Halaman

Jumat, 20 Desember 2019

MENYELAMATKAN AGAMA KAUM WANITA


📱 Pertanyaan:
Izin bertanya sama Ustâdz Muhammad, terkait hadîts ini (yakni hadîts no. 23 di dalam buku "Bingkisan Untuk Umat Dalam Menghadapi Ujian-ujian Dahsyat Menjelang Hari Kiamat", hal. 64 / Maktabah Al-Khidhir). Bagaimana wanita dan anak-anak, tentu tidak akan mampu untuk 'uzlah, dan apa yang harus kami perbuat sebagai kaum wanita dalam menghadapi banyak fitnah untuk menyelamatkan agama, adakah nasehat untuk kami kaum wanita salafiyyah?
Jazâkumullâhu khairan.

📲 Jawaban:
Ketika sudah ada keharusan bagi seseorang untuk 'uzlah maka dia pergi mengasingkan dirinya bersama isterinya dan anak-anaknya, dia pergi dengan membawa isteri dan anak-anaknya karena mereka adalah tanggung jawabnya, sebagaimana yang diperintahkan kepada Hûd Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

فَأَسۡرِ بِأَهۡلِكَ بِقِطۡعࣲ مِّنَ ٱلَّیۡلِ وَلَا یَلۡتَفِتۡ مِنكُمۡ أَحَدٌ إِلَّا ٱمۡرَأَتَكَۖ 

"Maka pergilah kamu dengan membawa keluarga dan orang-orang yang mengikutimu di akhir malam dan janganlah ada seorangpun di antara kalian yang tertinggal, kecuali isterimu." [Surat Hûd: 81].

Isterinya tidak dibawa pergi karena mengkhianatinya. Oleh karena itu ketika harus 'uzlah maka isteri dan anak-anak ikut dibawa. Kalau tidak memungkinkan dibawa dan harus ditinggal pergi maka mereka ditempatkan di tempat yang aman bagi mereka, sebagaimana Ibrâhîm 'Alaihish Shalâtu was Salâm menempatkan isterinya Hajar bersama puteranya Ismâ'îl di Makkah, kemudian datang orang-orang Jurhum meminta untuk tinggal di Makkah, mereka pun diizinkan tinggal di Makkah.
Jika memang seorang wanita bersama anak-anaknya harus ditinggal seperti itu maka nasehat kita untuk mereka yaitu menyadari keadaan suami dan hendaklah senantiasa bersabar sebagaimana kesabaran Ismâ'îl dan ibunya 'Alaihimash Shalâtu was Salâm.
Wanita yang bersabar tinggal di rumah miliknya, di rumah sewaannya atau di rumah walinya itu lebih selamat daripada tinggal bersama para wanita lainnya, berkata Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ:

وَقَرۡنَ فِی بُیُوتِكُنَّ

"Wahai para wanita tinggallah kalian di rumah-rumah kalian." [Surat Al-Ahzâb: 33].

Adapun kalau seseorang pergi meninggalkan isteri dan anak-anaknya begitu saja karena mengikuti keinginan dan kemauannya semata hingga menerlantarkan mereka maka ini adalah kezhaliman kepada mereka, berkata Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يَحْبِسَ عَمَّنْ يَمْلِكُ قُوتَهُ 

"Cukuplah seseorang itu dalam keadaan berdosa ketika dia menerlantarkan siapa yang dibawah tanggungannya." Riwayat Muslim (no. 2359) dari 'Abdullâh bin 'Amr Radhiyallâhu 'Anhumâ.
Berkata Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ 

"Seseorang itu adalah penanggung jawab atas keluarganya dan dia dimintai pertanggung jawaban tentang mereka." Riwayat Al-Bukhârî (no. 893) dan Muslim (no. 4828) dari 'Abdullâh bin 'Umar Radhiyallâhu 'Anhumâ.

Demikian pula jika seseorang menitipkan isteri dan anak-anaknya ke tempat penitipan yang memperhatikan dan mengurusi mereka bukan wali atau mahram mereka maka ini pembuka pintu fitnah, sebagaimana pada kisah beberapa orang yang menitipkan saudari mereka kepada seorang ahli ibadah hingga terjadi fitnah besar di antara mereka, Ibnu Abî Hâtim meriwayatkan dari 'Abdullâh bin 'Abbâs Radhiyallâhu 'Anhumâ, beliau berkata:

كَانَ رَاهِب مِنْ بَنِي إِسْرَائِيل يَعْبُد اللَّه فَيُحْسِن عِبَادَته، وَكَانَ يُؤْتَى مِنْ كُلّ أَرْض فَيُسْأَل عَنْ الْفِقْه، وَكَانَ عَالِمًا، وَإِنَّ ثَلَاثَة إِخْوَة كَانَتْ لَهُمْ أُخْت حَسَنَة مِنْ أَحْسَن النَّاس , وَإِنَّهُمْ أَرَادُوا أَنْ يُسَافِرُوا، فَكَبُرَ عَلَيْهِمْ أَنْ يَخْلُفُوهَا ضَائِعَة، فَجَعَلُوا يَأْتَمِرُونَ مَا يَفْعَلُونَ بِهَا، فَقَالَ أَحَدهمْ: أَدُلّكُمْ عَلَى مَنْ تَتْرُكُونَهَا عِنْده؟ قَالُوا: مَنْ هُوَ؟ قَالَ: رَاهِب بَنِي إِسْرَائِيل، إِنْ مَاتَتْ قَامَ عَلَيْهَا. وَإِنْ عَاشَتْ حَفِظَهَا حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَيْهِ، فَعَمَدُوا إِلَيْهِ فَقَالُوا: إِنَّا نُرِيد السَّفَر، وَلَا نَجِد أَحَدًا أَوْثَق فِي أَنْفُسنَا، وَلَا أَحْفَظ لِمَا وُلِّيَ مِنْك لِمَا جُعِلَ عِنْدك، فَإِنْ رَأَيْت أَنْ نَجْعَل أُخْتنَا عِنْدك فَإِنَّهَا ضَائِعَة شَدِيدَة الْوَجَع، فَإِنْ مَاتَتْ فَقُمْ عَلَيْهَا، وَإِنْ عَاشَتْ فَأَصْلِحْ إِلَيْهَا حَتَّى نَرْجِع، فَقَالَ: أَكْفِيكُمْ إِنْ شَاءَ اللَّه، فَانْطَلَقُوا فَقَامَ عَلَيْهَا فَدَاوَاهَا حَتَّى بَرَأَتْ، وَعَادَ إِلَيْهَا حُسْنهَا، فَاطَّلَعَ إِلَيْهَا فَوَجَدَهَا مُتَصَنِّعَة، فَلَمْ يَزَلْ بِهِ الشَّيْطَان يُزَيِّن لَهُ أَنْ يَقَع عَلَيْهَا حَتَّى وَقَعَ عَلَيْهَا، فَحَمَلَتْ، ثُمَّ نَدَّمَهُ الشَّيْطَان فَزَيَّنَ لَهُ قَتْلهَا، قَالَ: إِنْ لَمْ تَقْتُلهَا افْتُضِحْتَ وَعُرِفَ شَبَهك فِي الْوَلَد، فَلَمْ يَكُنْ لَك مَعْذِرَة، فَلَمْ يَزَلْ بِهِ حَتَّى قَتَلَهَا، فَلَمَّا قَدِمَ إِخْوَتهَا سَأَلُوهُ مَا فَعَلْت؟ قَالَ: مَاتَتْ فَدَفَنْتهَا، قَالُوا: قَدْ أَحْسَنْت، ثُمَّ جَعَلُوا يَرَوْنَ فِي الْمَنَام، وَيُخْبَرُونَ أَنَّ الرَّاهِب هُوَ قَتَلَهَا، وَأَنَّهَا تَحْت شَجَرَة كَذَا وَكَذَا، فَعَمَدُوا إِلَى الشَّجَرَة فَوَجَدُوهَا تَحْتهَا قَدْ قُتِلَتْ، فَعَمَدُوا إِلَيْهِ فَأَخَذُوهُ، فَقَالَ لَهُ الشَّيْطَان: أَنَا زَيَّنْت لَك الزِّنَا وَقَتْلهَا بَعْد الزِّنَا، فَهَلْ لَك أَنْ أُنَجِّيك؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: أَفَتُطِيعنِي؟ قَالَ: نَعَمْ قَالَ: فَاسْجُدْ لِي سَجْدَة وَاحِدَة، فَسَجَدَ لَهُ ثُمَّ قُتِلَ، فَذَلِكَ قَوْله: (كَمَثَلِ ٱلشَّیۡطَـٰنِ إِذۡ قَالَ لِلۡإِنسَـٰنِ ٱكۡفُرۡ فَلَمَّا كَفَرَ قَالَ إِنِّی بَرِیۤءࣱ مِّنكَ إِنِّیۤ أَخَافُ ٱللَّهَ رَبَّ ٱلۡعَـٰلَمِینَ). (الحشر: ١٦) 


"Dahulu ada seorang Râhib dari kalangan Banî Isrâîl, dia beribadah kepada Allâh dengan sebaik-baik peribadahan kepada-Nya, dia didatangi oleh orang-orang dari setiap negeri lalu bertanya kepadanya tentang ilmu, dia adalah orang berilmu, dan ada tiga pria bersaudara yang mereka memiliki seorang saudari cantik yang termasuk secantik-cantik wanita, mereka ingin bepergian jauh namun mereka merasa berat meninggalkan saudarinya dalam keadaan sakit, lalu mereka bermusyawarah tentang apa yang mereka perbuat terhadap saudari mereka, berkata salah seorang dari mereka: Maukah aku tunjukkan kepada kalian kepada orang yang kita akan meninggalkan saudari kita kepadanya? Mereka bertanya: "Siapa dia?" Dia menjawab: "Râhib Banî Isrâîl, jika saudari kita mati maka dia akan mengurusinya, jika saudari kita hidup maka dia akan menjaganya sampai kita kembali kepadanya." Mereka pun meminta kesediaannya, mereka berkata: "Sesungguhnya kami ingin melakukan perjalanan jauh dan kami tidak mendapati seorang pun menurut kami lebih terpercaya dan lebih menjaga tentang apa yang ditugaskan daripadamu terhadap apa yang dititipkan kepadamu. Apakah kamu bersedia untuk kami titipkan saudari kami di sisimu, namun saudari kami menghadapi kesusahan dan sakit yang sangat parah, jika dia mati maka uruslah jenazahnya, jika dia hidup maka perbaikilah dia hingga kami kembali. Dia pun menjawab: "Aku akan memenuhi keinginan kalian Insyâ Allâh." Kemudian mereka pergi, lalu râhib mulai mengobati saudari mereka sampai sembuh dan kembali cantik sebagaimana sebelumnya, kemudian râhib menemuinya lalu mendapatinya berhias. Dan setan bersenantiasa mengoda râhib supaya menyetubuhinya hingga dia bisa menyetubuhinya, lalu hâmil, kemudian setan membuat râhib merasa menyesal lalu menggoda râhib supaya membunuhnya, setan berkata: "Jika kamu tidak membunuhnya maka dibongkar kedokmu dan diketahui pada anaknya ada keserupaan denganmu, maka tidak ada pemberian maaf kepadamu, setan senantiasa mengoda râhib hingga râhib membunuhnya. Tatkala datang saudara-saudaranya maka mereka bertanya: Apa yang kamu perbuat? Dia menjawab: "Saudari kalian telah mati lalu aku menguburnya." Mereka berkata: "Kamu telah berbuat baik." Kemudian setan mendatangi mereka lewat mimpi dan mengabarkan kepada mereka bahwa râhib telah membunuh saudari mereka lalu menguburnya di bawah pohon, mereka pun mendapatinya di bawah pohon telah dibunuh. Lalu mereka datang menemui râhib hingga menghukumnya, setan pun berkata kepada râhib: Sesungguhnya aku membujukmu supaya berzinâ dan membunuhnya setelah kamu menzinainya, maka maukah kamu supaya aku menyelamatkanmu? Dia menjawab: Iya. Setan bertanya: Apakah kamu mau menaatiku? Dia berkata: Iya. Setan berkata: "Sujudlah kamu kepadaku dengan sekali sujud." Dia pun sujud, kemudian dia dihukum bunuh. Itulah seperti perkataan Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ: "Seperti permisalan setan ketika berkata kepada seseorang: Kafirlah kamu, tatkala dia telah kâfir maka setan berkata: Sesungguhnya aku berlepas diri darimu, bahwasanya aku takut kepada Allâh Rabb alam semesta." [Surat Al-Hasyr: 16].

Riwayat Ibnu Abî Hâtim ini memiliki pendukung dari riwayat 'Abdurrazzâq, Ibnu Râhawaih, 'Abdullâh bin Humaid, Ibnu Jarîr, Ibnul Mundzir, Ibnu Mardawaih, Al-Hâkim dan beliau menshahîhkannya, juga diriwayatkan oleh Ahmad di dalam "Az-Zuhud", Al-Bukhârî di dalam "Târikh"nya dan Al-Baihaqî di dalam "Syu'abul Îmân" dari 'Alî bin Abî Thâlib Radhiyallâhu 'Anhu.
Di dalam "Tafsîr Ath-Thabarî" disebutkan beberapa riwayat yang mirip dengan kisah ini, semuanya adalah pendukung dan pengikut terhadap riwayat ini.

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Ayyadahullâh pada hari Senin 5 Rabîul Akhir 1441 / 2 Desember 2019 di Mutiara Gading Timur 2 Bekasi).

⛵️ http://t.me/majaalisalkhidhir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar