Halaman

Selasa, 31 Desember 2019

BEKAL BUAT AYAH DAN IBU ANGKAT


📱 Pertanyaan:
'Afwân Ustâdz izin bertanya terkait anak angkat yang ada di channel telegram. Apabila mengangkat anak angkat, apa saja yang harus diperhatikan? Apakah hukum anak angkat sama dengan mahram (batasan melihat aurat, menyentuh dan hukum nikâh)?

📲 Jawaban:
Yang harus diperhatikan oleh suami dan isteri terhadap anak angkat keduanya adalah memberikan hak-haknya berupa nasehat dan nafkah, karena keberadaannya termasuk dari orang-orang yang berada di bawah tanggung jawab keduanya:

وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهْوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا

"Seseorang adalah penanggung jawab terhadap keluarganya dan dia dimintai pertanggung jawaban terhadap tanggung jawabnya, seorang wanita adalah penanggung jawab terhadap rumah suaminya dan dia dimintai pertanggung jawaban atas tanggung jawabnya." Riwayat Al-Bukhârî (no. 893) dan Muslim (no. 4828) dari 'Abdullâh bin 'Umar Radhiyallâhu 'Anhumâ, dari Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam.

Nabî dan Khadîjah 'Alaihimash Shalâtu was Salâm telah menyontohkan dalam pemberian perhatian terhadap anak angkat keduanya yaitu Zaid bin Hâritsah Radhiyallâhu 'Anhu, mereka berdua mencintainya. Setelah Khadîjah Radhiyallâhu 'Anhâ wafat maka Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam tetap mencintai Zaid bin Hâritsah Radhiyallâhu 'Anhu, bahkan mencintai pula puteranya yaitu Usâmah bin Zaid Radhiyallâhu 'Anhumâ sebagaimana mencintai ayahnya, sampai Usâmah bin Zaid Radhiyallâhu 'Anhumâ disebut oleh orang-orang Arab:

أُسَامَةُ حِبُّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

"Usâmah adalah orang tercinta Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam." Riwayat Al-Bukhârî (no. 3475) dan Muslim (no. 4505) dari' Âisyah Radhiyallâhu 'Anhâ.

Adapun kedudukan anak angkat bila dibandingkan dengan anak kandung maka tidaklah sama, anak angkat tidaklah mendapatkan warisan harta dari ayah dan ibu angkatnya. Bagi anak angkat perempuan tidaklah mendapatkan perwalian nikâh dari ayah angkatnya kecuali jika mendapatkan izin dari walinya atau izin dari wali hâkim, dan juga dia bukan mahram bagi ayah angkatnya. Demikian pula bagi anak angkat laki-laki juga bukan mahram bagi ibu angkatnya kecuali ibu angkat menyusuinya sehingga menjadi mahram karena menyusuinya. Oleh karena itu bagi ibu angkat hendaklah mengupayakan untuk bisa menyusui bayi yang akan dia jadikan sebagai anak angkatnya, Alhamdulillâh telah ada metode yang disebut dengan induksi laktasi, yaitu metode untuk merangsang produksi ASI pada wanita yang tidak mengalami kehamilan. Metode yang umum digunakan pada induksi laktasi adalah stimulasi atau rangsangan hormon dan payudara. Stimulasi payudara dilakukan secara manual dengan pompa payudara atau menyusui secara langsung supaya memicu keluarnya hormon prolaktin yang merangsang produksi ASI. Bagi wanita yang ingin mencoba metode induksi laktasi hendaklah berkonsultasi dengan bidan atau dokter wanita yang ahli dalam perkara ini, sehingga mendapatkan keterangan mengenai proses induksi laktasi ini.

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh di Masjid Baiturrahmân Kemang Pratama 3 Bekasi pada hari Selasa sore 5 Jumadal Úlâ 1441 / 31 Desember 2019.

Senin, 30 Desember 2019

ANAK ANGKAT MENURUT SYARÎ'AT


📱 Pertanyaan
Apakah boleh bagi kami mengangkat anak angkat?

📲 Jawaban:
Boleh bagi kalian memiliki anak angkat, Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam memiliki anak angkat yaitu Zaid, yang kemudian orang-orang Arab memanggil Zaid dengan panggilan Zaid bin Muhammad Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam, hal ini diperjelas dengan perkataan Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ:

مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَٰكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا

"Tidaklah keberadaan Muhammad Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam itu sebagai ayah di antara kalian akan tetapi beliau adalah Rasûlullâh dan penutup para Nabî, dan keberadaan Rabb kalian adalah 'Alîm (Maha Mengetahui) terhadap segala sesuatu". [Surat Al-Ahzâb: 40]. 

Dengan penjelasan tersebut menunjukan tentang kebolehan bagi seseorang untuk mengangkat anak orang lain sebagai anak angkat, dengan ketentuan anak tersebut tetap disandarkan kepada ayahnya sebagaimana Zaid tetap dikatakan sebagai Zaid bin Hâritsah bukan Zaid bin Muhammad Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam, seorang anak harus dinisbatkan atau disandarkan kepada ayahnya atau ibunya atau marga keduanya adapun kalau disandarkan kepada selainnya maka ini adalah suatu kesalahan, Nabiullâh Yûsuf 'Alaihish Shalâtu was Salâm adalah anak angkat dari raja Mesir, juga Mûsâ 'Alaihish Shalâtu was Salâm adalah anak angkat dari raja Fir'aun, bersamaan dengan itu keduanya tetap disandarkan kepada kedua orang tuanya, dan Allâh perjelas di dalam Al-Qur'ãn tentang perkataan orang yang menjadikan Yûsuf 'Alaihish Shalâtu was Salâm sebagai anak angkat:

عَسَىٰ أَنْ يَنْفَعَنَا أَوْ نَتَّخِذَهُ وَلَدًا

"Semoga dia memberikan manfaat untuk kita atau kita akan menjadikannya sebagai anak angkat".
Juga yang berkaitan dengan Mûsâ 'Alaihish Shalâtu was Salâm, Ibu angkat beliau Âsiyah Radhiyallâhu 'Anhâ berkata kepada Fir'aun:

قُرَّتُ عَيْنٍ لِي وَلَكَ ۖ لَا تَقْتُلُوهُ عَسَىٰ أَنْ يَنْفَعَنَا أَوْ نَتَّخِذَهُ وَلَدًا وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ

"Dia adalah penyejuk mata bagiku dan bagimu, janganlah kalian membunuhnya semoga dia memberikan manfaat untuk kita atau kita menjadikannya sebagai anak angkat, dan mereka tidak menyadari".

Dengan harapan tersebut, Âsiyah Istri Fir'aun benar-benar mengambil manfaat dari Mûsâ 'Alaihish Shalâtu was Salâm selaku anak angkatnya, ia mengikuti da'wahnya, sehingga benar-benar menjadi penyejuk mata baginya dan penenang hidupnya di dunia dan di akhirat.
Dari apa yang telah kami jelaskan memberikan faedah tentang bolehnya menjadikan anak orang lain sebagai anak angkat. Wallâhu A'lam.

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh di Speedboat dari Jazîrah Huamual menuju Jazîrah Leihitu pada hari Kamis 22 Ramadhân 1436.

MENGUTAMAKAN KITÂB YANG PALING DIBUTUHKAN


📱 Pertanyaan:
Apakah lebih afdhal membaca atau mengajarkan ilmu 'Ulamâ yang hidup di atas sunnah atau mati di atas sunnah, dengan dasar bahwasanya 'Ulamâ yang masih hidup tidak aman dari fitnah? 

📲 Jawaban:
Untuk mengetahui yang afdhal dari dua perkara tersebut maka hendaklah melihat kepada kebutuhan, jika yang paling dibutuhkan itu adalah kitâb 'Ulamâ yang sudah wafat di atas Sunnah maka mengajarkan kitâbnya lebih utama daripada mengajarkan kitâb 'Ulamâ yang masih hidup dalam keadaan di atas Sunnah. Demikian sebaliknya, kalau yang paling dibutuhkan itu adalah kitâb 'Ulamâ yang masih hidup dalam keadaan dia di atas Sunnah maka mengajarkan kitâbnya lebih utama daripada mengajarkan kitâb 'Ulamâ yang telah wafat di atas Sunnah.
Dan kita sebutkan dengan rincian seperti ini, karena mengajarkan kitâb sama seperti bersedekah, dan sedekah yang paling utama adalah sedekah di saat paling dibutuhkan. Para shahabat Radhiyallâhu 'Anhum yang bersedekah di awal-awal Islâm sebelum hijrah itu paling utama sedekah mereka daripada selain mereka setelah hijrah, berkata Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيفَهُ

"Kalaulah seandainya salah seorang di antara kalian berinfak dengan emas semisal gunung Uhud maka tidaklah mengimbangi sedekah mereka dengan satu mud dan tidak pula mengimbangi setengah mud." Riwayat Al-Bukhârî dari Abû Sa'îd Al-Khudrî Radhiyallâhu 'Anhu. 

Adapun penyebutan yang masih hidup tidak aman dari fitnah maka itu pada perkara pengikutan, pencontohan dan peneladanan, yaitu kita dianjurkan untuk mengikuti, mencontoh dan meneladani mereka yang telah mendahului kita di atas Islâm dan Sunnah, berkata 'Abdullâh bin Mas'ûd Radhiyallâhu 'Anhu:

مَنْ كَانَ مُسْتَنًّا فَلْيَسْتَنَّ بِمَنْ قَدْ مَاتَ، فَإِنَّ الْحَيَّ لَا تُؤمَنُ عَلَيهِ الفِتْنَةُ

"Barangsiapa yang menjadikan suatu panutan maka hendaklah dia menjadikan panutan kepada orang yang benar-benar telah mati, karena sesungguhnya orang yang masih hidup tidak aman dari fitnah."

Beliau maksudkan adalah para shahabat Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam, karena mereka telah mendapatkan jaminan kebaikan dan keselamatan, beliau katakan pada bagian akhir dari kelanjutan perkataan tersebut:

وَتَمَسَّكُوا بِمَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ أَخْلَاقِهِمْ وَسِيَرِهِمْ، فَإِنَّهُمْ كَانُوا عَلَى الْهُدَى الْمُسْتَقِيمِ

"Dan berpegang teguhlah kalian terhadap apa yang kalian mampui dari akhlak dan perjalanan hidup mereka, karena sesungguhnya keberadaan mereka di atas petunjuk yang lurus." Diriwayatkan oleh Abû Nu'aim di "Hilyatul Auliyâ", Al-Baihaqî dan Ibnu 'Abdil Bar di "Jâmi' Bayânil 'Ilmi wa Fadhlih". 

'Ulamâ yang masih hidup di atas Sunnah yang kitâbnya diajarkan, demikian pula yang mengajarakan kitâbnya dan yang mempelajarinya bersama mereka, atau yang membacanya dalam keadaan bersendirian dan kita semua yang masih hidup ini dituntut untuk mengikuti, mencontoh dan meneladani mereka yang sudah mati di atas Islâm dan Sunnah, yaitu para shahabat Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam, yang dengan sebab ini kita berharap bisa bersama mereka dalam mendapatkan keridhaan dari Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ:

وَٱلسَّـٰبِقُونَ ٱلۡأَوَّلُونَ مِنَ ٱلۡمُهَـٰجِرِینَ وَٱلۡأَنصَارِ وَٱلَّذِینَ ٱتَّبَعُوهُم بِإِحۡسَـٰنࣲ رَّضِیَ ٱللَّهُ عَنۡهُمۡ وَرَضُوا۟ عَنۡهُ وَأَعَدَّ لَهُمۡ جَنَّـٰتࣲ تَجۡرِی تَحۡتَهَا ٱلۡأَنۡهَـٰرُ خَـٰلِدِینَ فِیهَاۤ أَبَدࣰاۚ ذَ ٰ⁠لِكَ ٱلۡفَوۡزُ ٱلۡعَظِیمُ 

"Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama memeluk Islâm dari kalangan Muhâjirîn dan Anshâr serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allâh ridhâ kepada mereka dan mereka ridhâ kepada Allâh dan Allâh menyediakan bagi mereka Surga-surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai selama-lamanya, mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar." [Surat At-Taubah: 100].

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Ayyadahullâh di Mutiara Gading Timur Bekasi pada hari Kamis 21 Dzulhijjah 1440 / 22 Agustus 2019).

⛵️ http://t.me/majaalisalkhidhir

Minggu, 29 Desember 2019

KEISTIMEWAAN ORANG 'ÂLIM YANG TAKUT KEPADA ALLÂH


📱 Pertanyaan:
Afwân mau bertanya, apakah benar kalau orang sudah jadi 'âlim 'ulamâ pasti takut kepada Allâh?

📲 Jawaban:
Seseorang meskipun sudah diberi julukan 'âlim, ustâdz, syaikh atau julukan-julukan yang menjadikan awal namanya semakin memanjang, itu bukanlah jaminan bahwa pasti dia takut kepada Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ. Betapa banyak orang yang dijuluki sebagai Syaikh, Ustâdz atau bahkan masuk ke dalam penamaan 'Ulamâ namun ternyata itu hanya julukan yang memperdaya diri mereka, dikarenakan mereka tidak takut kepada Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ dalam berbicara dan berbuat, sungguh bagus apa yang dikatakan oleh 'Abdullâh bin Mas'ûd Radhiyallâhu 'Anhu:

كَفَى بِخَشْيَةِ اللَّهِ عِلْمًا، وَكَفَى بِالاغْتِرَارِ بِاللَّهِ جَهْلًا

"Cukuplah dengan rasa takut kepada Allâh itu sebagai ilmu dan cukuplah dengan terpedaya terhadap Allâh itu sebagai kebodohan."

Dan Allâh 'Azza wa Jalla telah terangkan di dalam kitâb-Nya:

إِنَّمَا یَخۡشَى ٱللَّهَ مِنۡ عِبَادِهِ ٱلۡعُلَمَـٰۤؤُا۟ۗ 

"Sesungguhnya yang takut kepada Allâh dari para hamba-Nya adalah 'Ulamâ." [Surat Fâthir: 28].
Sebagian dari Ahli Tafsîr menerangkan:

وَهٰذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ كُلَّ مَنْ خَشِيَ اللّٰهَ فَهُوَ عَالِمٌ، وَهُوَ حَقٌّ، وَلَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ كُلَّ عَالِمٍ يَخْشَاهُ

"Ini menunjukkan bahwa setiap orang yang takut kepada Allâh maka dia adalah 'âlim dan ini yang benar. Dan tidak menunjukkan bahwa setiap 'âlim itu akan takut kepada Allâh." 
Keterangan ini sesuai dengan yang dikatakan oleh 'Abdullâh bin Mas'ûd Radhiyallâhu 'Anhu:

لَيْسَ الْعِلْمُ بِكَثْرَةِ الرَّوِايَةِ، إِنَّمَا الْعِلْمُ الْخَشْيَةُ

"Bukanlah ilmu itu dengan banyak menyampaikannya namun sesungguhnya ilmu adalah rasa takut."

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Ayyadahullâh di Mutiara Gading Timur Bekasi pada malam Selasa 19 Dzulhijjah 1440 / 20 Agustus 2019.

⛵️ http://t.me/majaalisalkhidhir


Sabtu, 28 Desember 2019

ANJURAN UNTUK MENJAMA' SHALAT KETIKA SEDANG SAFAR


✉️ Pertanyaan:
Kalau ibu nanti habis zhuhur ke Tanah Abang, bolehkah beliau menjama' sekalian shalat ashar setelah shalat zhuhur sebelum pergi?

📩 Jawaban:
Termasuk dari sunnah Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam adalah menjama' shalat ketika sedang safar, Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam dan para Shahabatnya menjama' shalat ketika dalam keadaan safar, mereka menjama' shalat di saat berada di 'Arafah, berkata 'Abdullâh bin 'Umar Radhiyallâhu 'Anhumâ:

 إِنَّهُمْ كَانُوا يَجْمَعُونَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ فِي السُّنَّةِ

"Dahulu para Shahabat menjama' shalat zhuhur dan shalat 'ashr sebagaimana sunnah Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam." Riwayat Al-Bukhârî (no. 1662).

Ibu datang dari Pekalongan ke Bekasi sebagai orang yang safar, karena jelas niatnya hanya beberapa hari saja disini dan akan kembali ke Pekalongan, maka hendaklah beliau menjama' shalat, keberadaan beliau yang datang dari Pekalongan ke Bekasi ini sama seperti keberadaan Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam dan para Shahabatnya yang datang dari Madînah ke Makkah, mereka menjama' shalat maka ibu juga hendaklah menjama' shalat sebagaimana mereka.

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Ayyadahullâh di Pulogebang Jakarta Timur pada hari Sabtu 1 Jumadal Awwal 1441 / 28 Desember 2019.

⛵️ http://t.me/majaalisalkhidhir

Jumat, 27 Desember 2019

HUKUM MEMANJANGKAN SHALAT SUNNAH BAGI IMÂM


📱 Pertanyaan:
Pada shalat kusûf yang Ustâdz imâmi katanya paling panjang, bukankah imâm harus melihat kepada keadaan ma'mûm, karena ada yang tua dan ada anak-anak? 

📲 Jawaban:
Shalat kusûf yang kita lakukan itu masih teranggap sangat pendek bila dibandingkan dengan shalat yang dilakukan oleh Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam dan para Shahabatnya, berkata Asmâ' bintu Abî Bakr Ash-Shiddîq Radhiyallâhu 'Anhumâ:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى صَلاَةَ الْكُسُوفِ، فَقَامَ فَأَطَالَ الْقِيَامَ، ثُمَّ رَكَعَ فَأَطَالَ الرُّكُوعَ، ثُمَّ قَامَ فَأَطَالَ الْقِيَامَ، ثُمَّ رَكَعَ فَأَطَالَ الرُّكُوعَ ثُمَّ رَفَعَ، ثُمَّ سَجَدَ فَأَطَالَ السُّجُودَ، ثُمَّ رَفَعَ، ثُمَّ سَجَدَ فَأَطَالَ السُّجُودَ

"Bahwasanya Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam shalat pada shalat kusûf, beliau berdiri dengan memanjangkan berdirinya, kemudian rukû' dengan memanjangkan rukû'nya, lalu bangkit dari rukû' kemudian memanjangkan berdirinya, lalu rukû' dengan memanjangkan rukû'nya kemudian bangkit dari rukû', lalu sujûd dengan memanjangkan sujûdnya, kemudian duduk di antara dua sujûd, lalu sujûd dengan memanjangkan sujûdnya." riwayat Al-Bukhârî (no. 745).

Demikian beliau lakukan pada raka'at pertama, dan raka'at kedua juga seperti itu. Adapun anjuran untuk melihat kepada keadaan ma'mûm maka itu berlaku pada shalat wâjib, sedangkan shalat kusûf merupakan shalat sunnah muakkadah, bagi yang tidak mampu untuk mengikutinya bersama imâm maka hendaklah dia beristirahat, karena Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam telah katakan tentang pelaksanaan shalat sunnah:

إِذَا نَعَسَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ يُصَلِّي فَلْيَرْقُدْ حَتَّى يَذْهَبَ عَنْهُ النَّوْمُ، فَإِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا صَلَّى وَهُوَ نَاعِسٌ لاَ يَدْرِي لَعَلَّهُ يَسْتَغْفِرُ فَيَسُبَّ نَفْسَهُ.

"Jika salah seorang di antara kalian mengantuk maka hendaklah dia tidur hingga hilang ngantuknya, karena salah seorang di antara kalian jika dia shalat dalam keadaan mengantuk maka dia tidak mengetahui, dia mengira beristighfar padahal dia mencela dirinya." Riwayat Al-Bukhârî (no. 212) dan Muslim (no. 1871) dari 'Âisyah Radhiyallâhu 'Anhâ.

Dan ini bukan hanya pada masalah mengantuk namun pada masalah capek juga hendaklah tidak memaksakan diri mengikuti panjangnya shalat imâm pada shalat-shalat sunnah seperti shalat lail dan pada shalat kusûf ini.

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh di Dukuh Zamrud Bekasi pada hari Jum'at 30 Rabî'ul Akhir 1441 / 27 Desember 2019.

⛵️ http://t.me/majaalisalkhidhir

SUPAYA BERKEKUATAN SEMISAL DENGAN DUA ORANG


Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam berkata kepada 'Alî dan Fâthimah Radhiyallâhu 'Anhumâ di saat keduanya membutuhkan pembantu:

أَلاَ أَدُلُّكُمَا عَلَى خَيْرٍ مِمَّا سَأَلْتُمَا، إِذَا أَخَذْتُمَا مَضَاجِعَكُمَا أَوْ أَوَيْتُمَا إِلَى فِرَاشِكُمَا فَسَبِّحَا ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ، وَاحْمَدَا ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ، وَكَبِّرَا أَرْبَعًا وَثَلاَثِينَ، فَهْوَ خَيْرٌ لَكُمَا مِنْ خَادِمٍ

"Maukah aku tunjukkan kepada kalian berdua tentang sesuatu yang lebih baik daripada apa yang kalian berdua minta?! Jika kalian berdua hendak berbaring ke tempat tidur kalian berdua atau hendak mendatangi tempat tidur kalian berdua maka bertasbîhlah 33 kali, bertahmîdlah 33 kali dan bertakbirlah 34 kali, karena itu lebih baik bagi kalian berdua daripada pembantu." Riwayat Al-Bukhârî dari 'Alî bin Abî Thâlib Radhiyallâhu 'Anhu.

Faedah dari kajian Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada malam Senin 29 Shafar 1441 / 28 Oktober 2019 di Mushallâ Al-Hidayah Tytyan Kencana Bekasi. 

⛵️ http://t.me/majaalisalkhidhir

MENGENAL DÂ'Î SEJATI


Dâ'î sejati adalah dâ'î yang menyeru kepada Allâh di atas dalîl syar'î yang telah berjalan padanya para Shahabat Radhiyallâhu 'Anhum, bukan menyeru kepada penelantaran terhadap dalîl syar'î dan penyelisihan terhadap jalan para Shahabat Radhiyallâhu 'Anhum, berkata Allâh 'Azza wa Jalla:

قُلۡ هَـٰذِهِۦ سَبِیلِیۤ أَدۡعُوۤا۟ إِلَى ٱللَّهِۚ عَلَىٰ بَصِیرَةٍ أَنَا۠ وَمَنِ ٱتَّبَعَنِیۖ

"Katakanlah: "Ini adalah jalanku, aku menyeru kepada Allâh di atas keterangan dalîl, demikian pula orang-orang yang mengikutiku." [Surat Yûsuf: 108]. 

Dan berkata Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ:

وَمَن یُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعۡدِ مَا تَبَیَّنَ لَهُ ٱلۡهُدَىٰ وَیَتَّبِعۡ غَیۡرَ سَبِیلِ ٱلۡمُؤۡمِنِینَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصۡلِهِۦ جَهَنَّمَۖ وَسَاۤءَتۡ مَصِیرًا. 

"Barangsiapa menyelisihi Ar-Rasûl setelah jelas baginya petunjuk dan dia mengikuti selain jalan para Shahabat maka Kami membiarkannya leluasa terhadap kesesatan yang dia telah condong padanya dan Kami memasukkannya ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali." [Surat An-Nisâ': 115]. 

Faedah kajian Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh di Mutiara Gading Timur 2 Bekasi pada malam Sabtu 27 Shafar 1441 / 26 Oktober 2019.

⛵️ http://t.me/majaalisalkhidhir

Kamis, 26 Desember 2019

SHALAT KUSÛF HANYA 2 RAKA'AT, 4 RUKÛ DAN 4 SUJÛD



✉️ Pertanyaan:
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam pernah mengerjakan shalat gerhana dengan 6 kali rukû' dan 4 kali sujûd sementara hadîts ini shahîh riwayat Muslim. Apakah hadîts ini bisa kita amalkan?

📩 Jawaban:
Hadîts-hadîts yang diriwayatkan oleh Muslim tentang tata cara shalat kusûf dengan menyebutkan jumlah rukû' dalam dua raka'at itu lebih dari 4 rukû' merupakan riwayat yang dikritik sampai Ibnu Hajar Rahmatullâh 'Alainâ wa 'Alaih katakan:

نَقَلَ صَاحِبُ الْهَدْيِ عَنِ الشَّافِعِيِّ وَأَحْمَدَ وَالْبُخَارِيِّ أٌنَّهُمْ كَانُوا يَعُدُّونَ الزِّيَادَةَ عَلَى الرُّكُوعَينِ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ غَلَطًا مِنْ بَعْضِ الرُّوَاةِ

"Pemilik kitab "Al-Hadyu" menukilkan dari Asy-Syâfi'î, Ahmad dan Al-Bukhârî bahwasanya mereka menganggap tambahan dua dua rukû pada setiap raka'at pada shalat kusûf adalah suatu kesalahan dari sebagian para perawi." (Fathul Bârî: 2/362).

Oleh karena itu memerlukan adanya tarjîh, dan yang râjih pada shalat kusûf dalam dua raka'at hanya ada 4 rukû dan 4 sujûd, sebagaimana yang disebutkan pada riwayat 'Âisyah Radhiyallâhu 'Anhâ:

وَصَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فِي رَكْعَتَيْنِ وَأَرْبَعَ سَجَدَاتٍ 

"Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam shalat dalam dua raka'at ada 4 rukû dan 4 sujûd." Riwayat Al-Bukhârî (no. 1066) dan Muslim (no. 2130). 

Riwayat ini yang disepakati oleh Al-Bukhârî dan Muslim, dan kita merâjihkan riwayat yang muttafaqun 'alaih ini daripada riwayat yang infarada bihi Muslim, karena kejadian gerhana di zaman Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam hanya sekali kejadian saja, yaitu bertepatan dengan wafatnya Ibrâhîm Ibnun Nabî 'Alaihimash Shalâtu was Salâm, yang tentu Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam melakukan shalat kusûf hanya sekali saja dan dengan satu tata cara saja sebagaimana pada riwayat tersebut. Pada riwayat Muttafaqun 'Alaih disebutkan kejadian gerhana bertepatan dengan wafatnya Ibrâhîm Ibnun Nabî 'Alaihimash Shalâtu was Salâm, demikian pula pada riwayat yang infarada bihi Muslim disebutkan sama yaitu bertepatan dengan wafatnya Ibrâhîm Ibnun Nabî 'Alaihimash Shalâtu was Salâm, namun pada riwayat yang infarada bihi Muslim disebutkan:

فَصَلَّى بِالنَّاسِ سِتَّ رَكَعَاتٍ بِأَرْبَعِ سَجَدَاتٍ

"Lalu Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam shalat mengimami manusia dengan 6 rukû' dan 4 sujûd."

Oleh karena itu Ibnul Qayyim Rahmatullâh 'Alainâ wa 'Alaih katakan:

فَإِنَّ أَكْثَرَ طُرُقِ الْحَدِيثِ يُمْكِنُ رَدُّ بَعْضِهَا إِلَى بَعْضٍ، وَيَجْمَعُهَا أَنَّ ذٰلِكَ كَانَ يَومَ مَاتَ إِبْرَاهِيمُ عَلَيهِ السَّلَامُ، وَإِذَا اتَّحَدَتِ الْقِصَّةُ تُعِينُ الْأَخْذَ بِالرَّاجِحِ

"Sesungguhnya kebanyakan dari jalur periwayatan hadîts menungkinkan untuk membawa sebagiannya kepada sebagian yang lain, karena semua periwayatan terkumpul kejadiannya pada hari wafatnya Ibrâhîm 'Alais Salam. Jika kisah kejadiannya hanya sekali maka itu memungkinkan untuk mengambil yang râjihnya." (Fathul Bârî: 2/362).

Dengan demikian hendaklah kita mengamalkan yang râjihnya, yaitu riwayat yang Muttafaqun 'Alaih:

وَصَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فِي رَكْعَتَيْنِ وَأَرْبَعَ سَجَدَاتٍ 

"Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam shalat dalam dua raka'at ada 4  rukû dan 4 sujûd." Riwayat Al-Bukhârî (no. 1066) dan Muslim (no. 2130).

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh di Mutiara Gading Timur Bekasi pada hari Jum'at 30 Rabî'ul Akhir 1441 / 27 Desember 2019.

⛵️ http://t.me/majaalisalkhidhir

KEWAJIBAN MENGHADIRI UNDANGAN WALÎMAH BAGI YANG TIDAK MEMILIKI UDZUR SYAR'Î


✉️ Pertanyaan:
'Afwân Ustâdz mau tanya, manakah yang lebih utama untuk menghadiri acara pernikahan saudara Ahlissunnah atau hadir di majelis 'ilmu yg kedua-duanya waktu bertepatan pada tanggal dan hari yang sama?

🎙 Jawaban:
Menghadiri walîmah adalah suatu kewajiban, berkata Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

 شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيمَةِ يُدْعَى لَهَا الأَغْنِيَاءُ، وَيُتْرَكُ الْفُقَرَاءُ، وَمَنْ تَرَكَ الدَّعْوَةَ فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

"Sejelek-jelek makanan adalah makanan walîmah yang diundang padanya orang-orang kaya saja dan tidak diundang orang-orang miskîn. Barangsiapa meninggalkan undangan walîmah maka sungguh dia telah bermaksiat kepada Allâh dan Rasûl-Nya Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam." Riwayat Al-Bukhârî (no. 5177) dan Muslim (no. 3598) dari Abû Hurairah Radhiyallâhu 'Anhu. 

Jumhûr 'Ulamâ berpendapat tentang kewajiban menghadiri undangan walîmah kecuali jika ada udzur syar'î. Adapun menghadiri daurah 'ilmiyyah maka tidaklah wâjib. Oleh karena itu mendahulukan yang wâjib adalah lebih utama, berkata Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ di dalam hadîts qudsî:

وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ

"Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada apa yang Aku wajibkan kepadanya." Riwayat Al-Bukhârî (no. 6502) dari Abû Hurairah Radhiyallâhu 'Anhu.

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh di Mutiara Gading Timur Bekasi pada malam Jum'at 30 Rabî'ul Akhir 1441 / 27 Desember 2019.

http://t.me/majaalisalkhidhir


Rabu, 25 Desember 2019

ANJURAN UNTUK BERGEGAS MELAKUKAN SHALAT KUSÛF


Pertanyaan:
'Afwân hari ini antum shalat gerhana dimana Ustâdz?

🎙 Jawaban:
Kami tadi shalatnya di rumah bibi, berhubung kami ke rumah bibi bersama keluarga, ketika kami melihat gerhana sudah mulai terjadi maka kami bergegas ke masjid yang terdekat dengan rumah bibi, namun ternyata kami tidak dapati seorang pun. Dengan sebab itu kami bergegas kembali ke rumah bibi lalu kami shalat berjamâ'ah di rumah, shalat bersama keluarga dan bersama penghuni rumah, untuk mengamalkan hadîts Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

فَإِذَا رَأَيْتُمْ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَصَلُّوا حَتَّى تَنْجَلِيَ

"Jika kalian sudah melihat gerhana itu terjadi meskipun masih sedikit maka shalatlah kalian sampai selesai gerhana."

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh di Kemang Pratama Bekasi pada hari Kamis 29 Rabî'ul Akhir 1441 / 26 Desember 2019.

http://t.me/majaalisalkhidhir

MENGETAHUI WAKTU SHALAT KUSÛF


✉️ Jawaban:
Ada pertanyaan tentang shalat gerhana, apakah sudah jelas kelihatan gerhana bulan itu, kemudian mulai mengerjakan shalat? karena di Malaysia orang-orang ramai menunggu keputusan pemerintah, walaupun tidak kelihatan gerhana di daerah masing-masing, tetapi pemerintah menetapkan shalat gerhana selepas shalat maghrib.

📲 Jawaban:
Shalat kusûf tidaklah ditegakkan kecuali ketika terjadi gerhana, di saat belum terlihat atau belum terjadi gerhana maka tidak boleh melakukannya, siapa yang melakukan shalat kusûf pada saat belum ada gerhana maka shalatnya tidak sah, karena dia melaksanakannya bukan pada waktunya, Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ berkata:

ﺇِﻥَّ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓَ ﻛَﺎﻧَﺖْ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨِﻴﻦَ ﻛِﺘَﺎﺑًﺎ ﻣَﻮْﻗُﻮﺗًﺎ

“Sesungguhnya shalat keberadaannya bagi orang-orang yang beriman telah ditetapkan waktunya”. (Surat An-Nisâ': 103).

Ketika telah masuk waktu gerhana yakni sudah dilihat gerhana maka hendaklah masing-masing bergegas dengan cepat untuk melaksanakan shalat kusûf, demikian yang dilakukan oleh Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam, ketika beliau melihat gerhana terjadi maka beliau bergegas dengan cepat menuju tempat shalat, lalu beliau shalat.
Dan dipersyaratkan dalam pelaksanaan shalat kusûf ini ketika sudah dilihat kejadian gerhana, ini berdasarkan hadîts Al-Mughilîrah bin Syu'bah Radhiyallâhu 'Anhu yang diriwayatkan oleh Asy-Syaikhân, bahwa Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam berkata:

ﻓَﺈِﺫَﺍ ﺭَﺃَﻳﺘُﻤُﻮﻫُﻤَﺎ، ﻓَﺎﺩﻋُﻮﺍ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻭَﺻَﻠُّﻮﺍ ﺣَﺘَّﻰ ﺗَﻨﻜَﺸِﻒَ

“Jika kalian telah melihat gerhana matahari atau bulan maka berdoalah kalian kepada Allâh, dan shalatlah kalian hingga selesai gerhana”.

Tidak dipersyaratkan bagi setiap orang yang ada di dalam suatu kampung harus melihat baru melakukan shalat, namun bila sudah disaksikan oleh sebagian orang di kampung tersebut maka yang belum sempat menyaksikan ketika dia mendapati orang-orang sedang melaksanakan shalat kusûf maka menuntutnya untuk ikut shalat sebagaimana disebutkan di dalam kisah Asmâ' bintu Abî Bakr Radhiyallâhu 'Anhumâ ketika ia melihat adiknya Ash-Shiddîqah bintu Ash-Shiddîq Radhiyallâhu 'Anhumâ sedang melaksanakan shalat kusûf maka ia bertanya tentangnya kemudian dijawab dengan isyarat.

Kalau pemerintah menetapkan pelaksanaan shalat kusûf selesai shalat maghrib maka hendaknya melihat kepada kejadiannya, apakah benar waktu tersebut akan terjadi gerhana ataukah tidak? Kalau terjadi maka mulailah melakukannya pada waktu tersebut, bila tidak terjadi maka tidak boleh melakukan shalat kusûf, walaupun pemerintah menetapkan dan menganjurkan untuk dilakukan pada waktu tersebut, tetap tidak boleh dilakukan kalau belum terjadi gerhana, tidak boleh menaati anjuran dan ketetapan pemerintah pada shalat kusûf yang belum terjadi:

ﻻَ ﻃَﺎﻋَﺔَ ﻟِﻤَﺨﻠُﻮﻕٍ ﻓِﻲ ﻣَﻌﺼِﻴَﺔِ ﺍﻟﺨَﺎﻟِﻖِ

“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Al-Khâliq (Allâh Yang Maha Pencipta)”.

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullah wa Ra'âh di kota Jîzân Kerajaan Saudi Arabia pada tanggal 15  Jumadal Akhirah 1436.

⛵ https://telegram.me/majaalisalkhidhir


BACAAN DI DALAM RUKÛ' YANG PANJANG


Pertanyaan:
Ustâdz pada shalat gerhana kan rukû'nya sangat panjang, lalu apa yang dibaca Ustâdz? 

Jawaban:
Yang dibaca adalah dzikir seperti dzikir biasanya ketika rukû', karena Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam telah katakan:

فَأَمَّا الرُّكُوعُ فَعَظِّمُوا فِيهِ الرَّبَّ عَزَّ وَجَلَّ

"Adapun rukû'  maka agungkanlah oleh kalian Ar-Rabb 'Azza wa Jalla."
Yakni ucapkanlah oleh kalian:

سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيمِ

"Maha suci Rabbku Yang Maha Agung."
Tidak ada batasan maksimalnya dalam mengucapkan dzikir ini ketika sedang rukû'. 

Dan dianjurkan pula untuk berdoa di dalam rukû' sebagaimana disebutkan di dalam hadîts 'Âisyah Radhiyallâhu 'Anhâ:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي رُكُوعِهِ وَسُجُودِهِ: سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي

"Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam mengucapkan di dalam rukû' dan sujudnya: Maha Suci Engkau yâ Allâh Rabb kami dan pujian hanya untuk-Mu, yâ Allâh ampunilah aku."

Dengan adanya dalîl ini maka Al-Imâm Al-Bukhârî Rahimahullâh membuat bâb khusus di dalam kitâb "Shahîh"nya:

بَابُ الدُّعَاءِ فِي الرُّكُوعِ

"Bâb berdoa di dalam rukû'."

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh setelah kajian Tematik di masjid Baiturrahmân Kemang-Pratama 3 pada hari Ahad 11 Jumadal Ulâ 1439. 

⛵ https://telegram.me/majaalisalkhidhir

MASA 'IDDAH WANITA YANG DITINGGAL WAFAT OLEH SUAMINYA


✉️ Pertanyaan:
Mohon dijelaskan bagaimana masa 'iddah isteri yang ditinggal wafat suami? 

📩 Jawaban:
Keadaan para isteri yang ditinggal wafat oleh suami mereka berbeda-beda, ada yang yang ditinggal wafat oleh suaminya dalam keadaan hâmil, dan ada pula dalam keadaan tidak hâmil. Adapun perempuan yang ditinggal wafat oleh suaminya dalam keadaan hâmil maka masa 'iddahnya sampai dia melahirkan kandungannya, berkata Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ:

وَأُو۟لَـٰتُ ٱلۡأَحۡمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن یَضَعۡنَ حَمۡلَهُنَّۚ 

"Dan perempuan-perempuan yang hamil, masa 'iddah mereka itu sampai mereka melahirkan kandungan mereka." [Surat Ath-Thalâq: 4].

Sedangkan perempuan yang ditinggal wafat oleh suaminya dalam keadaan tidak hâmil maka masa 'iddahnya 4 bulan 10 hari, berkata Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ:

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا

"Orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian dengan meninggalkan isteri-isteri maka para isteri itu masa 'iddah mereka 4 bulan 10 hari." [Surat Al-Baqarah: 234]. 
Berkata Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ تُحِدُّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاَثٍ إِلاَّ عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا 

"Tidak boleh bagi perempuan yang beriman kepada Allâh dan hari Akhir untuk berkabung kepada orang yang wafat lebih dari 3 hari kecuali kepada suami 4 bulan 10 hari." Riwayat Muslim (no.3798).
Yakni boleh berkabung sesuai dengan masa 'iddahnya.

✉ Pertanyaan:
Apakah benar tidak boleh keluar rumah kecuali ada hajat? Jikalau ada hajat sekedar makan, atau mengurusi hal-hal seputar wafatnya suami bagaimana? Karena di masyarakat kita yang memang ada di dalam Al-Qur'ãn bahwa wanita yang ditinggal wafat tidak boleh keluar rumah sama sekali selama masa 'iddahnya.

📩 Jawaban:
Hukum asal bagi wanita yang sedang masa 'iddah adalah menetap di rumahnya, berkata Zainab Radhiyallâhu 'Anhâ:

كَانَتِ الْمَرْأَةُ إِذَا تُوُفِّيَ عَنْهَا زَوْجُهَا دَخَلَتْ حِفْشًا وَلَبِسَتْ شَرَّ ثِيَابِهَا وَلَمْ تَمَسَّ طِيبًا وَلاَ شَيْئًا 

"Dahulu keberadaan wanita jika suaminya meninggal dunia maka dia menetap di rumah, dia memakai pakaian yang tidak bagusnya, tidak memakai minyak wangi dan tidak pula berhias sedikit pun." Riwayat Muslim (no. 3801). 

Dan boleh baginya untuk keluar rumah jika ada kebutuhan mendesak atau karena urusan pekerjaannya, berkata Jâbir bin 'Abdillâh Radhiyallâhu 'Anhumâ: 

طُلِّقَتْ خَالَتِي فَأَرَادَتْ أَنْ تَجُدَّ نَخْلَهَا فَزَجَرَهَا رَجُلٌ أَنْ تَخْرُجَ فَأَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: بَلَى فَجُدِّي نَخْلَكِ فَإِنَّكِ عَسَى أَنْ تَصَدَّقِي أَوْ تَفْعَلِي مَعْرُوفًا

"Bibiku ditalak, lalu beliau berkeinginan untuk keluar mengurusi kurmanya, lalu seorang laki-laki melarangnya untuk keluar, kemudian beliau mendatangi Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam maka beliau berkata: "Urusilah pohon kurmamu, semoga dengan itu kamu bisa bersedekah darinya atau kamu berbuat kebaikan." Riwayat Muslim (no. 3794).

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh di Mutiara Gading Timur Bekasi pada hari Kamis 29 Rabî'ul Akhir 1441 / 26 Desember 2019.

http://t.me/majaalisalkhidhir

BEDA SHALAT KUSÛF DAN SHALAT BIASANYA


✉️ Pertanyaan:
'Afwân Ustâdz, mau bertanya mengenai kaifiyat shalat gerhana? Bolehkah masbûq? Dan hitungan mendapatkan satu raka'at pada rukû' yang pertama atau kedua Ustâdz?

🎙 Jawaban:
Tata cara shalat kusûf sama dengan tata cara shalat yang biasanya, perbedaannya hanya pada rukû', shalat kusûf rukû'nya dua kali dalam satu raka'at sebagaimana disebutkan di dalam hadîts 'Âisyah Radhiyallâhu 'Anhâ:

جَهَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي صَلاَةِ الْخُسُوفِ بِقِرَاءَتِهِ، فَإِذَا فَرَغَ مِنْ قِرَاءَتِهِ كَبَّرَ فَرَكَعَ، وَإِذَا رَفَعَ مِنَ الرَّكْعَةِ قَالَ: سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ. ثُمَّ يُعَاوِدُ الْقِرَاءَةَ فِي صَلاَةِ الْكُسُوفِ، أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فِي رَكْعَتَيْنِ وَأَرْبَعَ سَجَدَاتٍ

"Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam mengeraskan bacaannya di dalam shalat kusûf, apabila beliau telah selesai dari bacaannya maka beliau bertakbîr lalu rukû', apabila beliau bangkit dari rukû' maka beliau mengucapkan "Sami'allâhu liman hamidah, Rabbanâ Walakal hamdu" kemudian beliau kembali membaca bacaan di dalam shalat kusûf. Shalat kusûf empat kali rukû' dan empat kali sujûd di dalam dua raka'at." Riwayat Al-Bukhârî (no. 1065) dan Muslim (no. 2129). 

Shalat gerhana hanya dua raka'at, adapun riwayat yang menyebutkan lebih dari dua raka'at maka riwayat tersebut diperbincangkan derajatnya, karena shalat kusûf dilakukan oleh Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam hanyalah sekali semasa hidupnya, yaitu dua raka'at saja. 

Adapun yang masbûq maka kewajibannya adalah menyempurnakan raka'at yang tertinggal darinya, ini berdasarkan keumuman hadîts:

فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا

"Raka'at mana saja kalian dapati maka shalatlah kalian, dan raka'at mana saja yang terluputkan dari kalian maka sempurnakanlah oleh kalian." Riwayat Al-Bukhârî (no. 635) dan Muslim (no. 1393) dari Abû Qatâdah Radhiyallâhu 'Anhu. 

Seorang ma'mûm teranggap mendapatkan raka'at pada shalat kusûf, ketika dia mendapati imâm berdiri sebelum rukû' yang pertama, adapun kalau dia mendapati imâm berdiri setelah rukû yang pertama maka dia tidak teranggap mendapatkan raka'at, karena kedua rukû' pada setiap raka'at merupakan rukun shalat kusûf, barangsiapa meninggalkannya dalam suatu raka'at maka dia harus mengulangi raka'at tersebut. 

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh saat kajian Tematik di masjid Baiturrahman Kemang Pratama 3 Bekasi pada tanggal 11 Jumadal Úlâ 1439. 

⛵ https://telegram.me/majaalisalkhidhir

Selasa, 24 Desember 2019

KEUTAMAAN MENUNJUKKAN KEPADA KEBAIKAN


بِسمِ اللّٰهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

Insyâ Allâh kajian:
📖 Al-Fiqhul Al-Muyassar, dengan tema:
🌘 HUKUM-HUKUM SEPUTAR SHALAT GERHANA 🌘

🎙 Bersama:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh.

🗓 Pada Hari Rabu / Malam Kamis 28 Rabî'ul Akhir 1441 / 25 Desember 2019.

⏱ Ba'da Maghrib—Adzân Isyâ'.

🕌 Di Masjid Al-Kautsar Kp Tenggilis Mustikajaya Bekasi.

🛣 Terbuka untuk umum, muslim dan muslimah, ikhwân dan akhawât.

☎️ Info:
0838-7570-8233 (ikhwâh).
0857-4174-1433 (akhawât).

☀️☀️☀️☀️☀️☀️☀️

مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ 

"Barangsiapa menunjukkan kepada suatu kebaikan maka baginya pahala semisal pahala orang yang melakukannnya." Riwayat Muslim (no. 5007) dari Abû Mas'ûd Al-Anshârî Radhiyallâhu 'Anhu dari Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam.



http://t.me/kitabulfiqhilmuyassar

ANJURAN UNTUK SHALAT GERHANA


✉️ Pertanyaan:
Apakah benar tidak ada shalat gerhana ketika terjadi hujan? 

🎙 Jawaban:
Ketika di suatu negeri seperti di Bekasi ini sudah dilihat gerhana maka bagi yang ada di seluruh Bekasi dianjurkan untuk shalat, tidak dipersyaratkan bagi setiap orang harus melihat gerhana, jika di Kemang Pratama ini tidak terlihat gerhana sedangkan di Summarecon atau di Jakarta sana terlihat maka hendaknya kita yang ada di sini ikut pula melakukan shalat gerhana, ini berdasarkan hadîts 'Âisyah Radhiyallâhu 'Anhâ, ketika beliau mengikuti shalat gerhana, tiba-tiba kakak beliau Asmâ' Radhiyallâhu 'Anhumâ datang lalu bertanya kepada beliau sedangkan beliau dalam keadaan shalat:

مَا لِلنَّاسِِ؟

"Ada apa dengan manusia?." Maka beliau menjawab dengan memberi isyarat ke langit, lalu Asmâ' berkata:

سُبْحَانَ اللَّهِ، آيَةٌ؟

"Maha Suci Allâh, apakah ini gerhana?."
Maka beliau menjawab dengan isyarat pula, lalu Asmâ' Radhiyallâhu 'Anhâ ikut shalat bersama beliau. 

Ketika sudah ada kepastian bahwa gerhana sudah terlihat, baik terlihat langsung dengan mata kepala atau terlihat dengan bantuan alat maka hendaknya bersegera dikumandangkan seruan:

الصَّلاَةَ جَامِعَةً

"Marilah shalat secara berjamâ'ah." Riwayat Al-Bukhârî (no. 1066) dan Muslim (no. 1045) dari 'Âisyah Radhiyallâhu 'Anhâ.

Bagi orang-orang yang tidak bisa datang memenuhi seruan tersebut karena ada udzur atau karena hujan maka tidaklah gugur sunnah shalat gerhana bagi mereka, ketika mereka tidak bisa datang ke masjid maka mereka shalat di rumah mereka atau di kantor mereka atau di tempat mereka, sehingga mereka tetap termasuk dari orang-orang yang mengamalkan anjuran Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَافْزَعُوا إِلَى الصَّلاَةِ

"Jika kalian telah melihat demikian itu maka bersegeralah kalian untuk shalat." Riwayat Al-Bukhârî (no. 1046) dan Muslim (no. 2129) dari 'Âisyah Radhiyallâhu 'Anhâ. 

Anjuran pada hadîts ini sama penerapannya dengan perintah melihat hilâl, ketika di suatu daerah sudah dilihat oleh sebagian manusia maka sebagian manusia yang berada di daerah tersebut ikut bersama mereka. Wallâhu A'lam. 

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh di Kemang Pratama 3 Bekasi pada 14 Jumadal Úlâ 1439. 

⛵ https://telegram.me/majaalisalkhidhir

AYAT TENTANG GERHANA


📱 Pertanyaan:
Ustâdz, ma'af mengganggu, ana tertarik sekali dengan ceramah tadi malam tentang gerhana. Tapi Ustâdz, ma'af ya, surat Az-Zumar ayat 16 itu beda ya, tidak ada hubungannya dengan gerhana. Mohon penjelasannya ya Ustâdz. Jazâkumullâhu khairan.

📲 Jawaban:
Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ katakan:

لَهُمْ مِّنْ فَوْقِهِمْ ظُلَلٌ مِّنَ النَّارِ وَمِنْ تَحْتِهِمْ ظُلَلٌ ۚ  ذٰلِكَ يُخَوِّفُ اللَّهُ بِهِۦ عِبَادَهُۥ  يٰعِبَادِ فَاتَّقُونِ

"Di atas mereka ada lapisan-lapisan dari api dan di bawah mereka juga ada lapisan-lapisan untuk mereka. Dengan demikian itu Allâh takut-takuti para hamba-Nya. Wahai hamba-hamba-Ku, maka bertakwalah kalian kepada-Ku." (Az-Zumar: 16). 

Penyebutan dengan lapisan-lapisan dan yang semisalnya, itu termasuk dari tanda-tanda kekuasaan Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ, ketika keberadaannya demikian maka jadilah itu sebagai dalîl umum yang bisa digunakan pada segala perkara yang berkaitan dengan tanda-tanda kekuasaan Allâh 'Azza wa Jalla, para 'ulamâ tafsîr telah tetapkan di dalam suatu kaedah umum:

الْعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ

"Pelajaran itu pada keumuman-keumuman lafazh bukan pada kekhususan-kekhususan sebab."

Karena dalîl yang kami bawakan bersifat umum maka pada khutbah tadi malam kami sebutkan pula bahwa di dalam Al-Qur'ãn tidak ada penyebutan lafazh gerhana secara jelas kecuali pada surat Al-Qiyâmah yaitu:

وَخَسَفَ ٱلْقَمَرُ 

"Dan bulan pun gerhana." (Al-Qiyamah: 8).
Semoga Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ memberikan tambahan ilmu dan pemahaman untuk kita. 

Dijawab oleh: 
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh di Kemang Pratama 3 Bekasi pada tanggal 15 Jumadal Úlâ 1439. 

⛵ https://telegram.me/majaalisalkhidhir

KEUNGGULAN ORANG YANG MENGERTI DAN MEMAHAMI ILMU BAHASA ARAB


Berkata Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ:

كِتَـٰبࣱ فُصِّلَتۡ ءَایَـٰتُهُۥ قُرۡءَانًا عَرَبِیࣰّا لِّقَوۡمࣲ  

"Kitâb yang dijelaskan ayat-ayatnya berupa bacaan dalam bahasa Arab bagi kaum yang mengetahui." [Surat Fushilât: 3]. 

Bila ada orang berani berbicara tentang Al-Qur'ãn dan As-Sunnah atau menarik hukum dari keduanya dalam keadaan dia tidak bisa bahasa Arab dan tidak mengerti serta tidak paham terhadap bahasa Arab maka pasti kengawuran lebih dekat kepadanya. Berbeda dengan orang yang bisa bahasa Arab dan mengerti serta memahaminya maka sesungguhnya kecocokan terhadap kebenaran akan lebih dekat kepadanya ketika dia menjelaskan makna dan menarik hukum dari Al-Qur'ãn dan As-Sunnah, berkata Ustâdz kita Asy-Syaikh Sa'îd bin Da'âs Al-Yâfi'î semoga rahmat Allâh untuk kita dan untuk beliau:

فَإِنَّ مَن طَالَ بَاعَهُ وَاتَّسَعَ عِلمُهُ بِهٰذَا الفَنِّ الجَلِيلِ قَوِيَتْ مَلَكَتُهُ وَتَرَسَّخَتْ قَدَمُهُ فِي فَهمِ الكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَاسْتِخْرَاجِ مَعَانِيهِمَا وَأَحكَامِهِمَا

"Sesungguhnya orang yang panjang pada langkahnya dan luas ilmunya di bidang bahasa Arab yang mulia ini maka kuat penguasaannya dan meluas cakupannya dalam memahami Al-Qur'ãn dan As-Sunnah, serta dalam menyimpulkan berbagai makna dan hukum-hukum dari keduanya."

(Faedah Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh di Mutiara Gading Timur Bekasi pada hari Selasa 28 Dzulqa'dah 1440 / 30 Juli 2019).

⛵️ http://t.me/majaalisalkhidhir

MENEROBOS KESULITAN DALAM MEMPELAJARI ILMU NAHWU


 ☑️ Pertanyaan:
Ustâdz kalau kami mengajak ikhwân untuk ikut belajar nahwu ke Ustâdz selalu bilangnya itu ilmu sulit, yang akhawât juga mengajak yang lain untuk dengarkan rekaman daurah Ustâdz jawabnya juga sama itu ilmu yang susah. Adakah nasehat dari Ustâdz yang bisa disampaikan kepada mereka? 

Jawaban:
Bagi yang ingin belajar hendaklah berniat, bertekad dan berdoa:

اللَّهُمَّ لاَ سَهْلَ إِلاَّ مَا جَعَلْتَهُ سَهْلاً وَأَنْتَ تَجْعَلُ الحَزْنَ إِذَا شِئْتَ سَهْلاً 

“Ya Allâh, tidak ada kemudahan kecuali apa yang telah Engkau menjadikannya mudah. Dan Engkau menjadikan kesulitan jika Engkau kehendaki ada kemudahan." Riwayat Ibnu Hibbân dan Ibnus Sunnî. 

Berkata Ibnul 'Utsaimîn Rahmatullâh 'Alaih:

وَلَا عِبْرَةَ بِقَوْلِ مَنْ قَالَ: إِنَّ النَّحْوَ صَعْبٌ، حَتَّى يَتَخَيَّلَ الطَّالِبُ أَنَّهُ لَنْ يَتَمَكَّنَ مِنْهُ، فَإِنَّ هٰذَا لَيْسَ بِصَحِيْحٍ، وَلٰكِنْ رَكَّزَ عَلَى أَوَّلِهِ يَسْهَلُ عَلَيْكَ آخِرُهُ

"Tidak ada pelajaran terhadap perkataan orang yang mengatakan: "Sesungguhnya nahwu itu sulit" sampai seorang penuntut ilmu berhayal tidak akan mungkin menguasainya, sungguh ini tidaklah benar, akan tetapi hendaklah konsentrasi pada awalnya maka akan mudah akhirnya bagimu."

Beliau juga katakan:

النَّحْوُ فِي أَوَّلِهِ صَعْبٌ وَفِي آخِرِهِ سَهْلٌ، وَقَدْ مُثِّلَ بِبَيْتٍ مِنْ قَصَبٍ وَبَابُهُ مِنْ حَدِيْدٍ يَعْنِي أَنَّهُ صَعْبُ الدُّخُوْلِ لٰكِنْ إِذَا دَخَلْتَ سَهُلَ عَلَيْكَ كُلُّ شَيْءٍ

"Nahwu pada awalnya itu sulit dan pada akhirnya mudah, dan sungguh telah dipermisalkan dengan rumah yang terbuat dari kayu, pintunya dari besi, yakni sulit untuk masuk, akan tetapi jika kamu sudah masuk maka segala sesuatu akan mudah bagimu."

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh di Mutiara Gading Timur Bekasi pada hari Sabtu 20 Ramadhân 1440 / 25 Mei 2019.

⛵️ http://t.me/aluluwfyimarifatinnahwi

Dapatkan kitâbnya dengan memesan ke: 083875708233 

Senin, 23 Desember 2019

PENGINGKARAN SHAHABAT TERHADAP KEBID'AHAN


🎙 Pertanyaan:
Adakah pengingkaran para Shahabat sepeninggal Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam tentang kebid'ahan?

🎙 Jawaban:
Telah ada pengingkaran para Shahabat terhadap kebid'ahan, di antara mereka adalah 'Abdullâh bin Mas'ûd dan Abû Mûsâ Al-Asy'arî Radhiyallâhu 'Anhumâ, ketika di masjid muncul beberapa kelompok yang mengadakan dzikir jamâ'ah, masing-masing kelompok ada pemandunya, setiap berdzikir menggunakan kerikil maka Abû Mûsâ Al-Asy'arî berkata kepada 'Abdullâh bin Mas'ûd Radhiyallâhu 'Anhumâ:

يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ، إِنِّي رَأَيْتُ فِي الْمَسْجِدِ آنِفًا أَمْرًا أَنْكَرْتُهُ وَلَمْ أَرَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ إِلَّا خَيْرًا 

"Wahai Abû 'Abdirrahmân, sesungguhnya aku melihat di masjid baru saja tentang suatu perkara yang aku mengingkarinya. Dan aku Alhamdulillâh tidak berpendapat kecuali kebaikan." 
Maka 'Abdullâh bin Mas'ûd berkata kepadanya:

 أَفَلَا أَمَرْتَهُمْ أَنْ يَعُدُّوا سَيِّئَاتِهِمْ، وَضَمِنْتَ لَهُمْ أَنْ لَا يَضِيعَ مِنْ حَسَنَاتِهِمْ

"Kenapa engkau tidak memerintahkan mereka supaya menghitung-hitung kejelekan mereka, dan aku memberi jaminan kepada mereka bahwa tidak akan sia-sia kebaikan mereka."

Ketika para pembuat kebid'ahan itu berkata kepada 'Abdullâh bin Mas'ûd Radhiyallâhu 'Anhu:

وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ، مَا أَرَدْنَا إِلَّا الْخَيْرَ 

"Demi Allâh wahai Abû 'Abdirrahmân, sesungguhnya kami tidak menginginkan kecuali kebaikan."
Maka 'Abdullâh bin Mas'ûd Radhiyallâhu 'Anhu berkata kepada mereka:

 وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ

"Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan namun tidak memperolehnya." Riwayat Ad-Dârimî di dalam "Sunan"nya (no. 210).

Di antara Shahabat yang mengingkari kebid'ahan adalah 'Abdullâh bin 'Umar Radhiyallâhu 'Anhumâ, beliau mengingkari adzan pertama pada hari Jum'at, beliau berkata:

الْأَذَانُ الْأَوَّلُ يَومَ الْجُمُعَةِ بِدْعَةٌ

"Adzân yang pertama pada hari Jum'at adalah bid'ah." Riwayat Ibnu Abî Syaibah di dalam "Mushannaf"nya (no. 5479).

Di antara Shahabat yang juga mengingkari kebid'ahan adalah Thâriq bin Asyyam Radhiyallâhu 'Anhu, berkata puteranya Abû Mâlik Al-Asyja'î:

قُلْتُ لِأَبِي : يَا أَبَةِ، إِنَّكَ قَدْ صَلَّيْتَ خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ، وَعُمَرَ، وَعُثْمَانَ، وَعَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ، هَاهُنَا بِالكُوفَةِ نَحْوًا مِنْ خَمْسِ سِنِينَ، أَكَانُوا يَقْنُتُونَ؟

"Aku berkata kepada ayahku: Wahai ayah, sesungguhnya engkau telah shalat di belakang Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam, Abû Bakr, 'Umar, 'Utsmân dan di belakang 'Alî bin Abî Thâlib di Kufah ini sekitar 5 tahun, apakah mereka dahulu qunût Shubuh?" 
Thâriq bin Asyyam menjawab:

 أَيْ بُنَيَّ مُحْدَثٌ؟

"Wahai puteraku, qunût Shubuh adalah bid'ah." Riwayat At-Tirmidzî (no. 405).

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Ayyadahullâh pada kajian hari Ahad 25 Rabî'ul Akhir 1441 / 22 Desember 2019.

Dengarkan audionya di:
http://t.me/majaalisalkhidhir

PERMISALAN ANTARA KAPAL NÚH DAN KAPAL TITANIC


✉️ Pertanyaan:
Ustâdz, hampir semua golongan yang mendakwahkan Islâm mengakui dakwahnya laksana perahu Nabî Nûh 'Alaihis Salâm, yang jadi pertanyaan saya: Golongan manakah yang dakwahnya laksana perahu Nabî Nûh 'Alaihis Salâm? 

📩 Jawaban:
Golongan yang dakwahnya dipermisalkan seperti kapal Nûh 'Alaihish Shalâtu was Salâm adalah golongan yang berada di atas jalan Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam, berkata Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ:

قُلْ هٰذِهٖ سَبِيْلِيْۤ اَدْعُوْۤا اِلَى اللّٰهِ ۗ  عَلٰى بَصِيْرَةٍ اَنَاۡ وَمَنِ اتَّبَعَنِيْ ۗ  وَسُبْحٰنَ اللّٰهِ وَمَاۤ اَنَاۡ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ

"Katakanlah wahai Rasûl, Ini adalah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kepada Allâh di atas keterangan ilmu, Maha Suci Allâh, dan aku tidak termasuk dari orang-orang musyrik." (Yûsuf: 108).

Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam telah menyebutkan tentang sifat kelompok dari umat beliau yang selamat yaitu:

مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي

"Apa yang aku dan para shahabatku berada di atasnya." Diriwayatkan oleh At-Tirmidzî.

Golongan yang telah Allâh dan Rasûl-Nya Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam persaksikan dakwahnya di atas keselamatan adalah golongan yang dakwahnya mengikuti jejek para Shahabat dalam mendakwahkan Islâm dan Sunnah Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

وَالسّٰبِقُوْنَ الْاَوَّلُوْنَ مِنَ الْمُهٰجِرِيْنَ وَالْاَنْصَارِ وَالَّذِيْنَ اتَّبَعُوْهُمْ بِاِحْسَانٍ ۙ  رَّضِيَ اللّٰهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُ وَاَعَدَّ لَهُمْ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ تَحْتَهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَاۤ اَبَدًا ۗ  ذٰلِكَ الْـفَوْزُ الْعَظِيْمُ 

"Dan orang-orang yang terdahulu lagi terkemuka dari orang-orang Muhâjirîn dan Anshâr serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allâh ridhâ kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Allâh menyediakan bagi mereka Surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar." (At-Taubah: 100).

Dakwah mereka itulah yang dinamai dengan dakwah Ahlussunnah wal Jamâ'ah, adapun dakwah yang bertentangan dan berseberangan dengan dakwah mereka maka dinamai dengan dakwah Ahlul Furqah wal Bida':

دَعْوَةُ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ كَسَفِينَةِ نُوحٍ، مَنْ رَكِبَهَا سَلِمَ، وَدَعْوَةُ أَهْلِ الْفُرْقَةِ وَالْبِدْعَةِ كَسَفِينَةِ ﺗِﻴﺘَﺎﻧِﻴﻚَ، مَنْ رَكِبَهَا نَدِمَ

"Dakwah Ahlissunnah wal Jama'ah seperti kapal Nûh, barangsiapa menaikinya maka dia akan selamat. Dan dakwah Ahlil Furqah wal Bid'ah seperti kapal Titanic, barangsiapa menaikinya maka dia akan menyesal."

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Ayyadahullâh pada malam Selasa 27 Rabî'ul Akhir 1441 / 24 Desember 2019.

⛵⛵⛵
http://t.me/majaalisalkhidhir

MENJADI ORANG PALING BAIK ATAU PALING CERDAS


Orang yang paling baik adalah orang yang berakhlak mulia dan orang yang paling cerdas adalah orang yang mempersiapkan bekal untuk hari esok, berkata Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ:

وَمَا تَفۡعَلُوا۟ مِنۡ خَیۡرࣲ یَعۡلَمۡهُ ٱللَّهُۗ وَتَزَوَّدُوا۟ فَإِنَّ خَیۡرَ ٱلزَّادِ ٱلتَّقۡوَىٰۖ وَٱتَّقُونِ یَـٰۤأُو۟لِی ٱلۡأَلۡبَـٰبِ 

"Apa yang kalian perbuat dari amalan yang terbaik maka Allâh mengetahuinya, dan berbekallah kalian, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa, bertakwalah kalian wahai orang-orang yang berpengetahuan." [Surat Al-Baqarah: 197]. 

Berkata 'Abdullâh bin 'Umar Radhiyallâhu 'Anhumâ:

كُنْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَاءَهُ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِىِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ثُمَّ قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ الْمُؤْمِنِينَ أَفْضَلُ؟ قَالَ: أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا، قَالَ: فَأَىُّ الْمُؤْمِنِينَ أَكْيَسُ؟ قَالَ: أَكْثَرُهُمْ لِلْمَوْتِ ذِكْرًا وَأَحْسَنُهُمْ لِمَا بَعْدَهُ اسْتِعْدَادًا أُولَئِكَ الأَكْيَاسُ 

"Aku bersama Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam maka datanglah seseorang dari kalangan Anshâr lalu dia menyalami Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam, kemudian dia bertanya: Wahai Rasûlullâh, orang-orang beriman manakah yang lebih baik? Beliau menjawab: "Mereka yang paling bagus akhlaknya." Dia bertanya lagi: Orang-orang beriman manakah yang paling cerdas? Beliau menjawab: "Mereka yang paling banyak mengingat kematian dan mereka yang paling bagus dalam mempersiapkan bekal untuk hari esok. Mereka itulah orang-orang cerdas." Riwayat Ibnu Mâjah (4259).

Disadur dari Khutbah Jum'at Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh di Masjid Al-Kautsar Bekasi pada tanggal 23 Rabî'ul Akhir 1441 / 20 Desember 2019.

http://t.me/kumpulankhutbahalkhidhir

MAKNÂ SALAF


Salaf adalah orang terdahulu, berkata Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam kepada Fâthimah Radhiyallâhu 'Anhâ:

وَإِنَّكِ أَوَّلُ أَهْلِي لُحُوقًا بِي وَنِعْمَ السَّلَفُ أَنَا لَكِ

"Sesungguhnya kamu adalah orang pertama dari keluargaku yang menyusulku meninggal dunia dan sebaik-baik salaf bagimu adalah aku." Riwayat Al-Bukhârî dan Muslim dari 'Âisyah Radhiyallâhu 'Anhâ. (Kamus Al-Khidhir, hal. 62).


⛵️ http://t.me/majaalisalkhidhir

Dapatkan bukunya dengan memesan ke: 083875708233

MENGENAL HAKEKAT SALAFÎ


⬜ Pertanyaan:
Saya mau tanya: Wahhâbî Salafî itu apa ya Ustâdz?

🔳 Jawaban:
Wahhabî adalah suatu istilah yang digunakan oleh 'Ulamâ terdahulu kepada para pengikut 'Abdul Wahhâb bin Rustam, para 'Ulamâ menyebutkan mereka termasuk dari kaum khawârij. 

Kemudian sebagian orang belakangan menyalahgunakan istilah Wahhâbî ini, mereka gunakan kepada siapa saja yang mengajarkan kitâb-kitâb Al-Imâm Muhammad bin 'Abdil Wahhâb An-Najdî Rahimahullâh, karena beliau Rahimahullâh memiliki beberapa kitâb, di antaranya kitâb Tauhîd yaitu suatu kitâb yang menjelaskan tentang Tauhîd dan memperingatkan dari bahaya syirik. Beliau juga memiliki beberapa kitâb seputar masalah' aqîdah dan tauhîd, dan kitâb-kitâb beliau tersebar ke seluruh penjuru dunia, diajarkan dan diterjemahkan ke berbagai bahasa. Beliau berdakwah sebelum dan sesudah berdirinya kerajaan Saudi Arabia, dakwah beliau didukung oleh Raja Su'ûd pendiri kerajaan Saudi Arabia, beliau mendakwahkan Tauhîd dan Sunnah, beliau mengamalkan Sunnah, beliau dan orang-orang yang bersamanya berpakaian sunnah, celana di atas mata kaki, berjubah, memelihara jenggot dan giat meramaikan masjid dengan ibadah dan kajian Islâm, apa yang mereka amalkan adalah sunnah-sunnah Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam yang telah asing di tengah umat. 

Adapun istilah Salafî maka istilah ini telah muncul di zaman Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam dan bahkan beliau yang menyebutkan istilah ini, beliau berkata kepada putrinya Fâthimah bintu Muhammad 'Alaihimash Shalâtu Wassalam:

فَإِنِّي نِعْمَ السَّلَفُ أَنَا لَكِ

"Sesungguhnya sebaik-baik Salaf bagimu adalah aku." Riwayat Al-Bukhârî. 

Yang dimaksud dengan Salaf di sini adalah yang terdahulu, yaitu orang terdahulu, berkata Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ:

وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ 

"Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama masuk Islâm dari kalangan Muhâjirîn dan kalangan Anshâr serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allâh ridhâ kepada mereka dan mereka pun ridhâ kepada-Nya." [Surat At-Taubah: 100]. 

Oleh karena itu setiap orang yang mengikuti dan menisbatkan diri kepada Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam dan para shahabatnya maka dia dinamai dengan Salafî.

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Ayyadahullâh di Mutiara Gading Bekasi pada hari Sabtu 23 Rajab 1440 / 30 Maret 2019.

⛵️ http://t.me/majaalisalkhidhir