Pertanyaan:
'Afwân Ustâdz izin bertanya:
Bagaimana hukum wanita yang sedang haid berdiam diri di masjid pada 10 malam terakhir di bulan Ramadhân untuk tilâwah dan berdoa juga berdzikir?.
Jawaban:
Tidak ada dalîl yang shahîh lagi sharîh menunjukkan ketidakbolehan bagi wanita hâid untuk berdiam di masjid, terkhusus di 10 malam terakhir pada bulan Ramadhân. Namun lebih baik bagi wanita hâid tetap di rumahnya, ia dapat mencari Lailatul Qadr di rumahnya, ia tidak dapat beribadah kepada Allâh dengan melaksanakan shalat lail karena ia hâid namun ia dapat beribadah kepada Allâh dengan tilâwah, dzikir, doa dan bersedekah. Ia dapat membantu ayahnya, suaminya atau saudara-saudarinya yang beri'tikaf di masjid, menyiapkan kebutuhan makan dan minum serta menyiapkan kebutuhan pakaian dan kerapian sebagaimana yang dicontohkan oleh Ummul Mu'minîn 'Âisyah Radhiyallâhu 'Anhâ saat beliau haid, bahkan sampai pernah beliau menyisir rambut Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam yang sedang beri'tikâf, Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam hanya memiringkan kepala ke luar masjid lalu 'Âisyah menyisirnya dari luar masjid, berkata 'Âisyah Radhiyallâhu 'Anhâ:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصْغِي إِلَيَّ رَأْسَهُ وَهُوَ مُجَاوِرٌ فِي الْمَسْجِدِ فَأُرَجِّلُهُ وَأَنَا حَائِضٌ
“Dahulu Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam menyorongkan kepalanya kepadaku saat beliau i’tikâf di masjid, lalu aku menyisirnya dalam keadaan aku haid.” Muttafaqun 'Alaih.
Diamnya seorang wanita hâid di rumahnya untuk mencari Lailatul Qadr dengan tilâwah, doa dan berdzikir maka tentu itu lebih baik baginya daripada ia berdiam di masjid dalam keadaan ia hâid.
Kita tidak mengetahui ada dari para wanita Salafiyyah di saat haid memilih berdiam di masjid sementara ia memiliki rumah, berbeda dengan wanita yang tidak memiliki rumah sebagaimana pada kisah wanita hitam, ia tinggal di kemahnya sendirian di dalam masjid Nabî Shallallâhu 'Alaih wa Sallam, yang tentu ia akan melewati masa hâid. 'Âisyah menyebutkan tentangnya:
فَكَانَ لَهَا خِبَاءٌ فِي الْمَسْجِدِ أَوْ حِفْشٌ
"Keberadaan wanita itu memiliki kemah atau tenda di dalam masjid."
'Âisyah menyebutkan pula tentangnya:
فَكَانَتْ تَأْتِينِي فَتَحَدَّثُ عِنْدِي
"Beliau biasa datang kepadaku lalu berbincang-bincang di sisiku." Riwayat Al-Bukhârî.
Pada hadîts ini, menunjukkan kebolehan bagi wanita berdiam diri di masjid jika aman dari fitnah, demikian pula tidur di dalamnya, oleh karena itu Al-Bukhârî berdalîl dengannya setelah membuat bâb khusus:
باب نَوْمِ الْمَرْأَةِ فِي الْمَسْجِدِ
"Bâb tidurnya wanita di dalam masjid."
Adapun diamnya wanita suci di masjid untuk mencari Lailatul Qadr maka ini boleh jika aman dari fitnah, dan para wanita Salafiyyah telah melakukannya, berkata 'Âisyah Radhiyallâhu 'Anhâ:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
"Sungguh Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam dahulu beri'tikâf di 10 malam terakhir pada bulan Ramadhân, sampai Allâh mewafatkannya. Kemudian para isterinya beri'tikâf setelah wafatnya."
Tatkala wanita yang beri'tikâf belum selesai i'tikâfnya lalu hâid maka lebih baik baginya untuk kembali ke rumahnya, daripada ia tetap di tempat i'tikâfnya. Dan telah ada suatu riwayat dari Imâm Daril Hijrah Rahimahullâh, beliau berkata tentang wanita:
إِذَا اعْتَكَفَتْ، ثُمَّ حَاضَتْ فِي اعْتِكَافِهَا أنَّهَا تَرْجِعُ إِلَى بَيْتِهَا
"Jika ia beri'tikâf kemudian ia hâid di dalam i'tikâfnya maka ia kembali ke rumahnya."
Dan Al-Imâm Ibnu Qudâmah Rahimahullâh berkata:
وإن كانت له رحبة خارجة من المسجد يمكن أن تضرب أي الحائض المعتكفة فيها خباءها
"Jika ada halaman di luar masjid lalu memungkinkan untuk dibuatkan kemah yaitu untuk wanita hâid beri'tikâf di dalamnya (semasa hâidnya)."
( Muhammad Al-Khidhir ).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar