Halaman

Jumat, 15 Mei 2020

ONANI TIDAK MEMBATALKAN PUASA AKAN TETAPI ORANG YANG MELAKUKANNYA BERDOSA


PENDAHULUAN 

بِسمِ اللّٰهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
الحَمْدُ لِلّٰهِ، أَحْمَدُهُ، وَأَسْتَعِيْنُهُ، وَأَسْتَغْفِرُهُ، وَأَشْهَدُ أنْ لَا إلَهَ إِلَّا اللّٰهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، أَمَّا بَعْدُ

Pembahasan ini kami beri judul “Onani tidak Membatalkan Puasa Akan Tetapi Orang yang Melakukannya Berdosa."

Pada asalnya pembahasan ini hanya berkaitan dengan pertanyaan tentang onani, apakah termasuk sebagai pembatal-pembatal puasa ataukah tidak? Dan jawabannya telah kami simpulkan pada judul pembahasan, kemudian setelah kami pertimbangkan maka kami putuskan untuk menjelaskan tentang permasalahan onani secara umum walaupun dengan pembahasan yang singkat seperti ini, Insyâ Allâh lebih bermanfaat untuk umat, sungguh teringat dengan perkataan Abul 'Abbâs Harmîn Rahimahullâh ketika memberikan nasehat: “Paling mulianya orang di zaman ini adalah yang paling memberi manfaat kepada orang lain.”

Kami berharap kepada Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ untuk menjadikan tulisan yang ringkas dan sederhana ini bermanfaat untuk kami, kedua orang tua kami, saudara-saudari kami, dan umat pada umumnya serta generasi muda kaum Muslimîn pada khususnya.

وَصَلَّى اللّٰهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ

Ditulis oleh:
Muhammad Al-Khidhir Saddadahullâh wa Jammalah pada hari Selasa Dhuhâ tanggal 17 Rajab 1434 Hijriyyah Di Dârul Hadîts Dammâj Yaman

PENGERTIAN ISTIMNÂ’ (ONANI)

Onani merupakan suatu perbuatan yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap kemaluannya dengan tujuan untuk mencari kelezatan syahwat, yaitu mengeluarkan mani (sperma) dengan cara-cara yang tidak syar'î, baik mengeluarkannya dengan tangannya langsung atau dengan alat-alat tertentu.

HUKUM ONANI 

Onani termasuk salah satu perbuatan yang tercela, sama saja melakukannya di tempat-tempat yang sunyi (bersendirian) atau di tempat-tempat keramayan.

Dalîl tentang diharâmkannya adalah perkataan Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ:

وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ * إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ * فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ

“Orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau hamba sahaya (wanita) yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka pada demikian itu tidaklah tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas”. (Al-Mu’minûn: 5-7).

Berkata Asy-Syâfi'î Rahimahullâh di dalam “Al-Umm” (5/94):

فَلَا يَحِلُّ الْعَمَلُ بِالذَّكَرِ إلَّا في الزَّوْجَةِ أو في مِلْكِ الْيَمِينِ وَلَا يَحِلُّ الِاسْتِمْنَاءُ، وَاَللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ

“Tidaklah boleh memperlakukan kemaluan kecuali kepada isteri atau kepada hamba sahaya (wanita), dan tidak dibolehkan melakukan onani, Wallâhu Ta'âlâ A’lam (Allâh Ta’âlâ yang lebih Mengetahui).   

Abul 'Abbâs Ahmad Al-Harrânî Rahimahullâh Ta’âlâ ditanya tentang onani, apakah harâm ataukah tidak? maka beliau menjawab:

أَمَّا الِاسْتِمْنَاء بِالْيَدِ فَهُوَ حَرَامٌ عِنْدَ جُمْهُورِ الْعُلَمَاءِ وَهُوَ أَصَحُّ الْقَوْلَيْنِ فِي مَذْهَبِ أَحْمَد وَكَذَلِكَ يُعَزَّرُ مَنْ فَعَلَهُ

“Adapun onani dengan menggunakan tangan maka dia adalah harâm menurut kebanyakan ‘ulamâ, pendapat ini yang paling shahîhnya dari dua pendapat di dalam mazhab Ahmad, demikian pula dita'zîr orang yang melakukannya.”
Beliau katakan:

وَفِي الْقَوْلِ الْآخَرِ هُوَ مَكْرُوهٌ غَيْرُ مُحَرَّمٍ وَأَكْثَرُهُمْ لَا يُبِيحُونَهُ لِخَوْفِ الْعَنَتِ وَلَا غَيْرِهِ وَنُقِلَ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ أَنَّهُمْ رَخَّصُوا فِيهِ لِلضَّرُورَةِ، مِثْلَ أَنْ يَخْشَى الزِّنَا فَلَا يُعْصَمُ مِنْهُ إلَّا بِهِ وَمِثْلَ أَنْ يَخَافَ إنْ لَمْ يَفْعَلْهُ أَنْ يَمْرَضَ وَهَذَا قَوْلُ أَحْمَدَ وَغَيْرِهِ

“Pada pendapat yang lain onani dimakrûhkan (dibenci), tidak harâm, dan kebanyakan mereka tidak membolehkannya karena khawatir memadaratkan dan tidak selainnya, dan dinukil dari sekelompok dari para shahabat dan para tabi'în bahwasanya mereka memberi rukhsah (keringanan) karena darurat seperti khawatir berzinâ, tidak akan menjaga dari zinâ melainkan dengan onani, seperti khawatir kalau tidak melakukannya akan sakit, ini adalah perkataan Ahmad dan yang selainnya."
Beliau katakan pula:

وَأَمَّا بِدُونِ الضَّرُورَةِ فَمَا عَلِمْتُ أَحَدًا رَخَّصَ فِيهِ، وَاَللَّهُ أَعْلَمُ

“Adapun kalau tanpa adanya darurat maka aku tidak mengetahui ada seseorang (dari 'ulamâ) memberikan rukhsah padanya, Wallâhu A’lam (Allâh yang lebih tahu). (Majmû'l Fatâwâ’: 34/229).

HUKUMAN BAGI YANG MELAKUKAN ONANI 

Sudah lewat penyebutan perkataan Abul 'Abbâs Al-Harrânî Rahimahullâh tentang hukuman bagi yang melakukannya yaitu di-ta'zîr:

وَكَذَلِكَ يُعَزَّرُ مَنْ فَعَلَهُ

“Demikian itu dita'zîr orang yang melakukannya.”

Ta'zîr bentuknya secara umum disesuaikan dengan kemaslahatan dan berdasarkan keputusan waliul amr sebagaimana disebutkan oleh Abul 'Abbâs Al-Harrânî dan muridnya Ibnul Qayyim Rahimahumallâh. 

PERBUATAN ONANI TERMASUK AIB 

Bila seseorang melakukan onani kemudian dia menceritakannya kepada temannya karena kebodohannya kemudian dia bertaubat, maka temannya tersebut tidak diperbolehkan untuk mengungkit-ngungkit perbuatannya tersebut setelah taubatnya, jika temannya tetap menceritakannya maka dia telah menzhaliminya dan masuk dalam kategori membuka aibnya, berkata Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam:

مَنْ تَتَبَّعَ عَوْرَةَ أَخِيهِ المُسْلِمِ تَتَبَّعَ اللَّهُ عَوْرَتَهُ

“Barangsiapa mencari-cari (membongkar) aib saudaranya seorang muslim maka Allâh akan membongkar aibnya”. Diriwayatkan oleh At-Tirmidzî dari Nâfi' dari 'Abdullâh bin 'Umar Radhiyallâhu 'Anhumâ.

Begitu pula kalau seseorang melakukan onani di tempat-tempat yang sunyi kemudian ada orang lain secara kebetulan mendapatinya sedang melakukan perbuatan tersebut maka orang yang mendapatinya dibolehkan untuk melaporkannya kepada orang tuanya, jika dia berada di lingkungan orang tuanya, atau melaporkannya kepada ustâdznya jika dia berada di pondok pesantren, sehingga perkaranya kembali kepada ustâdz pemilik pondok pesantren tersebut, dan tidak diperbolehkan kemudian ustâdz atau orang yang mendapatinya membeberkan atau menceritakannya kepada orang lain karena akan menzhaliminya dengan membongkar aibnya, dari Mu'âwiyah Radhiyallâhu 'Anhu, beliau berkata: Aku mendengar Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam berkata:

إِنَّكَ إِنِ اتَّبَعْتَ عَوْرَاتِ النَّاسِ أَفْسَدْتَهُمْ أَوْ كِدْتَ أَنْ تُفْسِدَهُمْ

“Sesungguhnya kamu jika mencari-cari aib manusia maka kamu telah merusak mereka atau barangkali kamu akan membinasakan mereka.” Diriwayatkan oleh Abû Dâwud dan Ath-Thabrânî.

Berkata Abud Dardâ' Radhiyallâhu 'Anhu:

كَلِمَةٌ سَمِعَهَا مُعَاوِيَةُ مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، نَفَعَهُ اللّٰهُ بِهَا

“Ini adalah kalimat yang Mu'âwiyah mendengarkannya dari Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam, Allâh telah memberikannya manfaat dengannya.”

HUKUM ORANG YANG BERPUASA MELAKUKAN ONANI 

Permasalahan ini ada dua pendapat di kalangan 'ulamâ:

1) Pendapat Jumhûr (kebanyakan 'ulamâ), mereka berpendapat bahwasanya onani membatalkan puasa, mereka berdalîl dengan hadîts qudsî, berkata Allâh Tabâraka wa Ta'âlâ:

يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَأَكْلَهُ وَشُرْبَهُ مِنْ أَجْلِى

“Orang yang berpuasa meninggalkan syahwatnya, makanannya dan minumannya karena-Ku.”

2) Pendapat Ibnu Hazm, Ash-Shan'ânî, Al-Albânî dan yang lainnya, mereka berpendapat bahwasanya onani tidak membatalkan puasa, karena tidak adanya nash sharîh (dalîl yang jelas dari Al-Qur'ãn dan As-Sunnah) yang menerangkan tentang batalnya puasa, dan ini adalah pendapat yang paling shahîh (benar).

Adapun pendapat yang mengatakan batalnya puasa dengan berdalîl hadîts Qudsî:

يَدَعُ شَهْوَتَهُ

“Orang yang puasa meninggalkan syahwatnya”, maka ini adalah lafazh yang umum, bisa mencakup jimâ' (hubungan kelamin) dan bisa pula mencakup istimnâ' (onani), karena keumumannya maka kita katakan pula bahwasanya bisa pula mencakup kecintaan terhadap dunia, karena kecintaan terhadap dunia termasuk pula dari syahwât, sebagaimana yang Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ sebutkan di dalam Al-Qur'ãn:

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang, itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allâh-lah tempat kembali yang baik (Surga).” (Ãli 'Imrân: 14). 
Apakah orang yang berpuasa ketika sibuk dengan urusan dunia karena mengikuti syahwâtnya mencintai dunia, dia bekerja dan yang semisalnya maka apakah kecintaannya terhadap dunia itu membatalkan puasa? Atau apakah ketika orang yang berpuasa memiliki syahwât lalu mencium isterinya maka ini membatalkan puasa? Tentu jawabannya adalah tidak, Asy-Syaikhân meriwayatkan dari hadîts 'Âisyah Radhiyallâhu 'Anhâ, beliau berkata:

كَانَ النَّبِىُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُ وَهُوَ صَائِمٌ

“Dahulu Nabî Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam mencium (isterinya) dalam keadaan beliau puasa.”
Adapun perkataannya:

يَدَعُ شَهْوَتَهُ

“Meninggalkan syahwatnya” maka ini adalah lafazh yang khusus, diinginkan dengannya jimâ' (hubungan kelamin), dan ini adalah pendapat yang paling shahîh (benar), dengan dalîl hadîts 'Âisyah dan Abû Hurairah Radhiyallâhu 'Anhumâ, mereka berdua berkata:

قَالَ رَجُلٌ: وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِي، وَأَنَا صَائِمٌ وَفِي رِوَايَةٍ: أَصَبْتُ أَهْلِي فِي رَمَضَانَ، أَي جَامَعْتُهَا

“Seseorang berkata: “Aku telah menjimâ'i isteriku, dalam keadaan aku berpuasa”, dalam suatu riwayat: “Aku menumpangi isteriku pada siang hari Ramadhân”, yaitu menjimâ'inya.

AKIBAT ATAU EFEK DARI MELAKUKAN ONANI 

Sebagaimana telah lewat penjelasannya bahwa onani adalah harâm, ini adalah pendapat yang paling benar, karena harâm maka telah kita ketahui bersama bahwasanya setiap yang Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ harâmkan tentu memberikan madarat bagi yang melakukannya.

DI ANTARA MADARAT ONANI TERHADAP JASMANI DAN ROHANI

1) Menyebabkan sakit pinggang dan pegal-pegal.

2) Tidak teraturnya proses buang air kecil (kencing).

3) Melemahkan urat-urat yang berada di sekitar penis hingga tertekan pada biji kemaluan.

4) Melatih penis dengan kekerasan sehingga ketika sudah melakukan jimâ’ dengan isterinya tidak merasa puas.

5) Menyebabkan mata kabur (mengurangi daya penglihatan).

6) Merusak hafalan (daya ingatan).

7) Menyebabkan rasa bosan dan malas, lebih-lebih dalam usaha mencari jodoh.

8) Menghambur-hamburkan air mani.

9) Mengakibatkan badan mengering hingga mengantarkan kepada kurusnya badan.

CARA-CARA SUPAYA TIDAK MELAKUKAN ONANI 

1) Memperbanyak berdoa dan berlindung kepada Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ dari berbuat onani, Ashhâbus Sunan kecuali Ibnu Mâjah telah meriwayatkan dari hadîts Syutair bin Syakl bin Humaid, dari ayahnya, beliau berkata: Aku berkata:

يَا رَسُولَ اللهِ، عَلِّمْنِي دُعَاءً أَنْتَفِعُ بِهِ قَالَ: قُلِ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ سَمْعِي، وَمِنْ شَرِّ بَصَرِي، وَمِنْ شَرِّ لِسَانِي، وَمِنْ شَرِّ قَلْبِي، وَمِنْ شَرِّ مَنِيِّي، يَعْنِي ذَكَرَهُ

“Wahai Rasûlullâh, ajarkanlah kepadaku suatu doa yang memberikan manfaat kepadaku dengan doa tersebut, beliau berkata: “Ucapkanlah: Yâ Allâh sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kejelakan pendengaranku, dari kejelekan penglihatanku, dari kejelekan lisanku, dari kejelekan hatiku dan dari kejelekan maniku” ya’nî kemaluannya.

2) Menyibukkan diri dengan menuntut ilmu, ber'ibâdah dan beramal shâlih.

3) Tidak berbaring ke tempat tidur melainkan sudah sangat ngantuk sehingga langsung tertidur.

4) Tidak membiasakan berdiam di dalam kamar secara terus menerus namun hendaknya dia memperbanyak duduk di masjid atau di maktabah jika dia di pondok pesantren atau menyibukkan diri dengan ketaatan, 'ibâdah, membaca, membahas dan menulis.

5) Menjauhi pergaulan bebas.

6) Menundukkan pandangan, berkata Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ:

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allâh adalah Al-Khabîr (Maha Mengetahui) terhadap apa yang mereka perbuat”. (An-Nûr: 30).

7) Tidak berlama-lama ketika di dalam WC.

8) Tidak menyentuh-nyentuh kemaluan kecuali memang membutuhkan untuk menyentuhnya, seperti bersuci setelah buang air kencing atau buang air besar, mandi, jenabah atau mencukur bulu-bulunya.

9) Malu kepada Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ, dan yakin bahwasanya Dia selalu mengawasianya:

وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

“Bertaqwalah kalian kepada Allâh serta ketahuilah bahwasanya Allâh terhadap segala sesuatu adalah Al-'Alîm (Maha Mengetahui)”. (Al-Baqarah: 231).

10) Menikah.

11) Banyak puasa sunnah, berkata Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

مَنِ اسْتَطَاعَ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

“Barangsiapa yang sudah memiliki kemampuan maka hendaknya dia menikah, karena menilah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga terhadap kemaluan, dan barangsiapa yang tidak mampu maka hendaklah dia berpuasa, karena sesungguhnya puasa baginya adalah tameng (benteng)." Diriwayatkan oleh Asy-Syaikhân dari hadîts 'Abdillâh bin Mas'ûd Radhiyallâhu 'Anhu.

وَبِاللّٰهِ التَّوفِيقُ، وَصَلَّى اللّٰهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ، سُبْحَانَكَ اللّٰهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيكَ


Tidak ada komentar:

Posting Komentar