Halaman

Jumat, 31 Januari 2020

IMÂM DIIKUTI HANYA PADA YANG MA'RÚF


📱 Pertanyaan:
Ustâdz, mengikuti imâm di dalam shalat apakah semua yang dilakukan oleh imâm di dalam shalat harus diikuti? Karena Asy-Syaikh Al-Albânî katanya pernah shalat di belakang Al-Imâm Ibnu Bâzz, lalu beliau mengikutinya bersedekap setelah bangkit dari rukû', padahal Asy-Syaikh Al-Albânî menganggap itu bid'ah tapi beliau ikuti?

📲 Jawaban:
Kewajiban mengikuti imâm di dalam shalat itu khusus pada perkara yang merupakan kewajiban dan rukûn shalat, berkata Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ

"Hanyalah dijadikan imâm itu untuk diikuti."
Di sini disebutkan secara umum dalam pengikutan kepadanya, namun pada kelanjutan hadîts diperinci:

 فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا، وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا، وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا، وَإِنْ صَلَّى قَائِمًا فَصَلُّوا قِيَامًا، وَإِذَا صَلَّى قَاعِدًا فَصَلُّوا قُعُودًا أَجْمَعُونَ

"Jika imâm takbîr maka takbirlah kalian, jika dia rukû' maka rukû'lah kalian, jika dia sujûd maka sujûdlah kalian, jika dia shalat dalam keadaan berdiri maka shalatlah kalian dalam keadaan berdiri dan jika dia shalat dalam keadaan duduk maka shalatlah kalian semua dalam keadaan duduk." Riwayat Al-Bukhârî dan Muslim.

Di sini yang disebutkan adalah kewajiban dan rukûn shalat bukan pada yang lainnya, ketika para Shahabat yang shalat di belakang Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam ikut mencopot sandal mereka lalu melemparnya sebagaimana Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam perbuat, maka Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam katakan kepada mereka: 

مَا حَمَلَكُمْ عَلَى إِلْقَاءِ نِعَالِكُمْ؟

"Apa yang membuat kalian ikut melempar sandal-sandal kalian?."
Yakni beliau tidak menghendaki mereka ikut mencopot dan melempar sandal mereka, akan tetapi para Shahabat melakukannya karena mereka pahami bahwa imâm itu untuk diikuti, sebagaimana pada jawaban mereka:

 رَأَيْنَاكَ أَلْقَيْتَ نَعْلَيْكَ فَأَلْقَيْنَا نِعَالَنَا

"Kami melihatmu melemparkan sandalmu, kami pun melemparkan sandal kami."

Oleh karena itu, pada perkara yang terdapat keluasan padanya seperti mengangkat kedua tangan sejajar dengan telinga atau sejajar dengan bahu ketika takbîratul ihrâm maka ini tidak ada keharusan untuk mengikuti imâm, jika imâm mengangkat kedua tangan sejajar dengan telinga maka tidak mengapa ma'mûm mengangkat tangan sejajar dengan bahu, atau sebaliknya. Demikian pula ketika bersedekap di saat berdiri, jika imâm meletakan kedua tanggannya di atas perut maka tidak mengapa bagi ma'mûm meletakannya di atas dada atau di atas pusar. Demikian pula ketika imâm duduk iftirasy pada tahiyat di dalam shalat yang hanya dua raka'at maka tidak harus bagi ma'mûm untuk mengikutinya, boleh bagi ma'mûm untuk duduk tawarruk, karena perkara seperti ini ada keluasan padanya, Walhamdulillâh.

Adapun pada perkara yang imâm melakukannya di dalam shalat, sedangkan perkara itu dianggap oleh ma'mûm sebagai bid'ah maka ma'mûm tidak boleh mengikutinya, seperti pada qunut shubuh, ma'mûm menganggapnya itu sebagai bid'ah maka tidak boleh baginya mengikuti qunut imâmnya, karena bid'ah merupakan dosa besar yang Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam telah katakan tentang ancamannya berupa Neraka:

وإيَّاكم ومُحْدَثاتِ الأُمورِ، فإنَّ كلَّ مُحْدَثةٍ بِدْعةٌ، وإنَّ كلَّ بِدْعةٍ ضَلالةٌ، وكلَّ ضلالةٍ في النَّارِ

"Waspadalah kalian terhadap perkara-perkara baru di dalam agama, karena sesungguhnya setiap perkara baru di dalam agama adalah bid'ah, sesungguhnya setiap bid'ah adalah sesat dan setiap kesesatan di dalam Neraka."

Ketika seorang ma'mûm menganggap bahwa imâmnya berbuat bid'ah di dalam shalatnya maka tidak boleh baginya mengikuti kebid'ahannya, berkata Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

 لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِيْ مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ إِنَّمَا الطَّاعَةَ فِي الْمَعْرُوْفِ

"Tidak ada ketaatan kepada makhluk di dalam bermaksiat kepada Al-Khâliq (Yang Maha Pencipta), hanyalah ketaatan itu pada kebaikan."
Yang harus dia ikuti adalah perkara yang termasuk kewajiban shalat atau rukûn shalat, seperti pembacaan surat Al-Fâtihah pada setiap berdiri, imâm membacanya maka ma'mûm wajib ikut membaca setelah bacaan imâmnya karena bacaan Al-Fâtihah ini adalah rukûn shalat yang tidak bisa terwakilkan, berbeda dengan bacaan surat lain bisa terwakilkan oleh imâm sebagaimana yang disebutkan:

 مَنْ كَانَ لَهُ إمَامٌ فَقِرَاءَةُ الْإِمَامِ لَهُ قِرَاءَةٌ

"Barangsiapa yang shalatnya bersama imâm maka bacaan imâm adalah bacaannya."

Kalau memutlakan pengikutan seluruh perbuatan imâm di dalam shalat maka harus pula mengikuti seluruh bacaan suratnya, namun Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam telah sebutkan yang harus diikuti hanya bacaan surat Al-Fâtihah:

فَلَا تَفْعَلُوا إِلَّا بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ، فَإِنَّهُ لا صَلاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِهَا

"Jangan kalian membaca surat kecuali surat Al-Fâtihah, karena sesungguhnya tidak ada shalat bagi siapa yang tidak membaca surat Al-Fâtihah."

Ini dalîl yang sangat jelas menunjukkan bahwasanya yang harus dan wajib mengikuti imâm di dalam shalat yaitu pada perkara yang merupakan kewajiban shalat dan rukûn shalat, Wallâhu A'lam.

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada hari Jum'at tanggal 6 Jumâdal Âkhirah 1441 / 31 Januari 2020 di Mutiara Gading Timur 2 Bekasi. 

http://t.me/majaalisalkhidhir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar