Halaman

Jumat, 31 Juli 2020

MAKNA AL-KAUTSAR


Al-Kautsar adalah kebaikan yang banyak, di dunia berupa ilmu dan Sunnah sedangkan di akhirat berupa keselamatan dan keberhasilan dalam mencapai telaga Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam.

Berkata Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ kepada Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

إِنَّاۤ أَعۡطَیۡنَـٰكَ ٱلۡكَوۡثَرَ

"Sesungguhnya Kami telah memberikan Al-Kautsar kepadamu." [Surat Al-Kautsar: 1].

Berkata 'Abdullâh 'Abbâs Radhiyallâhu 'Anhumâ:

الْكَوثَرُ هُوَ الْخَيرُ الْكَثِيرُ

"Al-Kautsar adalah kebaikan yang banyak."

Berkata Mujâhid Rahmatullâh 'Alainâ wa 'Alaih: 

الْكَوْثَرُ هُوَ الْخَيرُ الْكَثِيرُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ

"Al-Kautsar adalah kebaikan yang banyak di dunia dan di akhirat."

Berkata Rasûlullâh 'Alaihish Shalâtu was Salâm:

أَتَدْرُونَ مَا الْكَوْثَرُ؟

"Apakah kalian mengetahui tentang Al-Kautsar?."
Para Shahabat menjawab:

اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ

"Allâh dan Rasûl-Nya yang lebih mengetahui." Beliau berkata:

فَإِنَّهُ نَهْرٌ وَعَدَنِيهِ رَبِّى عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهِ خَيْرٌ كَثِيرٌ هُوَ حَوْضٌ تَرِدُ عَلَيْهِ أُمَّتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ آنِيَتُهُ عَدَدُ النُّجُومِ فَيُخْتَلَجُ الْعَبْدُ مِنْهُمْ فَأَقُولُ رَبِّ إِنَّهُ مِنْ أُمَّتِى. فَيَقُولُ مَا تَدْرِى مَا أَحْدَثَتْ بَعْدَكَ 

“Sesungguhnya Al-Kautsar adalah sungai yang Allâh 'Azza wa Jalla telah janjikan kepadaku, padanya terdapat banyak kebaikan, Al-Kautsar adalah suatu telaga yang umatku akan datang kepadanya pada hari kiamat, bejananya sejumlah bintang-bintang di langit. Lalu ada malaikat yang mengusir sebagian mereka, akupun berkata: "Wahai Rabku sesungguhnya mereka itu termasuk dari kalangan umatku? Dia berkata: "Engkau tidak mengetahui apa yang mereka ada-adakan sesudah engkau.” Riwayat Muslim (no. 921).

Fâidah dari Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada hari 'Îdul Adhhâ tanggal 10 Dzulhijjah 1440 / 31 Juli 2020 di Masjid Al-Kautsar Kp Tenggilis Bekasi.

Kamis, 30 Juli 2020

JULUKAN SYAIKH JANGAN DIEJEK


Pertanyaan:
Bagaimana sikap yang benar dalam menyikapi ucapan Ustâdz-ustâdz yang tidak menerima adanya julukan atas seorang Ustâdz yang disebut dengan Syaikh? Bahwa yang beri julukan itu syaikh-syaikh baru atau para syaikh jadi-jadian sehingga tidak mu'tabar, padahal yang lebih pantas memberi julukan syaikh adalah 'ulamâ kibâr?

Jawaban:
Kalau mereka mempermasalahkan julukan syaikh kepada seorang dâ'î, kenapa mereka tidak permasalahkan julukan Ustâdz atas diri mereka? Siapa yang pertama-tama menjuluki mereka dengan julukan Ustâdz? Apakah Ibnu Bâzz, Al-Albânî, Al-Wâdi'î atau Ibnul 'Utsaimîn Rahmatullâh 'Alainâ wa 'Alaihim? Ataukah yang pertama-tama menjuluki mereka dengan julukan Ustâdz adalah orang awam lalu masyhûr bagi mereka dengan julukan itu?
Kalau julukan Ustâdz itu ada pada mereka, bermula dari panggilan penghormatan dari awam manusia maka kita sebutkan pula julukan seperti itu, kita juga akan memanggil mereka dan menyebut mereka sebagai Ustâdz, karena itu panggilan penghormatan yang sopan dan panggilan yang dikenal dengannya. 
Demikian pula ketika seseorang sudah diseru atau disebut sebagai Syaikh maka kita tetapkan seperti itu pula, sebagaimana pada umat di kalangan Banî Isrâîl, mereka telah menetapkan julukan bagi orang-orang berilmu mereka dengan suatu julukan, dan Allâh Tabâraka wa Ta'âlâ telah menyebutkan di dalam Al-Qur'ãn:

أَوَلَمۡ یَكُن لَّهُمۡ ءَایَةً أَن یَعۡلَمَهُۥ عُلَمَـٰۤؤُا۟ بَنِیۤ إِسۡرَ ٰ⁠ۤءِیلَ

"Apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa para 'ulamâ Banî Isrâîl mengetahuinya?." [Surat Asy-Syu'arâ: 197].
Ketika disebutkan bahwa di kalangan mereka ada 'ulamâ maka kita sebutkan seperti itu pula, seperti yang pernah kita dapatkan pula di Dârul Hadîts, tatkala ada teman-teman majlis dan teman-teman bahas kita yang sudah terbiasa ceramah di daerah mereka hingga disapa dengan Syaikh, tatkala mereka menuntut ilmu di Dârul Hadîts, mereka itu disapa pula dengan sapaan tersebut.
Adanya penetapan julukan pada seseorang itu tidak mesti yang menetapkannya harus orang yang kedudukannya di atas dirinya, namun orang yang kedudukannya di bawah dirinya juga teranggap dalam penetapannya tatkala julukan itu memang layak untuknya dan dikenal baginya, berkata Abû Sa'îd Al-Khudrî Al-Khudrî tentang Abû Bakr Ash-Shiddîq Radhiyallâhu 'Anhumâ:

فَقُلْتُ فِي نَفْسِي مَا يُبْكِي هَذَا الشَّيْخَ إِنْ يَكُنِ اللَّهُ خَيَّرَ عَبْدًا بَيْنَ الدُّنْيَا وَبَيْنَ مَا عِنْدَهُ فَاخْتَارَ مَا عِنْدَ اللَّهِ

"Aku berkata di dalam hatiku: Apa yang membuat seorang syaikh ini menangis, tatkala Allâh memberikan kepada seorang hamba dengan pilihan antara dunia dan antara apa yang ada di sisi-Nya lalu dia memilih apa yang ada di sisi Allâh." Riwayat Al-Bukhârî.

Tanpa kita ragukan lagi bahwa Abû Bakr Ash-Shiddîq lebih tinggi kedudukannya dan lebih utama daripada Abû Sa'îd Al-Khudrî Radhiyallâhu 'Anhumâ, namun penyebutan syaikh darinya terhadap Abû Bakr Ash-Shiddîq merupakan perkara yang tidak dapat dipungkiri, dan kita menetapkan beliau sebagai seorang syaikh dari kalangan Shahabat Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam.

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada hari Jum'at bertepatan dengan 'Îdul Adhhâ tanggal 10 Dzulhijjah 1440 / 31 Juli 2020 di Maktabah Al-Khidhir Bekasi.

⛵️ https://t.me/majaalisalkhidhir/4882
⛵️ http://alkhidhir.com/adab/julukan-syaikh-jangan-diejek/


Pertanyaan:
Apakah tidak memotong rambut dan kuku pada tanggal 1 Dzulhijjah hingga hari penyembelihan qurbân itu merupakan salah satu syarat sah qurbân bagi orang yang berqurbân?

Jawaban:
Bukanlah syarat bagi orang yang berqurbân untuk tidak memotong rambut dan tidak memotong kukunya, karena memotong rambut dan kuku hanyalah larangan, berkata Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِى الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ

“Jika kalian telah melihat hilâl Dzulhijjah dan salah seorang di antara kalian ingin berqurbân maka hendaklah dia menahan rambut dan kukunya.”
Yakni orang yang akan berqurbân ketika sudah memasuki tanggal satu Dzulhijjah maka tidak boleh baginya untuk memangkas rambutnya dan memotong kukunya.

Ketika orang yang berqurbân melanggar larangan ini maka dia terjatuh ke dalam pelanggaran, akan tetapi qurbânnya tetap sah.

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada malam Jum'at bertepatan dengan malam 'Îdul Adhhâ tanggal 10 Dzulhijjah 1440 / 31 Juli 2020 di Maktabah Al-Khidhir Bekasi.


NIAT PUASA SUNNAH DI WAKTU DHUHÂ BAGI YANG BELUM MAKAN DAN MINUM


Pertanyaan:
Ustâdz, 'afwân .. saya mau bertanya, berkaitan dengan puasa 'arafah, teman saya kondisi sedang sakit, tadi pagi jam 9 bangun belum sadar total, tapi disuruh keluarganya untuk minum obat. lalu dia meminumnya, akan tetapi saat jam 10 dia sadar kalau lagi ada Puasa 'Arafah, kalau begitu tetap menjalankan puasa 'Arafah atau tidak perlu sama sekali yâ Ustâdz? Bârakallâhu fîkum. 

Jawaban:
Tidak boleh baginya untuk meniatkan puasa 'Arafah karena dua alasan:

Pertama: Dia dalam keadaan sakit yang bukan ringan, oleh karena itu hendaklah dia tidak puasa sehingga tidak memudharatkan dirinya, berkata Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ:

وَلَا تُلۡقُوا۟ بِأَیۡدِیكُمۡ إِلَى ٱلتَّهۡلُكَةِ وَأَحۡسِنُوۤا۟ۚ إِنَّ ٱللَّهَ یُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِینَ

"Janganlah kalian melemparkan diri kalian ke dalam kebiasaan, dan berbuat baiklah kalian sesungguhnya Allâh mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan." [Surat Al-Baqarah: 195].

Kedua: Dia telah meminum, sementara orang yang masih dibolehkan untuk puasa sunnah adalah orang yang berada di waktu sebelum zhuhur dalam keadaan belum memakan dan belum meminum sama sekali dari sejak waktu fajar, disebutkan suatu bâb di dalam "Shahîh Muslim":

بَابُ جَوَازِ صَوْمِ النَّافِلَةِ بِنِيَّةٍ مِنَ النَّهَارِ قَبْلَ الزَّوَالِ

"Bâb kebolehan untuk puasa sunnah dengan suatu niat dari sebagian siang sebelum tergelincir matahari."

Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam tatkala kembali ke rumahnya dalam keadaan belum makan dan belum minum lalu di rumah tidak ada makanan maka beliau langsung niat untuk puasa sunnah, berkata 'Âisyah Radhiyallâhu 'Anhâ:

قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ: يَا عَائِشَةُ هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ. فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا عِنْدَنَا شَيْءٌ. قَالَ: فَإِنِّي صَائِمٌ

"Berkata kepadaku Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam pada suatu hari: "Wahai 'Âisyah, apakah kalian memiliki sesuatu dari makanan? Aku berkata: "Wahai Rasûlullâh kami tidak memiliki sesuatu apapun dari makanan." Beliaupun berkata: "Kalau begitu aku puasa." Riwayat Muslim.

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada hari Kamis bertepatan dengan hari 'Arafah tanggal 9 Dzulhijjah 1440 / 30 Juli 2020 di Maktabah Al-Khidhir Bekasi.


Rabu, 29 Juli 2020

HUKUM ORANG JUNUB TERTIDUR DARI MANDI DAN SAHUR


Pertanyaan:
Ustâdz ijin bertanya, apa hukum seorang yang malamnya melakukan hubungan badan dengan isterinya atau melalukan onani lalu dia tertidur dalam keadaan junub, ketika bangun dia dapati matahari sudah terbit padahal dia berniat untuk puasa di hari itu misal seperti sekarang puasa 'arafah. Apakah dia tetap berpuasa ataukah tidak Ustâdz? Mohon jawabannya. 
Jazakumullâhu khairan. 

Jawaban: 
Karena kejadian junubnya sebelum waktu sahur yakni sebelum terbit fajar shâdiq maka dia teruskan niat puasanya, selama dia belum makan dan belum minum maka puasanya teranggap sah, berkata 'Âisyah Radhiyallâhu 'Anhâ:

قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ: يَا عَائِشَةُ هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ. فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا عِنْدَنَا شَيْءٌ. قَالَ: فَإِنِّي صَائِمٌ

"Berkata kepadaku Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam pada suatu hari: "Wahai 'Âisyah, apakah kalian memiliki sesuatu dari makanan? Aku berkata: "Wahai Rasûlullâh kami tidak memiliki sesuatu apapun dari makanan." Beliaupun berkata: "Kalau begitu aku puasa." Riwayat Muslim.


Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada hari Kamis bertepatan dengan hari 'Arafah tanggal 9 Dzulhijjah 1440 / 30 Juli 2020 di Maktabah Al-Khidhir Bekasi.

BIOGRAFI ASY-SYAIKH ABÛ ABDILLÂH MA'MÛN ADH-DHÂLI'I RAHIMAHULLÂH

 

Nama dan Nasab Beliau Rahimahullâh

Beliau Rahimahullâh adalah Asy-Syaikh Abû Abdillâh Ma'mûn bin Abdillâh bin Shâlih Adh-Dhâli'î Rahimahullâh. Beliau Rahimahullâh berasal dari propinsi Dhâli', bertetangga dengan propinsi Ibb di Yaman.

Kesungguhan Beliau Rahimahullâh Dalam Menuntut Ilmu

Beliau Rahimahullâh termasuk salah seorang penuntut ilmu yang memiliki semangat tinggi dalam menuntut ilmu, seorang syaikh berkata tentang beliau Rahimahullâh:

الشَّيْخُ مَأْمُوْنٌ الضَّالِعِيُّ يَحْفظُ الْقُرْآنَ وَرِيَاضَ الصَّالِحِيْنَ

"Asy-Syaikh Ma'mûn Adh-Dhâli'î, beliau hafal Al-Qur'ân dan Riyâdhush Shâlihîn".
Dan beliau Rahimahullâh pernah menyebutkan kepada kami bahwa beliau Rahimahullâh ingin memulai menghafal hadîts-hadîts dengan tanpa menghafal sanadnya. Beberapa hari sebelum terjadi pengepungan Dammâj, beliau Rahimahullâh meminta kepada kami untuk memberikan beberapa mutûn ahâdîts untuk beliau Rahimahullâh hafal sebagai tambahan hafalan beliau terhadap "Mukhtshar Shahîh Muslim" yang telah beliau Rahimahullâh hafal, karena setelah 'Idul Adhâ beliau Rahimahullâh rencana akan keluar dakwah, namun belum sempat beliau Rahimahullâh keluar dakwah, sudah terjadi pengepungan terhadap Dammâj oleh kaum Hutsî dan terjadi perang dahsyat.

Beliau Rahimahullâh termasuk dari para pengajar di Dârul Hadîts Dammâj

Beliau Rahimahullâh termasuk dari para pengajar di Dârul Hadîts Dammâj dan beliau Rahimahullâh sering keluar dakwah ke beberapa daerah di Yaman.
Beliau Rahimahullâh ketika di Dammâj menekuni ilmu "Musthalahul Hadîts", beliau Rahimahullâh mengajarkan ilmu syar'î pada bidang tersebut secara berurutan, mulai dari "Baiqûniyyah" hingga "Dhawâbith Al-Jarhi wat Ta'dîl".

Kitab Dan Karya Tulis Beliau Rahimahullâh

Beliau Rahimahullâh di samping menuntut ilmu, mengajar dan keluar berdakwah, beliau Rahimahullâh menyempatkan pula membahas dan menulis, beliau Rahimahullâh bekerja sama dengan kami dalam memegang kunci ruang komputer Dârul Hadîts Dammâj, beberapa hari sebelum adanya pengepungan terhadap Dammâj, beliau Rahimahullâh meminta tolong kepada kami untuk mengirimkan dua tulisan beliau Rahimahullâh ke salah satu penerbit kitâb di Mesir, beliau Rahimahullâh menemani kami ke internet, lalu kami kirimkan dua tulisan beliau Rahimahullâh tersebut, semoga Allâh memberkahi tulisan-tulisan kami dan tulisan-tulisan beliau Rahimahullâh dan menjadikannya bermanfaat.
Diantara tulisan-tulisan beliau Rahimahullâh yang adalah:
1. Asy-Syarhu Al-Mukhtashar 'Alâ An-Nuzhatin Nazhar.
2. Nashihatun Liahlissunnati khushûshan Walil Muslimîna 'Umûman.

Dan salah seorang syaikh berkata tentang beliau Rahimahullâh:

وَلَهُ مُؤَلَّفَاتٌ وَتَحْقِيْقَاتٌ وَرُدُوْدٌ عِلْمِيَّةٌ

"Dan beliau memiliki tulisan-tulisan, penjelasan-penjelasan berupa catatan kaki dan bantahan-bantahan ilmiyyah".

Luasnya Wawasan Beliau Rahimahullâh

Walau pun beliau Rahimahullâh menekuti bidang "Ilmu Musthalah" namun bukan berarti beliau lemah dalam masalah ilmu yang lainnya, justru beliau menonjol pula pada bidang yang lainnya, pernah kami mendengarkan penjelasan beliau yang lebih terperinci tentang masalah aqîdah, ketika ada salah seorang pengajar aqîdah memiliki satu permasalahan, maka beliau Rahimahullâh menjelaskannya dengan lebih terperinci dan lebih mendeteil.
Ini menunjukan bahwa setiap ada yang berilmu mesti ada yang lebih berilmu darinya:

وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيمٌ

"Dan di atas setiap orang yang berilmu itu ada lagi yang lebih berilmu". [Yusûf: 76].

Menyambut Seruan Jihad

Kebiasaan beliau Rahimahullâh dalam setiap harinya adalah menuntut ilmu, mengajar, membahas dan menulis, bersamaan dengan itu beliau Rahimahullâh menjadi komandan dan penanggung jawab jaga di Jabal Thullâb untuk orang-orang Dhâli', ketika beliau Rahimahullâh mencari kami untuk meminjam kunci ruang komputer dan mengetahui kami sedang jaga, maka beliau Rahimahullâh menuturkan bahwa beliau Rahimahullâh selaku penanggung jawab jaga untuk qabilahnya tidak dikenai jaga, karena terus mengontrol pasukannya, beliau Rahimahullâh menginkan agar kami sebagai penanggung jawab jaga untuk orang-orang Indoensia dan Malaysia tidak pula ikut jaga namun cukup mengontrol pasukan jaga saja, namun kami ingin merangkul, bisa jaga, bisa mengontrol yang jaga serta bisa melaksanakan aktivitas lainnya, Walhamdulillâh.
Keberadaan beliau Rahimahullâh tidak jaga namun mâsyâ Allâh, ketika sudah bunyi tembakan-tembakan maka beliau Rahimahullâh langsung meninggalkan aktivitas beliau Rahimahullâh dan lalu pergi menuju tempat terjadinya pertempuran.
Kebiasaan beliau Rahimahullâh sering ke Jabal Thullâb, namun ketika beliau Rahimahullâh mendengar bahwa guru kami Asy-Syaikh Abû Abdillâh Kamâl bin Tsâbit Al-Adnî Rahimahullâh telah terbunuh di Masâdir maka beliau Rahimahullâh langsung turun dari Jabal Thullâb menuju ruang komputer dengan berpakaian lengkap untuk siap tempur, ketika beliau Rahimahullâh berjumpa dengan kami di jalan dari arah kampung Wathân, maka kami bersama beliau Rahimahullâh ke ruang komputer, beliau Rahimahullâh ingin mengambil sesuatu di ruang komputer kemudian beliau Rahimahullâh langsung ke Masâdir untuk menjemput mati syahîd -semoga Allâh menjadikan kita dan beliau termasuk dari para syuhadâ'-.
Beliau Rahimahullâh bersama satu pasukan sekitar 20 orang bergegas menuju pemukiman Ãlu Mannâ' untuk maju ke Masâdir, ketika kami dari kampung Wathan melihat serangan kaum kâfir râfidhah semakin dahsyat terhadap Masâdir, maka kami bersama pasukan Asy-Syaikh 'Abdullâh Muzâhim Rahimahullâh yang masih ada di maktabah langsung bergegas menuju ke pemukiman Ãlu Mannâ', sesampainya kami di Ãlu Mannâ', kami mendapati beberapa kawan menemani Asy-Syaikh Al-'Amûdî 'Afallâhu 'Anhu yang sedang terluka, kami menanyakan bagaimana dengan keadaan guru kami Asy-Syaikh Ma'mûn Rahimahullâh, mereka menjawab bahwasanya beliau Rahimahullâh dan beberapa kawan sudah tidak bisa mundur karena sudah terjepit, kami mencoba memperhatikan dari salah satu rumah tinggi di ujung pemukiman Ãlu Mannâ' namun tidak terlihat lagi, pada besok harinya kami bersama 5 kawan mencoba untuk maju, namun sudah tidak bisa lagi, karena râfidhah bertambah maju ke kebun di dekat pemukiman Ãlu Mannâ', kami berlima hanya bertahan di perbatasan, di tengah kebun anggur antara Ãlu Mannâ' dengan Masâdir, dari pagi hingga jam 1 malam baru kami bisa keluar dari perbatasan tersebut.
Ketika kami keluar, kami berjumpa dengan Al-Ustâdz Muhammad Ar-Râfi'î Al-Jâwî Rahimahullâh, beliau Rahimahullâh berkata: "Dari mana antum tadi?", kami menjawab: "Dari kebun di depan sana", beliau Rahimahullâh langsung berucap: "Astaghfirullâh, kami mengira yang di sana itu hutsî (yakni râfidhah), ngawur sekali orang-orang Shaumalia yang jaga di bawah pohon itu, mereka bilang yang di depan mereka adalah para hutsî, ana pun menembakan mortir ke tempat antum tadi, juga ana ditelpon teman-teman di Wathan, mereka bertanya ke arah mana mereka akan tembakan mortir, ana bilang ke kebun itu, ternyata di situ antum, ‘afwân Akhânâ, Astaghfirullâh, terus tembakan mortir kami tadi jatuh di mana?". Kami jawab: "Kami tidak tahu lagi, yang jelas mortirnya jatuh ke kiri ke kanan, di depan di belakang, dan berkali-kali tank hutsî menembak ke kami, sampai senjata kami tertimbun tanah, belum lagi mereka bertambah dekat, hingga menghujani kami dengan lemparan-lemparan geranat.....". Beliau berkata: "Alhamdulillâh antum tidak apa-apa". Kami jawab: "Alhamdulillâh, namun kawan-kawan kita yang kemarin sekitar 30 orang sudah tidak bisa lagi mundur", mungkin sudah pada meninggal wafat".
Besok paginya, seorang orator râfidhah berteriak lewat pengeras suara dengan menyatakan bahwa kawan-kawan kami telah mati di kebun-kebun anggur, mereka menantang sambil bertanya: "Mana karâmahnya mereka?! kenapa jenâzah-jenâzah mereka telah hancur dan busuk?". Padahal ketika itu mereka baru selesai menghancurkan dan merusak tubuh-tubuh para jenâzah kawan-kawan kami, sebagaimana dahulu mereka merusak jenâzah kawan-kawan kami pada pengepungan yang pertama, dan tampak kejelekan dan kedustaan mereka, ketika salah seorang kawan terbunuh di kebun anggur, setengah badannya tertimbun tanah dan setengah badannya lagi terlihat, para râfidhah merusak badan yang yang terlihat tadi hingga yang tersisa hanya tengkorak namun sebagian yang tertimbun masih utuh, tidak dimakan oleh tanah, Walhamdulillâh.
Ketika Asy-Syaikh Abû Abdirrahmân Yahyâ Al-Hajûrî 'Afallâhu 'Anhu memutuskan untuk hijrah dari Dammâj, dengan memberikan beberapa persyaratan, di antaranya hendaknya diserahkan tengkorak-tengkorak dari jenâzah kawan-kawan kami, maka pada hari kedua sebelum hijrah meninggalkan Dammâj, dikumpulkanlah jenâzah-jenâzah tersebut, semuanya 30 jenâzah lebih, dan semuanya dikebumikan di pemakan syuhadâ' baru di Dammâj, -semoga Allâh menjadikan kita dan mereka termasuk dari para syuhadâ.

Dinukil dari buku “Mengenang Para Pengemudi Perahuku Yang Berlayar Mengarungi Samudera Ilmu” karya Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir penerbit Maktabah Al-Khidhir Bekasi.




MENGUTAMAKAN PUASA 'ARAFAH



Pertanyaan:
'Afwân yâ Ustâdz ada yang ingin bertanya, apakah boleh orang yang berpuasa Dâwud pada awal-awal Dzulhijjah ini lalu dia berpuasa 'Arafah lagi yâ Ustâdz?

Jawaban:
Bagi yang berpuasa Dâwud atau yang mengqadhâ puasa Ramadhân pada hari-hari permulaan Dzulhijjah ini hendaklah dia mencukupkan pada tanggal 8 Dzulhijjah lalu pada tanggal 9 Dzulhijjah dia berpuasa 'Arafah, sehingga tidak ketinggalan keutamaan puasa 'Arafah yang disebutkan oleh Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ

"Menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang." Riwayat Muslim (no. 2804).
Kita anjurkan demikian karena puasa Dâwud dan mengqadhâ puasa Ramadhân waktunya luas, dapat dilakukan setelah ayyâmut tasyrîq pada bulan Dzulhijjah atau pada bulan-bulan lainnya.

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada hari Rabu tanggal 8 Dzulhijjah 1440 / 29 Juli 2020 di Maktabah Al-Khidhir Bekasi.



Selasa, 28 Juli 2020

AMBILLAH ILMU KEBENARAN YANG KAMU BUTUHKAN


Pertanyaan:
Bolehkah bagi seseorang yang mengaku salafî menganjurkan menggunakan buku Iqrâ' yang ditulis oleh seorang kyai Nahdhiyyîn karena buku itu lebih baik dan dia tidak menganjurkan menggunakan buku Iqrâ' Qîra'atî yang ditulis dua orang Ustâdz Tsâbitîn karena katanya keduanya telah menyimpang dan belum taubat dari hizbiyyah memecah bela dakwah Salafiyyah di Indonesia?

Jawaban:
Seseorang yang mengaku sebagai salafî hendaklah dia inshâf dan 'adl, kalau tidak menyukai seseorang karena adanya khilâf dan perbedaan maka jangan pula membenci kebaikan dan kebenaran yang ada padanya. 
Apakah orang yang mentahdzîr manusia dari kitâb Iqrâ' Qîra'atî telah mendapati pada kitâb tersebut ada penyimpangan dan kesesatan? Atau seperti orang yang mentahdzir manusia dari kitâb At-Tuhfah Al-Washâbiyyah lalu dia menganjurkan kitâb Al-Muyassar, apakah memang kitâb itu ada penyimpangan dan kesesatan padanya?. 
Jika mau beralasan karena penulisnya bermasalah, kenapa tidak sekalian permasalahkan Mushhaf Al-Qur'ãn yang ayat-ayatnya telah diharakati dan dibuatkan ajzâ' dan ahzâb? Bukankah Al-Hajjâj bin Yûsuf Ats-Tsaqafî yang telah memerintahkan Nashr bin 'Âshim dan Yahyâ bin Ya'mar untuk meletakkan ajzâ' dan ahzâb di dalam mushhaf Al-Qur'ãn? Kenapa tidak sekalian tinggalkan karena itu atas jasa Al-Hajjâj penguasa zhâlim yang telah melakukan pembunuhan di antara Shahabat Nabî, membunuh sebagian Tâbi'în dan sebagian Ahlul Bait.
Sebagian orang di zaman ini kalau sudah benci orang lain maka kebaikan dan kebenaran darinya dipungkiri dengan berbagai alasan, alasan menyimpang sudah pasti dan alasan belum taubat tentu diikutkan pula, yakni taubat sesuai kriteria mereka, taubat sesuai versi mereka, yaitu harus datang kepada mereka menyatakan bersama mereka, harus kumpul bersama mereka dan bersedia dikomando oleh pembesar mereka atau harus bersedia untuk berbicara terhadap pihak yang berseberangan dengan mereka, atau kalau tidak akan dibongkar dan dibeberkan aib-aibnya atas nama penjagaan kesucian dakwah atau masih dipertanyakan kebaikannya. Seakan-akan mereka tidak menyimpang dan seolah-olah taubat mereka telah pasti diterima, seakan-akan An-Nawawî, Al-'Asqalanî, Al-Haitamî dan Az-Zamakhsyarî telah taubat dan bersih sehingga dikhususkan mereka. Ilmu, kebenaran dan kebaikan dari mereka harus diambil, kalau ilmu, kebenaran dan kebaikan yang ada di kitâb seperti Iqrâ Qîra'atî tidak boleh diambil bahkan diperintahkan untuk dijauhi dan diwaspadai. 

Sudah banyak yang bertanya kepada kita tentang kitâb Iqrâ Qîra'atî dan juga kitâb Iqrâ, kita nasehatkan ambil darinya dan ajarkan sesuai kebutuhan, jika kitâb Iqrâ Qîra'atî ada maka utamakan daripada kitâb Iqrâ, kalau tidak ada atau tidak dapatkan kecuali kitâb Iqrâ maka gunakan sesuai kebutuhan. 
Sebagian orang menghalang-halangi kitâb seperti ini, pada akhirnya umat terjauhkan dari kebaikan dan ilmu, bahkan sampai kita dapati suatu kaum yang benci dengan kitâb seperti itu, di masjid mereka tidak ada pembelajaran cara membaca Al-Qur'ãn dengan baik dan benar, kitâb seperti itu tidak ada, apalagi mengajarkannya. Tatkala kita shalat di belakang Ustâdz mereka yang menjadi imâm, sungguh bacaannya tidak benar, pengucapan huruf tidak bisa bedakan, apalagi panjang pendek benar-benar tidak bisa bedakan. 
Keadaan seperti itu benar-benar suatu kesalahan fatal, namun karena mereka memilih fatwâ orang yang mereka kibârkan:

ﺍﻟْﺠَﻬْﻞُ ﺃَﻓْﻀَﻞُ ﻣِﻦْ ﺃَﺧْﺬِ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢِ ﻋَﻦْ ﺃَﻫْﻞِ ﺍﻟْﺒِﺪَعِ 

"Kebodohan itu lebih utama daripada mengambil ilmu dari Ahlul Bid'ah."
Maka merekapun tidak mau menyadari keadaan mereka, sehingga keberadaan mereka seakan-akan seperti yang Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ katakan:

ٱلَّذِینَ ضَلَّ سَعۡیُهُمۡ فِی ٱلۡحَیَوٰةِ ٱلدُّنۡیَا وَهُمۡ یَحۡسَبُونَ أَنَّهُمۡ یُحۡسِنُونَ صُنۡعًا

"Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatan mereka di kehidupan dunia ini, dalam keadaan mereka menyangka bahwa mereka berbuat yang terbaik." [Surat Al-Kahfi: 104].

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada hari Selasa tanggal 7 Dzulhijjah 1440 / 28 Juli 2020 di Maktabah Al-Khidhir Bekasi.

Sabtu, 25 Juli 2020

SEMOGA ALLÂH MERAHMATI ASY-SYAIKH 'ABDURRAHMÂN AL-'ADNÎ


📱 Pertanyaan:
Benarkah Asy-Syaikh 'Abdurrahmân bin Mar'î Al-'Adnî gurunya Ustâdz?

📲 Jawaban:
Alhamdulillâh kami telah berjumpa dengan Asy-Syaikh 'Abdurrahmân bin Mar'î Al-'Adnî Rahmatullâh 'Alainâ wa 'Alaih dan kami ikut pula menghadiri daurahnya di Yogyakarta, di saat itu kami sedang menunggu pemberangkatan ke Dârul Hadîts Dammâj. Dengan demikian pantas bagi kami untuk menganggapnya sebagai guru kami, berkata Al-Imâm Ibnu Bâzz Rahmatullâh 'Alainâ wa 'Alaih:

فَإِنَّ صَاحِبَ الحَلْقَةِ العِلمِيَّةِ أَو خُطبَةِ الجُمعَةِ شَيخٌ لِلسَّامِعِينَ، فَهٰذَا لَا يُقَالُ: إِنَّهُ لَيسَ بِشَيخٍ لَهُمْ

"Sesungguhnya orang yang menyampaikan ilmu di majelis ilmu atau menyampaikan khutbah pada hari Jum'at itu adalah guru bagi orang-orang yang mendengarkannya, orang ini tidak dikatakan bukan guru mereka."

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada malam Selasa tanggal 3 Jumâdil Akhir 1441 / 27 Januari 2020 di Mutiara Gading Timur 2 Bekasi.


SUPAYA TIDAK MEREMEHKAN NI'MAT ALLÂH SUBHÂNAHU WA


Pertanyaan:
Ustâdz, bagaimana caranya supaya kami tidak meremehkan karunia Allâh atas kami? Mohon nasehat dan bimbinglah kami agar kami bisa ridhâ. Terima kasih.

Jawaban:
Kami nasehatkan dengan perkataan Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لاَ تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ

"Lihatlah oleh kalian kepada orang yang lebih rendah dunianya di antara kalian dan janganlah kalian melihat kepada orang yang dunianya di atas kalian, karena itu akan membuat kalian untuk tidak meremehkan ni'mat Allâh atas kalian.” Riwayat Muslim.

Orang-orang seperti kita jangan sekali-kali melihat kepada orang yang di atas kita pada perkara kelebihan dan keni'matan dunia, terkadang orang yang berkelebihan dunianya untuk mendapatkan uang ratusan ribu rupiah itu hanya hitungan jam, sedangkan orang-orang yang dunianya di bawah kita untuk mendapatkan ratusan ribu rupiah itu terkadang memerlukan waktu sebulan atau terkadang lebih. Oleh karena itu supaya tidak berputus asa dan tidak meremehkan keni'matan dan karunia Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ maka hendaklah kita melihat kepada saudara-saudari kita yang lebih rendah dunianya daripada kita.
Sungguh kita sangat kagum terhadap seorang ibu, suaminya berusaha untuk bisa menjamin kehidupan rumah tangga namun isterinya masih ingin berusaha sehingga dari usahanya dapat ia gunakan untuk bersedekah dan membantu yang lemah. Tatkala suaminya mengetahui pendapatan isterinya pada bulan yang pertama hanya Rp 300.000, suaminya terharu. Di saat mendengarkan ucapan isterinya: "Alhamdulillâh bisa mendapatkan uang seperti ini dengan tanpa menerlantarkan anak-anak, dan masih bisa membantu dakwah sebisa mungkin." membuat suaminya meneteskan air mata, Mâsyâ Allâh. 

Sungguh mengingatkan kita dengan Salmân Al-Fârisî Radhiyallâhu 'Anhu wa 'Annâ, beliau tatkala masih berstatus sebagai budak, beliau mengumpulkan kurma untuk beliau sedekahkan dan atau hadiahkan kepada Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam dan para Shahabatnya dalam keadaan beliau sebagai budak ketika itu, tentu lebih sulit untuk bisa mendapatkan kurma, namun masyâ Allâh niat baik dan keinginan yang tinggi dapat beliau lakukan. Lâ haula walâ quwwata illâ Billâh.

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada malam Ahad tanggal 5 Dzulhijjah 1440 / 26 Juli 2020 di Maktabah Al-Khidhir Bekasi.

NASEHAT UNTUK SEMUA ORANG TERHORMAT


Pertanyaan:
Ustâdz pada jawaban Ustâdz tentang kewajiban shalat berjamâ'ah di masjid dengan nukilan Ustâdz terhadap pendapat Syaikhunâ Yahyâ Al-Hajûrî, sementara di antara isi pertanyaan menyebutkan tentang tahdziran Al-Ustâdz Muhammad As-Sewed terhadap Syaikhunâ Yahyâ Al-Hajûrî, apakah Ustâdz bersengaja mendiamkannya? Dan tidak mau menanggapinya? Ataukah sudah ada dari Ustâdz-ustâdz yang telah membantahnya?
'Afwân Ustâdz, di sini ana kutipkan lagi lebih jelasnya tentang tahdziran Al-Ustâdz Muhammad As-Sewed seperti ini:
Penanya: Saya baru saja mengikuti manhaj salaf. Saya mau bertanya, siapakah syaikh (Yahyâ Al-Hajûrî) dan bagaimana manhajnya?
Al-Ustâdz Muhammad As-Sewed menjawab: Syaikh Yahyâ, Syaikh Yahyâ Al-Hajûrî? Ikhwânî fiddîn A'azakumullâh, Syaikh Yahyâ sudah ditahdzir oleh para 'ulamâ. Disebut bahwa dia dhal mudhil, yang sesat dan menyesatkan. Sehingga hendaklah dijauhi Syaikh Yahyâ dan pengikut-pengikutnya. Jauhi mereka! Jangan duduk bersama mereka! Jangan ngaji di tempat mereka! Jangan dekat-dekat dengan mereka! Kalau datang, nanti diusir! Jangan boleh masuk ke masjid kita, ke pondok-pondok kita. Bârakallâhufîkum. Dan itu ucapan Asy-Syaikh Muhammad bin Hâdî menyatakan: "Kalau datang ke sini, sebelum ngomong kamu usir! Supaya jangan ada kalimat yang masuk ke telinga kamu!."

Jawaban:
Tahdzîran Al-Ustâdz Muhammad As-Sewwed terhadap Asy-Syaikh Yahyâ Al-Hajûrî 'Afallâhu 'Annâ wa 'Anhum tidaklah ilmiyyah dan tidak berbobot, bukanlah mengarahkan orang-orang yang baru mengenal manhaj salaf untuk mengenal lebih dekat tentang manhaj salaf, justru mengarahkan mereka untuk taqlîd dan ikut-ikutan. 
Siapa dari 'ulamâ di zaman ini yang tidak ditahdzîr? Bahkan para 'ulamâ yang beliau isyaratkan dan para 'ulamâ yang menjadi rujukannya juga telah ditahdzîr, kalau orang hanya sekedar mengambil ucapan "sudah ditahdzir" lalu dia meninggalkan semua 'ulamâ tanpa terkecuali karena seluruhnya telah ditahdzir atau kalau seseorang hanya sekedar mengambil ucapan "sudah ditahdzir" lalu dia tidak mau mengikuti dalîl-dalîl dan tidak mau pula melihat kebenaran maka sungguh dia telah berada di dalam ujian dahsyat:

مَنْ لَمْ يَتَّبِعِ الْأَدِلَّةَ ابْتَلَاهُ اللّٰهُ بِاتِّبَاعِ الدَّجَاجِلَةِ

"Barangsiapa yang tidak mengikuti dalîl-dalîl maka Allâh memberikan ujian kepadanya dengan mengikuti Dajjâl-Dajjâl (para pendusta)."

Tahdzîran Al-Ustâdz Muhammad As-Sewwed itu tidaklah memberi manfaat untuk dirinya sendiri, namun kita khawatirkan akan menambah berat timbangan kesalahannya dan akan mempertebal catatan amal kejeleknya:

وَوُضِعَ الْكِتَابُ فَتَرَى الْمُجْرِمِينَ مُشْفِقِينَ مِمَّا فِيهِ وَيَقُولُونَ يَا وَيْلَتَنَا مَالِ هَٰذَا الْكِتَابِ لَا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً إِلَّا أَحْصَاهَا ۚ وَوَجَدُوا مَا عَمِلُوا حَاضِرًا ۗ وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا

"Diletakkanlah catatan amalan, lalu kamu akan melihat orang-orang bersalah ketakutan terhadap apa yang tertulis di dalamnya, dan mereka berkata: "Aduhai celaka kami, tulisan apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak pula yang besar, melainkan mencatat semuanya. Mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan telah tertulis, dan Rabbmu tidaklah menganiaya seorang pun". [Surat Al-Kahfi: 49].

Tidakkah Al-Ustâdz Muhammad As-Sewwed mau menyadari dirinya 'Afallâhu 'Annâ wa 'Anhu? Tidakkah kita semua mau mengambil pelajaran dari masa-masa yang pernah kita semua lalui? 

لاَ يُلْدَغُ الْمُؤْمِنُ مِنْ جُحْرٍ وَاحِدٍ مَرَّتَيْنِ

"Tidaklah seorang beriman akan terjatuh ke lubang yang satu sebanyak dua kali." Riwayat Al-Bukhârî dan Muslim.

Tidakkah kita semua mau membuka mata hati kita untuk melihat kebenaran sebelum masa melampui kita?:

أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ ۖ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ

"Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allâh dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang terdahulu yang telah diturunkan Al-Kitâb kepada mereka, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fâsiq." [Surat Al-Hadîd: 16].

Tidakkah kita menyadari bahwa masing-masing kita akan menghadap kepada Allâh Ta'âlâ? Berkata guru kami Asy-Syaikh Abû Hâtim Sa'îd Al-Yâfi'î Rahmatullâh 'Alainâ wa 'Alaih:

وَكُلُّ إِنْسَانٍ حَجِيجُ نَفْسِهِ بَينَ يَدَي اللّٰهِ يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ * إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ

"Setiap manusia adalah terhujati dengan dirinya sendiri di hadapan Allâh, pada hari yang tidak bermanfaat lagi harta dan anak keturunan kecuali orang yang datang kepada Allâh dengan hati yang selamat."

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada 23 Jumâdil Ãkhirah 1438 di Binagriya Pekalongan. 



Jumat, 24 Juli 2020

KITA TETAP SHALAT BERJAMÂ'AH MESKIPUN DI BELAKANG ORANG YANG MEMBENCI KITA



Pertanyaan:
Ada seorang dâ'î yang bernama Al-Ustâdz Muhammad 'Umar As-Sewwed, dia sangat benci dengan Asy-Syaikh Yahyâ Al-Hajûrî, dia berkata: "Ikhwânî fiddîn A'azakumullah, Syaikh Yahyâ sudah ditahdzir oleh para 'ulamâ. Disebut bahwa dia dhal mudhil, yang sesat dan menyesatkan. Sehingga hendaklah dijauhi Syaikh Yahyâ dan pengikut-pengikutnya. Jauhi mereka! Jangan duduk bersama mereka! Jangan ngaji di tempat mereka! Jangan dekat-dekat dengan mereka! Kalau datang, nanti diusir! Jangan boleh masuk ke masjid kita, ke pondok-pondok kita. Bârakallâhufîkum. Dan itu ucapan Asy-Syaikh Muhammad bin Hâdî menyatakan: "Kalau datang kesini, sebelum ngomong kamu usir! Supaya jangan ada kalimat yang masuk ke telinga kamu!".
Dengan tahdziran itu saya dan teman-teman sebagai pemula yang baru-baru mengenal dakwah Ahlissunnah merasa minder dan malu untuk shalat ke masjid mereka. Apakah dengan demikian saya boleh tidak mengikuti shalat berjamâ'ah di masjid? Karena di masjid orang awam shalatnya mereka sangat tidak tuma'ninah, wajib-wajib di dalam shalat banyak terabaikan, mau cari masjid lain sangat jauh dari tempat tinggal kami, yang ada hanya masjid orang-orang dâ'î tadi, bagaimana ini Ustâdz?

Jawaban:
Shalat berjamâ'ah adalah suatu kewajiban bagi para lelaki, dengan demikian tidak boleh ditinggalkan kecuali ada udzur syar'î seperti:
1) Sedang safar dalam keadaan bersendirian.
2). Sedang sakit yang membuat seseorang tidak bisa keluar untuk shalat berjamâ'ah.
3). Bila sedang hujan.
4). Bila tidak ada lagi jamâ'ah kaum Muslimîn.
Adapun kalau masih ada jamâ'ah kaum Muslimîn maka kewajiban shalat berjamâ'ah tidaklah gugur, walau pun jamâ'ah kaum Muslimîn itu dipimpin atau diimami oleh orang zhâlim, yang suka menyakiti orang-orang Islâm dengan lisannya maupun dengan perbuatannya, namun tidaklah boleh meninggalkan shalat berjamâ'ah di belakang mereka. 
Begitu pula kalau yang mengimami itu adalah Ahlul Bid'ah maka boleh shalat di belakang mereka, selama kebid'ahan mereka tidak sampai mengeluarkan mereka dari keislaman, demikian yang difatwakan oleh Asy-Syaikh Yahyâ bin 'Alî Al-Hajûrî 'Afallâhu 'Annâ wa 'Anhu, beliau pernah berkata:

وَإِنْ كَانَ عِنْدَهُ بِدَعٌ غَيرُ مُكَفِّرَةٍ بِدَعٌ مُفَسِّقَةٌ فَقَطْ وَمَا وَجَدَ ذٰلِكَ الْمُصَلِّي سُنِيًّا يُصَلِّي خَلْفَهُ فَلَهُ أَنْ يُصَلِّي خَلْفَ ذٰلِكَ الْفَاسِقِ، وَصَلَاتُهُ صَحِيحَةٌ

"Jika keberadaan imâm itu ada padanya bid'ah-bid'ah yang bukan bid'ah kekafiran yakni bid'ah kefasîqkan saja dan orang yang shalat tersebut tidak mendapati seorang Ahlussunnah untuk shalat di belakangnya maka dia shalat di belakang orang yang fâsiq tersebut dan shalatnya adalah sah."
Setelah beliau berpendapat demikian beliau bawakan dalîl:
 
أَنَّ أَنَسًا وَابْنَ عُمَرَ صَلَّيَا خَلْفَ الْحَجَّاجِ وَكَانَ نَاصِبِيًّا

"Bahwasanya Anas dan Ibnu 'Umar keduanya shalat di belakang Al-Hajjâj dan keberadaan Al-Hajjâj adalah nâshibî." Yakni dia memusuhi Ahlul Bait.
Berkata pula Asy-Syaikh Yahyâ bin 'Alî Al-Hajûrî 'Afallâhu 'Annâ wa 'Anhu:

وَهٰذَا مِنْ مُعْتَقَدِ أَهْلِ السُّنَّةِ وَقَولِ جَمَاهِيرِ أَهْلِ الْعِلْمِ، صَلَاتُهُ صَحِيحَةٌ، وَالْأَفْضَلُ الصَّلَاةُ خَلْفَ السُّنِّيِّ إِنْ وُجِدَ

"Ini termasuk dari 'aqîdah Ahlissunnah dan perkataan kebanyakan dari Ahlul 'ilmi, shalatnya adalah sah, dan yang paling utama adalah shalat di belakang seorang Ahlussunnah jika didapati."
Berkata Al-Imâm Ath-Thahâwî Rahmatullâh 'Alainâ wa 'Alaih:

وَنَرَى الصَّلاَةَ خَلْفَ كُلِّ بِرٍّ وَفَاجِرٍ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ وَعَلَى مَنْ مَاتَ مِنْهُمْ

"Kami berpendapat tentang shalat di belakang setiap orang yang baik dan yang jahat dari kalangan orang-orang Islâm dan menshalatkan orang yang telah mati dari kalangan mereka."

Akhî Fillâh Rahmatullâh 'Alainâ wa 'Alaik, bila kamu mendapati keberadaan di masjid orang awam dalam pelaksanaan shalat tidak tuma'ninah maka jangan kamu shalat bersama mereka di masjid tersebut, karena shalat seperti itu tidaklah sah, Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam berkata kepada orang yang tidak benar shalatnya atau orang yang tidak tuma'ninah dalam shalatnya:

ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ

"Kembalilah kamu lalu shalatlah karena sesungguhnya kamu belum shalat."
Dengan demikian maka tidak mengapamu datang untuk shalat di masjid orang-orang yang bersama Al-Ustâdz Muhammad As-Sewed tersebut, kamu datang dengan niat melaksanakan kewajiban shalat berjamâ'ah setelah itu kamu pergi, bila mereka tidak membolehkanmu shalat berjamâ'ah di masjid mereka atau ketika kamu datang langsung mereka mengusirmu maka pergilah, dengan demikian kewajiban shalat berjamâ'ah di masjid telah gugur bagimu. Kamu kembali ke rumah lalu shalat berjamâ'ah dengan isteri atau anak-anakmu. Bila memungkinkan bagimu untuk membangun masjid kecil di samping rumahmu maka bangunlah masjid, sehingga keberadaanmu sama dengan salaf kita yaitu Abû Bakr Ash-Shiddîq Radhiyallâhu 'Annâ wa 'Anhu, ketika beliau dihalangi dari beribadah kepada Allâh di Masjid Harâm maka beliau membangun masjid kecil di halaman rumah beliau.

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada tanggal 19 Jumâdil Úlâ 1438 di Maos Cilacap. 



SIKAP YANG BENAR TERHADAP KESALAHAN AL-IMÂM AN-NAWAWÎ DAN IBNU HAJAR DALAM PERKARA 'AQÎDAH


Pertanyaan:
Bagaimana sikap kita terhadap perkataan sebagian orang bahwa Imâm Nawawî dan Ibnu Hajar juga tergelincir dalam 'aqîdah? 

Jawaban:
Kesalahan Al-Imâm An-Nawawî dan Ibnu Hajar Al-'Asqalanî dalam perkara 'aqîdah merupakan perkara yang sudah diketahui oleh Ahlul 'Ilmi, dengan itu mereka memperingatkan umat dari kesalahan keduanya, karena menjelaskan kesalahan merupakan suatu kewajiban bagi yang mengilmuinya, dengan itu orang-orang yang beriman akan memperoleh manfaat darinya:

وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَىٰ تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ

"Berilah peringatan karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman." [Surat Adz-Dzâriyât: 55]

Bersamaan dengan itu Ahlul 'Ilmi juga tetap menasehatkan untuk mengambil faedah ilmiyyah dari kedua imâm tersebut, bahkan ketika ada orang yang terlalu berlebih-lebihan dalam mentahdzîr dan menyikapi kedua imâm tersebut maka Ahlul 'Ilmi pun berbicara dan menyikapinya, pernah ada seseorang syaikh yang dikenal dengan Al-Haddâdî memerintahkan untuk membakar kitâb Fathul Bârî karya Ibnu Hajar, alasannya karena kitab tersebut terdapat kesalahan-kesalahan dalam masalah 'aqîdah, Al-Imâm Al-Wâdi'î ketika mendengar pernyataannya maka beliau langsung menjarhnya dengan jarh yang cukup keras. 
Tentang keadaan Al-Imâm An-Nawawî dan Ibnu Hajar telah dibicarakan oleh Ahlul 'Ilmi, ketika ada dari sebagian orang yang mutasyaddid menghukumi keduanya termasuk dari Ahlul Bid'ah maka Ahlul 'Ilmi tidak menyepakati penghukuman tersebut, karena keberadaan keduanya tidak bermaksud untuk menyelisihi dalîl dari Al-Qur'ãn dan As-Sunnah, berkata Asy-Syaikh Al-Albânî tentang Al-Imâm An-Nawawî, Ibnu Hajar dan yang semisal keduanya:

ﻣِﻦَ ﺍﻟﻈُّﻠْﻢِ ﺃَﻥْ ﻳُﻘَﺎﻝَ ﻋَﻨْﻬُﻢْ: ﺇِﻧَّﻬُﻢْ ﻣِﻦْ ﺃَﻫْﻞِ ﺍﻟْﺒِﺪَﻉِ، ﺃَﻧَﺎ ﺃَﻋْﺮِﻑُ ﺃَﻧَّﻬُﻤَﺎ ﻣِﻦَ ﺍﻷَﺷَﺎﻋِﺮَﺓِ، ﻟَﻜِﻨَّﻬُﻤَﺎ ﻣَﺎ ﻗَﺼَﺪُﻭﺍ ﻣُﺨَﺎﻟَﻔَﺔَ ﺍﻟْﻜِﺘَﺎﺏِ ﻭَﺍﻟﺴُّﻨَّﺔِ، ﻭَﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻭَﻫِﻤُﻮﺍ ﻭَﻇَﻨُّﻮﺍ ﺃَﻧَّﻤَﺎ ﻭَﺭِﺛُﻮْﻩُ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻌَﻘِﻴْﺪَﺓِ ﺍﻷَﺷْﻌَﺮِﻳَّﺔِ، ﻇَﻨُّﻮﺍ ﺷَﻴْﺌَﻴْﻦِ ﺍﺛْﻨَﻴْﻦِ، ﺃَﻭْﻻً: ﺃَﻥَّ ﺍﻹِﻣَﺎﻡَ ﺍﻷَﺷْﻌَﺮِﻱَّ ﻳَﻘُﻮﻝُ ﺫَﻟِﻚَ، ﻭَﻫُﻮَ ﻻَ ﻳَﻘُﻮْﻝُ ﺫَﻟِﻚَ ﺇِﻻَّ ﻗَﺪِﻳْﻤًﺎ؛ ﻷَﻧَّﻪُ ﺭَﺟَﻊَ ﻋَﻨْﻪُ، ﻭَﺛَﺎﻧِﻴًﺎ: ﺗَﻮَﻫَّﻤُﻮْﻩُ ﺻَﻮَﺍﺑًﺎ، ﻭَﻟَﻴْﺲَ ﺑِﺼَﻮَﺍﺏٍ

"Termasuk dari kezhaliman untuk dikatakan kepada mereka: Bahwasanya mereka termasuk dari Ahlul Bid'ah, aku mengetahui bahwa keduanya termasuk dari Asyâ'irah, akan tetapi keduanya tidak bermaksud untuk menyelisihi Al-Qur’ãn dan As-Sunnah, hanya saja mereka keliru, mereka mengira bahwa mereka mewariskannya dari 'Aqîdah Asy'ariyyah. Mereka telah menyangka dengan dua sangkaan: 
Pertama: Bahwasanya Al-Imâm Al-Asy'arî mengatakan itu, dalam keadaan beliau tidak mengatakan itu kecuali hanyalah perkataannya yang lama, karena sesungguhnya beliau telah rujû' darinya.
Kedua: Mereka mengira itu sebagai kebenaran ternyata bukan kebenaran."

Keberadaan Al-Imâm An-Nawawî dan Ibnu Hajar tidak bersengaja menyelisihi dalil dari Al-Qur'ãn dan As-Sunnah dan juga kita tidak mengetahui bahwa pernah ada dari Ahlul 'Ilmi di zaman keduanya telah menyampaikan hujjah dan memberikan nasehat kepada keduanya atas kesalahan yang keduanya berada padanya. Maka dengan itu tidak bisa keberadaan keduanya dijadikan sebagai alasan oleh sebagian orang yang jelas-jelas menyelisihi Al-Qur’ãn dan As-Sunnah di zaman kita ini, karena Alhamdulillâh di zaman kita ini, terkhusus di kota seperti ini sudah banyak Ahlul 'Ilmi memberikan keterangan, penjelasan dan berbagai dalîl dari Al-Qur'ãn dan As-Sunnah. 

Kemudian perlu diketahui pula bahwa kedua imâm tersebut termasuk dari Ahlul Ijtihâd yang disebutkan dalam hadîts:

إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ

"Jika seorang hakîm menetapkan suatu hukum dalam keadaan dia berijtihâd kemudian benar maka baginya dua pahala dan jika dia menetapkan suatu hukum dalam keadaan dia berijtihad kemudian salah maka baginya satu pahala." Riwayat Al-Bukhârî dari 'Abdullâh bin 'Amr Radhiyallâhu 'Anhumâ dari Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam. 

Berkata Asy-Syaikh Al-Fauzân tentang Al-Imâm An-Nawawî dan Ibnu Hajar:

ﻫَﺬَﺍ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﺣَﺼَﻞَ ﻣِﻨْﻬُﻤَﺎ ﺧَﻄَﺄٌ، ﻭَﻳُﺮْﺟَﻰ ﻟَﻬُﻤَﺎ ﺍﻟْﻤَﻐْﻔِﺮَﺓُ ﺑِﻤَﺎ ﻗَﺪَّﻣَﺎﻩُ ﻣِﻦْ ﺧِﺪْﻣَﺔٍ ﻋَﻈِﻴْﻤَﺔٍ ﻟِﺴُﻨَّﺔِ ﺭَﺳُﻮْﻝِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ، ﻓَﻬُﻤَﺎ ﺇِﻣَﺎﻣَﺎﻥِ ﺟَﻠِﻴْﻼَﻥِ، ﻣَﻮْﺛُﻮْﻗَﺎﻥِ ﻋِﻨْﺪَ ﺃَﻫْﻞِ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢِ

"Ini yang telah terjadi kesalahan pada keduanya dan diharapkan ampunan pada keduanya karena keduanya telah memberikan pelayanan yang besar terhadap sunnah Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam, keduanya adalah dua imâm yang mulia, keduanya terpercaya menurut Ahlul 'Ilmi."

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada malam Rabu 9 Jumâdil Awwal 1440 / 15 Januari 2019 di Kemang Pratama 3 Bekasi. 


Kamis, 23 Juli 2020

CARA MELUNASI HUTANG


Pertanyaan:
Ustâdz, adakah doa bagi orang berhutang yang keutamaan doanya menjadi pelunas hutang? 

Jawaban:
Hutang tidak bisa dilunasi dengan doa, keberadaan doa hanya sebagai jalan supaya dimudahkan untuk membayar hutang, Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam telah mengajarkan kepada 'Alî bin Abî Thâlib Radhiyallâhu 'Anhu tentang suatu doa supaya bisa memperoleh kemudahan dalam melunasi hutang, beliau berkata kepadanya:

ﺃَﻻَ ﺃُﻋَﻠِّﻤُﻚَ ﻛَﻠِﻤَﺎﺕٍ، ﻟَﻮْ ﻛَﺎﻥَ ﻋَﻠَﻴْﻚَ ﻣِﺜْﻞُ ﺟَﺒَﻞِ ﺻِﻴﺮٍ ﺩَﻧَﺎﻧِﻴﺮَ لَأَﺩَّﺍﻩُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻋَﻨْﻚَ

“Maukah aku ajarkan kepadamu beberapa kalimat, kalaulah ada padamu hutang uang-uang dinar semisal gunung Shir maka pasti Allâh akan melunaskannya untukmu.” 

Kemudian Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam berkata kepadanya untuk berdoa dengan doa:

ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺍﻛْﻔِﻨِﻲ ﺑﺤَﻼﻟِﻚَ ﻋَﻦْ ﺣَﺮَﺍﻣِﻚَ، ﻭَﺃَﻏْﻨِﻨِﻲ ﺑﻔَﻀْﻠِﻚَ ﻋَﻤَّﻦْ ﺳِﻮَﺍﻙَ

“Yâ Allâh cukupkanlah aku dengan yang halâl dari-Mu dan jauhkanlah aku dari yang harâm dari-Mu, dan cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dari bergantung kepada selain-Mu.” Riwayat At-Tirmidzî, Al-Hâkim, Ath-Thabrânî dan Al-Bazzâr.

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada malam Selasa 8 Jumâdil Awwal 1440 / 14 Januari 2019 di Kemang Pratama 3 Bekasi. 



RESIKO BERHUTANG


Pertanyaan:
Ustâdz mana yang baiknya antara berhutang atau menggadaikan? 

Jawaban:
Tanpa ada keraguan lagi bahwa menggadaikan itu lebih baik daripada berhutang, ini ada beberapa alasan:

Pertama: Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam lebih memilih menggadaikan barangnya untuk memenuhi kebutuhan keluarganya daripada beliau berhutang, berkata 'Âisyah Radhiyallâhu 'Anhâ:

ﺗُﻮُﻓِّﻲَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻭَﺩِﺭْﻋُﻪُ ﻣَﺮْﻫُﻮﻧَﺔٌ ﻋِﻨْﺪَ ﻳَﻬُﻮﺩِﻱٍّ

"Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam wafat dalam keadaan baju besi beliau masih tergadaikan di sisi seorang yahudi." Riwayat Al-Bukhârî dan Muslim. 

Kedua: Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam tidak ingin berhutang bahkan beliau berlindung dari berhutang:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ المَأْثَمِ وَالمَغْرَمِ

"Yâ Allâh, aku berlindung kepada-Mu dari dosa dan hutang.” Riwayat Al-Bukhârî dari 'Âisyah Radhiyallâhu 'Anhâ. 

Ketiga: Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam menyebutkan tentang orang yang biasa berhutang:

إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَرِمَ، حَدَّثَ فَكَذَبَ وَوَعَدَ فَأَخْلَفَ

“Sungguh seseorang apabila berhutang, jika dia berbicara berdusta dan apabila berjanji mengingkari.” Riwayat Al-Bukhârî dari 'Âisyah Radhiyallâhu 'Anhâ. 
Sudah banyak kenyataan membuktikan bahwa terkadang seseorang merasa paling baik dan paling berilmu namun karena berhutang dia pun berbohong kepada orang yang dia hutang kepadanya atau lari dan menyembunyikan jejak dari orang yang dia hutang kepadanya. 

Keempat: Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam tidak mau menshalatkan orang yang masih memiliki hutang, berkata Jâbir Radhiyallâhu ‘Anhu:

ﻛَﺎﻥَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻟَﺎ ﻳُﺼَﻠِّﻲ ﻋَﻠَﻰ ﺭَﺟُﻞٍ ﻣَﺎﺕَ ﻭَﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺩَﻳْﻦٌ

"Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam tidak akan menshalatkan orang yang mati dalam keadaan dia memiliki hutang." Riwayat Abû Dâwud. 

Kelima: Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam menerangkan tentang orang yang memiliki hutang walau pun orang paling baik amalannya selama dia masih memiliki hutang maka akan tergantung-gantung terus jiwanya:

ﻭَﺍﻟَّﺬِﻯ ﻧَﻔْﺴِﻰ ﺑِﻴَﺪِﻩِ ﻟَﻮْ ﺃَﻥَّ ﺭَﺟُﻼً ﻗُﺘِﻞَ ﻓِﻰ ﺳَﺒِﻴﻞِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺛُﻢَّ ﺃُﺣْﻴِﻰَ ﺛُﻢَّ ﻗُﺘِﻞَ ﻣَﺮَّﺗَﻴْﻦِ ﻭَﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺩَﻳْﻦٌ ﻣَﺎ ﺩَﺧَﻞَ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔَ ﺣَﺘَّﻰ ﻳُﻘْﻀَﻰ ﻋَﻨْﻪُ ﺩَﻳْﻨُﻪُ 

“Demi Yang jiwaku berada di tangan-Nya, kalau seandainya ada seseorang yang terbunuh di jalan Allâh, kemudian dihidupkan lagi, lalu dia terbunuh lagi dua kali, dalam keadaan dia masih memiliki hutang, maka dia tidak akan masuk Surga sampai dilunasi hutangnya.” Riwayat Ahmad, An-Nasâ’î dan Ath-Thabrânî. 

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada malam Rabu 3 Jumâdil Awwal 1440 / 9 Januari 2019 di Kemang Pratama 3 Bekasi. 

AKIBAT MEREMEHKAN HUTANG


Pertanyaan:
Mana yang harus didahulukan oleh seseorang: Menuntut ilmu ataukah bayar hutang?

Jawaban:
Yang harus didahulukan oleh seseorang adalah membayar hutang, karena kalau dia memaksakan diri menuntut ilmu dalam keadaan dia masih berhutang maka hutang tersebut akan membuatnya tidak akan tetap dalam menuntut ilmu, dia akan selalu gelisah karena terpikirkan hutangnya, kalau pun dia memaksakan diri menuntut ilmu dengan berpura-pura melupakan hutangnya maka ancaman akan selalu mengintainya:

مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ

"Barangsiapa mengambil harta manusia lalu dia menggelapkannya maka Allâh akan menyusahkannya." Riwayat Al-Bukhârî dari Abû Hurairah Radhiyallâhu 'Anhu dari Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam.

Salah satu penyebab kegagalan adalah hutang, orang gagal dalam menuntut ilmu, gagal dalam berdakwah, gagal dalam menjalankan usaha, gagal dalam bisnis, gagal dalam meraih kesuksesan dunia dan akan tergantung-gantung jiwanya pada hari kiamat di antara penyebabnya adalah hutang, oleh karena itu disebutkan di dalam hadîts:

ﻟَﺎ ﺗُﺨِﻴْﻔُﻮْﺍ ﺃَﻧْﻔُﺴَﻜُﻢْ ﺑَﻌْﺪَ ﺃَﻣْﻨِﻬَﺎ، ﻗَﺎﻟُﻮﺍ: ﻭَﻣَﺎ ﺫَﺍﻙَ ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮْﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ؟ ﻗَﺎﻝَ: ﺍﻟﺪَّﻳْﻦُ

“Janganlah kalian menyengsarakan diri kalian setelah kalian mendapatkan keamanan.” Para shahabat bertanya: Bagaimana itu wahai Rasûlullâh? Beliau menjawab: "Yaitu dengan hutang." Riwayat Ahmad, Abû Ya'la, Al-Hâkim dan Al-Baihaqî. 

Orang yang sedang menuntut ilmu kalau dia mati maka dia mati di jalan Allâh, dia akan memperoleh keutamaan semisal orang yang mati syahîd namun kalau dia masih memiliki hutang maka dia akan tergantung-gantung dan tercegah dari masuk Surga, pernah seseorang bertanya kepada Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮْﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ، ﺃَﺭَﺃَﻳْﺖَ ﺇِﻥْ ﻗُﺘِﻠْﺖُ ﻓِﻲْ ﺳَﺒِﻴْﻞِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺗُﻜَﻔَّﺮُ ﻋَﻨِّﻲْ ﺧَﻄَﺎﻳَﺎﻱَ؟ قَالَ: ﻧَﻌَﻢْ ﻭَﺃَﻧْﺖَ ﺻَﺎﺑِﺮٌ ﻣُﺤْﺘَﺴِﺐٌ ﻣُﻘْﺒِﻞٌ ﻏَﻴْﺮُ ﻣُﺪْﺑِﺮٍ ﺇِﻟَّﺎ ﺍﻟﺪَّﻳْﻦَ، ﻓَﺈِﻥَّ ﺟِﺒْﺮِﻳْﻞَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍﻟﺴَّﻠَﺎﻡُ ﻗَﺎﻝَ ﻟِﻲْ ﺫَﺍﻟِﻚَ

“Wahai Rasûlullâh, bagaimana menurutmu jika aku terbunuh di jalan Allâh, apakah dosa-dosaku akan terhapus?” Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam menjawab: “Yâ, jika kamu terbunuh di jalan Allâh dalam keadaan kamu bersabar dan mengharapkan pahala, maju ke medan perang dan tidak melarikan diri kecuali hutang, sesungguhnya itulah yang diwasiatkan oleh Jibrîl 'Alaihish Shalâtu Was Salâm kepadaku.” Riwayat Muslim, Ahmad, Mâlik, At-Tirmidzî dan An-Nasâ’î.

Maka masihkan ada orang yang mengaku sebagai pecinta ilmu atau sebagai dâ'î yang mendakwahkan ilmu kemudian meremehkan hutang dan berpura-pura lupa dengan hutangnya?!

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada Rabu 3 Jumâdil Awwal 1440 / 9 Januari 2019 di Kemang Pratama 3 Bekasi. 

HUTANG BEBAN JIWA YANG MENEKAN BATIN


Pertanyaan:
Perkara apa yang paling berat bagi Ustâdz dalam bermu'amalah dengan manusia? 

Jawaban:
Jika ditanyakan kepada kami tentang perkara yang paling berat bagi kami dalam bermu'amalah dengan manusia maka jawaban kami adalah hutang. Perkara yang paling berat bagi kami adalah hutang, ini yang paling berat bagi kami. Oleh karena itu tatkala kami mendapatkan penawaran tanah yang murah untuk kami bangunkan Rumah Qur'ãn Hadîts atau pondok pesantren maka kami banyak memikirkan dananya, hingga kami ingin mencoba untuk hutang. Itupun menjadi beban pikiran, kami coba paksakan untuk hutang dengan jaminan setiap bulan kami bayar secara nyicil dengan nilai yang kami tentukan, dan kami bertekad akan bayar dalam perbulan bisa lebih dari itu. 
Dengan adanya jaminan setiap bulan kami bayar, itupun jadi bahan pikiran, kemudian kami mencoba memaksakan untuk tetap hutang, tatkala kami mencoba menghubungi orang yang kami maksud untuk hutang, Alhamdulillâh kami tidak dapat pinjaman hutang karena keadaan seperti sekarang ini tidak mendukung, Alhamdulillâh kami bersyukur karena tidak dapat hutang sehingga tidak ada beban hutang bagi kami.
Bersamaan dengan tidak dapatnya kami terhadap pinjaman hutang, sebagian saudara-saudari seiman mengira kami berkecukupan sehingga mereka memberanikan diri untuk hutang ke kami, terasa sedih jika mendengarkan berbagai keluhan dan masalah mereka, namun apalah daya tangan tak sampai, semoga Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ dengan berbagai karunia dan keutamaan-Nya memberikan kecukupan kepada kita semua dan menyelamatkan kita dari lilitan hutang, karena seberat-berat beban hidup bagi seseorang adalah berhutang, berkata Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam:

ﻭَﺍﻟَّﺬِﻯ ﻧَﻔْﺴِﻰ ﺑِﻴَﺪِﻩِ ﻟَﻮْ ﺃَﻥَّ ﺭَﺟُﻼً ﻗُﺘِﻞَ ﻓِﻰ ﺳَﺒِﻴﻞِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺛُﻢَّ ﺃُﺣْﻴِﻰَ ﺛُﻢَّ ﻗُﺘِﻞَ ﻣَﺮَّﺗَﻴْﻦِ ﻭَﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺩَﻳْﻦٌ ﻣَﺎ ﺩَﺧَﻞَ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔَ ﺣَﺘَّﻰ ﻳُﻘْﻀَﻰ ﻋَﻨْﻪُ ﺩَﻳْﻨُﻪُ

“Demi Yang jiwaku berada ditangan-Nya, seandainya seseorang terbunuh di jalan Allâh, kemudian dihidupkan lagi, lalu dia terbunuh lagi dua kali, dan dia masih punya hutang, maka dia tidak akan masuk Surga sampai dilunasi hutangnya.” Riwayat Ahmad, An-Nasâ’î dan Ath-Thabrânî.

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada malam Jum'at tanggal 3 Dzulhijjah 1440 / 24 Juli 2020 di Maktabah Al-Khidhir Bekasi.

HAKEKAT ORANG BERILMU



Pertanyaan:
Apakah benar mengucapkan perasaan begini: "Aku takut jika hijrahku ke Manhaj Salaf hanya sekedar merubah penampilan, aku khawatir jika amalku hanya sekedar menaikkan celana di atas mata kaki dan memelihara jenggot, atau berhijab syar'i memakai cadar dan berpakaian serba gelap... Aku khawatir jika sekian lama belajar tidak merubah akhlak..."

Jawaban:
Kekhawatiran dan rasa takut seperti itu merupakan perkara yang biasa dirasakan oleh pencari ilmu yang keberadaannya selalu berupaya untuk ikhlas dan melakukan perbaikan pada dirinya, dan itu menunjukkan kalau ilmu yang dia ketahui membekas dan memberi pengaruh kepada dirinya, karena sesungguhnya rasa takut kepada Allâh tidak akan ada pada seseorang yang keberadaannya tidak memiliki ilmu, hanyalah rasa takut itu akan ada pada seseorang yang keberadaannya memiliki ilmu, berkata Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ:

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ 

"Hanyalah yang takut kepada Allâh dari para hamba-Nya adalah orang-orang yang berilmu." [Surat Fâthir: 28].
Orang yang memiliki ilmu ketika dia terjatuh ke dalam perbuatan dosa atau nampak padanya akhlak yang jelek, selama keberadaannya masih beriman maka ilmu yang dia miliki itu akan mengantarkannya kepada rasa takut, bila dia selalu berbuat maksiat maka sewaktu-waktu akan muncul rasa takutnya kepada Allâh.

Hakekat dari ilmu adalah khasyyah (rasa takut kepada Allâh) sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian salaf:

ﻟَﻴﺲَ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢُ ﺑِﻜَﺜْﺮَﺓِ ﺍﻟﺮِّﻭَﺍﻳَﺔِ ﻭَﻟٰﻜِﻦِ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢَ ﺍﻟْﺨَﺸْﻴَﺔُ

"Bukanlah ilmu itu dengan banyaknya riwayat, akan tetapi ilmu adalah khasyyah."

Berkata Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyyah Rahmatullâh 'Alainâ wa 'Alaih:

ﻛُﻞُّ ﻋَﺎﺹٍ ﻟِﻠّٰﻪِ ﻓَﻬُﻮَ ﺟَﺎﻫِﻞٌ، ﻭَﻛُﻞُّ ﺧَﺎﺋِﻒٍ ﻣِﻨْﻪُ ﻓَﻬُﻮَ ﻋَﺎﻟِﻢٌ ﻣُﻄِﻴﻊٌ ﻟِﻠّٰﻪِ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ

"Setiap orang yang bermaksiat kepada Allâh maka dia adalah orang yang bodoh. Dan setiap orang yang takut kepada-Nya maka dia adalah orang yang berilmu lagi taat kepada Allâh Ta'âlâ."
Berkata Masrûq Rahmatullâh 'Alainâ wa 'Alaih:

ﻛَﻔَﻰ ﺑِﺨَﺸْﻴَﺔِ ﺍﻟﻠّٰﻪِ ﻋِﻠْﻤًﺎ ﻭَﻛَﻔَﻰ ﺑِﺎلْاِﻏْﺘِﺮَﺍﺭِ ﺑِﺎﻟﻠّٰﻪِ ﺟَﻬْﻼً 

“Cukuplah rasa takut kepada Allâh sebagai ilmu dan cukuplah kedurhakaan kepada Allâh sebagai kebodohan."
Berkata Asy-Sya'bî Rahmatullâh 'Alainâ wa 'Alaih:

ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﺍﻟْﻌَﺎﻟِﻢُ ﻣَﻦْ ﺧَﺸِﻲَ ﺍﻟﻠّٰﻪَ ﻋَﺰَّ ﻭَﺟَﻞَّ

"Hanyalah orang yang berilmu itu adalah orang yang takut kepada Allâh 'Azza wa Jalla."

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada 14 Jumâdil Úlâ 1438 di Binagriya Pekalongan. 

Rabu, 22 Juli 2020

MENGENAL ORANG AWAM


Pertanyaan:
Ustâdz, sering kami dengarkan tentang sebutan orang awam, siapakah yang layak disebut awam? 

Jawaban:

الْعَوَامُّ لَيسُوا مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ وَلَا مِنْ طَلَبَةِ الْعِلْمِ

 "Orang-orang awam adalah orang-orang yang bukan termasuk dari Ahlul 'Ilmi (orang-orang berilmu) dan bukan pula termasuk dari Thalabatul 'Ilmi (para penuntut ilmu)."

Orang-orang awam berbeda-beda keadaan mereka, ada orang awam dari kalangan Ahlul Bid'ah wal Furqah dan ada pula orang awam dari kalangan Ahlussunnah wal Jamâ'ah.

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada hari Rabu tanggal 1 Dzulhijjah 1440 / 22 Juli 2020 di Maktabah Al-Khidhir Bekasi.

PENGERTIAN AWAM

Awam adalah nisbat kepada keumuman dari manusia, yaitu lawan dari kekhususan manusia. Dan yang diinginkan dengan kekhususan manusia di sini adalah Ahlul ‘Ilmi (orang-orang berilmu) dan Thalabatul ‘Ilmi (para pencari ilmu). 

Sumber: 

*************

تعريف العوام 
العوام جمع عامي، وهو المنسوب إلى العامة من الناس ضد الخاصة، والمراد بالخاصة ها هنا أهل العلم وطلبة العلم
انظر "العقيدة السليمة على الأصول الستة العظيمة" (ص: ١٨) / مكتبة الخضر في بيكاسي

Selasa, 21 Juli 2020

TINJAUAN TERHADAP PUASA TARWIYAH


Pertanyaan:
Ustâdz, saya mau bertanya tentang puasa tarwiyah, apakah disyari'atkan?

Jawaban:
Tidak ada dalîl yang shahîh dan sharîh menyebutkan tentang disyari'atkannya puasa Tarwiyah, ada suatu hadîts dengan lafazh:

صَومُ يَومِ التَّرْوِيَةِ كَفَّارَةُ سَنَةٍ

"Puasa pada hari Tarwiyah adalah penghapus dosa setahun." 
Akan tetapi hadîts ini dha'îf, sebagaimana telah didha'îfkan oleh Al-Albânî Rahmatullâh 'Alainâ wa 'Alaih.
Sebagian 'Úlamâ menganggap sunnah untuk puasa Tarwiyah karena keumuman dalîl:

مَا الْعَمَلُ فِي أَيَّامِ الْعَشْرِ أَفْضَلَ مِنَ الْعَمَلِ فِي هَذِهِ

"Tidaklah suatu amalan pada 10 hari permulaan Dzulhijjah lebih utama daripada 10 hari ini." Riwayat Al-Bukhârî.
Akan tetapi yang benarnya tentang penyebutan amal shâlih adalah amal yang datang contohnya dari Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam, dan tidak ada dalîl sharîh menyebutkan bahwa beliau berpuasa penuh pada hari-hari di permulaan Dzulhijjah. Oleh karena itu jika kita ingin berpuasa maka hendaklah kita berpuasa dengan puasa yang jelas dalîlnya seperti puasa 'Arafah, puasa Senin dan Kamis, puasa Dâwud, puasa karena bernadzar atau mengqadhâ puasa Ramadhân pada hari-hari di permulaan Dzulhijjah. Puasa-puasa yang kita sebutkan ini termasuk amal shâlih yang disebutkan pada keumuman hadîts tersebut dan juga masuk pada keumuman perkataan Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ:

فَمَن كَانَ یَرۡجُوا۟ لِقَاۤءَ رَبِّهِۦ فَلۡیَعۡمَلۡ عَمَلࣰا صَـٰلِحࣰا وَلَا یُشۡرِكۡ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦۤ أَحَدَۢا

"Barangsiapa berharap perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaklah dia beramal dengan amal yang shâlih dan tidak menyekutukan peribadahan kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun." [Surat Al-Kahfi: 110].
Al-Fudhail bin 'Iyâdh Rahimahullâh 'Alaihi wa 'Alaih menjelaskan tentang amal shâlih yaitu:

أَنْ يَكُونَ عَلَى السُّنَّةِ

"Keberadaannya di atas Sunnah."

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada hari Rabu tanggal 1 Dzulhijjah 1440 / 22 Juli 2020 di Maktabah Al-Khidhir Bekasi.

⛵️ http://alkhidhir.com/fiqih/tinjauan-terhadap-puasa-tarwiyah/

LARANGAN MEMANGKAS RAMBUT DAN MEMOTONG KUKU HANYA KEPADA ORANG YANG BERQURBÂN


Pertanyaan:
Ustâdz, mau tanya untuk yang tidak boleh potong rambut dan kuku sampai qurbân, itu berlaku untuk siapa saja yâ?

Jawaban:
Berlaku hanya kepada orang yang mau berqurbân saja, Al-Imâm Ahmad, Muslim dan Ashhâbus Sunan meriwayatkan dari Ummu Salamah Radhiyallâhu 'Anhâ, dari Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam bahwasanya beliau berkata:

إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِى الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ

“Jika kalian telah melihat hilâl Dzulhijjah dan salah seorang di antara kalian ingin berqurbân maka hendaklah dia menahan rambut dan kukunya.”
Yakni orang yang akan berqurbân ketika sudah memasuki tanggal satu Dzulhijjah maka tidak boleh baginya untuk memangkas rambutnya dan memotong kukunya.

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada tanggal 24 Dzuqa'dah 1439 di Kemang Pratama 3 Bekasi. 

⛵️ https://t.me/majaalisalkhidhir/1897
⛵️ http://alkhidhir.com/fiqih/larangan-memangkas-rambut-dan-memotong-kuku-hanya-kepada-orang-yang-berqurban/

LEBIH BAIK BERQURBÂN DARIPADA MENG'AQÎQAHI DIRI SENDIRI



Pertanyaan:
'Afwân Ustâdz ada pertanyaan bagaimana hukumnya waktu kecil seorang anak tidak bisa di'aqîqahi karena kondisi ekonomi orang tua yang tidak memungkinkan, apakah setelah anak besar masih harus diaqîqahi. Karena ada yang perpendapat lebih baik untuk berqurbân itu bagaimana Ustâdz Jazâkallâhu khairan. 

Jawaban:
Kalau orang tuanya mau meng'aqîqahkannya setelah dia besar dengan alasan tersebut maka tidaklah mengapa, karena sunnah 'aqîqah adalah tugas bagi orang tuanya bukan tugas anak tersebut, berkata Ibnu Qudâmah Rahmatullâh 'Alainâ wa 'Alaih:

ﻭَﺇِﻥْ ﻟَﻢْ ﻳَﻌُﻖْ ﺃَصْلًا، ﻓَﺒَﻠَﻎَ ﺍﻟْﻐُﻼَﻡُ ﻭَﻛَﺴَﺐَ، ﻓَﻼَ ﻋَﻘِﻴﻘَﺔَ ﻋَﻠَﻴﻪِ

"Jika dia tidak di'aqîqahi pada asalnya, lalu dia dewasa dan dia telah bekerja maka tidak ada 'aqîqah baginya."

Kalau dia sudah dewasa dan dia ingin meng'aqîqahi dirinya sendiri karena belum di'aqîqahi maka ini boleh menurut Al-Imâm Ibnu Bâzz dan yang lainnya, namun pendapat yang benar adalah tidak disunnahkan lagi baginya, karena tidak ada dalîl yang jelas lagi khusus yang menunjukan tentangnya. Betapa banyak para shahabat yang masuk Islâm dalam keadaan sudah dewasa dan Nabî ﷺ tidak menganjurkan kepada mereka untuk 'aqîqah, tidak beliau anjurkan kepada para shahabat asli 'Arab dan tidak pula shahabat dari non 'Arab. Tidak kita dapati ada riwayat bahwa ada shahabat yang meng'aqîqahi dirinya sendiri ketika sudah dewasa, akan tetapi mereka paling bersemangat dalam berqurbân. Dengan demikian lebih utama bagi seseorang berqurbân untuk dirinya sendiri daripada meng'aqîqahi dirinya sendiri yang sudah dewasa, karena pelaksanaan sunnah 'aqîqah adalah dianjurkan kepada orang tua atau siapa saja yang mau meng'aqîqahinya di waktu belum bâlighnya bukan dianjurkan kepada dirinya sendiri untuk meng'aqîqahi dirinya setelah dewasanya, Al-Imâm Ibnu Abî Syaibah dan At-Tirmidzî meriwayatkan suatu hadîts dari 'Âisyah Radhiyallâhu 'Anhâ:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ أَمَرَهُمْ أَنْ يُعَقَّ عَنِ الْغُلَامِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ، وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ

"Bahwasanya Rasûlullâh ﷺ memerintahkan mereka supaya meng'aqiqahi untuk bayi laki-laki adalah dua ekor kambing yang sama, dan untuk bayi prempuan adalah seekor kambing."

Oleh karena itu, Al-Imâm Ahmad Rahmatullâh 'Alainâ wa 'Alaih ketika ditanya tentang orang yang sudah dewasa ingin meng'aqîqahi dirinya sendiri maka beliau berkata:

ﺫٰﻟِﻚَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻮَﺍﻟِﺪِ

"Itu adalah beban bagi orang tua."

Daripada seseorang meng'aqîqahi dirinya sendiri yang sudah dewasa lebih baik dia berqurbân dan atau dia mencari anak-anak orang beriman yang belum bâligh yang belum di'aqîqahi lalu dia meng'aqîqahinya, ini lebih utama dan sesuai dengan keumuman dalam hadîts dari 'Âisyah Radhiyallâhu 'Anhâ tersebut:

أَمَرَهُمْ أَنْ يُعَقَّ عَنِ الْغُلَامِ

"Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam memerintahkan mereka supaya melakukan 'aqîqah untuk bayi laki-laki...."
Sangat jelas bahwa perintah di sini ditujukan kepada orang tua atau siapa saja yang mau meng'aqîqahi, bukanlah perintah ini ditujukan kepada orang yang mau meng'aqîqahi dirinya sendiri.
Lebih utama bagi orang bâligh adalah meng'aqîqahi anak-anak orang beriman yang belum bâligh daripada dia meng'aqîqahi dirinya sendiri, berkata Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ

"Tolong menolonglah kalian di atas kebaikan dan ketakwaan." [Surat Al-Mâ'idah: 2].
Dan berkata Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ:

وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

"Kerjakanlah oleh kalian suatu kebaikan supaya kalian beruntung." [Surat Al-Hajj: 77].

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada tanggal 27 Jumâdil Úlâ 1438 di Binagriya Pekalongan. 



Senin, 20 Juli 2020

KELEBIHAN RAKA'AT TERGENAPKAN DENGAN SUJÛD SAHWI


Pertanyaan:
'Afwân Ustâdz, izin bertanya: Barusan saya menunaikan shalat zhuhur berjamâ'ah di masjid, kebetulan saya datang masbûq saat imâm dan ma'mûm masuk ke raka'at ketiga. Pada saat masuk raka'at keempat dan tasyahhud akhir para ma'mûm semuanya bertasyahhud sedangkan imâm malah berdiri lagi, ma'mûm sudah mengingatkan dengan membaca tasbîh namun imâm tetap berdiri, kemudian rukû, sujûd lalu tasyahhud. Setelah selesai tasyahhud imâm melakukan sujûd sahwi diikuti oleh mayoritas ma'mûm yang juga sujûd sahwi lalu salâm sedangkan saya yang posisi masbûq tasyahhud awal saya tidak ikut sujud sahwi dan langsung berdiri ke raka'at ketiga dan tasyahhud akhir saya salâm serta tidak sujûd sahwi. Yan menjadi pertanyaan saya ustadz:
1. Bagaimana jika imâm itu sudah diingatkan dengan tasbîh tapi tetap demikian seperti kejadian ini apakah ma'mûm wajib ikut gerakan imâm untuk kemudian sujûd sahwi bersama imâm ataukah dia tetap pada posisinya? 
2. Bagaimana dengan kondisi ma'mûm yang masbûq mendapati keadaan demikian, apakah ikut sujûd sahwi dengan imâm atau dia tetap melanjutkan raka'at yang tertinggal darinya tanpa sujûd sahwi? 
3. Jika ada keraguan sah atau tidaknya apakah wâjib diulangi lagi shalat zhuhurnya atau bagaimana Ustâdz? Jazâkallâhu khairan atas jawabannya.

Jawaban:
Tatkala imâm keliru di dalam shalatnya, lalu para ma'mûm ingatkan dengan mengucapkan tasbîh namun imâm tidak menyadari kekeliruannya sehingga tetap melanjutkan shalatnya menjadi 5 raka'at maka para ma'mûm tetap mengikuti shalatnya. Adapun kelebihan satu raka'at dari 5 raka'at itu maka akan teranggap genap menjadi 4 raka'at karena melakukan sujûd sahwi, berkata Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

فَإِنْ كَانَ صَلَّى خَمْسًا شَفَعْنَ لَهُ صَلاَتَهُ

"Jika imâm shalat 5 raka'at maka tergenapkan shalatnya karena sujûd sahwi." Riwayat Muslim. 

Karena imâm sujûd sahwinya sebelum salâm maka ma'mûm yang masbûq ikut sujûd sahwi bersamanya, setelah sujûd sahwi dia berdiri menyempurnakan shalat yang terluputkan:

فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا

"Apa yang kalian dapatkan pada shalat bersama imâm maka shalatlah dan apa yang terluputkan oleh kalian maka sempurnakanlah." Riwayat Al-Bukhârî dan Muslim.

Adapun kalau ada keraguan tentang sah tidaknya shalat zhuhurnya maka hendaklah dia tinggalkan keraguan itu, dia bangun shalatnya di atas keyakinan bahwa shalatnya sah, karena Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam telah katakan:

فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ

"Hendaklah dia membuang keraguan dan hendaklah membangun shalatnya di atas apa yang meyakinkan." Riwayat Muslim.
Jangan dia mengulangi shalatnya, karena Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam pernah lupa dalam shalatnya, ketika telah diingatkan setelah salâmnya maka beliau berdiri lalu menambah kekurangan kemudian menutupnya dengan sujûd sahwi dan beliau tidak mengulang shalatnya.

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada hari Selasa 30 Dzulqa'dah 1441 / 21 Juli 2020 di Maktabah Al-Khidhir Bekasi.

⛵️ http://alkhidhir.com/fiqih/kelebihan-rakaat-tergenapkan-dengan-sujud-sahwi/