📝 Pertanyaan:
Ustâdz pada kajian "Fathul Majîd" di Depok tadi, bisakah Ustâdz menjelaskan fâidah keempat?
📜 Jawaban:
Di dalam "Al-Fawâid min Fathil Majîd Syarh Kitâbit Tauhîd" pada catatan kaki yang keempat, kami sebutkan:
وَقَتَادَةُ هُوَ ابْنُ دِعَامَةَ السَّدُوْسِيُّ يُكْنَى أَبَا الْخَطَّابِ بَصْرِيٌّ تَابِعِيٌّ ثِقَةٌ، وَكَانَ ضَرِيْرَ الْبَصَرِ، وَكَانَ يَتَّهِمُ بِقَدَرٍ، وَكَانَ لَا يَدْعُو إِلَيْهِ وَلاَ يَتَكَلَّمُ إِلَيْهِ
"Dan Qatâdah beliau adalah Ibnu Di'âmah As-Sadûsî, beliau berkunyah dengan Abul Khaththâb, beliau adalah orang Basrah, seorang tabi'în yang terpercaya. Keberadaan beliau adalah buta pada penglihatannya dan beliau tertuduh sebagai pengingkar takdir, padahal beliau tidak menyeru kepada pengingkaran terhadap takdir dan tidak pula berbicara tentang takdir".
Adapun fâidah yang bisa kita petik dari catatan kaki tersebut, diantaranya adalah:
🔸 Perlunya memperjelas nama lengkap seseorang sehingga dapat terbedakan antara dia dengan yang lainnya.
🔹 Termasuk dari keindahan pada suatu nama bila nama anak dengan nama ayahnya memiliki kesamaan pada huruf akhir dari nama keduanya seperti pada nama Qatâdah bin Di'âmah, huruf akhir dari nama keduanya adalah sama, atau juga termasuk dari keindahan pada nama ketika huruf awal dari nama anak dan nama ayahnya adalah sama sebagaimana nama guru Al-Imâm Al-Bukhârî yaitu Musaddad bin Musarhad bin Musarbal bin Mugharbal bin Mutharbal.
🔸 Perlunya menyebutkan nisbat, baik nisbat itu pada negeri atau pada agama, misalkan kita orang Indonesia berasal dari Jawa, dan kita termasuk dari Ahlussunnah maka kita tuliskan nisbat di akhir nama kita dengan Al-Andûnîsî Al-Jâwî As-Sunnî.
🔹 Disunnahkannya menggunakan kunyah, yaitu suatu nama yang diawali dengan Abû untuk laki-laki dan Ummu untuk prempuan, dan ini berlaku untuk semua, baik yang sudah menikah atau pun yang belum menikah, yang punya anak atau pun yang tidak punya anak, yang muda atau pun yang tua, bahkan seorang anak kecil sekali pun, Anas Radhiyallâhu 'Anhu pernah menceritakan tentang adik tirinya yang masih kecil, beliau berkata:
ﻛَﺎﻥَ ﺑَﻨِﻲٌّ ﻷَﺑِﻲْ ﻃَﻠْﺤَﺔَ ﻳُﻜْﻨَﻰ ﺃَﺑَﺎ ﻋُﻤَﻴْﺮٍ ﻭَﻛَﺎﻥَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ﺇِﺫَﺍ ﺟَﺎﺀَ ﺇِﻟَﻰ ﺃُﻡِّ ﺳُﻠَﻴْﻢٍ ﻣَﺎﺯَﺣَﻪُ ﻓَﺪَﺧَﻞَ ﻓَﺮَﺁﻩُ ﺣَﺰِﻳْﻨًﺎ ﻓَﻘَﺎﻝَ: ﻣَﺎ ﺑَﺎﻝُ ﺃَﺑِﻲْ ﻋُﻤَﻴْﺮٍ ﺣَﺰِﻳْﻨًﺎ؟ ﻓَﻘَﺎﻟُﻮْﺍ: ﻣَﺎﺕَ ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮْﻝَ ﺍﻟﻠّٰﻪِ ﻧُﻐَﻴْﺮُﻩُ ﺍﻟَّﺬِﻱْ ﻛَﺎﻥَ ﻳَﻠْﻌَﺐُ ﺑِﻪِ ﻓَﺠَﻌَﻞَ ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﻟﻠّٰﻪِ ﻳَﻘُﻮْﻝُ: ﺃَﺑَﺎ ﻋُﻤَﻴْﺮٍ ﻣَﺎ ﻓَﻌَﻞَ ﺍﻟﻨُّﻐَﻴْﺮُ؟
"Ada seorang anak miliknya Abû Thalhah, yang dia berkunyah Abû 'Umair. Jika Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam datang kepada Ummu Sulaim maka beliau mencandai Abû 'Umair, suatu ketika beliau masuk melihatnya dalam keadaan sedih, maka beliau berkata: "Mengapa Abû 'Umair sedih?" Mereka menjawab: Telah mati burung kecilnya wahai Rasûlullâh, yang dia bermain-main dengannya, kemudian Rasûlullâh berkata:
"Wahai Abû 'Umair, apa yang sedang diperbuat oleh Nughair?!".
🔸 Perlunya memperjelas perihal dan keadaan diri seseorang, misalnya dia adalah orang Bekasi, orang yang mengikuti sunnah, dia terpercaya dan dia jujur. Boleh pula memperjelas keadaan fisiknya misalnya dia buta, tuli atau pendek, selama penyebutan keadaan fisik ini hanya bertujuan untuk memperjelas tentang keadaannya bukan untuk menghina maka hukumnya adalah boleh.
🔹 Sudah menjadi suatu ketetapan bahwa orang yang berada di atas kebaikan pasti akan dituduh dengan suatu tuduhan, Qatâdah bin Di'âmah Rahimahullâh tertuduh dengan suatu tuduhan, bukan hanya beliau yang tertuduh seperti itu namun orang paling terbaik dari beliau yaitu seorang Rasûl juga pernah dituduh oleh orang-orang kâfir dengan suatu tuduhan:
وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُوٓا۟ ءَالِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَّجْنُونٍۭ
"Mereka berkata: “Apakah kami harus meninggalkan sesembahan kami karena penyair yang gila?!”. [As-Saffât: 36].
Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh di Bekasi pada tanggal 15 Syawwâl 1438.
🌎 http://t.me/majaalisalkhidhir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar