَتَعَلَّمُوا الْقُرْآنَ وَالْعِلْمَ وَالْعَمَلَ جَمِيعًا

"Dahulu para Shahabat Radhiyallâhu 'Anhum tidaklah melewati 10 ayat hingga mereka mempelajarinya dari apa yang terkandung padanya dari ilmu dan amalan, mereka mempelajari Al-Qur'ãn, mengilmui dan mengamalkannya secara keseluruhan."

Kita berharap sebelum antum mempelajari suatu pelajaran dari Durûsullughah bersama kita hendaklah melihatnya terlebih dahulu sebelum datang di majlis kita, demikian pula setelah kembali dari majlis hendaklah memurâja'ah pelajaran yang baru didapatkan di majlis, hendaklah antum lakukan ini dengan serius dan bersungguh-sungguh sehingga antum dapat meraih hasilnya:

مَنْ جَدَّ وَجَدَ 

"Siapa yang bersungguh-sungguh maka dia peroleh."

Kita ikut senang ketika antum membuka grup pelajaran Durûsullughah tersebut dengan harapan supaya antum bisa memurâja'ah pelajaran-pelajaran yang sudah lewat dan juga bisa mencoba percakapan bahasa Arab, anggaplah ini sebagai cara menaman dan memupuk pelajaran ilmu yang nantinya antum akan peroleh hasilnya:

 مَنْ زَرَعَ حَصَدَ

"Barangsiapa menanam maka dia memanen."

Kemudian yang kami nasehatkan pula, hendaklah di grup tersebut dijauhkan dari perdebatan dan segala bentuk ucapan atau sikap yang bisa menimbulkan ketidaksukaan di antara antum, karena sesungguhnya itu merupakan salah satu penyebab teralihkannya rahmat dan hilangnya berkah ilmu. Dahulu di zaman Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam ada dua orang berselisih dalam keadaan mereka berdua menanti kedatangan Lailatul Qadr, berkata Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

خَرَجْتُ لأُخْبِرَكُمْ بِلَيْلَةِ الْقَدْرِ، فَتَلاَحَى فُلاَنٌ وَفُلاَنٌ، فَرُفِعَتْ

"Aku keluar untuk mengabarkan kepada kalian tentang Lailatul Qadr, namun fulân dan fulân berdebat maka diangkatlah Lailatul Qadr."
Jika antum mempelajari Durûsullughatil 'Arabiyyah seperti yang kita nasehatkan maka Insyâ Allâh antum akan memperoleh hasil:

وَمَنْ سَارَ عَلَى الدَّرْبِ وَصَلَ

"Barangsiapa berjalan sesuai rute maka dia sampai."
Ini nasehat singkat yang dapat kami sampaikan pada kesempatan ini. 

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada hari Selasa tanggal 21 Jumâdal Ãkhirah 1441 / 25 Februari 2020 di Mutiara Gading Timur Bekasi. 

http://t.me/majaalisalkhidhir

Sabtu, 22 Februari 2020

PERBEDAAN UNGKAPAN SHALLI 'ALÂ DENGAN UD'U 'ALÂ


Berkata Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ:

خُذۡ مِنۡ أَمۡوَ ٰ⁠لِهِمۡ صَدَقَةࣰ تُطَهِّرُهُمۡ وَتُزَكِّیهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَیۡهِمۡۖ إِنَّ صَلَوٰتَكَ سَكَنࣱ لَّهُمۡۗ

"Ambillah zakat dari harta mereka yang dengan sebab itu kamu akan menyucikan dosa mereka dan membersihkan kesalahan mereka dan shalli 'alaihim (doakanlah kebaikan untuk mereka), sesungguhnya doamu itu penenteram bagi mereka." [Surat At-Taubah: 103].

Pada ayat ini Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ katakan dengan kata shalli bukan ud'u, karena kata shalli jika setelahnya 'alâ maka maknanya selalu baik, bisa bermakna doakanlah rahmat, ampunan atau kebaikan dan
tidaklah mungkin dibawa kepada makna doa kejelekan. Berbeda dengan kata ud'u yang setelahnya 'alâ, karena maknanya adalah tuntutan untuk mendoakan kejelekan atau kebinasaan.
Pernah Thufail bin 'Amr Ad-Dûsî dan para Shahabatnya datang menemui Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam, mereka berkata:

يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ دَوْسًا عَصَتْ وَأَبَتْ، فَادْعُ اللَّهَ عَلَيْهَا

"Wahai Rasûlullâh, sesungguhnya bangsa Daus telah durhaka dan enggan untuk masuk Islâm maka Ud'ullâh 'alaihim (doakanlah kejelekan kepada mereka)."

Karena makna 'ud'u 'alaihim (doakanlah kejelekan atas mereka) merupakan tuntutan untuk mendoakan kejelekan atau kebinasaan sehingga ada yang langsung mengucapkan:

 هَلَكَتْ دَوْسٌ هَلَكَتْ دَوْسٌ

"Semoga binasa bangsa Daus, semoga binasa bangsa Daus."

Namun Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam memilih mendoakan kebaikan untuk mereka, beliau berdoa:

اللَّهُمَّ اهْدِ دَوْسًا وَائْتِ بِهِمْ

"Yâ Allâh berilah petunjukan kepada bangsa Daus dan berilah hidayah kepada mereka." Riwayat Al-Bukhârî (no. 2937).

Fâidah dari kajian Ushûl Tafsîr dan Bulûghul Marâm bersama Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada hari Sabtu dan Ahad Jumâdal Ãkhirah 1441 / Februari 2020.

http://t.me/majaalisalkhidhir

PENGHIBUR HATIKU


Sesuatu yang paling menghibur diriku adalah penilaian orang terhadap isi hatiku, jika penilaiannya benar maka itu sebagai siraman yang menguatkan kehidupan hatiku, jika penilaiannya salah maka semakin terhibur diriku karena itu sebagai tabungan pahala bagiku dan orang yang berani menilai itu akan mendapatkan dosa atas kesalahan penilaiannya:

إِنَّهَاۤ إِن تَكُ مِثۡقَالَ حَبَّةࣲ مِّنۡ خَرۡدَلࣲ فَتَكُن فِی صَخۡرَةٍ أَوۡ فِی ٱلسَّمَـٰوَ ٰ⁠تِ أَوۡ فِی ٱلۡأَرۡضِ یَأۡتِ بِهَا ٱللَّهُۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَطِیفٌ خَبِیرࣱ 

"Sesungguhnya jika ada (suatu perkataan atau perbuatan) seberat biji sawi, lalu keberadaannya itu di dalam batu atau di berbagai langit atau di dalam bumi maka Allâh akan mendatangkan (balasan)nya. Sesungguhnya Allâh adalah Lathîf (Maha Lembut) lagi Khabîr (Maha Mengetahui)." [Surat Luqmân: 16].

Fâidah kajian Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada malam Ahad 9 Muharram 1441 / 8 September 2019 di Mutiara Gading Timur Bekasi. 

⛵️ http://t.me/majaalisalkhidhir

👓 CIRI-CIRI ORANG YANG KAGUM DAN BANGGA DIRI 🔍


📱 Pertanyaan:
Ustâdz ada titipan pertanyaan: Adakah ciri-ciri pada orang kagum diri? 

📲 Jawaban:
Orang yang bangga dan kagum terhadap dirinya akan terlihat dari perbuatan dan ucapannya, di antara ucapannya "akulah" atau "milikkulah" atau "kepunyaankulah", berkata Ibnul Qayyim Rahmatullâh 'Alainâ wa 'Alaih:

وَلْيَحْذَرْ كُلُّ الْحَذَرِ مِنْ طُغْيَانِ "أَنَا"، وَ"لِي"، و"عِندِي"، فَإِنَّ هٰذِهِ الْأَلْفَاظَ الثَّلَاثَةَ ابتُلِيَ بِهَا إِبْلِيسُ وَفِرْعَونُ، وَقَارُونُ 

"Hendaklah berhati-hati sepenuh kehati-hatian dari berlebih-lebihan pada ucapan "akulah", "kepunyaankulah", "milikkulah", karena sesungguhnya tiga ucapan ini telah dibinasakan dengannya Iblîs, Fir'aun dan Qârûn."

Tiga ucapan tersebut telah diucapkan oleh orang-orang bangga dan kagum diri, di antara mereka adalah Iblîs La'anahullâh:

قَالَ أَنَا۠ خَیۡرࣱ مِّنۡهُ 

"Bekata Iblîs: Aku lebih baik daripada Ádam." [Surat Shad 76]. 

Kemudian Fir'aun:

لِی مُلۡكُ مِصۡرَ 

"Kepunyaankulah kerajaan Mesir." [Surat Az-Zukhruf: 51]. 

Kemudian Qârûn:

إِنَّمَاۤ أُوتِیتُهُۥ عَلَىٰ عِلۡمٍ عِندِیۤۚ

"Hanyalah aku diberi harta itu karena ilmu yang aku miliki." [Surat Al-Qashash: 78].

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada hari Ahad 19 Dzulqa'dah 1440 / 21 Juli 2019 di Mutiara Gading Timur Bekasi. 

⛵️ http://t.me/majaalisalkhidhir

JIKA ANDA TIDAK BISA SEPERTI MEREKA MAKA SETIDAKNYA JANGAN MENJADI PEMBERAT UJIAN BAGI MEREKA


Ada tiga orang yang terasa berat ujiannya dalam berdakwah, yaitu:
◽️ Orang yang memulai dakwahnya dari nol.
◽️ Orang yang berdakwah langsung di tengah-tengah umat.
◽️ Orang yang memulai dakwahnya dari nol dan dia berdakwah langsung di tengah-tengah umat.

Orang yang ketiga inilah yang paling berat ujian dakwahnya daripada yang pertama dan yang kedua. Dan Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam adalah orang yang paling terberat dakwahnya, beliau memulai dakwahnya dari nol dan beliau berdakwah langsung di tengah-tengah umat. Siapa yang permulaan dakwahnya seperti beliau maka tentu akan menghadapi ujian yang berat, Sa'd bin Abî Waqqâsh Radhiyallâhu 'Anhu bertanya kepada Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلاءً؟ 

"Wahai Rasûlullâh, siapakah orang yang paling berat ujiannya?."
Beliau menjawab:

الأَنْبِيَاءُ، ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ

"Para Nabî, kemudian orang semisal mereka, kemudian orang yang semisal mereka." Riwayat At-Tirmidzî.

Al-Imâm Al-Bukhârî di dalam "Shahîh"nya berkata:

بَابُ أَشَدِّ النَّاسِ بَلاَءً الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الأَوَّلُ فَالأَوَّلُ

"Bâb orang yang paling berat ujiannya adalah para Nabî kemudian setelahnya kemudian setelahnya."

Fâidah dari Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada hari Rabu 20 Dzulhijjah 1440 / 21 Agustus 2019 di Mutiara Gading Timur Bekasi. 

⛵️ http://t.me/majaalisalkhidhir

PERJUANGAN ORANG-ORANG YANG BERCELANA DI ATAS MATA KAKI


Jika mereka yang membenci Sunnah cadar dan celana di atas mata kaki itu beralasan tidak sesuai dengan budaya Nusantara maka mereka perlu mengenal dan mengkaji kembali budaya di Nusantara ini. Mereka pasti mengakui bahwa di Nusantara ini paling banyak budayanya, dan sebagian budaya Islâm pun sudah didapati ada di dalamnya. Mereka juga pasti mengakui bahwa yang berjuang membela Tanah Air itu dari berbagai kaum, dari sebelum Indonesia merdeka telah ada para pejuang berjubah, bersurban dan bercelana di atas mata kaki, mereka adalah kaum Padri, mereka ikut dalam perjuangan melawan penjajah, pasukan mereka terdiri dari para santri dan 'Ulamâ, dengan pimpinan Tuanku Imâm Bonjol Rahmatullâh 'Alainâ wa 'Alaihim, isteri-isteri dan putri-putri mereka juga bercadar. 

Perjuangan orang-orang berjubah, bersurban dan bercelana di atas mata kaki tidak berhenti pada perjuangan untuk mendapatkan kemerdekaan saja namun ternyata bersambung pada perjuangan dalam menjaga keutuhan NKRI. Ketika RMS mulai mengibarkan benderanya dan mengobarkan api perlawanannya terhadap NKRI di Ambon dan sekitarnya pada tahun 1999-2002 maka aparat pemerintah tidak bisa bergerak untuk menumpas RMS, karena masih mempertimbangkan jangan sampai terulang kembali seperti kasus Timur-Timur yang digugat dengan pelanggaran HAM. Alhamdulillâh pasukan berjubah, bersurban dan bercelana di atas mata kaki bangkit menyerukan jihâd dengan pimpinan panglima Laskar Jihâd Al-Ustâdz Ja'far 'Umar Thâlib Rahmatullâh 'Alainâ wa 'Alaihim. Aparat pemerintah dari sebagian para petinggi TNI dan POLRI memberikan dukungan, maka tidak heran ketika pasukan berjubah, bersurban dan bercelana di atas mata kaki itu datang ke Ibukota Negara dengan membawa pedang tidak dihambat, padahal jumlah mereka lebih sedikit bila dibandingkan dengan keseluruhan POLRI yang bertugas di Ibukota Negara, mereka dibiarkan membawa pedang, bahkan dibukakan jalan hingga sampai ke tempat yang mereka tuju. 

Demikian pula ketika pasukan itu melakukan latihan di Jawa tidaklah dihalangi bahkan bebas bagi mereka untuk latihan, hingga pemberangkatan ke Ambon dengan menggunakan kapal laut, juga tidak dihalangi, padahal pemerintah memiliki kapal patroli, karena memang ada dari sebagian para petinggi di pemerintahan memberi dukungan dan merespon baik. Alhamdulillâh setelah api RMS padam mereka kembali sebagaimana semula, menuntut ilmu dan terus berdakwah. 

Apakah setelah dirasakan nikmatnya kemerdekaan dan indahnya keutuhan NKRI kemudian kebaikan mereka itu akan dibalas dengan melarang mereka mengamalkan Sunnah dan menampakkan Syi'ar Islâm yang sudah membudaya di Nusantara ini dari puluhan tahun yang lalu?! 

Wahai umat:

وَإِن یَخۡذُلۡكُمۡ فَمَن ذَا ٱلَّذِی یَنصُرُكُم مِّنۢ بَعۡدِهِۦۗ 

"Jika Allâh membiarkan (dengan tidak memberi pertolongan) kepada kalian, maka siapakah gerangan yang dapat menolong kalian selain dari Allâh sesudah itu?! ." [Surat Âli 'Imrân: 160].

Fâidah dari Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir di Mutiara Gading Timur 2 Bekasi pada hari Selasa 8 Rabî'ul Awwal 1441 / 5 November 2019. 

⛵️ http://t.me/majaalisalkhidhir

MENGENAL AL-USTÂDZ JA'FAR 'UMAR THÂLIB


📱 Pertanyaan:
Siapa itu Ustâdz Ja'far 'Umar Thâlib? Apakah Laskar Jihâd itu termasuk firqah?

📲 Jawaban:
Al-Ustâdz Ja'far 'Umar Thâlib Rahmatullâh 'Alainâ wa 'Alaih adalah orang Indonesia yang pertama-tama menuntut ilmu di Dârul Hadîts Dammâj di Yaman, kemudian jejek beliau ini diikuti oleh banyak para penuntut ilmu asal Indonesia dan Malaysia, mereka berdatangan ke Dârul Hadîts Dammâj untuk menuntut ilmu. Dan kita berharap semoga jejak beliau ini termasuk dari sunnah hasanah yang disebutkan di dalam hadîts:

مَنْ سَنَّ فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيءٌ 

"Barangsiapa mencontohkan di dalam Islâm dengan contoh yang baik maka baginya pahalanya dan pahala orang yang beramal dengannya setelahnya dengan tanpa mengurangi pahalanya sedikitpun." Riwayat Muslim dari Jarîr bin 'Abdillâh Radhiyallâhu 'Anhu dari Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam. 

Setelah Al-Ustâdz Ja'far 'Umar Thâlib kembali dari Dârul Hadîts Dammâj beliau meneruskan dakwahnya di Pondok Pesantren beliau yaitu Pondok Pesantren Ihyâus Sunnah di Degolan, beliau terus menerus menunjukkan kaum Muslimîn Indonesia untuk menuntut ilmu di Dârul Hadîts Dammâj sehingga banyak orang-orang Indonesia berdatangan ke Dârul Hadîts Dammâj, dan kita berharap semoga beliau masuk ke dalam orang-orang yang disebutkan di dalam hadîts:

مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ

"Barangsiapa menunjukkan kepada kebaikan maka baginya pahala semisal dengan pahala orang yang melakukannnya." Riwayat Muslim dari Abû Mas'ûd Al-Anshârî Radhiyallâhu 'Anhu dari Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam.

Adapun Laskar Jihâd maka itu adalah suatu nama bagi mereka yang ikut jihâd di Maluku pada tahun 2000 hingga tahun 2002, nama yang lengkapnya adalah Laskar Jihâd Ahlussunnah wal Jamâ'ah.

Dengan sebab keberadaan mereka di Ambon dan sekitarnya, kami bergembira dengan dua kegembiraan:

Pertama: Kami kaum Muslimîn Maluku mendapatkan bantuan kekuatan melalui mereka, di saat kaum Muslimîn Maluku tidak memiliki kekuatan untuk menolak dan melawan kaum Nasrânî, di saat kaum Muslimîn Maluku tertindas dan di saat tidak adanya bantuan tenaga dari kaum Muslimîn di luar Maluku, tiba-tiba mereka datang dengan melewati berbagai tantangan, hambatan dan fitnah, Alhamdulillâh mereka sampai di kepulauan Maluku lalu menolong dan membantu suadara-saudara mereka kaum Muslimîn di Maluku. 

Kedua: Kami dan kaum Muslimîn Maluku mengenal dakwah Tauhîd dan Sunnah dari mereka, yang sebelumnya kami tidak pernah tahu tentang Tauhîd dan Sunnah. Bahkan kebanyakan yang menjadi Ahlussunnah di Maluku karena sebab mereka ketika itu, dan kita berharap semoga Al-Ustâdz Ja'far 'Umar Thâlib dan Laskar Jihâdnya termasuk ke dalam hadîts yang disebutkan:

فَوَاللّٰهِ لأَنْ يُهْدَى بِكَ رَجُلٌ وَاحِدٌ خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ

"Demi Allâh, diberi hidayah dengan sebabmu seorang saja itu lebih baik bagimu daripada Onta merah." Riwayat Al-Bukhârî dari Sahl bin Sa'd Radhiyallâhu 'Anhu dari Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam. 

Adapun Laskar Jihâd Ahlussunnah wal Jamâ'ah hanyalah berumur dua tahun, didirikan pada tahun 2000 dan dibubarkan pada tahun 2002 Masehi. 

Pada bulan Maret 2003, Al-Ustâdz Ja'far 'Umar Thâlib Rahimahullâh ditemui oleh pembawa berita Al-Jazîrah lalu beliau diwawancarai tentang pembubaran Laskar Jihâd maka beliau sebutkan beberapa kekeliruan yang menjadi sebab pembubarannya, kemudian beliau katakan kepada yang berdialog dengan beliau:

وَنَحْنُ أَيضًا نَتَرَاجَعُ عَنْ أَخْطَائِنَا وَعَنْ مُخَالَفَاتِنَا، مُخَالَفَاتٍ مَنْهَجِيَّةٍ، مُخَالَفَاتٍ أَخْلَاقِيَّةٍ

"Dan kami juga telah mengakui terhadap kesalahan-kesalahan kami dan penyelisihan-penyelisihan kami, penyelisihan-penyelisihan perkara manhaj dan penyelisihan-penyelisihan perkara akhlak."

Beliau menuturkannya di dalam berdiolog tersebut terasa senang, hingga beliau katakan:

الْحَمْدُ لِلّٰهِ تَرَاجَعْنَا وَاتَّفَقْنَا عَلَى الرُّجُوعِ إِلَى الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ بِفَهْمِ سَلَفِ الْأُمَّةِ

"Segala pujia bagi Allâh, kami telah kembali kepada kebenaran dan kami telah bersepakat untuk kembali kepada Al-Qur'ãn dan As-Sunnah di atas pemahaman Salaful Ummah."

Pada akhir dialog, orang yang berdialog dengan beliau berkata:

نَشْكُرُكُمْ فَضِيلَةَ الشَّيخِ عَلَى هٰذَا اللِّقَاءِ

"Kami berterima kasih kepada kalian wahai Fadhîlatus Syaikh atas pertemuan ini."

Beliau biasa dipanggil dengan panggilan Syaikh ketika beliau ziarah ke Kerajaan Saudi Arabia atau ketika beliau ziarah ke Yaman, di Dârul Hadîts Dammâj beliau disebut dengan Syaikh oleh Al-'Allâmah Yahyâ Al-Hajûrî 'Afallâhu 'Annâ wa 'Anhu, dan kami mendengarkan dari beberapa penuntut ilmu tentang julukan yang diberikan kepada beliau ini, padahal Al-'Allâmah Yahyâ Al-Hajûrî tidak mudah menjuluki seseorang sebagai Syaikh, namun Al-Ustâdz Ja'far 'Umar Thâlib beliau menjulukinya dengan Syaikh. Maka tidak heran kalau kemudian sebagian para Dâ'i menjuluki beliau dengan julukan Syaikhul Asâtîdz, karena orang-orang yang belajar di Dammâj pada zaman Al-Imâm Al-Wâdi'î Rahimahullâh, kebanyakan mereka adalah murid beliau, dan juga banyak para Dâ'i yang dakwah di berbagai wilayah di Indonesia itu banyak dari murid-murid beliau, sehingga pantas dijuluki dengan julukan Syaikhul Asâtîdz ini. 

Semoga Allâh mengampuni kita dan mengampuni beliau, merahmati kita dan merahmati beliau serta merahmati siapa saja yang mematuhi larangan yang disebutkan di dalam hadîts:

لاَ تَسُبُّوا الأَمْوَاتَ فَإِنَّهُمْ قَدْ أَفْضَوْا إِلَى مَا قَدَّمُوا

"Janganlah kalian mencela orang-orang yang sudah meninggal dunia, karena sesungguhnya mereka benar-benar telah sampai kepada apa yang mereka lakukan." Riwayat Al-Bukhârî dari 'Âisyah Radhiyallâhu 'Anhâ dari Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam.

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Ayyadahullâh di Kemang Pratama Bekasi pada malam Senin 25 Dzulhijjah 1440 / 26 Agustus 2019. 

⛵️ http://t.me/majaalisalkhidhir

Jumat, 21 Februari 2020

ANAK ZINÂ MAHRAM BAGI AYAH BIOLOGISNYA


Pertanyaan:
Anak zinâ nasabnya kan tidak ke bapak biologisnya, tapi ke ibunya. Itu yang pernah ana dengar, mohon koreksinya kalau salah. Jika memang nasabnya tidak ke bapak biologisnya, lalu apakah status anak zinâ tetap mahram ke bapak biologisnya? Mohon pencerahannya!

Jawaban:
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan 'Ulamâ tentang status anak zinâ bagi ayah biologisnya, disebutkan dari kalangan madzhab Asy-Syâfi'î bahwa tidak ada hubungan kemahraman antara anak zinâ dengan ayah biologisnya, bahkan mereka berpendapat bahwa anak zinâ itu boleh untuk dinikahi oleh ayah biologisnya. Namun ini adalah pendapat yang sangat salah, bertentangan dengan Al-Qur’ãn dan As-Sunnah, serta bertentangan dengan fitrah manusia.
Di dalam Al-Qur'ãn telah diterangkan:

حُرِّمَتۡ عَلَیۡكُمۡ أُمَّهَـٰتُكُمۡ وَبَنَاتُكُمۡ

"Telah diharamkan untuk kalian menikahi ibu-ibu kalian dan menikahi anak-anak perempuan kalian." [Surat An-Nisâ': 23].

Di dalam As-Sunnah telah dijelaskan tentang Hilâl bin Umayyah yang menuduh isterinya berzina dengan Syarîk bin Sahmâ', maka Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam berkata:

أَبْصِرُوهَا فَإِنْ جَاءَتْ بِهِ أَبْيَضَ سَبِطًا قَضِيءَ الْعَيْنَيْنِ فَهُوَ لِهِلاَلِ بْنِ أُمَيَّةَ وَإِنْ جَاءَتْ بِهِ أَكْحَلَ جَعْدًا حَمْشَ السَّاقَيْنِ فَهُوَ لِشَرِيكِ ابْنِ سَحْمَاءَ

"Perhatikanlah dia, jika Nanti anaknya putih, berambut lurus dan berbadan sedang maka itu anaknya Hilâl bin Umayyah. Jika nanti anaknya hitam, berambut keriting dan kurus, maka itu anaknya Syarîk bin Sahmâ’.
Berkata Anas bin Mâlik Radhiyallâhu 'Anhu:

فَأُنْبِئْتُ أَنَّهَا جَاءَتْ بِهِ أَكْحَلَ جَعْدًا حَمْشَ السَّاقَيْنِ

"Lalu dikabarkan kepadaku bahwasanya yang lahir adalah hitam, berambut kriting dan kurus." Riwayat Muslim (no. 3830). 
Setelah nampak ciri-cirinya seperti Syarîk bin Sahmâ' maka dikatakanlah itu adalah anaknya, ini pemastian sesuai biologisnya. Ketika sudah seperti itu maka secara fitrah manusia akan mengakui itu sebagai anaknya sekaligus sebagai mahramnya, dalam artian haram bagi ayah biologisnya untuk menikahinya karena Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ telah katakan:

حُرِّمَتۡ عَلَیۡكُمۡ أُمَّهَـٰتُكُمۡ وَبَنَاتُكُمۡ

"Telah diharamkan untuk kalian nikahi atas ibu-ibu kalian dan anak-anak perempuan kalian." [Surat An-Nisâ': 23].

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada hari Jum'at tanggal 17 Jumâdal Ãkhirah 1441 / 21 Februari 2020 di Mutiara Gading Timur Bekasi.

http://t.me/majaalisalkhidhir

Kamis, 20 Februari 2020

HUKUM ANAK KAMBING DI DALAM RAHIM INDUKNYA YANG DISEMBELIH


Pertanyaan:
'Afwân ana mau tanya lagi, kalau untuk 'aqîqah ternyata pas menyembelih kambing di dalamnya ada anak kambingnya, hukumnya bagaimana ya?

Jawaban:
Tidak apa-apa, karena sebelumnya kalian tidak mengetahui keberadaannya, bahkan itu bisa teranggap sebagai suatu kelebihan bagi kalian yang Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ lebihkan supaya kalian semakin bersyukur kepada-Nya. Dan anak kambing yang kalian dapatkan di dalam rahim induknya itu boleh kalian konsumsi karena masih berbentuk janîn, hukumnya sama dengan bagian dari anggota tubuh induknya, kecuali kalau kalian mendapatinya di rahim induknya dalam keadaan sudah bergerak-gerak karena itu sudah ditiupkan roh, jika sudah ditiupkan roh padanya maka itu hukumnya sama dengan hewan yang lainnya, boleh mengonsumsinya kalau disembelih terlebih dahulu, berkata Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ:

فَكُلُوا۟ مِمَّا ذُكِرَ ٱسۡمُ ٱللَّهِ عَلَیۡهِ إِن كُنتُم بِـَٔایَـٰتِهِۦ مُؤۡمِنِینَ

"Makanlah kalian terhadap hewan yang disembelih dengan menyebut nama Allâh pada penyembelihannya jika keberadaan kalian itu beriman kepada ayat-ayat-Nya." [Surat Al-An'âm: 118].

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada hari Jum'at tanggal 17 Jumâdal Ãkhirah 1441 / 21 Februari 2020 di Mutiara Gading Timur Bekasi.

JANGAN PERNAH MENGHARAPKAN PUJIAN MANUSIA


Dahulu kami sering mengumpulkan fâidah lalu kami jadikan sebagai risâlah, setiap kali jadi kami perlihatkan kepada Masyâyikh kami supaya mereka memberikan koreksian, namun di antara mereka ada yang memberikan taqdîm dan ada pula yang memberikan taqrîzh. Kemudian kami tidak lagi memperlihatkan kepada mereka karena khawatir akan ada lagi taqdîm atau taqrîzh dari mereka yang mengandung pujian dan pemberian berbagai julukan yang kami tidak harapkan.

Fâidah dari Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Ayyadahullâh pada malam Jum'at 14 Muharram 1441 / 13 September 2019 di Mutiara Gading Timur Bekasi. 

⛵️ http://t.me/majaalisalkhidhir

HAKEKAT PEREKOMENDASIAN DAN PEMBERIAN IJÂZAH


Berkata Al-Imâm As-Suyûthî Rahmatullâh 'Alainâ wa 'Alaih:

الإِجَازَةُ مِنَ الشَّيخِ غَيرُ شَرطٍ فِي جَوَازِ التَّصَدِّي لِلإِقرَاءِ وَالإِفَادَةِ فَمَن عَلِمَ مِن نَفسِهِ الأَهلِيَّةَ جَازَ لَهُ ذٰلِكَ وَإِن لَم يَجُزْهُ أَحَدٌ، وَعَلَى ذٰلِكَ السَّلَفُ الأَوَّلُونَ وَالصَّدرُ الصَّالِحُ وَكَذٰلِكَ فِي كُلِّ عِلمٍ وَفِي الإِقرَاءِ وَالإِفتَاءِ خِلَافًا لِمَا يَتَوَهَّمُهُ الأَغبِيَاءُ مِنَ اعتِقَادِ كَونِهِ شَرطًا، وَإِنَّمَا اصطَلَحَ النَّاسُ عَلَى الإِجَازَةِ لِأَنَّ أَهلِيَّةَ الشَّخصِ لَا يَعلَمُهَا غَالِبًا مَن يُرِيدُ الأَخذَ عَنهُ مِنَ المُبتَدِئِينَ وَنَحوِهِم لِقُصُورِ مَقَامِهِم عَن ذٰلِكَ، وَالبَحثُ عَنِ الأَهلِيَّةِ قَبلَ الأَخذُ شَرطٌ فَجُعِلَتِ الإِجَازَةُ كَالشَّهَادَةِ مِنَ الشَّيخِ لِلمَجَازِ بِالأَهلِيٌّةِ.2

"Ijâzah dari guru itu bukanlah syarat tentang kebolehan tampil untuk mengajar dan memberi fâidah ilmu, barangsiapa mengetahui pada dirinya berkapasitas maka boleh baginya untuk mengajar dan memberi fâidah ilmu meskipun tidak seorangpun yang membolehkannya, itulah yang ditempuh oleh Salaf para pendahulu dan orang-orang shâlih terkemuka. Demikian pula pada setiap ilmu dan mengajarkan ilmu serta dalam berfatwâ, berbeda dengan apa yang keliru padanya orang-orang bodoh yang meyakini itu sebagai syarat. Sesungguhnya manusia mempopulerkan tentang ijâzah karena keahlian seseorang kebanyakan tidak diketahui oleh orang yang menginginkan untuk mengambil ilmu darinya, baik para pemula dan yang semisal mereka karena keterbatasan pengetahuan mereka tentangnya. Mencari tentang keahlian sebelum mengambil ilmu merupakan syarat maka dijadikanlah ijâzah semisal persaksian dari guru itu sebagai majâz terhadap keahliaan."

Fâidah dari Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir di Mutiara Gading Timur pada hari Rabu 12 Muharram 1441 / 11 September 2019).

⛵️ http://t.me/majaalisalkhidhir

Rabu, 19 Februari 2020

GURU-GURU AL-USTÂDZ MUHAMMAD AL-KHIDHIR YANG TELAH WAFAT


Pertanyaan:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh berguru kepada siapa saja?

Jawaban:
Guru-guru beliau sangat banyak, di antara guru-guru beliau yang telah wafat adalah:
✔️ Al-Ustâdz Abul 'Abbâs Harmîn bin Salîm Al-Limbôrî.
✔️ Asy-Syaikh Abû 'Abdirrazzâq Riyâdh Ar-Radfânî. 
✔️ Asy-Syaikh Abû 'Abdillâh Ma'mûn Adh-Dhâli'î. 
✔️ Asy-Syaikh Abû Usâmah 'Âdil As-Siyâghî.
✔️ Asy-Syaikh Abû 'Abdillâh Kamâl Al-Adnî.
✔️ Asy-Syaikh Sa'îd bin Da'âs Al-Yâfi'î.
✔️ Asy-Syaikh Abû Hafsh 'Umar Al-Iraqî.
✔️ Asy-Syaikh Abû Basyîr Muhammad Al-Hajûrî.
✔️ Asy-Syaikh 'Abdurrahmân bin Mar'î Al-Adnî Rahmatullâh 'Alaihim. 

BELAJAR DARI KENYATAAN


Pertanyaan:
'Afwân Ustâdz, apakah boleh seorang Ustâdz mempermasalahkan sebutan syaikh kepada seorang Ustâdz lain, karena Ustâdz tersebut teman seperguruan dan karena yang menyebutnya syaikh juga teman-temannya dari syaikh-syaikh baru?

Jawaban:
Kalau seseorang sudah dijuluki dengan suatu julukan yang biasa berlaku sesuai kebiasaan masyarakat maka julukan tersebut tidaklah masalah, tidak mengapa kita tetapkan julukan tersebut sebagaimana yang ditetapkan oleh masyarakat sesuai dengan kebiasaan mereka, dahulu setiap qabîlah itu memiliki tokoh, mereka menetapkan julukan sayyid pada tokoh mereka, dan Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam tidak mengingkari penetapan mereka, bahkan beliau pernah berkata kepada kaum Anshâr:

قُومُوا إِلَى سَيِّدِكُمْ أَوْ خَيْرِكُمْ

"Berdirilah kalian kepada sayyid kalian atau orang terbaik kalian."

Sayyid sebagai julukan pada tokoh tertentu, Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam menyebut pula sebutan sayyid, karena itu termasuk dari tatakrama bermasyarakat. Demikian pula syaikh sebagai julukan untuk tokoh tertentu, baik untuk pemuka masyarakat atau untuk orang berilmu. 
'Alî bin Abî Thâlib Radhiyallâhu 'Anhu berkata kepada Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam tentang ayahnya selaku pemuka masyarakat:

 إِنَّ عمَّكَ الشيخَ الضالَّ قدْ ماتَ

"Sesungguhnya pamanmu syaikh yang sesat telah mati."

Berkata Abû Sa'îd Al-Khudrî tentang Abû Bakr Ash-Shiddîq Radhiyallâhu 'Anhumâ selaku orang yang lebih berilmu:

فَبَكَى أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَقُلْتُ فِي نَفْسِي مَا يُبْكِي هَذَا الشَّيْخَ

"Lalu menangis Abû Bakr Radhiyallâhu 'Anhu, aku berkata di dalam hatiku: Apa yang membuat syaikh ini menangis."

Ketika ada orang ditetapkan oleh masyarakat sebagai syaikh mereka hingga orang tersebut masyhur dengan julukan syaikh maka tidak mengapa kita menyebutnya dengan syaikh. Kita katakan demikian bukan berarti supaya kita disebut syaikh karena sebagian kawan yang bertamu dan yang istifâdah di majaalis kita menyeru kita dengan seruan syaikh, dan kita katakan demikian juga bukan karena menyanjung orang yang di syaikh-syaikhkan, namun itulah kenyataan yang sulit mengingkarinya. 
Dahulu Ja'far 'Umar Thâlib Rahmatullâh 'Alainâ wa 'Alaih ketika ke Dârul Hadîts Dammâj beliau disebut oleh kawan-kawannya sebagai syaikh, dan Al-Imâm Muqbil bin Hâdî Al-Wâdi'î Rahimahullâh tidak mengingkari apa yang mereka sebutkan, bahkan di dalam surat Al-Imâm Muqbil bin Hâdî Al-Wâdi'î Rahimahullâh yang tertanggal 28 Rabî'uts Tsânî 1421 tertuliskan:

الْآخُ الْفَاضِلُ الشَّيخُ جَعْفَرُ بْنُ عُمَرَ بْنِ طَالِبٍ وَإِخْوَانُهُ الْأَجِلَّاءُ مِنْ إِخْوَانِنَا أَهْلِ السُّنَّةِ، وَالشَّيخُ جَعْفَرُ وَبَعْضُ إِخْوَانِهِ مِنْ طُلَّابِنَا

"Saudara yang utama Asy-Syaikh Ja'far bin 'Umar bin Thâlib dan saudara-saudaranya yang mulia termasuk saudara-saudara kita Ahlussunnah, Asy-Syaikh Ja'far dan sebagian saudara-saudaranya termasuk dari murid-murid kita."

Sangat mungkin akan ada yang katakan, ini Ja'far 'Umar Thâlib lagi yang disebut, kalau bukan beliau Rahimahullâh maka bukankah banyak yang selain beliau dijuluki syaikh, ada sebagian guru sekolah, lalu menuntut ilmu di Dârul Hadîts Dammâj kemudian keluar dakwah hingga masyhur disebut syaikh, dan itu diakui pula. Dengan demikian mengingkari sebutan syaikh kepada seseorang itu sama halnya mengingkari kenyataan. 

Banî Isrâîl pada zaman dahulu menetapkan bahwa di kalangan mereka ada 'Úlamâ, penyebutan 'Úlamâ di antara sesama mereka itu sesuai kebiasaan dan kenyataan di kalangan mereka, dan penyebutannya telah ada di dalam Al-Qur'ãn:

أَوَلَمۡ یَكُن لَّهُمۡ ءَایَةً أَن یَعۡلَمَهُۥ عُلَمَـٰۤؤُا۟ بَنِیۤ إِسۡرَ ٰ⁠ۤءِیلَ

"Apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa para 'Úlamâ Banî Isrâîl mengetahuinya?." [Surat Asy-Syu'arâ: 197].

Mengingkari adanya penetapan 'Úlamâ di kalangan Banî Isrâîl itu sama halnya mengingkari kenyataan, sebagaimana mengingkari suatu julukan yang telah ada pada seseorang itu sama halnya mengingkari kenyataan.

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh pada malam Kamis 25 Jumâdal Ãkhirah 1441 / 19 Februari 2020 di Mutiara Gading Timur Bekasi.

http://t.me/majaalisalkhidhir

Selasa, 18 Februari 2020

KESUNGGUHAN KUNCI KEBERHASILAN


Belajar bahasa Arab membutuhkan kepada kesungguhan dan keseriusan, siapa yang bersungguh-sungguh dalam mempelajarinya maka dia akan menguasainya:

مَنْ جَدَّ وَجَدَ

"Barangsiapa bersungguh-sungguh maka dia dapat."

Fâidah kajian Durûsullughah Al-'Arabiyyah bersama Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh.

http://t.me/durusullughahalarabiyyah

BAKTIMU KEPADA KEDUA ORANG TUAMU BERPENGARUH TERHADAP TAUHÎDMU


Pertanyaan:
'Afwân Ustâdz mau tanya tentang pergi menuntut ilmu tapi meninggalkan orang tua wanita yang berusia 67 tahun, mana yang lebih utama sedangkan di zaman sekarang dimana fitnah yang semakin banyak?. 

Jawaban:
Amalan yang paling utama bagi seseorang adalah mentauhidkan Allâh dan berbakti kepada kedua orang tua, berkata Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ:

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوٓا۟ إِلَّآ إِيَّاهُ وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَٰنًاۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ ٱلْكِبَرَ أَحَدُهُمَآ أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا 

"Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada kedua orangtuamu, jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam penjagaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya dengan ucapan yang baik." (Al-Isrâ': 23).

Pada ayat ini Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ memerintahkan untuk berbakti kepada kedua orang tua setelah perintah mentauhidkan-Nya, ini sebagai dalil yang paling jelas tentang keutamaannya. 

Orang yang membiarkan orang tuanya sedangkan orang tuanya memerlukan baktinya, dia membiarkannya dengan alasan pergi menuntut ilmu maka kita sangat  mengkhawatirkan orang ini akan menjadi orang merugi, dia tidak akan memperoleh ilmu dengan baik, kalau pun dia memperoleh ilmu maka tidak akan bermanfaat baginya atau bahkan akan menjadi hujatan atas dirinya, karena Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam telah katakan:

وَالْقُرْآنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ كُلُّ النَّاسِ يَغْدُو فَبَائِعٌ نَفْسَهُ فَمُعْتِقُهَا أَوْ مُوبِقُهَا

"Al-Qur'ãn adalah hujat bagimu atau hujat atasmu, setiap manusia berusaha, maka ada orang yang menjual dirinya sehingga membebaskannya atau menghancurkannya."

Ibnu Abî Dunyâ meriwayatkan dari Abû Ishâq Al-Fazarî bahwasanya beliau menyebutkan kepada Ibnul Mubârak tentang seorang temannya yang telah mengumpulkan ilmu lebih banyak darinya. Ketika akan mati, dikatakan kepadanya untuk mengucapkan kalimat Tauhîd maka orang tersebut terasa sangat berat untuk mengucapkannya hingga tidak mengucapkannya, ketika ada orang lain mengajaknya berbicara dengan suatu pembicaraan maka ringan baginya untuk berbicara, lalu dia mati di atas pembicaraannya yang bukan mengucapkan kalimat Tauhîd. Ditanyakan tentang apa yang menjadi penyebab sampai orang tersebut berat mengucapkan kalimat Tauhîd, ternyata penyebabnya karena dia tidak berbakti kepada orang tuanya, penyebabnya karena dia durhaka kepada orang tuanya. 

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir pada tanggal 16 Jumâdal Ãkhirah 1439 di Kemang Pratama Bekasi. 

⛵ https://t.me/majaalisalkhidhir

KEUTAMAAN BERCAMPUR BAUR DENGAN MANUSIA DAN BERSABAR ATAS GANGGUAN MEREKA


📱 Pertanyaan:
Mana yang lebih utama menyendiri atau tetap sabar dengan lingkungan yang banyak fitnahnya? Jazâkallâhu khairan wa Bârakallâhu fîk. 

📲 Jawaban:
Orang yang bersabar di lingkungan yang banyak fitnah dan banyak kerusakan itu lebih utama daripada dia menyendiri, berkata Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

 ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻦُ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﻳُﺨَﺎﻟِﻂُ ﺍﻟﻨَّﺎﺱَ ﻭﻳَﺼْﺒِﺮُ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﺫَﺍﻫُﻢْ ﺧَﻴْﺮٌ ﻣِﻦَ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﻻَ ﻳُﺨَﺎﻟِﻂُ ﺍﻟﻨَّﺎﺱَ، ﻭَﻻَ َﻳَﺼْﺒِﺮُ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﺫَﺍﻫُﻢْ 

"Orang beriman yang bercampur dengan manusia dan dia sabar terhadap gangguan mereka itu lebih baik daripada orang yang tidak bercampur dengan manusia dan tidak bersabar terhadap gangguan mereka."

Dengan keberadaannya di tengah masyarakat maka kebaikan dan perbaikan darinya akan tetap ada, apalagi kalau dia termasuk dari Ahlussunnah tentu akan melakukan perbaikan walaupun keberadaannya di tengah-tengah masyarakat dianggap asing, karena di dalam suatu hadits telah ada penjelasan tentang orang-orang yang dianggap asing, yaitu:

ﺍﻟَّﺬِﻳْﻦَ ﻳُﺼْﻠِﺤُﻮْﻥَ إِذَا فَسَدَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ

"Orang-orang yang melakukan perbaikan ketika manusia telah rusak." Wallâhu A'lam. 

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada tanggal 18 Jumadal Akhirah 1439 di Kemang Pratama Bekasi. 

⛵ https://t.me/majaalisalkhidhir

PEMUDA-PEMUDA LIMBORO YANG SEMPAT MENUNTUT ILMU DI DÂRUL HADÎTS YAMAN


Pertanyaan:
Benarkah di desa Ustâdz Muhammad Al-Khidhir ada banyak dâ'î alumni Dârul Hadîts Yaman?

Jawaban:
Ada beberapa orang saja dari kampung Limboro yang sempat menuntut ilmu di Dârul Hadîts Yaman, mereka semua memiliki hubungan kekeluargaan, yaitu:
1). Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir.
2). Al-Ustâdz Abul Hasan 'Umair bin Salîm (adik kandung Al-Khidhir).
3). Al-Ustâdz Sa'id bin Muhammad (sepupu Al-Khidhir).
4). Al-Ustâdz Abû Muhammad Anas (adik kandung Al-Khidhir).
5). Al-Ustâdz Nurdîn Al-Limbôrî (sepupu Al-Khidhir).