Pertanyaan:
Apa perbedaan antara tarjamah, tahdzîr dan muwâzanah?
Jawaban:
Tarjamah adalah penyebutan biografi seseorang, baik secara global ataupun terperinci, disebutkan berbagai kebaikannya, kelebihannya, kekurangannya, kekeliruannya ataupun penyimpangannya jika diperlukan. Contohnya pada penyebutan tentang Abû Thâlib, berkata Al-'Abbâs bin 'Abdil Muththalib Radhiyallâhu 'Anhu kepada Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:
مَا أَغْنَيْتَ عَنْ عَمِّكَ فَإِنَّهُ كَانَ يَحُوطُكَ وَيَغْضَبُ لَكَ؟ قَالَ: هُوَ فِي ضَحْضَاحٍ مِنْ نَارٍ، وَلَوْلاَ أَنَا لَكَانَ فِي الدَّرَكِ الأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ
"Tidakkah kamu memberi syafa'at kepada pamanmu? Karena sesungguhnya dia telah menolongmu dan marah karena membelamu." Maka Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam berkata: "Dia di tempat teringan siksaannya di Neraka, kalaulah bukan karena syafa'atku maka sungguh dia di tempat terberat siksaannya di Neraka." Riwayat Al-Bukhârî.
Orang kâfir dan musyrik adalah sejelek-jelek makhluk, namun Abû Thâlib di sini tidak dijelek-jelekkan, malah yang disebutkan adalah kebaikan dan jasanya terhadap dakwah Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam. Ini masuk pada penamaan tarjamah walaupun secara garis besar.
Ketika seseorang menyebutkan tarjamah orang lain seperti itu maka tidaklah mengapa, sebagaimana yang telah kami sebutkan tentang tarjamah Kyai Ahmad Dahlân Rahimahullâh bahwasanya beliau mengamalkan sebagian sunnah-sunnah Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam, kita memujinya atau pernah pula kita sebutkan tentang Al-Ustâdz Ja'far 'Umar Thâlib Rahmatullâh 'Alainâ wa 'Alaihim bahwasanya kita ditolong dari melawan pemberontakan RMS (Republik Maluku Selatan) dan kita dapat mengenal dakwah Ahlussunnah wal Jamâ'ah ini dengan sebabnya. Demikian pula ketika menyebutkan berbagai pujian yang ada padanya maka tidaklah mengapa.
Sedangkan tahdzîr merupakan pemberian peringatan terhadap orang lain atas suatu individu atau kelompok dengan tanpa menyebutkan sedikitpun kebaikannya. Contohnya pula pada penyebutan tentang Abû Thâlib, berkata 'Alî bin Abî Thâlib Radhiyallâhu 'Anhu kepada Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam tentangnya:
إِنَّ عَمَّكَ الشيخَ الضالَّ قَدْ مَاتَ
"Sesungguhnya pamanmu orang lanjut usia yang sesat benar-benar telah mati." Riwayat Abû Dâwud.
Dan yang lebih jelas tentang perkara tahdzîr ini adalah peringatan dari Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ untuk tidak memohonkan ampun kepada Abû Thâlib secara khusus dan kepada orang-orang musyrik secara umum:
مَا كَانَ لِلنَّبِیِّ وَٱلَّذِینَ ءَامَنُوۤا۟ أَن یَسۡتَغۡفِرُوا۟ لِلۡمُشۡرِكِینَ وَلَوۡ كَانُوۤا۟ أُو۟لِی قُرۡبَىٰ مِنۢ بَعۡدِ مَا تَبَیَّنَ لَهُمۡ أَنَّهُمۡ أَصۡحَـٰبُ ٱلۡجَحِیمِ
"Tidaklah boleh bagi Nabî dan orang-orang beriman untuk memohonkan ampun kepada orang-orang musyrik walaupun keberadaan mereka itu kerabat terdekat, setelah jelas bagi mereka bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni Neraka Jahannam." [Surat At-Taubah: 113].
Adapun muwâzanah merupakan suatu upaya untuk menyamarkan perkara tahdzîr, dengan membuat persyaratan ketika mentahdzîr hendaklah menyebutkan pula kebaikan orang yang ditahdzîr, atau yang diistilahkan menimbang kebaikan dan kejelekannya. Contoh yang jelasnya di saat kita mentahdzîr orang yang membuat kegaduhan di tengah umat, tiba-tiba orang yang terbawa dengan permainannya menyimpulkan bahwa dia benar, sampai mempermisalkannya dengan setan yang pernah datang kepada Abû Hurairah Radhiyallâhu 'Anhu, berkata Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:
أَمَا إِنَّهُ قَدْ صَدَقَكَ وَهُوَ كَذُوبٌ، تَعْلَمُ مَنْ تُخَاطِبُ مُنْذُ ثَلاَثِ لَيَالٍ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ؟ قَالَ: لاَ. قَالَ: ذَاكَ شَيْطَانٌ
"Ketahuilah sesungguhnya dia telah jujur kepadamu dalam keadaan dia itu paling sering berdusta. Tahukah kamu siapa orang yang kamu ajak bicara pada tiga malam berturut-turut itu wahai Abû Hurairah?." Beliau menjawab: "Aku tidak tahu." Maka Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam berkata: "Itu adalah setan." Riwayat Al-Bukhârî.
Orang tersebut tanpa menyadari dia telah menuntun kita untuk menerapkan manhaj muwâzanah kepada orang yang membuat kegaduhan di tengah umat tersebut, apalagi sampai berdalîl dengan setan yang membawa kebenaran.
Orang yang berakal sehat akan memahami bahwa Abû Hurairah Radhiyallâhu 'Anhu meriwayatkan kebenaran dari setan itu setelah ditetapkan sebagai kebenaran oleh Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam, bukan kemudian itu sebagai suatu kesimpulan tentang bolehnya mengakui dan menerima nasehat setan yang terhiasi kebenaran. Jangankan setan, dukun saja tidak boleh untuk mengakuinya apalagi membenarkannya, berkata 'Âisyah Radhiyallâhu 'Anhâ:
سَأَلَ أُنَاسٌ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْكُهَّانِ، فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَيْسُوا بِشَيْءٍ. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ فَإِنَّهُمْ يُحَدِّثُونَ أَحْيَانًا بِالشَّيْءِ يَكُونُ حَقًّا. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: تِلْكَ الْكَلِمَةُ مِنَ الْحَقِّ يَخْطَفُهَا الْجِنِّيُّ، فَيَقُرُّهَا فِي أُذُنِ وَلِيِّهِ قَرَّ الدَّجَاجَةِ، فَيَخْلِطُونَ فِيهَا أَكْثَرَ مِنْ مِائَةِ كَذْبَةٍ
"Sekelompok orang bertanya kepada Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam tentang para dukun, maka Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam berkata: "Mereka itu tidak tidak ada apa-apanya." Sekelompok orang berkata: "Wahai Rasûlullâh, sesungguhnya mereka ketika berbicara tentang sesuatu terkadang benar." Beliau menjawab: "Perkataan yang ada kebenarannya itu yang didengar oleh jin kemudian dia memperdengarkannya ke telinga wali-walinya seperti suara ayam betina, lalu mereka mencampurkan di dalam perkataan itu lebih dari 100 kedustaan." Riwayat Al-Bukhârî.
Bagaimana seseorang akan merasa aman mengambil perkataan dan nasehat dari setan, mengambilnya dari dukun saja sudah terlarang, berkata Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:
مَنْ أَتَى كَاهِناً أَوْ عَرَّافاً فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ
"Barangsiapa yang datang ke dukun atau paranormal lalu dia membenarkan perkataannya maka sungguh dia telah mengkufuri terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam." Riwayat Ahmad dan Al-Bazzâr.
Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh sebelum kajian Al-Mabâdiul Mufîdah pada hari Jum'at tanggal 14 Syawwâl 1441 / 5 Juni 2020 di Maktabah Al-Khidhir Bekasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar