Halaman

Kamis, 21 Juli 2022

BID'AH BIASA BERMASALAH



Pertanyaan:
Ustâdz, apakah benar atas orang-orang yang bolehkan bid'ah-bid'ah dengan berdalîl di zaman Nabî tidak ada Mushallâ perempuan dan jum'atan juga tidak ada kecuali hanya di masjid Nabî?.

Jawaban:
Itu di antara dari berbagai syubhât yang membuka pintu berbagai kebid'ahan dan menyenangkan setiap mubtadi'. Di zaman Nabî 'Alaihish Shalâtu was Salâm para wanita muslimah datang di masjid Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam, mereka membuat shaff bersama para wanita lainnya secara khusus dan mereka shalat di belakang jamâ'ah laki-laki yang disebutkan oleh 'Âisyah Radhiyallâhu 'Anhâ:

لاَ يَعْرِفُهُنَّ أَحَدٌ مِنَ الْغَلَسِ

"Tidak seorangpun yang mengenal mereka karena bercampurnya antara gelap malam dan terang fajar."
Tatkala dibuatkan Mushallâ khusus bagi wanita di bagian belakang masjid atau di sekitaran masjid supaya lebih aman dari fitnah maka ini boleh, karena memang pada zaman Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam sudah disebut-sebut tempat khusus bagi wanita terpisah dengan jamâ'ah laki-laki di saat shalat. Bahkan Mushallâ yakni tempat terbuka seperti lapangan itu ada juga khusus bagi para wanita untuk shalat dan mendengarkan mau'idzah, berkata Ibnu 'Abbâs Radhiyallâhu 'Anhumâ:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ وَمَعَهُ بِلاَلٌ، فَظَنَّ أَنَّهُ لَمْ يُسْمِعِ النِّسَاءَ فَوَعَظَهُنَّ

"Bahwasanya Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam keluar bersamanya Bilâl, beliau ketahui bahwasanya mau'idzahnya tidak terdengar ke para wanita kemudian beliau memberi mau'idzah kepada mereka."

Orang 'aqlânî mengingkari adanya penutup atau pemisah di dalam masjid, mau mereka dibuat masjid terbuka bagi para pria dan wanita satu ruang masjid. Ini jelas membuka pintu fitnah dan memberi peluang untuk berikhtilath antara para pria dan wanita. 
Banyak para nasionalis yang awalnya mengingkari hijab berupa penutup atau pemisah antara jamâ'ah shalat laki-laki dan perempuan, kemudian mereka mengingkari hijab berupa cadar dan bahkan sampai jilbabpun mereka ingkari, Wallâhul Musta'ân. 

Adapun syubhat yang menyebutkan bahwa dahulu di zaman Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam tidak ada Jum'atan kecuali di masjid Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam maka memang demikian adanya, karena orang-orang beriman ketika itu mencukupkan Jum'atan di masjid Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam supaya mereka selalu mendengarkan khutbah terbaik Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam. Bukan berarti ada pembatasan Jum'atan itu khusus di masjid Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam dan tidak ada pula pelarangan mengadakan Jum'atan, sampai minimal Jamâ'ah Jum'atanpun tidak disebutkan berapa minimalnya, karena memang bebas untuk melaksanakan Jum'atan di masjid mana saja yang telah ditegakkan shalat lima waktu padanya. Betapa bagus apa yang dikatakan oleh Al-Bukhârî di dalam "Shahîh"nya:

باب الْجُمُعَةِ فِي الْقُرَى وَالْمُدْنِ

"Bâb Jum'atan di perkampungan dan perkotaan."
Setelah itu Al-Bukhârî menyebutkan hadîts tentangnya. Bâb yang beliau buat tersebut menunjukkan pembolehan beliau, karena fiqih beliau diketahui dari Bâb yang beliau buat.
Oleh karena itu, tatkala orang menjadikan perkara yang jelas dalîlnya itu untuk keluasan dalam perkara bid'ah maka dia telah salah dalam menempatkan sesuatu pada tempatnya. 

Dijawab oleh:
Muhammad Al-Khidhir pada hari Kamis tanggal 21 Dzulhijjah 1443 / 21 Juli 2022 di Pondok Pesantren Majaalis Al-Khidhir Cipancur Klapanunggal Bogor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar