Halaman

Sabtu, 04 April 2020

PUTERI DUYUNG DALAM KAJIAN


Sebagian orang mempertanyakan tentang keberadaan Puteri Duyung, benarkah adanya?

Kejadian tentang puteri Duyung sudah pernah diceritakan oleh Úlamâ terdahulu sebagaimana di dalam "Hayâtul Hayawânil Kubrâ", diterangkan oleh Ibnu Abil Asy-Asy'ats tentang Banâtul Mâ' yang kita sebut dengan Puteri-puteri Air atau di negeri kita disebut dengan Puteri Duyung, beliau katakan:

هِيَ سَمَكٌ بِبَحْرِ الرُّوْمِ، شَبِيْهَةٌ بِالنِّسَاءِ ذَوَاتِ شَعْرٍ سَبْطٍ، أَلْوَانِهِنَّ إِلَى السُّمْرَةِ، ذَوَاتِ فُرُوْجٍ عِظَامٍ وَثَدْيٍ، وَكَلَامٍ لَا يَكَادُ يُفْهَمُ، وَيَضْحَكْنَ وَيُقَهْقِهْنَ، وَرُبَّمَا وَقَعْنَ فِي أَيْدِي بَعْضِ أَهْلِ الْمَرَاكِبِ، فَيَنْكِحُوْنَهُنَّ ثُمَّ يُعِيْدُوْنَهُنَّ إِلَى الْبَحْرِ

"Puteri Duyung itu adalah ikan di laut Romawi, ia serupa dengan para wanita yang memiliki rambut lurus, yang warna mereka di antara putih dan hitam, memiliki kemaluan dan payudara. Bisa berbicara namun tidak dapat dipahami, mereka tertawa dan mereka terbahak-bahak. Terkadang mereka tertangkap oleh sebagian para nelayan lalu para nelayan menikahi mereka, kemudian para nelayan mengembalikan mereka ke laut."
Dikisahkan dari Ar-Rayyânî Asy-Syâfi'î Rahimahullâh:

 كَانَ إِذَا أَتَاهُ صَيَّادٌ بِسَمَكَةٍ عَلَى هَيْئَةِ الْمَرْأَةِ، حَلَّفَهُ أَنَّهُ لَمْ يَطَأْهَا

"Dahulu jika nelayan datang kepada beliau dengan membawa seekor ikan berbentuk wanita maka beliau meminta sumpahnya bahwasanya dia belum menyetubuhinya."

HUKUM MEMAKAN PUTERI DUYUNG

Pada hadîts yang kita kaji ini yaitu hadîts Abû Hurairah Radhiyallâhu 'Anhu yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Ashhâbus Sunan:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فِي الْبَحْرِ: هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ، الْحِلُّ مَيْتَتُهُ

"Bahwasanya Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam berkata tentang air laut: "Itu suci airnya dan halâl bangkainya."

Dengan berdalîl hadîts ini para Ulamâ menetapkan bahwa binatang apa saja yang hidupnya di laut maka halâl untuk dimakan, baik itu yang dinamai anjing laut, babi laut dan sebagainya, bahkan di antara Ulamâ memfatwakan tentang halâlnya binatang yang serupa dengan manusia yang hidupnya di laut, yang orang-orang di negeri kita menyebutnya dengan Puteri Duyung, dahulu ketika kami masih di Dârul Hadîts Dammâj di Yaman kami pernah menyebutkan kepada sebagian masyâyikh tentang Puteri Duyung ini, mereka kaget ketika mendengarkannya, kesimpulan dari jawaban mereka sama yaitu:

كُلُّ صَيْدِ الْبَحْرِ يُؤْكَلُ وَلَو كَانَ عَلَى شَكْلِ رَجُلٍ أَوْ شَكْلِ امْرَأَةٍ

"Setiap binatang laut dimakan, walaupun keberadaannya berbentuk seorang laki-laki atau berbentuk seorang perempuan."

Mereka yang membolehkan memakannya, dalîl mereka adalah hadîts yang kita kaji ini. 

Kami menganggap bahwa binatang laut yang serupa dengan manusia ini yang ciri-cirinya seperti yang telah kita sebutkan tidak boleh untuk dimakan, dengan beberapa alasan:

Pertama: Karena binatang laut yang serupa dengan manusia tersebut termasuk dari perkara-perkara syubhat yang Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam telah katakan:

إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ

"Sesungguhnya yang halâl adalah jelas dan sesungguhnya yang harâm adalah jelas, di antara keduanya ada berbagai syubhat yang kebanyakan dari manusia tidak mengetahuinya, barangsiapa menjauhi berbagai syubhat maka dia telah melakukan penjagaan terhadap agamanya dan kehormatannya, barangsiapa terjatuh ke dalam berbagai syubhat maka dia tertajuh ke dalam keharâman." Riwayat Al-Bukhârî dan Muslim dari An-Nu'mân bin Basyîr Radhiyallâhu 'Anhumâ. 

Kedua: Karena binatang laut yang serupa dengan manusia tersebut bisa jadi itu adalah jin, sebab bisa berubah dari bentuk ikan ke bentuk yang lain sebagaimana yang kami kisahkan, di dalam beberapa dalîl diterangkan bahwasanya jin dengan izin Allâh bisa merubah bentuk menjadi manusia dan atau binatang, dan berubahnya jin menjadi manusia atau binatang terkadang bisa ditangkap oleh manusia sebagaimana pada hadîts Abû Hurairah Radhiyallâhu 'Anhu pada riwayat Al-Bukhârî dan juga kisah seorang Shahabat yang bertikai dengan ular ternyata itu adalah jin sebagaimana disebutkan di dalam riwayat Muslim.

Ketiga: Binatang laut yang serupa dengan manusia tersebut belum kita dapati di zaman ini, kalaulah keberadaannya seperti anjing laut maka pasti akan dipelihara atau akan dijumpai di laut oleh sebagian nelayan namun kenyataannya di zaman kita ini belum ada yang memeliharanya atau menjumpainya.
Kalau misal didapati oleh manusia atau sempat ditangkap maka kita katakan tidak boleh untuk dimakan, karena bisa jadi itu adalah jin, yang tentunya kita tidak dibolehkan memakan bangkai jin sebagaimana tidak bolehnya memakan bangkai manusia yang Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ telah katakan:

أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ

"Apakah suka di antara kalian untuk memakan daging saudaranya yang sudah menjadi bangkai? Pasti kalian akan benci untuk memakannya." [Surat Al-Hujurât: 12]. 

Di dalam kitâb Hayâtul Hayawân disebutkan pula bahwasanya tidak hanya Banâtul Mâ'i akan tetapi ada pula Insânul Bahri yaitu manusia laut, disebutkan di dalam kitâb tersebut:

إِنْسَانُ الْمَاءِ يُشْبِهُ الإِنْسَانَ، إِلَّا أَنَّ لَهُ ذَنَبًا

"Manusia laut itu serupa dengan manusia, hanya saja dia memiliki ekor."
Manusia laut jenis ini yang disebut di negeri kita dengan Puteri Duyung.

Bisa jadi ini merupakan hasil perkawinan antara manusia dengan Insânul Bahri, karena telah kita sebutkan dari keterangan Úlamâ terdahulu:

وَرُبَّمَا وَقَعْنَ فِي أَيْدِي بَعْضِ أَهْلِ الْمَرَاكِبِ، فَيَنْكِحُوْنَهُنَّ ثُمَّ يُعِيْدُوْنَهُنَّ إِلَى الْبَحْرِ

"Terkadang Puteri-puteri Laut itu tertangkap oleh sebagian para nelayan lalu para nelayan menikahi mereka, kemudian para nelayan mengembalikan mereka ke laut."

Perkawinan antara dua jenis makhluk yang keduanya memiliki kemiripan bisa memungkinkan memiliki keturunan sebagaimana perkawinan antara kuda dan keledai yang melahirkan bighâl, Wallâhu A'lam wa Ahkam.

HUKUM MENIKAHI PUTERI DUYUNG

Adapun menetapkan hukum menikahi Puteri-puteri Laut maka perlu melihat keberadaan mereka, dari kalangan manakah mereka? 

Dari penjelasan yang telah kami paparkan sebelumnya menunjukkan kepada kita bahwa Puteri-puteri Laut itu bisa jadi dari kalangan hewan laut dan bisa jadi pula dari kalangan jin.

Yang berpendapat bahwa Puteri-puteri Laut itu termasuk dari kalangan hewan laut maka tentu tidak boleh menikahinya, berkata Az-Zurqânî Al-Mâlikî Rahimahullâh:

آدَمِيَّةُ الْبَحْرِ مِنْ جُمْلَةِ الْبَهَائِمِ لَا يَصِحُّ تَزْوِجُهَا، وَفِي وَطْئِهَا الْأَدَبُ، وَتَكُوْنُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ تُرَابًا كَغَيْرِهَا مِنَ الْبَهَائِمِ

“Puteri-puteri laut termasuk dari kalangan hewan maka tidak boleh menikahinya, dan ada hukuman bagi yang menyetubuhinya. Puteri-puteri Laut pada hari kiamat akan menjadi debu sebagaimana yang lainnya dari kalangan hewan-hewan.”

Orang yang menikahinya sama dengan menikahi hewan, hukuman bagi yang melakukannya adalah dita'zhîr.
Hikmah dari diharâmkannya menikahi hewan yang serupa dengan manusia supaya tidak dikatakan ada manusia anaknya hewan, Al-Mubârakfûrî Rahimahullâh berkata tentang diharâmkannya menyetubuhi hewan:

لِئَلَّا يَتَوَلَّدَ مِنْهَا حَيَوَانٌ عَلَى صُورَةِ إِنْسَانٍ

"Supaya tidak lahir darinya hewan-hewan di atas bentuk manusia."

Adapun yang berpendapat bahwa Puteri-puteri Laut itu bisa jadi dari kalangan jin, maka hukum menikahinya sama dengan hukum menikahi jin, dan para 'Ulamâ berbeda pendapat dalam masalah ini, masing-masing mereka memiliki hujjah. Pendapat yang paling baiknya adalah hendaklah manusia menikah dengan sesama manusia, karena Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ telah katakan:

وَاللّٰهُ جَعَلَ لَـكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا وَّجَعَلَ لَـكُمْ مِّنْ اَزْوَاجِكُمْ بَنِيْنَ وَحَفَدَةً

"Allâh menjadikan bagi kalian isteri-isteri dari jenis kalian dan menjadikan anak-anak dan cucu-cucu bagi kalian." (Surat An-Nahl: 72).
Ini yang dicontohkan oleh para Nabî dan Rasûl, Ayah kita Ãdam 'Alaihish Shalâtu was Salâm sebelum diciptakan, itu sudah ada Iblîs dan sebangsanya dari kalangan jin, namun Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ menentukan pasangan untuk Ayah kita Ãdam dengan Ibu kita Hawâ 'Alaihimash Shalâtu was Salâm, hikmahnya telah Allâh 'Azza wa Jalla terangkan:

وَمِنْ اٰيٰتِهٖۤ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْۤا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً ۗ  اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ

"Termasuk dari tanda-tanda kekuasaan-Nya yaitu Dia menciptakan isteri-isteri untuk kalian dari jenis kalian supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya, Dia menjadikan di antara kalian rasa kasih dan sayang. Sungguh pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allâh bagi kaum yang berpikir." (Surat Ar-Rûm: 21).

Disadur dari kajian kitâb Bulûghul Marâm, hadîts no. 1, yang disampaikan oleh Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada hari Ahad tanggal 7 Muharram 1440 di Maktabah Al-Khidhir Bekasi



Tidak ada komentar:

Posting Komentar