Pertanyaan:
Ustâdz, adanya fatwâ yang menyebutkan bahwa orang yang tetap shalat berjamâ'ah adalah jâhil, apakah bisa dibenarkan fatwâ tersebut karena kaitannya dengan covid-19?
Jawaban:
Subhânallâh keadaan hampir saja berbalik:
اللَٰهُمَّ اسْتُرْ عَوْرَاتِى وَآمِنْ رَوْعَاتِى
“Yâ Allâh tutupilah aib-aibku dan tenteramkanlah dari apa-apa yang mengkhawatirkanku."
Mereka yang mentahdzîr kaum Muslimîn dari shalat berjamâ'ah dan memerintahkan untuk menutup masjid berargumen karena mentaati ûlil amri. Kita katakan kepada mereka: "Bukankah Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ tidak memutlakkan kalian untuk harus mentaati ûlil amri, karena Allâh 'Azza wa Jalla telah perintahkan:
یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوۤا۟ أَطِیعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِیعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِی ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡ
"Wahai orang-orang beriman taatlah kalian kepada Allâh dan taatlah kalian kepada Rasûl dan ûlil amri di antara kalian." [Surat An-Nisâ': 59].
Kalau ketaatan kepada ûlil amri itu mutlak maka tentu akan ada pengulangan perintah:
وَأَطِیعُوا۟ أُو۟لِی ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡ
"Dan taatlah kalian kepada ulil amri di antara kalian." Akan tetapi tidak ada pengulangan waathî'û hanya mencukupkan dengan wâwu 'athaf, itu menunjukan ketidakmutlakkan mentaati ûlil amri, yakni kita hanya mentaati pada perkara kebaikan bukan penyelisihan kepada ketaatan kepada Allâh dan Rasûl-Nya. Oleh karena itu di dalam "Shahîh Muslim" dibuatkan bâb dengan judul:
بَابُ وُجُوبِ طَاعَةِ الأُمَرَاءِ فِي غَيْرِ مَعْصِيَةٍ وَتَحْرِيمِهَا فِي الْمَعْصِيَةِ
"Bâb kewâjiban mentaati para pemerintah pada yang bukan kemaksiatan dan harâm mentaati mereka dalam kemaksiatan."
Di dalam riwayat Ahmad (no. 1098), berkata Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:
لَا طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
"Tidak ada ketaatan kepada makhluk di dalam kemaksiatan kepada Allâh 'Azza wa Jalla."
Setelah kita bawakan hujjah seperti itu, jawaban mereka: "Sudah banyak jamâ'ah masjid yang kena virus corona, sebagian jamâ'ah masjid terpapar virus corona, sebagian mereka telah dikirim ke Wisma Atlit."
Ternyata mereka menerima serius berita itu, hingga disebarkan lalu membuat mereka giat dalam mentahdzîr kaum Muslimîn dari melaksanakan shalat berjamâ'ah di masjid, sebagian lagi dengan gampang menjâhilkan dan atau mengolok-olok serta menganggap berdosa orang yang shalat berjamâ'ah di masjid.
Berita yang sampai kepada mereka langsung mereka terima dan langsung mereka sebarkan, kalau ini bukan kejâhilan lalu dikatakan apa? Berkata Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ:
یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوۤا۟ إِن جَاۤءَكُمۡ فَاسِقُۢ بِنَبَإࣲ فَتَبَیَّنُوۤا۟ أَن تُصِیبُوا۟ قَوۡمَۢا بِجَهَـٰلَةࣲ فَتُصۡبِحُوا۟ عَلَىٰ مَا فَعَلۡتُمۡ نَـٰدِمِینَ
"Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kalian orang fâsiq membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti supaya kalian tidak menimpakan suatu musîbah kepada suatu kaum dengan kejâhilan (ketidaktahuan) tentang keadaan mereka yang menyebabkan kalian menyesal atas perbuatan kalian itu." [Surat Al-Hujurât: 6].
Ikut menyebarkan berita dari orang fâsiq dan atau ikut mentahdzîr kaum Muslimîn dari melaksanakan kewajiban shalat berjamâ'ah di masjid kalau bukan dikatakan perbuatan orang jâhil lalu mau dikatakan itu perbuatan orang 'âlim? Atau itu mau dikatakan amalan mujtahid yang bersih dari dosa sehingga terus bersemangat dalam mentahdzîr dengan menyebarkan berita dari orang fâsiq dan atau berita dusta?
Lalu mau dilempar kemana lagi perkataan Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:
كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
"Cukuplah bagi seseorang sebagai pendusta ketika dia menceritakan terhadap setiap apa yang telah dia dengar." Riwayat Muslim (no. 7).
Sangat kita herankan ada berbagai desa di luar kota di Jawa Tengah dan mungkin saja di Jawa lain juga ada, desa mereka aman, tenteram dan tidak ada virus corona, keadaan desa mereka sebagaimana biasanya, aktivitas berjalan sebagaimana biasanya namun kemudian didatangkan fitnah atas nama virus corona, bahwa pemerintah memerintahkan untuk shalat di rumah masing-masing, fatwâ-fatwâ para pentahdzîr dari berjamâ'ah di masjid diikutkan sebagai pendukung perintah tersebut.
Dan di suatu pemukiman di Bekasi ini, sehari sebelum 'Îdul Fithri kepala pemukiman menyebarkan selebaran larangan 'Îdul Fithri dengan alasan karena di pemukiman dalam keadaan zona merah, ketika dikritik tentang ketidakbenaran adanya zona merah, diralatlah pernyataannya hingga membolehkan shalat 'Îdul Fithri dengan syarat berjarak dan tidak menerima jamâ'ah dari luar. Ini yang ketahuan, lalu bagaimana dengan di tempat yang lain yang masyarakat tidak mau tahu keadaan? Terlebih masyarakat desa dan dusun yang tidak tersebar virus corona di desa dan dusun mereka, lalu diperintahkan untuk tutup masjid dan tidak boleh berjamâ'ah di masjid.
اللَّهُمَّ سَلِّمْ سَلِّمْ
"Yâ Allâh berilah keselamatan, berilah keselamatan."
Yâ Allâh jadikanlah hujjahku, penjelasanku dan argumenku hanya mencari keridhaan-Mu bukan mencari keridhaan selain-Mu:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ
"Yâ Allâh sesunguhnya aku berlindung kepada-Mu dari fitnah Al-Masîh Ad-Dajjâl, aku berlindung kepada-Mu dari fitnah kehidupan dan kematian."
Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada hari Selasa tanggal 4 Syawwâl 1441 / 26 Mei 2020 di Maktabah Al-Khidhir Bekasi.
⛵⛵⛵
http://t.me/majaalisalkhidhir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar