Pertanyaan:
Bolehkah saya mengambil ilmu Al-Ustâdz Ja'far 'Umar Thâlib Rahimahullâh? Lalu bagaimana menjawab komentar orang-orang yang benci setengah mati kepada beliau sampai ghuluw sekali membicarakan dan menyikapi beliau hingga terus-terusan menyebut kasus jihâd di Maluku?
Jawaban:
Ambillah ilmu yang kamu butuhkan dan kamu perlukan dari beliau, dengan tetap menyebutkan darinya jika ilmunya itu jelas benar dan tinggalkan jika ilmunya itu keliru. Jangankan orang semisal Ja'far 'Umar Thâlib Rahmatullâh 'Alainâ wa 'Alaihimâ, Abû Hanîfah dan Ibnu Hajar Al-Haitamî itu saja boleh diambil ilmu dari keduanya jika ilmu keduanya itu adalah kebenaran. Alhamdulillâh telah kita ketahui tentang keduanya, jarh dari para 'ulamâ atas keduanya telah jelas dan terperinci. Pada Abû Hanîfah secara khusus, telah kita ketahui jarh yang cukup keras dari Ahlul Hadîts terhadapnya sebagaimana dahulu kita mengetahuinya ketika dipaparkan oleh Ja'far 'Umar Thâlib Rahimahullâh di dalam "Majalah Salafy"nya. Apakah kemudian Ahlussunnah meninggalkan ilmu dari Abû Hanîfah seluruhnya? Tentu tidak, karena Ahlussunnah adalah Ahlul 'Adl wal Inshâf, demikian pula pada Ja'far 'Umar Thâlib Rahmatullâh 'Alainâ wa 'Alaihim, boleh diambil ilmu darinya jika ilmunya itu adalah kebenaran dan juga ditinggalkan jika ilmu darinya itu adalah kekeliruan. Inilah sikap benar yang berjalan di atasnya Ahlussunnah wal Jamâ'ah, berkata Ibnu Taimiyah Rahmatullâh 'Alainâ wa 'Alaihim:
وَاللّٰهُ قَدْ أَمَرَنا أَلَّا نَقُولَ عَلَيهِ إِلَّا الْحَقَّ، وَألَّا نَقُولَ عَلَيهِ إِلَّا بِعِلْمٍ، وَأََمَرَنَا بِالْعَدْلِ وَالْقِسْطِ، فَلَا يَجُوزُ لَنَا إِذَا قَالَ يَهُودِيٌّ أَو نَصْرَانيٌّ فَضْلًا عَنِ الرَّافِضِيِّ قَولًا فِيهِ حَقٌّ أََنْ نَتْرُكَهُ أَو نَرُدَّهُ كُلَّهُ، بَلْ لٌا نَرُدُّ إِلَّا مَا فِيهِ مِنَ الْبَاطِلِ دُونَ مَا فِيهِ مِنَ الْحَقِّ
"Dan Allâh sungguh telah memerintahkan kita untuk tidak berkata tentang-Nya kecuali dengan kebenaran, hendaklah kita tidak berkata tentang-Nya kecuali dengan ilmu, Dia telah memerintahkan kita untuk bersikap adil dan seimbang. Tidak boleh bagi kita ketika seorang Yahûdî atau Nashrânî lebih-lebih dari seorang Râfidhah mengatakan suatu kebenaran untuk kita meninggalkan perkataannya atau menolak keseluruhannya, bahkan kita tidak akan menolaknya kecuali jika ada padanya dari kebatilan, bukan apa yang ada padanya kebenaran."
Adapun kesalahan fatal yang terjadi semasa jihâd Ambon lalu itu dijadikan sebagai alasan untuk mengharamkan manusia dari mengambil atau menerima ilmu dari Ja'far 'Umar Thâlib Rahmatullâh 'Alainâ wa 'Alaih maka ini bukan sikap Ahlul Inshâf. Jangankan Ahlussunnah di masa jihâd Ambon pada masa perang Uhud saja sebagian Shahabat turun dari bukit karena mengira telah menang, padahal mereka sudah diperingatkan untuk tidak turun dari bukit, bukankah ini juga kekeliruan? Lebih dari itu, bagaimana dengan kesalahan yang diperbuat oleh Usâmah bin Zaid Radhiyallâhu 'Anhumâ tatkala beliau membunuh seseorang yang mengucapkan Lâ Ilaha Ilallâh? Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam berkata kepadanya:
أَقَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَقَتَلْتَهُ
"Apakah dia setelah mengucapkan Lâ Ilaha Ilallâh lalu kamu membunuhnya."
Beliaupun menyampaikan argumennya:
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّمَا قَالَهَا خَوْفًا مِنَ السِّلاَحِ
"Wahai Rasûlullâh sesungguhnya dia mengucapkannya dalam keadaan takut dari pedang."
Maka Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam berkata kepada Usâmah bin Zaid selaku putera anak angkat tercintanya:
أَفَلاَ شَقَقْتَ عَنْ قَلْبِهِ حَتَّى تَعْلَمَ أَقَالَهَا أَمْ لاَ
"Apakah kamu telah membedah pada hatinya hingga kamu mengetahui dia telah benar mengucapkannya ataukah tidak?!."
Beliaupun menyesal karena menganggap ini sebagai kesalahan yang besar, beliau berkata:
فَمَازَالَ يُكَرِّرُهَا عَلَيَّ حَتَّى تَمَنَّيْتُ أَنِّي أَسْلَمْتُ يَوْمَئِذٍ
"Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam senantiasa mengulang-ngulang perkataannya itu kepadaku sampai aku berangan-angan kalau aku baru masuk Islâm ketika itu." Riwayat Muslim.
Apakah dengan kesalahan Usâmah bin Zaid Radhiyallâhu 'Anhumâ ini kemudian Ahlussunnah mengharamkan mengambil ilmunya? Tentu tidak, bahkan kita akan sebutkan salah satu ilmunya yang diriwayatkan oleh Al-Bukhârî:
عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْخُذُنِي فَيُقْعِدُنِي عَلَى فَخِذِهِ، وَيُقْعِدُ الْحَسَنَ عَلَى فَخِذِهِ الأُخْرَى، ثُمَّ يَضُمُّهُمَا ثُمَّ يَقُولُ: اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمَا فَإِنِّي أَرْحَمُهُمَا
"Dari Usâmah bin Zaid Radhiyallâhu 'Anhumâ, dahulu Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam memegangku lalu mendudukanku pada salah satu pahanya dan mendudukan Al-Hasan pada paha yang satu lagi, kemudian beliau berdoa: "Yâ Allâh rahmatilah keduanya, karena sesungguhnya aku menyayangi keduanya."
Kita sebagai Ahlussunnah menerima ilmu dari Usâmah bin Zaid Radhiyallâhu 'Anhumâ ini dan kita senantiasa mendoakan keridhaan dan rahmat untuknya dan untuk seluruh para Shahabat serta orang-orang beriman yang datang setelah mereka:
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِن بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ
"Orang-orang yang datang sesudah para Shahabat, mereka berdoa: "Wahai Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian di dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman, wahai Rabb kami, Sesungguhnya Engkau adalah Ra'ûf (Maha Penyantun) lagi Rahîm (Maha Penyayang)." (Al-Hashr: 10).
Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada malam Selasa tanggal 16 Dzulqa'dah 1441 / 7 Juli 2020 di Maktabah Al-Khidhir Bekasi.
⛵️ https://t.me/majaalisalkhidhir/4784
Tidak ada komentar:
Posting Komentar