Halaman

Senin, 31 Juli 2023

TETAP BERBAKTI KEPADA ORANG TUA DENGAN TANPA BERBUAT SYIRIK KEPADA ALLÂH

Pertanyaan:
Pak Ustâdz, ane ijin bertanya:
Bagaimana cara menyadarkan atau menyikapi ayah ane yang beda keyakinan dan beliau melarang ane untuk mengerjakan shalat dan mengamalkan atau membaca Al-Qur'ãn.
Mohon pencerahannya pak Ustâdz.

Jawaban:
Cara menyadarkannya yaitu kamu tetap berbuat baik kepadanya di kehidupan dunia ini, terus berbakti kepadanya pada perkara kebaikan dan jangan sekali-sekali mentaatinya dalam kesyirikan dan kemaksiatan, berkata Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ:

وَإِن جَـٰهَدَاكَ عَلَىٰۤ أَن تُشۡرِكَ بِی مَا لَیۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمࣱ فَلَا تُطِعۡهُمَاۖ وَصَاحِبۡهُمَا فِی ٱلدُّنۡیَا مَعۡرُوفࣰا وَٱتَّبِعۡ سَبِیلَ مَنۡ أَنَابَ إِلَیَّۚ ثُمَّ إِلَیَّ مَرۡجِعُكُمۡ فَأُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمۡ تَعۡمَلُونَ

"Jika keduanya memaksamu untuk menyekutukan-Ku dengan sesuatu yang kamu tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah kamu mentaati keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Ku tempat kembalimu, maka akan Aku memberitahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan." [Surat Luqmân: 15].

Jaga shalat, baca Al-Qur'ãn dan jangan lupakan untuk selalu memohon kepada Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ supaya memberi hidayah Islâm kepada ayahmu. 

Dijawab oleh:
Muhammad Al-Khidhir pada hari Selasa, 14 Muharram 1445 / 1 Agustus 2023 di Masjid Muti'ah Cipancur Klapanunggal Bogor. 

Senin, 12 Juni 2023

DEFENISI MURTAD


Pertanyaan:
Ustâdz, apa maksud murtad?. 

Jawaban:
Murtad adalah orang yang keluar dari Islâm, dia asalnya mengaku Muslim atau dia di atas fitrah sebagai Muslim lalu dia melakukan suatu pembatal dari pembatal-pembatal Islâm, dia melakukan kesyirikan kepada Allâh, sujud ke kuburan atau menyembelih untuk jin, menyembelih untuk penghuni kubur, menyembelih untuk selain Allâh maka ketika itu langsung dia murtad, dia kâfir keluar dari agama. 
Dan ada yang murtad tanpa melakukan kesyirikan hanya saja dia batal salah satu dari dua rukun tauhîdnya, tatkala dia tidak mengkufuri thâghût, dia tidak mengkafirkan Fir'aun maka dia ketika itu murtad, dia diikutkan dengan Fir'aun. 
Oleh karena itu disebutkan oleh para 'Ulamâ di antara mereka adalah Asy-Syaikh Shâlih Al-'Ushaimî, beliau berkata:

المسلم إذا لم يتبرأ من المشركين معتقدا بطلان دينهم فإنه يصير منهم ولو لم يشرك

"Seorang Muslim jika tidak berlepas diri dari orang-orang musyrik, dalam keadaan dia menyakini batilnya agama mereka maka sungguh dia menjadi termasuk dari mereka, meskipun dia tidak berbuat syirik."

Ada orang dikâfirkan karena tidak mengimani Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam, walaupun dia tidak melakukan kesyirikan. Demikian pula orang yang menolong orang-orang kâfir dalam memusuhi Islâm atau menolong ahlusy syirk dalam memusuhi Ahlut Tauhîd maka dia murtad, yaitu dia keluar dari Islâm. 
Supaya dia kembali sebagai Muslim maka dia bertaubat sehingga dia kembali lagi menjadi Muslim. 
Oleh karena itu, dakwah kita adalah menyeru manusia untuk bertaubat, banyak orang melakukan pembatal Islâm dalam sehari-harinya maka hanya dengan bertaubat supaya bisa kembali lagi kepada Islâm.

Dijawab oleh:
Muhammad Al-Khidhir setelah kajian "Tashîlul Wushûl ilâ Fahmi 'Ilmil Ushûl" pada malam Selasa, 17 Dzulqa'dah 1444 di Masjid Muti'ah Ponpes Majaalis Al-Khidhir Bogor. 

Rabu, 12 April 2023

BAHAYA MURJI'AH



Pertanyaan:
Shiddîq (Al-Bûgisî) dan kawan-kawannya Tsâbitîn (orang-orang kokoh) di atas paham murji'ah menyebutkan bahwa kamu mulabbis (pembuat pengaburan), mereka menukilkan bantahan syaikh-syaikh mereka kepadamu. Di antara yang membantahmu adalah Syaikh mereka 'Abdul Hamîd Al-Hajûrî, dia mengatakan tentang kalian: "Mereka itu membuat pengaburan atas kalian, jangan kalian menghiraukan mereka." Demikian pula syaikh mereka Thâriq Al-Ba'dânî mengatakan tentangmu: "Tidak tersedia baginya, dan ini tidak benar, syaikh kami (Al-Wâdi'î) mengkritik murji'ah, Abû Hanîfah adalah murjî dan Al-Albanî adalah imâm bukan termasuk murji'ah.

Jawaban:
Alhamdulillâh, sungguh kita telah mengetahui tentang mereka dari dulu. Andaikan keberadaan kita tidak berbicara tentang kesalahan-kesalahan mereka maka mereka tidak akan membicarakan kita. Kalau kita menyepakati mereka dalam mengkritik dan menganggap mubtadi' (penganut bid'ah) terhadap seorang muslim maka mereka tidak akan membicarakan kita, sebagaimana mereka telah membicarakan Asy-Syaikh Rabî' Al-Madkhalî. Dahulu keberadaan Asy-Syaikh Rabî' Al-Madkhalî paling tinggi kedudukannya di sisi mereka, perkataan-perkataan mereka banyak dalam memujinya dan memberikan sanjungan kepadanya, mereka menjadikan kumpulan tulisan-tulisannya sebagai rujukan mereka pada masalah yang mereka namai masalah-masalah manhaj, mereka menempatkannya di perpustakaan mereka. Tatkala dia membicarakan sebagian syaikh-syaikh mereka maka mereka mulai mencari-cari kesalahannya, kemudian mereka membantahnya. Padahal hakekat orang-orang kokoh di atas murji'ah dan Asy-Syaikh Rabi' itu sama, mereka mengkritik orang yang menyelisihi mereka pada masalah-masalah manhaj, mereka tidak memberi udzur kepada orang yang menyelisihi mereka padanya. Adapun pada masalah 'aqîdah maka mereka 'âdzirûn (para pemberi udzur) kepada orang yang melakukan kesyirikan dan kekâfiran.
Lihatlah kalian kepada keadaan mereka sekarang, kalaulah keberadaan seseorang menyelisihi mereka dalam mencela dan menganggap mubtadi' terhadap seorang muslim atau dia memiliki perkataan dalam merekomendasikannya, memujinya dan memberikan sanjungan kepadanya maka sungguh mereka akan membicarakannya dan memperingatkan orang lain darinya, sebagaimana yang mereka telah menerapkan itu kepada Syaikh yang mulia 'Abdullâh Al-Jarbû' dan selain beliau dari para 'ulamâ.
Al-Imâm Abû Hanîfah adalah murji' menurut mereka, namun Asy-Syaikh Al-Albânî mengatakan: "Abû Hanîfah dan empat imâm, mereka itu di atas jalan Salaf." 
Kenapa mereka tidak membicarakan Asy-Syaikh Al-Albânî?! Dalam keadaan dia memuji dan memberikan sanjungan terhadap Al-Imâm Abû Hanîfah?!.
Kenapa mereka tidak membicatakan Al-Albânî dalam keadaan dia mencela Syaikhul Islâm Muhammad bin 'Abdil Wahhâb semoga Allâh merahmatinya?! Al-Albânî mengatakan: "Hakekat Muhammad bin 'Abdil Wahhâb itu keutamaannya besar atas umat Islâm, akan tetapi ada padanya sesuatu dari ghulûw (sikap keterlaluan) dan syiddah (kekerasan)."
Al-Albânî katakan: "Adapun Wahhâbiyyah (orang-orang yang semanhaj dengan Syaikhul Islâm Muhammad bin 'Abdil Wahhâb) maka aku tidak memiliki urusan dengan mereka, aku mengkritik mereka, bahkan terkadang sangat keras kritikanku kepada mereka daripada selainku, barangkali orang-orang yang hadir di sini mengetahui kritikan kerasku itu."
Kenapa mereka tidak membicarakan Al-Albânî?!.
"Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kalian menjadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allâh, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap sesuatu kaum, mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah kalian, karena adil itu lebih dekat kepada taqwâ. Dan bertaqwâlah kalian kepada Allâh, sesungguhnya Allâh adalah Khabîr (Maha Mengetahui) terhadap apa yang kalian kerjakan.”
Berkata Asy-Syaikh As-Sa'dî semoga Allâh merahmatinya: “(Berbuat adillah kalian dalam bersaksi) sebagaimana kalian bersaksi menguatkan teman kalian maka kalian juga harus bersaksi melawan teman kalian (jika dia pada kesalahan). Dan sebagaimana kalian bersaksi melawan musuh kalian maka kalian juga harus bersaksi mendukungnya (jika dia pada kebenaran). Meskipun keberadaan musuh itu adalah orang kâfir atau mubtadi', karena sungguh wajib berlaku adil kepadanya dan wajib menerima kebenaran yang dia bawa, bukan karena dia yang mengatakannya (akan tetapi karena perkataannya itu kebenaran). Dan tidak menolak kebenaran hanya karena dia yang mengatakannya, karena sungguh perbuatan tersebut adalah kezhaliman terhadap kebenaran.”

Lihatlah kalian kepada perkataan mereka: "Abû Hanîfah adalah murjî dan Al-Albânî adalah imâm, bukan termasuk murji'ah." 
Tanpa ada keraguan dan tanpa ada kebimbangan bahwa Al-Imâm Abû Hanîfah adalah imâm dari kalangan para imâm tanpa ada penolakan (tentang keimâmannya), beliau lebih mulia dan lebih utama daripada Asy-Syaikh Al-Albânî.
Berkata Adz-Dzahabî semoga Allâh merahmatinya pada pujiannya terhadap Abû Hanîfah dan sanjungan kepadanya: "Imâmah (teladan) dalam fikih dan seluk-beluknya diserahkan kepada imâm ini. Ini adalah perkara yang tidak ada keraguan padanya."
Berkata Asy-Syâfi'î semoga Allâh merahmatinya: "Orang-orang dalam masalah fikih adalah anak-anak Abû Hanîfah."
Berkata Al-Khuraibî semoga Allâh merahmatinya: "Tidak ada yang mencela Abû Hanîfah kecuali orang dengki atau orang bodoh."
Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyyah semoga Allâh merahmatinya telah menyebutkan Al-Imâm Abû Hanîfah termasuk dari para imâm terkenal yang menetapkan sifat-sifat bagi Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ.
Jika keberadaan Al-Imâm Abû Hanîfah termasuk murji'ah sebagaimana telah memperjelas demikian orang-orang itu, maka apakah mereka mengetahui dari mana Al-Imâm Abû Hanîfah mengambil perkataannya?! Karena sesungguhnya beliau mengatakan: "Tidak boleh bagi seseorang untuk mengambil perkataan kami selama dia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya."
Beliau juga mengatakan: "Tidak boleh bagi seseorang untuk berfatwâ dari tulisan-tulisanku sampai dia mengetahui dari mana aku mengatakannya." Atau beliau katakan: "Harâm bagi orang yang tidak mengetahui dalîlku untuk berfatwâ dengan perkataanku."
Beliau juga katakan: "Jika telah shahîh hadîts maka itulah madzhabku."
Inilah madzhab Al-Imâm Abû Hanîfah semoga Allâh merahmatinya, dan berkata Ibnu Abil 'Izz semoga Allâh merahmatinya: "Ath-Thahâwî meriwayatkan suatu riwayat Abû Hanîfah bersama Hammâd bin Zaid, bahwa Hammâd bin Zaid tatkala meriwayatkan kepadanya hadîts: "Islâm manakah yang paling utama? Sampai pada akhir hadîts. Beliau berkata kepadanya: Tidakkah kamu melihatnya mengatakan: "Islâm manakah yang paling utama? Beliau berkata: "Îmân, kemudian menjadikan hijrah dan jihâd termasuk îmân?." Lalu Abû Hanîfah terdiam. Maka berkatalah sebagian murid-muridnya: "Kenapa engkau tidak menanggapinya?." Beliau menjawab: "Dengan apa aku akan menanggapinya dalam keadaan dia menceritakan ini kepadaku dari Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam."
Adapun perkataan Al-Imâm Abû Hanîfah semoga Allâh merahmatinya tentang penamaan îmân bahwasanya îmân adalah keyakinan di dalam hati dan mengucapkan dengan lisân, bahwasanya perbuatan berada di luar dari hakekat îmân maka ini sungguh telah disebutkan oleh Al-Imâm Ibnu 'Abdil Barr dan Ibnu Abil 'Izz apa yang menurutnya bahwa beliau telah rujû' (mencabut pendapatnya) itu, dan Allâh Yang Lebih Mengetahui. 
Apakah didapati perkataan Asy-Syaikh Al-Albânî semoga Allâh merahmatinya bahwa dia telah rujû' dari tidak mengkafirkan para penyembah kuburan?!.
Apakah didapati perkataan Asy-Syaikh Muqbil semoga Allâh merahmatinya bahwa beliau telah rujû' dari perkataannya tentang masalah memberi udzur karena kebodohan pada perkara Tauhîd sebagaimana telah rujû' dari demikian itu Asy-Syaikh yang mulia 'Abdul Muhsin Al-'Abbâd?!.
Segala puji bagi Allâh, sungguh Asy-Syaikh yang mulia 'Abdul Muhsin Al-'Abbâd telah menulis kitâb "Penjelas dan Penerang tentang Hukum Meminta Pertolongan kepada Orang-orang Mati dan Orang-orang Ghaib."

Diterjemahkan dari jawaban:
Muhammad Al-Khidhir Al-Andûnîsî. 

Selasa, 11 April 2023

WANITA HAID TIDAK BERDIAM DI MASJID




Pertanyaan:
'Afwân Ustâdz izin bertanya:
Bagaimana hukum wanita yang sedang haid berdiam diri di masjid pada 10 malam terakhir di bulan Ramadhân untuk tilâwah dan berdoa juga berdzikir?.

Jawaban:
Tidak ada dalîl yang shahîh lagi sharîh menunjukkan ketidakbolehan bagi wanita hâid untuk berdiam di masjid, terkhusus di 10 malam terakhir pada bulan Ramadhân. Namun lebih baik bagi wanita hâid tetap di rumahnya, ia dapat mencari Lailatul Qadr di rumahnya, ia tidak dapat beribadah kepada Allâh dengan melaksanakan shalat lail karena ia hâid namun ia dapat beribadah kepada Allâh dengan tilâwah, dzikir, doa dan bersedekah. Ia dapat membantu ayahnya, suaminya atau saudara-saudarinya yang beri'tikaf di masjid, menyiapkan kebutuhan makan dan minum serta menyiapkan kebutuhan pakaian dan kerapian sebagaimana yang dicontohkan oleh Ummul Mu'minîn 'Âisyah Radhiyallâhu 'Anhâ saat beliau haid, bahkan sampai pernah beliau menyisir rambut Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam yang sedang beri'tikâf, Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam hanya memiringkan kepala ke luar masjid lalu 'Âisyah menyisirnya dari luar masjid, berkata 'Âisyah Radhiyallâhu 'Anhâ:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصْغِي إِلَيَّ رَأْسَهُ وَهُوَ مُجَاوِرٌ فِي الْمَسْجِدِ فَأُرَجِّلُهُ وَأَنَا حَائِضٌ

“Dahulu Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam menyorongkan kepalanya kepadaku saat beliau i’tikâf di masjid, lalu aku menyisirnya dalam keadaan aku haid.” Muttafaqun 'Alaih. 

Diamnya seorang wanita hâid di rumahnya untuk mencari Lailatul Qadr dengan tilâwah, doa dan berdzikir maka tentu itu lebih baik baginya daripada ia berdiam di masjid dalam keadaan ia hâid. 
Kita tidak mengetahui ada dari para wanita Salafiyyah di saat haid memilih berdiam di masjid sementara ia memiliki rumah, berbeda dengan wanita yang tidak memiliki rumah sebagaimana pada kisah wanita hitam, ia tinggal di kemahnya sendirian di dalam masjid Nabî Shallallâhu 'Alaih wa Sallam, yang tentu ia akan melewati masa hâid. 'Âisyah menyebutkan tentangnya:

فَكَانَ لَهَا خِبَاءٌ فِي الْمَسْجِدِ أَوْ حِفْشٌ

"Keberadaan wanita itu memiliki kemah atau tenda di dalam masjid."
'Âisyah menyebutkan pula tentangnya:

فَكَانَتْ تَأْتِينِي فَتَحَدَّثُ عِنْدِي 

"Beliau biasa datang kepadaku lalu berbincang-bincang di sisiku." Riwayat Al-Bukhârî. 

Pada hadîts ini, menunjukkan kebolehan bagi wanita berdiam diri di masjid jika aman dari fitnah, demikian pula tidur di dalamnya, oleh karena itu Al-Bukhârî berdalîl dengannya setelah membuat bâb khusus:

باب نَوْمِ الْمَرْأَةِ فِي الْمَسْجِدِ

"Bâb tidurnya wanita di dalam masjid."

Adapun diamnya wanita suci di masjid untuk mencari Lailatul Qadr maka ini boleh jika aman dari fitnah, dan para wanita Salafiyyah telah melakukannya, berkata 'Âisyah Radhiyallâhu 'Anhâ:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

"Sungguh Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam dahulu beri'tikâf di 10 malam terakhir pada bulan Ramadhân, sampai Allâh mewafatkannya. Kemudian para isterinya beri'tikâf setelah wafatnya."

Tatkala wanita yang beri'tikâf belum selesai i'tikâfnya lalu hâid maka lebih baik baginya untuk kembali ke rumahnya, daripada ia tetap di tempat i'tikâfnya. Dan telah ada suatu riwayat dari Imâm Daril Hijrah Rahimahullâh, beliau berkata tentang wanita:

إِذَا اعْتَكَفَتْ، ثُمَّ حَاضَتْ فِي اعْتِكَافِهَا أنَّهَا تَرْجِعُ إِلَى بَيْتِهَا

"Jika ia beri'tikâf kemudian ia hâid di dalam i'tikâfnya maka ia kembali ke rumahnya."
Dan Al-Imâm Ibnu Qudâmah Rahimahullâh berkata:

وإن كانت له رحبة خارجة من المسجد يمكن أن تضرب أي الحائض المعتكفة فيها خباءها

"Jika ada halaman di luar masjid lalu memungkinkan untuk dibuatkan kemah yaitu untuk wanita hâid beri'tikâf di dalamnya (semasa hâidnya)."

( Muhammad Al-Khidhir ). 


TIDAK ADA UDZUR BAGI PELAKU SYIRIK BESAR YANG TIDAK DIPAKSA




Pertanyaan:
Benarkah Ustâdz Khidhir nanti akan banyak beri udzur ke pelaku maksiat sebagai penyelisihan kepada hizbiyyûn 'âdzirûn yang selalu beri udzur ke pelaku syirk akbar hingga anggap mereka umat Muslim?!.

Jawaban:
Ungkapan yang pernah kita katakan terhadap para hizbiyyûn bahwa mereka mudah memberi udzur kepada pelaku syirik atau pelaku kekâfiran namun tidak memberi udzur kepada pelaku dosa, itu kita katakan supaya menunjukkan keburukan manhaj mereka, pada perkara yang paling besar semisal syirik dan kekâfiran seakan-akan remeh bagi mereka sementara pada perkara dosa selain syirik dan kekâfiran mereka sangat berlebihan hingga menghajr setiap yang menyelisihi mereka. Apalagi nampak argumen mereka menganggap pelaku syirik besar hanya batal amalan tidak sampai kâfir, ini bentuk dari pemberian udzur mereka kepada pelaku syirk akbar, yaitu mereka tidak mau mengkâfirkannya. Padahal sangat jelas dalîl yang menerangkan bahwa orang-orang yang melakukan syirk akbar maka batallah amalan mereka, sekaligus mereka kâfir:

مَا كَانَ لِلۡمُشۡرِكِینَ أَن یَعۡمُرُوا۟ مَسَـٰجِدَ ٱللَّهِ شَـٰهِدِینَ عَلَىٰۤ أَنفُسِهِم بِٱلۡكُفۡرِۚ أُو۟لَـٰۤىِٕكَ حَبِطَتۡ أَعۡمَـٰلُهُمۡ وَفِی ٱلنَّارِ هُمۡ خَـٰلِدُونَ

"Tidaklah pantas bagi para penganut kesyirikan untuk memakmurkan masjid-masjid Allâh, dalam keadaan mereka menyaksikan diri mereka pada kekâfiran. Mereka itu telah terhapus amal mereka, dan mereka kekal di dalam Neraka." [Surat At-Taubah: 17].
Inilah kebenaran yang datangnya dari Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ, siapa yang melakukan syirk akbar dalam keadaan tidak dipaksa maka tidak ada udzur baginya, kita hukumi dia musyrik. 

Demikian pula para pendosa dari kalangan orang-orang kâfir, kita hukumi mereka sebagai orang-orang mujrim, kita tidak memberi udzur mereka dengan menghukumi mereka sebagai orang-orang Muslim, namun kita tetap hukumi mereka adalah orang-orang mujrim sebagaimana yang telah Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ tegaskan:

أَفَنَجۡعَلُ ٱلۡمُسۡلِمِینَ كَٱلۡمُجۡرِمِینَ

"Apakah kami akan menjadikan orang-orang Muslim seperti orang-orang mujrim." [Surat Al-Qalam: 35].

Demikian pula orang yang melakukan dosa-dosa besar selain syirik maka kita hukumi sesuai dosanya yang nampak, pezina maka kita hukumi sesuai zhahirnya bahwa dia zânî. Kita tidak memberinya udzur, namun tetap kita menghukuminya zânî sebagaimana yang telah Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ hukumi:

ٱلزَّانِی لَا یَنكِحُ إِلَّا زَانِیَةً أَوۡ مُشۡرِكَةࣰ وَٱلزَّانِیَةُ لَا یَنكِحُهَاۤ إِلَّا زَانٍ أَوۡ مُشۡرِكࣱۚ وَحُرِّمَ ذَ ٰ⁠لِكَ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِینَ

"Pezina laki-laki tidak boleh mmenikahinya kecuali pezina perempuan atau musyrikah (pelaku syirik perempuan), pezina perempuan tidak boleh menikahinya kecuali pezina laki-laki atau musyrik (pelaku syirik laki-laki). Dan itu benar-benar diharamkan bagi orang-orang beriman." [Surat An-Nûr: 3].

Demikian pula yang melakukan ma'siat berupa menggambar makhluk bernyawa maka kita hukumi sebagai mushawwir (pembuat gambar makhluk bernyawa) sebagaimana yang telah dihukumi oleh Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam, berkata 'Aun bin Abî Juhaifah dari ayahnya:

لَعَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ 

"Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam mela'nat". Disebutkan di antaranya:

 وَلَعَنَ الْمُصَوِّرِينَ

"Beliau mela'nat para mushawwir (pembuat gambar makhluk bernyawa)." Riwayat Al-Bukhârî. 
Kita menghukuminya mushawwir, dan inilah manhaj Salaf. Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam sebagai Salaf kita telah menghukumi pembuat gambar makhluk bernyawa sebagai mushawwir. Tidak seperti orang-orang yang telah menyamaratakan antara dosa besar ma'siat dengan syirik, hingga di antara mereka menganggap pembuat gambar makhluk bernyawa sebagai pelaku syirik, hampir-hampir dihukumi musyrik, padahal telah jelas dihukumi sebagai mushawwir.

Demikian pula pembuat kerusakan di dalam agama, kita hukumi sebagai mubtadi' atau muhdits sebagaimana yang telah dihukumi oleh Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ آوَى مُحْدِثًا

"Allâh mela'nat orang yang melindungi muhdits (pembuat kerusakan)." Riwayat Muslim.

( Muhammad Al-Khidhir ).



MENDOAKAN KEBERKAHAN BAGI YANG MENGELUARKAN ZAKAT




Pertanyaan:
Maaf saya mau bertanya: Apakah resmi dan sah jika bayar zakat fitrah tidak sesuai urutan anggota keluarga, ayahnya, ibunya lalu adiknya baru kakaknya. Adik kakak ini umurnya sama 15 tahun dan mereka berdua kembar, hanya saja penyebutan namanya waktu bayar zakat fitrah salah, tertukar adiknya dulu baru kakaknya.

Jawaban:
Tidak masalah, tetap resmi dan sah menurut hukum syarî'at. Yang penting nilai zakat yang dikeluarkan sesuai jumlah anggota keluarga. Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam tidak menyebutkan setiap anggota keluarga sesuai urutan, namun beliau hanya menyebutkan keluarga. Beliau doakan secara umum keluarga tanpa menyebutkan satu persatu sesuai urutan anggota keluarga, berkata 'Abdullâh bin Abî Aufâ Radhiyallâhu 'Anhumâ:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَتَاهُ قَوْمٌ بِصَدَقَتِهِمْ قَالَ: اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى آلِ فُلاَنٍ. فَأَتَاهُ أَبِي بِصَدَقَتِهِ، فَقَالَ: اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى آلِ أَبِي أَوْفَى

"Dahulu Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam jika suatu kaum datang ke beliau membawa zakat mereka, beliau mendoakan: "Yâ Allâh berilah keberkahan kepada keluarga Fulân." Lalu ayahku datang ke beliau membawa zakatnya, beliau mendoakan: "Yâ Allâh berilah keberkahan kepada keluarga Abû Aufâ." Riwayat Al-Bukhârî.

( Muhammad Al-Khidhir ).

Senin, 10 April 2023

HUKUM MELIHAT VIDIO SEKS DI SAAT BERPUASA




Pertanyaan:
Kalau misalkan kita berpuasa terus kita terbawa hawa nafsu, lalu kita lihat video sexs, hanya nonton saja. Setelah itu kita sadar lagi puasa, lalu lanjut tidur. Di pertengahan tidur kita mimpi basah. Padahal kita tidak melakukan onani, hanya pikiran saja ke arah sana. Apakah puasa batal?.

Jawaban:
Insyâ Allâh puasamu sah, hanya saja kamu berdosa karena menuruti hawa nafsumu dengan melihat vidio seks yang dengan sebabnya membuatmu sampai mimpi basah, dan perbuatanmu menuruti hawa nafsumu itu akan mengurangi pahala puasamu, berkata Nabî Shallallâhu 'Alaihi was Salâm:

لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الأَكْلِ وَالشَّرَبِ، إِنّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ 

“Bukanlah puasa itu hanya menahan makan dan minum saja namun berpuasa juga dari perkataan sia-sia dan rafats.

'Ulamâ menerangkan:

الرَّفَث اِسْم جَامِع لِكُلِّ مَا يُرِيدهُ الرَّجُل مِنْ الْمَرْأَة

“Rafats adalah nama yang mencakup terhadap setiap apa yang laki-laki menginginkannya dari wanita.”

Tanpa diragukan bahwa melihat vidio seks masuk pada penamaan rafats.

( Muhammad Al-Khidhir ).

HUKUM MEMAKAN HATI HEWAN HALAL YANG DISEMBELIH

Pertanyaan:
'Afwân Ustâdz, ana mau bertanya: Adakah dalîlnya boleh memakan hati ayam, sapi dan hati hewan lainnya? Dan apakah hati bukan termasuk darah?. Jazâkallâhu khairan.

Jawaban:
Hati termasuk darah, hanya saja diperkecualikan oleh dalîl, telah ada dalîl tentang kebolehan memakannya, datang dalam suatu hadîts mauqûf dari 'Abdullâh bin 'Umar Radhiyallâhu 'Anhumâ:

أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ، فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوتُ وَالْجَرَادُ، وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ

“Telah dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah. Adapun dua macam bangkai adalah ikan dan belalang, sedangkan dua macam darah adalah hati dan limpa”.

Walaupun hadîts ini mauqûf akan tetapi hukumnya hukum marfû', karena Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam bersama para Shahabatnya pernah memakan belalang dan bangkai ikan, berkata 'Abdullâh bin Abî Aufâ:

غَزَوْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَبْعَ غَزَوَاتٍ نَأْكُلُ الْجَرَادَ

"Kami berperang bersama Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam tujuh kali peperangan, kami hanya memakan belalang."

Dan pernah 300 orang Mujâhidîn dari kalangan Shahabat mendapati bangkai ikan besar yang dinamai al-'anbar, mereka memakannya lalu sebagiannya mereka bawa ke Madînah, dan Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam berkata:

هُوَ رِزْقٌ أَخْرَجَهُ اللَّهُ لَكُمْ فَهَلْ مَعَكُمْ مِنْ لَحْمِهِ شيء فَتُطْعِمُونَا

"Itu adalah rezki yang Allâh keluarkan untuk kalian, apakah ada bersama kalian sedikit dari sebagian dagingnya supaya kalian memberikan ke kami untuk memakanannya."

Adapun pada hati atau limpa maka telah ada kaidah:

جميع أجزاء المباح المذكى مباحة إلا الدم المسفوح فهو محرم

"Semua bagian-bagian dari hewan yang mubâh yang disembelih adalah halâl kecuali darahnya yang mengalir, maka itu diharamkan."

( Muhammad Al-Khidhir ).